عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا»
(87) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah untuk beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Di pagi seseorang menjadi mukmin, namun di sore hari menjadi orang yang kafir, atau di sore hari seseorang menjadi mukmin, namun di pagi hari menjadi orang yang kafir. Orang itu menjual agamanya demi harta dunia.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Perintah segera beramal saleh sebelum adanya rintangan.
2. Wajibnya berpegang dengan agama.
3. Akhir zaman penuh fitnah yang memalingkan seseorang dari agamanya. Selesai dari fitnah yang satu, ada lagi fitnah yang lain, semoga Allah menjaga kita daripadanya. Fitnah tersebut ada yang berupa fitnah syubhat yang mudah menimpa seorang yang jahil (tidak paham) terhadap agamanya, dan ada pula fitnah syahwat, yakni ketika seseorang mengetahui bahwa sesuatu itu haram, namun hawa nafsunya mendorongya untuk melakukannya. Orang yang terjaga adalah orang yang dijaga Allah Azza wa Jalla.
4. Ketika ada kesempatan untuk melakukan kebaikan, hendaknya segera dilakukan.
5. Apabila seorang hamba perhatiannya tertuju kepada kehidupan dunia, maka imannya menjadi tipis dan keyakinannya menjadi lemah.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -، قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ العَصْرَ، فَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا، فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِلَى بَعْضِ حُجَرِ نِسَائِهِ، فَفَزِعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتِهِ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ، فَرَأَى أَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ، فَقَالَ: «ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِي، فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ»
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: «كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنَ الصَّدَقَةِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ»
(88) Dari Uqbah bin Harits radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku pernah shalat Ashar di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di Madinah. Selesai salam, Beliau segera bangkit dan bergegas melangkahi leher-leher manusia (memotong shaf) ke salah satu rumah istrinya, lalu orang-orang takut karena sikap Beliau, kemudian Beliau keluar lagi menemui mereka, dan Beliau mengetahui keheranan mereka karena sikapnya tadi, lalu Beliau bersabda, “Aku ingat kepada sepotong emas di tempatku, aku tidak suka emas itu mengganggu fikiranku menghadap Allah. Oleh karena itu, aku memerintahkan untuk segera dibagikan.” (HR. Bukhari. Dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan, “Aku tinggalkan di rumah sepotong emas sedekah, aku tidak ingin barang itu menginap di rumah.”)
Fawaid:
1. Bolehnya seorang imam langsung berdiri setelah shalat tanpa berdzikir terlebih dahulu apabila ada keperluan.
2. Bolehnya melangkahi leher setelah salam dari shalat, terutama ketika ada keperluan. Adapun sebelum shalat, maka hal itu dilarang, karena mengganggu manusia.
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana manusia yang lain terkena sifat lupa.
4. Perintah segera menunaikan amanah.
5. Mulianya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau menerangkan alasan terhadap sikapnya itu saat melihat para sahabat merasakan keanehan terhadap sikap Beliau.
6. Anjuran untuk menyelesaikan keperluan yang dapat menyibukkan hati seseorang dari menghadap Allah Azza wa Jalla.
7. Bolehnya mengangkat wakil dalam membagikan zakat meskipun mampu membagikannya sendiri.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فَأَيْنَ أَنَا؟ قَالَ: «فِي الجَنَّةِ فَأَلْقَى تَمَرَاتٍ فِي يَدِهِ، ثُمَّ قَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ»
(89) Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Ada seorang yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Uhud, “Bagaimana menurut engkau jika aku terbunuh, di manakah nantinya aku (ditempatkan)?” Beliau bersabda, “Di surga,” maka orang itu membuang kurma-kurma yang ada di tangannya, lalu berperang hingga terbunuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Tetapnya surga untuk seorang yang mati syahid.
2. Bersegera kepada kebaikan dan tidak menundanya.
3. Tingginya rindu para sahabat untuk masuk ke dalam surga.
4. Zuhud para sahabat terhadap dunia, dan keinginan mereka syahid di jalan Allah.
5. Anjuran bertanya kepada Ahli Ilmu tentang hal yang tidak diketahuinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: «أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الحُلْقُومَ، قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا، وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ»
(90) Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” Beliau bersabda, “Yaitu ketika engkau bersedekah dalam keadaan sehat, sedangkan engkau kikir dan khawatir miskin, serta berharap ingin kaya. Janganlah engkau tunda, sehingga ketika nyawamu di tenggorokan engkau berkata, “Untuk si fulan yang ini[i], dan untuk si fulan yang itu,” sedangkan barang-barang itu akan menjadi milik si fulan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Sedekah yang dilakukan pada masa sehat lebih utama daripada sedekah yang dilakukan pada masa sakit, karena rasa kikir biasanya menguat pada saat seseorang sehat, dimana ia melihat dirinya masih lama hidup di dunia dan butuh terhadap harta, berbeda ketika seseorang sedang sakit yang dapat membawa kepada kematiannya, dan ia melihat bahwa hartanya akan menjadi milik orang lain.
2. Dorongan untuk bersegera kepada kebaikan, dan bersedekah sebelum datang kematian, sehingga ia pun menyesal.
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ سَيْفًا يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ: «مَنْ يَأْخُذُ مِنِّي هَذَا؟» فَبَسَطُوا أَيْدِيَهُمْ، كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ يَقُولُ: أَنَا، أَنَا، قَالَ: «فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ؟» قَالَ فَأَحْجَمَ الْقَوْمُ. فَقَالَ سِمَاكُ بْنُ خَرَشَةَ أَبُو دُجَانَةَ: أَنَا آخُذُهُ بِحَقِّهِ. قَالَ: فَأَخَذَهُ فَفَلَقَ بِهِ هَامَ الْمُشْرِكِينَ
(91) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil pedang dalam perang Uhud dan bersabda, “Siapa yang mau mengambil pedang ini dariku?” Maka masing-masing sahabat mengangkat tangannya sambil berkata, “Saya. Saya.” Beliau bersabda, “Siapa yang mau mengambilnya dengan memenuhi haknya?” Para sahabat pun diam, lalu Simak bin Kharasyah Abu Dajanah berkata, “Saya akan mengambilnya dengan memenuhi haknya,” maka ia mengambilnya dan menggunakannya untuk memenggal kepala-kepala kaum musyrik.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Keberanian Abu Dajanah radhiyallahu ‘anhu, pengorbanannya, dan jihadnya fi sabilillah. Namun hal ini, tidaklah berarti bahwa para sahabat yang lain tidak berani. Mereka tidak mengambilnya adalah karena khawatir tidak dapat memenuhi haknya, dan sebelumnya mereka mengangkat tangannya untuk berperang sesuai kemampuan mereka tanpa syarat.
2. Dorongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk berjihad melawan musuh.
3. Bolehnya menawarkan senjata kepada pasukan untuk membawanya dengan memenuhi haknya.
4. Hendaknya seorang mujahid mengarahkan senjatanya kepada kaum musyrik dan memecah-belahkan kesatuan mereka.
5. Hendaknya seseorang bersegera kepada kebaikan dan tidak menundanya sambil meminta kepada Allah Azza wa Jalla bantuan-Nya, dimana seseorang ketika meminta pertolongan kepada Allah dan bersangka baik kepada-Nya, maka Allah akan membantunya.
6. Sebagian orang terkadang merasa berat beribadah, akhirnya ia mundur, padahal sikap yang harus dilakukannya adalah meminta pertolongan kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, kemudian berusaha melakukannya.
عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ، قَالَ: أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الحَجَّاجِ، فَقَالَ: «اصْبِرُوا، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ» سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(92) Dari Zubair bin Addiy ia berkata, “Kami pernah mendatangi Anas bin Malik, dan mengeluhkan kepadanya perlakuan Hajjaj –salah satu gubernur dari Bani Umayyah yang terkenal zalim- kepada kami, lalu ia berkata, “Bersabarlah! Sessungguhnya tidak ada zaman yang datang kepada kalian kecuali setelahnya lebih buruk lagi sampai kalian menghadap Rabb kalian.” Aku mendengar kalimat ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Bolehnya mengadukan keburukan pemimpin kepada Ahli Ilmu.
2. Kebijaksanaan Ahli Ilmu dan dalamnya pandangan mereka.
3. Anjuran bersabar di zaman penuh cobaan, dan bersegera untuk beramal saleh.
4. Tersebarnya kerusakan di akhir zaman.
5. Tidak melakukan pemberontakan kepada pemerintah ketika mereka tidak melakukan kekufuran yang jelas yang ada dalilnya.
6. Menolak mafsadat (bahaya dan kerusakan) yang besar dengan melakukan tindakan yang mengurangi mafsadatnya.
7. Kezaliman penguasa sebagai balasan terhadap kezaliman rakyat. Disebutkan, bahwa salah seorang khalifah Bani Umayyah, kemungkinan khalifah itu adalah Abdul Malik bin Marwan pernah mengumpulkan para tokoh masyarakat saat ia mendengar orang-orang banyak membicarakan tentang kepemimpinannya, Abdul Malik berkata, “Wahai manusia! Apakah kalian ingin kami seperti Abu Bakar dan Umar?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka ia berkata, “Jadilah kalian seperti rakyat yang dipimpin Abu Bakar dan Umar agar kami bagi kalian seperti Abu Bakar dan Umar.”
Salah seorang Khawarij pernah datang menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan berkata, “Mengapa orang-orang memberontak terhadapmu, namun tidak memberontak terhadap Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab, “Karena rakyat Abu Bakar dan Umar adalah aku dan orang-orang sepertiku. Sedangkan rakyatku adalah engkau dan orang-orang yang sepertimu.”
Hal ini menunjukkan, bahwa apabila rakyat bersikap zalim, maka Allah akan berikan kepada mereka pemimpin yang zalim.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 comments:
Post a Comment