29 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ
قَالَ: «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ
كُلِّ وُضُوءٍ» أَخْرَجَهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ. وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ. وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا
29. Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda: “Seandainya aku tidak ingin menyusahkan umatku, niscaya aku
perintahkan mereka bersiwak pada setiap kalau wudhu.” (HR. Malik, Ahmad dan
An Nasa'i, dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah serta disebutkan Al Bukhari secara
mu’allaq)
[Shahih: Malik 1/66, Al Bukhari 887 dengan
maushul, Muslim 252, lafazh keduanya ‘setiap kali
shalat.’
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
An Nawawi berkata, “Sebagian ulama besar keliru, mereka
berdalih bahwa Al Bukhari tidak meriwayatkannya.” Saya katakan, ‘Secara zhahir,
tindakan penulis di sini menunjukkan bahwa salah satu dari kedua Syaikh (Al
Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya, dimana ia tidak menisbatkan kepada
keduanya dan menisbatkan kepada selainnya, karena yang terkenal dari kaidah para
ahli hadits bahwa jika keduanya meriwayatkannya, maka mereka menisbatkan
kepadanya dan tidak hanya kepada selainnya, kecuali jika memang keduanya tidak
meriwayatkannya. Sementara hadits tersebut termasuk hadits Umdatul Ahkam
yang di dalamnya tidak disebutkan melainkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Al Bukhari dan Imam Muslim, tetap dengan lafazh: ‘Setiap kali
shalat.’
Yang semakna dengannya ada beberapa hadits dari beberapa
orang shahabat, dari Ali RA, Ahmad dan Zaid bin Khalid menurut At Tirmidzi, dari
Ummi Habibah menurut Ahmad, dari Abdullah bin Amr, Sahl bin Sa’d, Jabir dan Anas
menurut Abu Nu’aim, dari Abu Ayyub menurut Ahmad dan At Tirmidzi, dan dari
hadits Ibnu Abbas dan Aisyah RA menurut Muslim dan Abu Daud.
Sedang perintah bersiwak disebutkan dalam hadits:
«تَسَوَّكُوا فَإِنَّ السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ
لِلْفَمِ»
“Bersiwaklah kalian, sesungguhnya bersiwak itu dapat
menyucikan mulut.”
[* Dhaif: Ibnu Majah 289, Dhaif Targhib wa
Tarhib 144, Dhaif Al Jami 2437]
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan padanya terdapat kelemahan,
akan tetapi memiliki beberapa syahid (pendukung) yang menunjukkan bahwa perintah
tersebut ada dasarnya.
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa:
«إنَّ السِّوَاكَ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ،
وَأَنَّهُ مِنْ خِصَالِ الْفِطْرَةِ، وَأَنَّهُ مِنْ الطَّهَارَاتِ، وَأَنَّ فَضْلَ الصَّلَاةِ الَّتِي
يَسْتَاكُ لَهَا سَبْعُونَ ضِعْفًا»
“Bersiwak adalah sunnah para rasul, termasuk bagian dari
fitrah, thaharah, dan Shalat yang ditunaikan dengan didahului bersiwak
lebih utama 70 kali lipat atas shalat yang ditunaikan dan sebelumnya tidak
bersiwak.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ad Daruquthni serta
yang lainnya)
[Dhaif: Dhaif Al Jami’
3965]
Ia berkata dalam Al Badru Al Munir, “Telah disebutkan
mengenai siwak lebih dari seratus hadits.” Dalam Al Badr ia berkata,
“Alangkah mengherankannya Sunnah yang disebutkan dalam banyak hadits lalu
diremehkan kebanyakan orang, bahkan kebanyakan para fuqaha, dan ini adalah
kerugian besar.”
Saya katakan, “Ketika gigi telah hilang, juga disyariatkan,
berdasarkan hadits Aisyah RA:
«قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ يَذْهَبُ
فُوهُ؛ وَيَسْتَاكُ؟ قَالَ: نَعَمْ؛ قُلْت: كَيْفَ يَصْنَعُ؟ قَالَ: يُدْخِلُ
أُصْبُعَهُ فِي فَمِهِ»
‘Aku bertanya, Wahai Rasulullah SAW, seorang yang telah
hilang giginya apakah ia juga bersiwak?’ beliau SAW menjawab, ‘Ya’, aku
bertanya, ‘Bagaimana caranya?’ Beliau menjawab, ‘Ia memasukkan jarinya ke
dalam mulutnya.’ (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan padanya
terdapat kelemahan)
[Dhaif: Al Haitsami mendhaifkannya dalam
Al Majma 2/100]
Hukumnya sunnah menurut jumhur ulama, namun ada yang
berpendapat wajib. Tetapi hadits yang disebutkan dalam bab ini menunjukkan bahwa
bersiwak tidak wajib, berdasarkan sabda beliau SAW dalam hadits ini, ‘Aku
akan perintahkan mereka’ yaitu perintah wajib, karena sesungguhnya yang
tidak diwajibkan lantaran kesulitan, bukan berarti perempuan itu sunnah karena
telah ditegaskan tanpa keraguan.
Hadits tersebut menunjukkan penentuan waktunya, yaitu setiap
kali wudhu. Dalam Asy Syarh disebutkan bahwa disukai pada setiap waktu,
dan lebih disukai pada lima waktu, yaitu:
1. ketika akan shalat, baik bersuci dengan air maupun dengan
tanah, atau tidak bersuci, seperti orang yang tidak mendapatkan air atau
tanah.
2. ketika wudhu
3. ketika membaca Al Qur'an
4. ketika bangun tidur
5. ketika bau mulut berubah
Ibnu Daqiq Al Id berkata, ‘Rahasia yang terkandung padanya
–yaitu bersiwak pada setiap shalat – bahwa kita diperintahkan pada setiap
kondisi ketika beribadah kepada Allah SWT agar dalam kondisi yang sempurna dan
suci, sebagai bentuk memuliakan ibadah.
Ada yang mengatakan bahwa perintah itu berkaitan dengan
malaikat, yaitu bahwa malaikat tersebut meletakkan mulutnya pada mulut orang
yang membaca Al Qur'an dan merasa terganggu dengan bau yang jelek maka
disunnahkanlah siwak lantaran hal tersebut, pendapat ini cukup bagus.
Zhahirnya hadits di atas tidak mengkhususkan disukainya
bersiwak bagi shalat tertentu, baik ketika sedang berpuasa maupun tidak.
Asy-Syafi'i berkata, “Tidak disunnahkan bersiwak setelah matahari condong ke
atas –meninggi- pada saat berpuasa, agar bau mulut yang disukai oleh Allah SWT
tidak hilang.” Dapat dijawab bahwa bau mulut tersebut tidak dapat hilang
dengannya, karena ia bersumber dari kosongnya lambung dan tidak dapat
dihilangkan dengan bersiwak.
Kemudian, apakah disunnahkan bagi yang akan shalat meskipun
ia telah berwudhu sebagaimana disebutkan hadits, ‘Pada setiap shalat.”
Ada yang berpendapat bahwa disunnahkan, dan yang lain mengatakan tidak kecuali
pada saat akan berwudhu, sebagaimana hadits di atas yang berbunyi, ‘Bersama
setiap wudhu’, hadits ini memberikan batasan terhadap hadits yang berlaku
secara mutlak yaitu ‘setiap shalat’, bahwa yang dimaksudkan adalah setiap
kali wudhu untuk shalat.
Seandainya dikatakan, hendaknya memperhatikan kondisi-kondisi
disyariatkannya siwak. Maka jika telah berlalu waktu yang panjang di mana bau
mulut telah berubah dengan hal-hal yang dapat merubahnya, seperti makan makanan
yang berbau, lama diam, banyak bicara, tidak makan dan tidak minum, ketika itu
siwak disyariatkan meskipun tidak berwudhu, dan jika bau mulut dari berubah,
maka tidak disyariatkan.
Perkataannya dalam mendefinisikan siwak secara isitlah, ‘Atau
yang semacamnya’, yakni seperti potongan dahan. Yang mereka maksudkan adalah
setiap yang dapat menghilangkan perubahan bau mulut, seperti sobekan kain, jari
kasar dan air dingin, dan lebih baik jika siwak tersebut dari pohon arok dalam
kondisi yang sedang, tidak terlalu kering yang dapat melukai gusi, dan tidak
terlalu basah yang tidak dapat membersihkan gigi.
===========================
Kandungan hadits :
. Bersiwak sangat disunnahkan pada setiap kali wudhu [ sunnah mu’akkadah ] dan pahalanya mendekati pahala wajib.
. Bersiwak pada saat berwudhu, dan juga pada kesempatan lain merupakan ibadah yang tidak wajib. Rasulullah tidak berkenan mewajibkannya karena khawatir hal itu akan memberatkan umatnya.
. Hal yang menghalangi Rasulullah untuk mewajibkan siwak adalah kekhawatiran hal itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik, yang pada akhirnya akan menimbulkan dosa.
. Hadits ini merupakan salah satu dalil kaidah ” beban yang berat menarik kemudahan “. Di sini kekhawatiran timbulnya rasa berat [ dengan diwajibkannya bersiwak ] menjadi sebab penghapusan kewajibannya.
. Hadits ini menerangkan sebuah kaidah ushul fikih yang menyatakan bahwa ” suatu perintah mutlak mengindikasikan kewajiban “.
. Kemudahan syariat Islam serta toleransinya dalam menyikapi kelemahan manusia.
. Banyak ibadah yang ditinggalkan oleh Rasulullah bersama umatnya atau beliau tidak memerintahkannya karena kekhawatiran pekerjaan-pekerjaan tersebut pada akhirnya akan diwajibkan Allah. Hal itu seperti shalat tarawih berjamaah di malam ramadhan, siwak, mengakhirkan shalat Isya hingga waktu pelaksanaannya yang terbaik. Semua itu merupakan bentuk kasih sayang beliau kepada umatnya serta kekhawatiran akan kemampuan mereka.
===========
Fawaid hadits:
1. Bersiwak setiap kali berwudlu adalah sunnah muakkadah.
2. Hadits ini menunjukkan kaidah fiqih: al masyaqqah tajlib at taisiir (kesulitan mendatangkan kemudahan).
3. Kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya.
4. Hadits ini juga menunjukkan kepada kaidah: menghindari mafsadah lebih didahulukan dari mendatangkan mashlahat.
5. Juga kepada kaidah: pada asalanya perintah itu menghasilkan hukum wajib. Kecuali bila ada dalil yang memalingkannya kepada sunnah.
6. Ibnu Daqiq al ‘Ied berkata: “Rahasia hadits ini adalah bahwa kita diperintahkan untuk senantiasa di atas kebersihan di setiap kali bertaqarrub kepada Allah.
7. Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan manusia.
0 comments:
Post a Comment