عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ»
(37) Dari Abu Sa’id Al Khudriy dan Abu Huirairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Tidaklah seorang muslim terkena musibah, baik berupa kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, gangguan, dan perasaan gundah, bahkan duri yang mengenainya, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan musibah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Musibah yang menimpa seorang mukmin baik yang besar maupun yang kecil akan menghapuskan dosa-dosanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bersabar terhadapnya agar mendapatkan pahala.
2. Jika seorang mukmin mendapatkan musibah, lalu dia ingat akan pahalanya jika bersabar, kemudian mengharapkan pahala terhadapnya, maka dia memperoleh dua faedah; yaitu terhapusnya dosa dan bertambahnya kebaikan. Jika seorang mukmin lupa terhadap keutamaan tersebut, maka musibah itu hanya menghapuskan dosa-dosanya, namun ia tidak memperoleh pahala karena tidak mengharapkan pahala terhadapnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang ketika terkena musibah meskipun hanya tertusuk duri mengharapkan pahala terhadap musibah itu agar memperoleh dua keutamaan itu.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ قَالَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ» قُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ قَالَ: «أَجَلْ، ذَلِكَ كَذَلِكَ، مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى، شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا»
(38) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau menderita demam yang tinggi, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau menderita demam yang tinggi.” Beliau menjawab, “Ya. Sesungguhnya aku menderita demam seperti demamnya dua orang di antara kamu menjadi satu.” Aku berkata, “Berarti engkau memperoleh dua kali lipat pahala?” Beliau menjawab, “Ya, demikianlah. Tidaklah seorang muslim mendapatkan rasa sakit; duri maupun yang lebih dari itu, melainkan Allah akan hapuskan dengannya dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Para nabi adalah manusia yang paling berat ujiannya, karena mereka dikhususkan dengan mencapai kesabaran yang sempurna dan sikap mengharapkan pahala dari Allah, dan karena AllahTa’ala menjadikan mereka sebagai teladan bagi manusia.
2. Disyariatkan menjenguk orang sakit.
3. Setiap kali bertambah musibah dan penyakit yang menimpa seorang hamba, maka semakin besar pahala yang Allah berikan.
4. Keutamaan sabar terhadap penyakit.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ»
(39) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Dia akan memberikan musibah kepadanya (baik pada badannya, hartanya, maupun kekasihnya).” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Musibah merupakan tanda bahwa Allah memberikan kebaikan kepadanya.
2. Seorang mukmin tidak lepas dari cobaan.
3. Musibah merupakan tanda cinta Allah kepada seorang hamba agar derajatnya tinggi dan dosa-dosanya terhapuskan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي "
(40) Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menginginkan kematian karena musibah yang menimpanya. Jika ia harus demikian, maka ucapkanlah, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik buatku, dan wafatkanlah aku jika wafat itu baik buatku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan:
1. Larangan berkeinginan untuk mati, bahkan ia harus bersabar terhadap takdir Allah, meminta afiyah (keselamatan dan kesembuhan) kepada-Nya, dan menyerahkan urusan kepada-Nya. Oleh karena itu, Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang telah mengobati dirinya dengan besi panas sebanyak tujuh kali berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami berdoa meminta mati, tentu aku akan berdoa untuk itu.” (HR. Bukhari)
2. Kehidupan lebih baik bagi seorang mukmin, karena jika ia meninggal dunia, maka akan putuslah amalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
“Janganlah salah seorang di antara kamu berkeinginan untuk mati, jangan pula ia berdoa meminta demikian sebelum tiba waktunya. Hal itu, karena jika salah seorang di antara kamu meninggal dunia, maka akan putuslah amalnya, karena umur bagi seorang mukmin tidak menambahnya selain kebaikan.” (HR. Muslim)
3. Wajibnya bersabar terhadap musibah dan tidak keluh kesah, karena keluh-kesah merupakan sikap tidak menerima takdir Allah.
4. Seorang mukmin menyerahkan urusannya kepada Allah Azza wa Jalla.
عَنْ خَبَّابِ بْنِ الأَرَتِّ، قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الكَعْبَةِ فَقُلْنَا: أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلاَ تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ: «قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ، يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ، فَيُجْعَلُ فِيهَا، فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الحَدِيدِ، مَا دُونَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، فَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللَّهِ لَيَتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرُ، حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ، لاَ يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ، وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ» وفي رواية:"وهُوَ مُتَوسِّدٌ بُرْدةً وقَدْ لقِينَا مِنَ الْمُشْركِين شِدَّةً".
(41) Dari Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau berada di bawah naungan ka’bah sambil meletakkan pakaian burdahnya di bawah kepalanya sebagai bantal. Kami berkata, “Tidakkah engkau memohon pertolongan untuk kami, tidakkah engkau berdoa untuk kami?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian ada yang ditangkap, lalu dibuatkan galian di tanah, kemudian ia dimasukkan ke dalamnya, lalu disiapkan geregaji dan diletakkan di bagian tengah kepalanya sehingga ia terbelah menjadi dua bagian. Selain itu, ia pun disisir dengan sisir besi yang dikenakan di bawah daging dan tulangnya. Semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya. Demi Allah, sesungguhnya agama ini akan sempurna, sehingga seorang yang berkendaraan berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut; tidak ada yang ditakutinya selain Allah, atau karena takut sekiranya ada serigala menerkam kambingnya. Akan tetapi kalian terburu-buru.” (HR. Bukhari. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Ketika itu Beliau meletakkan pakaian burdahnya di bawah kepalanya sebagai bantal, padahal kami telah mendapatkan gangguan yang berat dari kaum musyrik.”)
Fawaid:
1. Terpujinya sikap sabar dalam menerima siksaan di jalan Allah.
2. Beratnya ujian para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan siapnya mereka memikul penderitaan di jalan Allah Azz wa Jalla.
3. Permusuhan terhadap kaum mukmin pengikut para nabi sudah terjadi sejak zaman dahulu.
4. Dibencinya sikap terburu-buru.
5. Masa depan untuk Islam.
عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ حُنَيْنٍ آثَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا فِي الْقِسْمَةِ، فَأَعْطَى الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ، وَأَعْطَى عُيَيْنَةَ مِثْلَ ذَلِكَ، وَأَعْطَى أُنَاسًا مِنْ أَشْرَافِ الْعَرَبِ، وَآثَرَهُمْ يَوْمَئِذٍ فِي الْقِسْمَةِ، فَقَالَ رَجُلٌ: وَاللهِ، إِنَّ هَذِهِ لَقِسْمَةٌ مَا عُدِلَ فِيهَا وَمَا أُرِيدَ فِيهَا وَجْهُ اللهِ، قَالَ فَقُلْتُ: وَاللهِ، لَأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَتَيْتُهُ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ، قَالَ: فَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ حَتَّى كَانَ كَالصِّرْفِ، ثُمَّ قَالَ: «فَمَنْ يَعْدِلُ إِنْ لَمْ يَعْدِلِ اللهُ وَرَسُولُهُ» ، قَالَ: ثُمَّ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ مُوسَى، قَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ» قَالَ قُلْتُ: «لَا جَرَمَ لَا أَرْفَعُ إِلَيْهِ بَعْدَهَا حَدِيثًا»
(42) Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Ketika hari peperangan Hunain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan beberapa orang dalam pembagian (harta ghanimah/rampasan perang). Beliau memberikan Aqra bin Habis seratus ekor unta, memberikan kepada Uyaynah dalam jumlah yang serupa, dan memberikan beberapa orang yang termasuk pemuka bangsa Arab. Ketika itu, Beliau mengutamakan mereka dalam pemberian, lalu ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, pembagian ini tidak ada keadilannya dan tidak dimaksudkan mencari keridhaan Allah.” Aku (Ibnu Mas’ud) berkata, “Demi Allah, saya akan sampaikan pernyataan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Saya pun mendatangi Beliau dan menyampaikan perkataan orang itu kepada Beliau. Maka berubahlah wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga warnah mukanya seperti celupan merah (karena marah), kemudian Beliau bersabda, “Siapakah yang dapat melakukan keadilan jika Allah dan Rasul-Nya tidak bersikap adil?” Selanjutnya Beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa, sesungguhnya ia telah disakiti melebihi hal ini.” Aku (Ibnu Mas’ud) berkata, “Setelah perstiwa ini saya pasti tidak akan menyampaikan lagi pembicaraan apa pun kepada Beliau (karena khawatir membuat Beliau tersakiti).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Seorang imam berhak melebihkan pemberian kepada orang yang jika diberi lebih terdapat maslahat bagi Islam dan kaum muslimin.
2. Termasuk siasat syar’i dalam berdakwah adalah melunakkan hati para pemuka dan tokoh.
3. Pada setiap zaman ada musuh para nabi dan pengikutnya yang selalu mengkritik ajaran para nabi dan menanamkan keraguan di tengah-tengah manusia terhadap ajaran para nabi.
4. Wajibnya bersikap tulus dan setia kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.
5. Sikap seorang da’i saat disakiti baik dengan lisan maupun perbuatan adalah bersabar.
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneladani para nabi sebelumnya.
7. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia, dimana Beliau merasakan seperti yang dirasakan manusia.
8. Manusia yang paling takut kepada Allah dan paling adil adalah para nabi dan rasul ‘alaihimush shalatu wa salam.
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 comments:
Post a Comment