Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda, “Bertawassullah[1] kalian (kepada Allâh) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allâh sangat agung”
Hadits ini banyak disebarluaskan oleh orang-orang awam yang tidak tahu, padahal hadits ini adalah hadits yang palsu dan didustakan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan tidak ada asal-usulnya dalam kitab-kitab hadits yang menjadi sandaran para Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah.
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh lain, “Jika kalian memohon kepada Allâh Azza wa Jalla maka memohonlah dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allâh sangat agung”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sebagian dari orang-orang yang tidak tahu meriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda… (lafazh hadits di atas). Hadits ini adalah dusta (palsu), tidak tercantum dalam satupun dari kitab-kitab kaum Muslimin yang dijadikan sandaran oleh para Ulama Ahli hadits, bahkan tidak ada seorangpun dari Ulama Ahli hadits yang menyebutkannya.”[2]
Di tempat lain beliau berkata, “Ini adalah hadits yang batil (rusak/palsu), tidak ada seorang Ulamapun yang meriwayatkannya dan tidak tercantum dalam satupun dari kitab-kitab hadits.”[3]
Penjelasan serupa tentang kepalsuan hadits ini juga disebutkan oleh imam Abul Fadhl al-Alusy[4], Syaikh al-Albâni[5], Syaikh Shaleh bin Fauzân al-Fauzân[6], syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[7] dan para Ulama lainnya.
Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ini adalah hadits yang batil (rusak/palsu), tidak ada asal-usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini diriwayatkan (disebarkan) oleh sebagian dari orang-orang yang jahil (bodoh) terhadap sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”[8]
Karena hadits ini adalah hadits yang palsu, maka tidak bisa dijadikan sandaran dan argumentasi untuk membolehkan bertawassul dengan kedudukan (kemuliaan) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maupun orang-orang shaleh lainnya. Bahkan ini termasuk perbuatan bid’ah dan dilarang keras oleh para ulama Ahlus sunnah. Lebih dari itu, jika disertai keyakinan yang rusak maka perbuatan ini bisa membawa kepada kesyirikan (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla).
Imam Abu Hanifah mengingkari dengan keras perbuatan ini dalam ucapan beliau, “Aku membenci (melarang) orang yang memohon kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan (nama-nama dan sifat-sifat)-Nya”[9].
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata, “Tawassul ini adalah bid’ah dan bukan kesyirikan, karena memohon kepada Allâh Azza wa Jalla . Akan tetapi terkadang bisa membawa kepada kesyirikan, yaitu jika orang yang bertawassul itu berkeyakinan bahwa Allâh Azza wa Jalla butuh kepada perantara (untuk mengetahui permintaan makhluk-Nya) sebagaimana seorang pemimpin atau presiden (butuh kepada perantara), (maka ini termasuk syirik atau kafir) karena telah menyerupakan (Allâh Azza wa Jalla ) Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allâh, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [Asy-Syûrâ/42:11][10]
Demikian pula termasuk tawassul yang dilarang keras dalam Islam, adalah Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allâh Azza wa Jalla . Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allâh yang tidak mampu memberikan manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik) [Yûnus/10:106].
Juga termasuk tawassul yang dilarang dalam Islam adalah tawassul dengan hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allâh Azza wa Jalla .
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata, “Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilanpun dari shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani) membenci (mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, “(Ya Allâh), aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu, atau dengan hak baitullah al-haram (ka’bah)”, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak atas Allâh [Lihat kitab “Syarhul Ihyâ‘][11].
Orang-orang yang membolehkan tawassul yang terlarang ini berargumentasi dengan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang di antaranya ada yang shahih, tapi maknanya tidak seperti yang mereka pahami, dan sebagian besarnya adalah hadits-hadist yang sangat lemah dan palsu, seperti hadits di atas[12].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1435H/2014M.]
________
Footnote
[1] Bertawassul kepada Allâh artinya melakukan suatu amalan shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya (lihat kitab Lisânul ‘Arab (11/724).
[2] Majmû’ al-Fatâwâ (1/319).
[3] Majmû’ al-Fatâwâ (1/346).
[4] Dalam tafsir beliau Rûhul Ma’âni (6/127).
[5] Dalam kitab at-Tawassulu, Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 117).
[6] Dalam kitab at-Tauhîd” (hlm. 96).
[7] Dalam kitab Kaifa Nafhamu at-Tawassul (hlm. 12).
[8] Kitab at-Tawassulu, Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 117).
[9] Dinukil dan dikuatkan oleh syaikh al-Albani dalam kitab at-Tawassulu, Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 99).
[10] Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul (hlm. 13).
[11] Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul (hlm. 13).
[12] Lihat penjelasan rinci tentang hadits-hadits tersebut oleh syaikh al-Albani dalam kitab beliau at-Tawassulu, Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 102-133).
Ya benar Allah swt tidak perlu perantara.
ReplyDelete