عَنْ سَهْلِ ابْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أنَّ النَّبيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ»
(57) Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meminta mati syahid kepada Allah Ta’ala dengan jujur, maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para syuhada meskipun ia wafat di atas kasurnya.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan jujur.
2. Kejujuran di hati sebab untuk mencapai tujuan, dan bahwa barang siapa yang berniat melakukan kebaikan, maka dia akan diberi balasan meskipun ia belum mampu, atau telah berusaha namun belum berhasil.
3. Anjuran meminta syahid dan ikhlas di dalamnya, karena seorang hamba akan memperoleh kedudukan tersebut ketika memiliki niat untuk itu dengan jujur.
4. Nikmat besar dari Allah Ta’ala untuk umat ini; Dia memberikan untuk umat ini derajat yang tinggi di surga meskipun amalnya kurang.
5. Para syuhada ada banyak macamnya, di antaranya: orang yang meninggal dunia karena wabah tha’un, para ulama, karena penyakit di perut, karena terbakar, karena tetimpa reruntuhan, karena tenggelam, orang yang terbunuh karena membela harta, jiwa, dan keluarganya, orang yang dibunuh secara zalim, dan orang yang gugur di jalan Allah dalam berperang. Tingkatan syuhada paling tinggi adalah gugur dalam berperang di jalan Allah Azza wa Jalla (lihat Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ قَدْ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ وَلَا آخَرُ قَدْ بَنَى بُنْيَانًا وَلَمَّا يَرْفَعْ سُقُفَهَا وَلَا آخَرُ قَدْ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ مُنْتَظِرٌ وِلَادَهَا قَالَ فَغَزَا فَأَدْنَى لِلْقَرْيَةِ حِينَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ أَنْتِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيَّ شَيْئًا فَحُبِسَتْ عَلَيْهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ فَجَمَعُوا مَا غَنِمُوا فَأَقْبَلَتْ النَّارُ لِتَأْكُلَهُ فَأَبَتْ أَنْ تَطْعَمَهُ فَقَالَ فِيكُمْ غُلُولٌ فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَبَايَعُوهُ فَلَصِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْتُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَبَايَعَتْهُ قَالَ فَلَصِقَتْ بِيَدِ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ أَنْتُمْ غَلَلْتُمْ قَالَ فَأَخْرَجُوا لَهُ مِثْلَ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَوَضَعُوهُ فِي الْمَالِ وَهُوَ بِالصَّعِيدِ فَأَقْبَلَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهُ فَلَمْ تَحِلَّ الْغَنَائِمُ لِأَحَدٍ مِنْ قَبْلِنَا ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَطَيَّبَهَا لَنَا
(58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Ada seorang Nabi di antara Nabi-Nabi Allah yang ingin berperang. Dia berkata kepada kaumnya, 'Tidak boleh ikut bersamaku (dalam peperangan ini) seorang laki-laki yang baru menikah sedangkan ia ingin menggauli istrinya, namun belum sempat menggauli, demikian juga orang yang telah membangun rumah tetapi atapnya belum selesai. Juga orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya.” Maka berangkatlah Nabi itu berjihad, dia sudah berada di dekat daerah yang dia tuju saat tiba shalat Ashar atau hampir tiba, lalu dia berkata kepada matahari, “Wahai matahari! Engkau diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari itu untukku sejenak (agar tidak terbenam).” Maka ditahanlah matahari untuknya sehingga Allah menaklukkan daerah tersebut untuknya. Setelah itu balatentaranya mengumpulkan semua harta rampasan (di sebuah tempat), kemudian ada api yang datang untuk memakannya, namun ia tidak mau melalapnya. Maka Nabi itu berkata, “Di antara kamu ada yang khianat (masih menyimpan sebagian dari harta rampasan). Oleh karena itu, seseorang dari setiap kabilah hendaknya membaiatku,” lalu mereka membaiatnya, tiba-tiba ada seseorang yang tangannya menempel pada tangan Nabi itu, kemudian Nabi itu berkata, “Di antara kalian ada yang berkhianat, maka kabilahmu hendaknya membai’atku,” maka dibai’atlah dia (Nabi tersebut). Tiba-tiba tangan Nabi itu lengket pada tangan dua atau tiga orang di antara mereka, ia berkata, “Di antara kalian ada yang berkhianat. Kalianlah yang berkhianat.” Lalu mereka mengeluarkan emas sebesar kepala sapi. Emas itu kemudian mereka taruh di harta rampasan lain (yang telah dikumpulkan sebelumnya) di sebuah lapangan. Maka datanglah api menyambar dan melalapnya. Harta rampasan tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelum kita, tetapi Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita." (HR. Bukhari dan Muslim).
Fawaid:
1. Nabi yang disebutkan dalam hadits di atas adalah Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihis salam murid Nabi Musa ‘alaihis salam berdasarkan riwayat yang lain.
2. Fitnah dunia mendorong seseorang untuk bersikap tamak dan mengutamakan dunia.
3. Urusan penting hendaknya tidak diserahkan kecuali kepada orang yang siap dan fokus.
4. Imam Al Qurthubi berkata, “Nabi tersebut melarang kaumnya mengikutinya saat berada dalam keadaan seperti ini karena hati orang tersebut bergantung kepadanya, sehingga semangatnya dalam berjihad dan mencari syahid melemah. Bahkan terkadang sikap itu sampai berlebihan sehingga membuatnya enggan berjihad dan berat mengerjakan perbuatan baik.”
5. Adanya mukjizat untuk para nabi ‘alaihimush shalatu was salam.
6. Harta rampasan perang di zaman dahulu dilarang untuk diambil, namun dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Allah menutup aib umat ini dan menyayanginya, berbeda dengan umat-umat terdahulu yang jika terjadi tindakan ghulul atau kemaksiatan, maka Allah akan membuka aibnya.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا»
(59) Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menerangkan apa adanya, maka akan diberkahi jual belinya, tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (cacat), maka akan dicabut keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Adanya khiyar majlis (hak melanjutkan dan membatalkan jual beli selama berada di majlis).
2. Wajibnya menerangkan cacat pada barang dan haramnya menyembunyikan. Jika ada cacat, maka ia berhak khiyar untuk membatalkan jual beli.
3. Berkahnya sebuah amal saleh.
4. Keburukan maksiat, yang ternyata menghilangkan keberkahan.
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 comments:
Post a Comment