عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ»
(45) Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Islam merubah pandangan Jahiliyyah kepada pandangan yang mulia lagi Islami yang mewujudkan pribadi muslim yang mulia dan tangguh, bahwa pada hakikatnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
2. Perintah mengendalikan diri ketika marah dan tidak melampiaskannya.
3. Di antara adab yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang marah adalah beristi’adzah (mengucapkan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim), diam, berpindah posisi dari berdiri ke duduk, dan dari duduk ke berbaring.
4. Pujian bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ " فَقَالُوا لَهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ،
(46) Dari Sulaiman bin Shurad ia berkata, “Aku pernah duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling mencaci-maki, yang satu mukanya merah dan urat lehernya membengkak, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat yang jika diucapkannya, tentu akan hilang marahnya. Kalau ia mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanirrajim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk), tentu akan hilang marahnya.” Maka orang-orang berkata kepadanya, “Berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Setan yang mendorong manusia melampiaskan kemarahannya, dan bahwa untuk mengatasinya adalah dengan berta’awwudz (lihat pula QS. Al A’raaf: 200).
2. Kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan mengingatkan manusia kepada Allah, yaitu Beliau tidak mengarahkan nasihat langsung kepada orang yang kemungkinan menolak nasihat karena keadaan kondisinya.
3. Anjuran menyampaikan nasihat kepada orang lain meskipun orang lain tidak memintanya.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ»
(47) Dari Mu’adz bin Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menahan marahnya, padahal ia sanggup melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan manusia pada hari Kiamat dan memberikan kesempatan kepadanya memilih bidadari bermata jeli yang ia suka.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan.”)
Fawaid:
1. Dorongan untuk menahan marah.
2. Keutamaan menahan marah ketika seseorang mampu melampiaskannya.
3. Nilai memaafkan semakin tinggi ketika mampu membalas.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ» فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ»
(48) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat,” maka Beliau bersabda, “Jangan engkau marah.” Beliau mengulangi kata-kata, “Jangan engkau marah.” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Wasiat “Jangan engkau marah” merupakan wasiat yang menghimpun kebaikan di dunia dan akhirat.
2. Perintah memberikan nasihat kepada orang yang memintanya.
3. Besarnya mafsadat yang ditmbulkan dari marah, dan bahwa marah itu tidak mendatangkan selain kebaikan, kecuali jika dilakukan karena Allah.
4. Perintah menahan marah dan tidak melampiaskannya, karena seseorang ketika marah membuat sikapnya tidak terkendali.
5. Marah yang tercela adalah terkait urusan duniawi, sedangkan marah yang terpuji adalah marah karena Allah dan untuk membela agamanya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah marah kecuali ketika larangan Allah Azza wa Jalla dilanggar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ»
(49) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cobaan senantiasa menimpa seorang mukmin dan mukminah baik pada dirinya, anaknya, maupun hartanya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Fawaid:
1. Musibah dan cobaan yang menimpa seorang mukmin baik berupa penyakit, kefakiran, kematian sang kekasih, habisnya harta atau berkurangnya, semua itu menghapuskan dosa-dosanya sehingga ia berjalan di atas bumi tanpa dosa.
2. Orang mukmin merupakan objek ujian dan cobaan.
3. Rahmat Allah kepada hamba-Nya yang mukmin, bahwa musibah yang menimpa mereka meskipun kecil dapat menghapuskan dosa-dosanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الحُرِّ بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ، وَكَانَ القُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ، كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا» ، فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي، هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمِيرِ، فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ، قَالَ: سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «فَاسْتَأْذَنَ الحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ» ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ: هِيْ يَا ابْنَ الخَطَّابِ، فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الجَزْلَ وَلاَ تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ لَهُ الحُرُّ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
(50) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Uyaynah bin Hishn bin Hudzaifah pernah datang (ke Madinah) dan menemui keponakannya, yaitu Al Hurr bin Qais. Al Hurr adalah salah seorang di antara sekian orang yang dekat dengan Umar. Ketika itu para penghapal Al Qur’an adalah orang-orang yang duduk di majlis Umar dan sebagai orang-orang yang diajak musyawarah olehnya, baik mereka orang tua maupun masih muda. Uyaynah berkata kepada keponakannya, “Wahai keponakanku, bukankah engkau memiliki kedudukan di hadapan sang pemimpin ini (Umar)? Maka mintalah izin untuk saya agar saya dapat menemuinya.” Al Hurr berkata, “Saya akan mintakan izin untukmu.” Ibnu Abbas berkata, “Maka Al Hurr meminta izin untuk Uyaynah, lalu Umar mengizinkannya.” Saat Uyaynah masuk menemui Umar, ia berkata, “Wahai Ibnul Khaththab! Demi Allah, engkau tidak memberikan pemberian yang banyak dan tidak memerintah secara adil.” Maka Umar pun marah sampai bermaksud menghukumnya, lalu Al Hurr berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199)
Dan orang ini termasuk orang-orang yang bodoh.” Demi Allah, Umar sama sekali tidak melampaui ayat itu (melanggarnya) saat dibacakan kepadanya, dan Beliau adalah seorang yang berhenti di hadapan Kitabullah.” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Keutamaan para penghapal Al Qur’an dan para pemikulnya, yaitu para ulama yang mengamalkannya.
2. Hendaknya seorang pemimpin mengangkat Ahli Ilmu sebagai penasihatnya dan bermusyawarah dengan mereka.
3. Keutamaan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
4. Hendaknya seorang pemimpin bersabar terhadap sikap rakyatnya dan berusaha membimbingnya.
5. Bersikap santun terhadap orang jahil dan bersabar terhadap gangguannya.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: «تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ»
(51) Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Akan ada setelahku sikap mementingkan diri sendiri dan beberapa perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian meminta kepada Allah hak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Dorogan agar tetap mendengar dan taat dalam perintah yang bukan maksiat meskipun pemerintah seorang yang zalim.
2. Bersabar terhadap kezaliman pemerintah meskipun mereka lebih mengutamakan diri mereka sendiri, karena Allah akan meminta pertanggung jawaban dari mereka.
3. Dalam hadits ini terdapat bukti kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Dorongan untuk bersatu dan tidak berpecah belah.
5. Menolak mafsadat (kerusakan dan bahaya) lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 comments:
Post a Comment