(Syarh Hadits ke-13 Arbain anNawawiyyah)
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri” (H.R alBukhari dan Muslim)
Penjelasan tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Anas bin Malik, kunyahnya (julukannya) adalah Abu Hamzah. Beliau menjadi pembantu Nabi selama 10 tahun. Pada saat Nabi baru datang di Madinah, beliau berusia 10 tahun. Beliau adalah Sahabat Nabi yang terakhir meninggal di Bashrah. Sebagian ulama menyatakan bahwa beliau meninggal di usia 107 tahun.
Beliau pernah didoakan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam : Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya, berilah keberkahan untuknya, panjangkanlah umurnya, dan ampunilah ia (H.R alBukhari dalam Adabil Mufrad)
Harta beliau sangat banyak. Beliau memiliki kebun yang berbuah setahun 2 kali padahal di negeri tersebut tidak ada kebun lain yang demikian. Beliau juga termasuk di antara para Sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Anak-anak beliau sangat banyak. Sebagian riwayat menyatakan bahwa jumlah anaknya adalah 150 orang. 100 meninggal pada saat beliau masih hidup (ketika kedatangan alHajjaj bin Yusuf), sedangkan sisanya 50 orang masih hidup sebelum beliau meninggal dunia.
Abu Hurairah berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang sholatnya paling mirip dengan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dibandingkan putra Ummu Sulaim (Anas bin Malik) (Lihat Ma’rifatus Shohaabah karya Abu Nuaim dan al-Ishobah fii tamyiizis Shohaabah karya Ibnu Hajar).
PENJELASAN HADITS
Hadits ini adalah pedoman utama dalam akhlaq yang mulya. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau suka diperlakukan demikian. Mencintai sesuatu terjadi pada saudara kita sebagaimana kita suka hal itu terjadi pada diri kita. Sikap itu akan menyebabkan iman seseorang menjadi lebih sempurna. Tidak sempurna iman seseorang hingga ia bersikap demikian.
Bahkan, sikap demikian akan mengantarkan seseorang menuju surga. Dalam hadits, Nabi menyatakan kepada Yazid bin Asad:
أَتُحِبُّ الْجَنَّةَ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَأَحِبَّ لِأَخِيكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
Apakah engkau senang (masuk) surga? Yazid menyatakan: Ya. Nabi bersabda: Maka cintailah untuk saudaramu sebagaimana engkau cinta (hal itu terjadi) kepada dirimu (H.R Ahmad, dishahihkan oleh alHakim dan disepakati oleh adz-Dzahaby)
Dalam hadits yang lain Nabi menyatakan:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari an-naar (neraka) dan dimasukkan ke dalam jannah (surga) maka hendaknya datang kematiannya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya ia perlakukan manusia sebagaimana ia suka diperlakukan demikian (H.R Muslim)
Jika engkau suka mendapatkan ilmu, maka inginkanlah agar saudaramu juga memiliki ilmu tersebut. Ibnu Abbas berkata: Jika aku membaca suatu ayat (kemudian memahami maknanya), aku ingin agar semua manusia mengetahui (kandungan ayat tersebut) sebagaimana yang telah kuketahui (Fadhaailul Qur’an karya al-Qosim bin Salaam (1/83))
Jika kita suka mendapatkan pahala, maka kita juga suka agar saudara kita mendapatkan pahala juga. Sebagaimana yang dilakukan oleh Utbah al-Ghulaam, jika beliau akan berbuka puasa dan ada orang yang melihatnya, maka ia berkata : Berikan aku minum dan kurma milik kalian agar aku bisa berbuka dengannya, sehingga kalian bisa mendapatkan pahala (puasa) seperti aku (Jaami’ul Uluum wal Hikam (1/123))
Hadits pada pembahasan ini juga menunjukkan bahwa jika kita tidak suka untuk disakiti atau dizhalimi, maka janganlah menyakiti atau mendzhalimi orang lain.
Jika ada saudara kita yang membutuhkan nasehat, maka kita akan memberikan nasehat terbaik dengan jujur dan ikhlas, bukan dengan memperkirakan kecenderungan pilihan yang diinginkan saudara kita. Kita beri ia arahan ke arah yang terbaik, meski ternyata tidak terlalu ia sukai. Tapi karena kita menginginkan kebaikan untuknya, sebagaimana kita menginginkan kebaikan untuk diri sendiri, maka kita beri masukan yang terbaik untuknya.
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan nasehat kepada Abu Dzar agar ia jangan menjadi pemimpin. Hal itu dikarenakan Nabi memandang beliau sebagai seorang yang lemah sehingga tidak selayaknya menjadi pemimpin. Nabi bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihat engkau adalah seorang yang lemah. Sesungguhnya aku mencintai sesuatu untukmu yang aku cinta itu terjadi padaku. Janganlah sekali-kali engkau menjadi pemimpin bagi 2 orang (apalagi lebih, pen), dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim (H.R Muslim)
Perhatikanlah nasehat Nabi kepada Abu Dzar tersebut. Karena beliau mencintai kebaikan terjadi pada Abu Dzar sebagaimana beliau cinta hal itu terjadi pada diri beliau, maka beliau nasehatkan kepada Abu Dzar untuk jangan pernah menjadi pemimpin. Beliau mengkhawatirkan Abu Dzar tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Meski mungkin beliau amanah, namun beliau lemah.
Menjauhi Hasad
Hasad adalah membenci kenikmatan yang Allah berikan pada seseorang. Seseorang yang menerapkan hadits ini secara benar akan terjauhkan dari sifat hasad. Jika saudaranya mendapatkan nikmat, ia senang dan bersyukur, bukan justru membencinya.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin berdalil dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa hasad adalah dosa besar. Seseorang yang hasad berarti ia tidak mencintai kebaikan untuk orang lain sebagaimana ia mencintai kebaikan itu terjadi pada diri sendiri. Orang yang semacam ini dinyatakan oleh Nabi dengan sebutan : Laa Yu’minu (tidak beriman). Artinya, tidak sempurna keimanannya. Penafian keimanan menunjukkan bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar (Syarh al-Aqiidah as-Saffaariniyyah (1/494) dan Kitabul Ilmi)
Riwayat Lain sebagai Penjelas
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ
Demi Allah yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah (sempurna) berimannya seseorang sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan (H.R anNasaai)
Dalam riwayat anNasaai ini diperjelas bahwa sesuatu yang dicintai itu haruslah berupa kebaikan. Patokan kebaikan adalah dari syariat. Karena itu, hadits ini tidak bisa diterapkan pada segala macam bentuk hal-hal yang dilarang Allah.
Misalkan, tidak bisa seseorang yang suka meminum minuman keras berbagi dengan orang lain dengan alasan : aku suka itu terjadi pada diriku, karena itu aku suka terjadi juga pada saudaraku.
Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
Rujukan :
Jaami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rojab al-Hanbaly
Syarh Arbain anNawawiyyah oleh Syaikh Sholeh Aalusy Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Syaikh Athiyyah bin Muhammad Salim, Syaikh al-Luhaimid
Ma’rifatus Shohaabah karya Abu Nuaim
Al-Ishoobah fii Tamyiizis Shohaabah karya Ibnu Hajar al-Asqolaany
0 comments:
Post a Comment