Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ – ثَلَاثًا- قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Hârits Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” –Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tiga kali–. Kami (para Shahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh dan durhaka kepada kedua orang tua.”Awalnya Beliau bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.” Nabi selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau diam.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 2654, 5976, 6273, 6274, 6919) dan dalam al-Adabul Mufrad (no. 15); Muslim (no. 87); Ahmad (V/36, 37, 38); At-Tirmidzi (no. 1901, 2301, 3019) dan dalam asy-Syamâ`il Muhammadiyyah (no. 131); Al-Bazzar (no. 3630); dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/121).

KOSA KATA HADITS

قَوْلُ الزُّوْرِ : Berkata bohong. 
شَهَادَةُ الزُّوْرِ : Bersaksi dengan saksi palsu dan kebohongan. 

SYARH HADITS

Hadits ini menjelaskan tentang dosa-dosa besar yang paling besar, di antaranya; syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua dan berkata bohong serta saksi palsu.

PERTAMA : PERBUATAN SYIRIK

Syirik kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar. Syirik merupakan kezhaliman terbesar, dosa besar yang tidak diampuni oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu, kita harus menjauhi dan menjaga diri serta keluarga agar tidak terjatuh dalam perbuatan syirik. Mengetahui dan memahami tentang syirik dan berbagai macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhinya.

Syirik adalah menyamakan selain Allâh Azza wa Jalla dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah serta Asmâ dan Sifat-Nya.[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam Rubûbiyyah, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allâh yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

Katakanlah (Muhammad): ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allâh! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’”[Saba’/34:22]

Kedua,syirik dalam ulûhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allâh, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah.”[2]

Umumnya yang dilakukan orang adalah menyekutukan dalam uluhiyyah Allâh, yaitu dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allâh, seperti berdo’a kepada selain Allâh di samping berdo’a kepada Allâh, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.

Oleh karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allâh berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqmân/31:13]

Syirik (menyekutukan Allâh) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia menyamakan makhluk dengan al-Khâliq (Pencipta) dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allâh dengan sesuatu, maka ia telah menyamakan sesuatu itu dengan Allâh dan ini sebesar-besar kezhaliman. Perbuatan zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[3]

Diantara contoh perbuatan syirik adalah beribadah kepada selain Allâh atau (berdo’a) kepada orang yang sudah mati, baik itu Nabi, wali, maupun yang lainnya.

Berdo’a (memohon) kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berdo’a meminta suatu hajat, isti’ânah (minta tolong), istighâtsah (minta tolong di saat sulit), meminta rezeki, kesembuhan dan lain-lain kepada orang mati, baik itu kepada Nabi, wali, habib, kyai, jin maupun kuburan keramat atau kepada pohon dan lainnya selain Allâh adalah syirik akbar (syirik besar).

Istighâtsah[4] atau berdo’a kepada selain Allâh adalah syirik besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan janganlah engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allâh, sebab jika engkau lakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zhalim. Dan jika Allâh menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allâh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Yûnus/10:106-107]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allâh itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu dari Allâh, dan beribadahlah kepada-Nya dan bersyukurlah kepada-Nya”. [Al-‘Ankabût/29: 17]

Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain: 
Meminta maslahat atau dijauhkan dari mudharat (bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka. 
Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin. 
Mempercayai jimat, tongkat, keris, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya. 
Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain. 

Akibat Orang Yang Berbuat Syirik Yaitu: 
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala di atas [An-Nisaa’/4: 116] 
Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya. 
Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad n . 
Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk masuk surga, sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Mâidah ayat ke-72 
Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal kebajikan yang pernah dia lakukan, sebagaiman firman Allâh dalam Surat al-An’âm ayat ke-88 

KEDUA : BERBUAT DURHAKA KEPADA ORANG TUA

Kemudian dosa besar yang paling besar yang kedua adalah uqûqul wâlidain (durhaka kepada kedua orang tua). Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa di antara dosa-dosa besar yaitu menyekutukan Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri, dan sumpah palsu.[5]

Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya:”Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu jangan-lah kamu beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di dalam pemeliharaan-mu maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya.Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang baik”. [Al-Isrâ’/17:23]

Juga firman-Nya, yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu, maka Aku beritahukan kepada-mu apa yang telah kamu kerjakan.”[Luqmân/31:14-15]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتٍ وَوَأْدَالْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،وَإِضَاعَةَ الْمَالِ.

Sesungguhnya Allâh mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, minta sesuatu yang bukan haknya, mengubur anak hidup-hidup.Dan Allâh membenci atas kalian banyak bicara, banyak bertanya, memboroskan harta(menghambur-hamburkan harta).[6]

Hadits ini adalah salah satu hadits yang melarang berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Seorang anak yang berbuat durhaka tidak akan masuk surga, sebagaimana hadits dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْـجَنَّـةَ عَاقٌّ وَلَا مُدْمِنُ خَـمْرٍ وَلَا مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ.

Tidak masuk surga anak yang durhaka, pecandu khamr (minuman keras), dan orang yang mendustakan takdir.[7]

Di antara Bentuk Durhaka (‘Uquq) Adalah: 
Menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan orang tua, baik dengan perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati. 
Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang 
Membentak atau menghardik orang tua. 
Melaknat dan mencaci kedua orang tua, secara langsung atau tidak langsung. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, Apakah ada orang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ya, ia mencaci ayah orang lain, maka orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[8]
Bakhil (pelit), tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat mem Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan. 
Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain. 
Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika ‘si Ibu’ melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih. 
Menyebutkan kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua. 
Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, menghisap rokok, dll. 
Lebih taat kepada istri daripada kepada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya, na’udzubillaah. 
Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya mening Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista. 


Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam berkata dan berbuat kepada orang tua kita.


Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia oleh anak yang durhaka. Dari Shahabat Abu Bakrah Radhiyallahu anhu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِـي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِـي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِوَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ .


Tidak ada dosa yang Allâh cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia ini di samping adzab yang telah disediakannya di akhirat daripada berlaku zhalim dan memutuskan silaturahim.[9]

Dalam hadits lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَابَانِ مُعَجَّلَانِ عُقُوْبَتُهُمَا فِـي الدُّنْيَا: اَلْبَغْيُ وَالْعُقُوْقُ.

Dua perbuatan dosa yang Allâh cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia: berbuat zhalim dan al-‘uquq (durhaka kepada orang tua [10]

Keridhaan orang tua harus kita dahulukan daripada keridhaan istri dan anak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa anak yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak akan masuk surga dan Allâh Azza wa Jalla tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.

KETIGA : BERDUSTA

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dosa besar yang paling besar yang ketiga, yaitu sabda Nabi, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.”

Dusta atau bohong merupakan dosa besar karena dusta adalah keburukan dan kejahatan. Dusta tidak ada manfaatnya, bahkan merusak agama dan kepribadian seorang Muslim. Dusta menunjukkan rendahnya kepribadian seseorang dan kehinaan dirinya. Dusta selalu memutarbalikkan fakta, yang tidak ada seolah-olah ada, yang haq dikatakan batil, yang batil dikatakan benar, yang baik dikatakan jelek, yang jelek jadi baik, dan lainnya. Dusta membohongi diri sendiri dan orang lain. Dusta merupakan sifat orang munafik dan membawa kepada kejahatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyebutkan ciri-ciri orang munafik, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia menyelisihinya, dan jika diberi amanah ia khianat.[11]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ،فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَايَزَال ُالرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّابًا

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).[12]

Zaman sekarang ini, banyak orang yang begitu mudah berkata dusta dan bersaksi palsu, ia menyangka bahwa dirinya telah berbuat baik kepada orang yang dia bela, tetapi tidak, sebaliknya dia telah berbuat buruk kepada dirinya, kepada orang yang dia bela, dan orang yang dituduh.

Adapun keburukan terhadap dirinya yaitu dia telah berbuat dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-. Perbuatan buruk kepada orang yang dia bela yaitu karena dia menimpakan persaksian kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Sedangkan perbuatan buruk kepada orang yang dituduhnya, maka sudah jelas, dia telah berbuat zhalim dan melampaui batas terhadapnya.Karena inilah, persaksian palsu merupakan dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-.

Janganlah engkau menyangka telah berbuat baik jika engkau bersaksi untuk seseorang dengan saksi palsu. Demi Allâh, engkau hanya berbuat buruk kepadanya. Sayangnya, zaman sekarang ini banyak sekali orang-orang yang bersaksi di pengadilan bahwa si fulan yang berhak, padahal dia berdusta, dan menggunakan nama-nama yang tidak benar. Tujuannya mereka adalah dunia, tetapi akhirnya mereka rugi di dunia dan di akhirat, wal ‘iyâdzu billâh.

Maka wajib bagi orang yang berakal agar berhati-hati dari empat perkara ini, yaitu: Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, berkata bohong, dan bersaksi palsu.[13]

FAWAA-ID: 

Dosa itu bervariasi tingkatannya, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. 
Dosa-dosa besar banyak sekali disebutkan dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahih. 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini tentang dosa-dosa besar yang paling besar. 
Dosa terbagi menjadi dosa besar yang paling besar, dosa-dosa besar, dan dosa kecil. 
Dosa yang paling besar adalah syirik (menyekutukan Allâh dengan makhluk-Nya). Syirik adalah kezhaliman yang paling besar. 
Ancaman yang keras terhadap perbuatan syirik, durhaka kepada kedua orang tua, berbohong, dan sumpah palsu. 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang dosa-dosa besar ini agar manusia berhati-hati, jangan sampai melakukan dosa-dosa tersebut. 
Tiga dosar yang paling besar ini bila dilakukan oleh manusia, maka akan membawa malapetaka yang besar di dunia dan akhirat. 
Kecintaan para shahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada diri mereka ada (sikap) rasa takut seorang murid kepada gurunya jika dia melihat gurunya tidak berkenan dan dia berharap agar gurunya itu tidak marah. 
Disunnahkan untuk mengulang-ulang ucapan dan nasehat sampai tiga kali agar dapat difahami. 
Disunnahkan untuk bersikap serius bagi pemberi nasehat dalam menyampaikan nasehatnya atau penceramah dalam menyampaikan ceramahnya, agar hal itu bisa lebih menyentuh kesadaran dan tepat untuk mencegah perbuatan yang dilarang. 
Dibolehkan bagi seorang guru atau pengajar untuk memulai mengajukan pertanyaan kepada anak didiknya. 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sayang kepada ummatnya dengan menjelaskan perkara-perkara yang haram dan dosa-dosa besar yang paling besar, agar manusia menjauhkan dosa-dosa tersebut. 


MARAAJI’: 

Kutubussittah 
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. 
Al-Adabul Mufrad, Imam al-Bukhâ 
Sunan al-Baihaqi. 
Ad-Dâ` wad Dawâ`, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid. 
Iqtidhâ`us Shirâthil Mustaqîm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 
Al-Ushûl ats-Tsalâtsah, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. 
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. 
Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali. 
Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. 
Prinsip Dasar Islam, cet. XIII, Pustaka at-Taqwa. 
Do’a dan Wirid, cet. XXVI, Pustaka Imam asy-Syafi’i. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M.]
_______

Footnote

[1] Lihat ad-Dâ’ wad Dawâ’ (hlm. 198) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.

[2] Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm (II/226) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[3] Lihat ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 74) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan.

[4] Istighâtsah adalah meminta pertolongan kepada Allâh ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.

[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6675) dan Muslim (no. 88 [144]).

[6] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5975) dan Muslim (no. 1715 (12)).

[7] Hasan: HR. Ahmad (VI/441) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 675).

[8] Shahih: HR. Al-Bukhâri (5973) dan Muslim (no. 90 (146)). Ini lafazh Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma.

[9] Shahih: HR. Al-Bukhâri dalam Al-Adabul Mufrad (Shahîh al-Adabul Mufrad(no. 23)), Abu Dawud (no. 4902), at-Tirmidzi (no. 2511), Ibnu Majah (no. 4211), Ahmad (V/36, 38), al-Hâkim (II/356 dan IV/162-163). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih,” al-Hakim berkata, “Shahih sanadnya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[10] Shahih: HR. Al-Hâkim (IV/177) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1120).

[11] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 33) dan Muslim (no. 59 (107)).

[12] Ahmad (I/384), Al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386), Muslim (no. 2607 (105)), Abu Dawud (no. 4989), At-Tirmidzi (no. 1971), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/424-425, no. 25991), Ibnu Hibban (no. 272-273-at-Ta’lîqâtul Hisaan), Al-Baihaqi (X/196),Al-Baghawi (no. 3574) dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

[13]Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh al-‘Utsaimin (III/207).

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top