34 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
34. Dari Abu Hurairah , Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka hendaklah beristintsar tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam di dalam khaisyum (lubang hidung)nya.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 3295, Muslim 238]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, (baik pada waktu malam maupun siang hari) maka hendaklah beristintsar tiga kali, (dalam Al Qamus, istantsar artinya menghirup air ke dalam hidung, kemudian menghembuskannya. Terkadang dalam satu hadits disebutkan keduanya, maka jika demikian istantsar artinya menghembuskan air dari hidung dan istinsyaq artinya menghirup air ke dalam hidung) karena sesungguhnya setan bermalam di dalam khaisyum (lubang hidung)nya.” (yaitu bagian hidung paling atas, ada yang mengatakan hidung secara keseluruhannya, yang lain mengatakan tulang tipis tapi lunak pada ujung hidung yang terdapat antara hidung dan otak)
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil wajibnya ber-istintsar ketika bangun tidur secara mutlak, tetapi dalam riwayat Al Bukhari,
«إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ......»
“Apabila salah seorang kamu bangun dari tidurnya lalu berwudhu, maka hendaklah beristintsar tiga kali karena sesungguhnya setan......”
Maka di sini ia membatasi perintah mutlak tadi dengan perintah berwudhu, dan membatasi bangun tidur dengan tidur di malam hari, sebagaimana dijelaskan oleh lafazh ’yabiitu’ sebab lafazh tersebut berlaku secara umum, maka tidak ada perbedaan antara tidur pada waktu malam dan siang.
Hadits tersebut juga termasuk di antara dalil bagi yang berpendapat wajibnya istintsar tanpa berkumur-kumur, yaitu pendapat Ahmad dan Jama’ah. sedang jumhur berkata, ‘Tidak wajib’, tetapi perintah tersebut menunjukkan sunnah, mereka berdasarkan dalil sabda rasl terhadap Arab Badui:
تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَك اللَّهُ
“Berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.”
[shahih: shahih At Tirmidzi 302]
Lalu beliau menjelaskan kepada orang Arab Badui tersebut dalam sabdanya:
لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدٍ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ رَأْسَهُ وَرِجْلَيْهِ إلَى الْكَعْبَيْنِ
“Tidak sempurna shalat salah seorang kamu hingga ia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah, ia membasuh wajah dan kedua tangannya hingga kedua siku, dan mengusap kepala dan mencuci kedua kaki hingga mata kaki.”
[Shahih: shahih Abu Daud 858]
Sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Daud dari hadits Rifa’ah, dan karena telah ditegaskan dalam riwayat sifat wudhu beliau dari hadits Abdullah bin Zaid, Utsman dan Abdullah bin Amr bin Ash bahwa keduanya tidak disebutkan, meski wudhu beliau telah sempurna, juga keduanya disebutkan dan itu adalah dalam sunnah.
Berkenaan dengan sabda beliau, “Setan bermalam”, Al Qadhi Iyad berkata, “Boleh jadi mengandung makna sebenarnya, sebab hidung adalah salah satu saluran tubuh yang sampai ke hati dengan penciuman, dan tidak ada satupun dari saluran tubuh yang memiliki katup kecuali hidung dan telinga.”
Disebutkan dalam hadits:
«إنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ غَلَقًا»
“Sesungguhnya setan tidak dapat membuka penutup tersebut.”
[Shahih: Al Bukhari 3304, Muslim 2012]
Dan disebutkan dalam hadits perintah menutup mulut ketika menguap agar setan tidak masuk ke dalam mulut pada saat itu.
[Shahih: Muslim 2994]
Juga mengandung makna istiarah, karena debu yang menjadi basah dalam hidung adalah kotoran yang sama dengan setan. Saya katakan bahwa yang pertama lebih kuat.
=================
=================
Kandungan Hadits :
Hadits ini menunjukan adanya anjuran istintsaar ( mengeluarkan air yang dimasukan ke dalam hidung ), karena ia diungkapkan dalam bentuk kalimat irsyaad( petunjuk / nasihat ). Anjuran istintsaar ini dengan sendirinya juga anjuran untuk memasukan air ke dalam hidung ( istinyaaq ).
Anjuran di atas terbatas hanya pada saat bangun tidur malam ( bukan tidur siang ). Kesimpulan ini diperoleh dari kata ” yabiit ” dalam hadits. Kata ini hanya berlaku untuk tidur malam. Karena tidur malam tidur yang paling banyak memakan waktu.
Pada hadits ini, alasan istintsaar adalah adanya syetan yang bermalam di batang hidung.
Melindungi diri dari syetan karena ia akan selalu berusaha masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara. Ia dapat berjalan melalui aliran darah dan berusaha menyesatkan ibadah manusia. Untuk itu manusia selalu dikepung oleh mereka. Orang yang terlindung adalah orang yang dijaga oleh Allah dan meminta tolong ( perlindungan ) kepada Allah dari keburukan mereka.
Hal-hal yang bersifat sama’i ( wahyu ) harus diyakini oleh seorang mukmin apa adanya, meskipun dia tidak tahu bagaimana hal itu terjadi.
=========
Fawaid hadits:
1. Wajibnya istintsar setelah bangun dari tidur. Dan sabda Nabi: bermalam, menunjukkan bahwa ini utk tidur malam.
2. Illatnya adalah bahwa Syetan bermalam di lubang hidung manusia.
3. Wajibnya melindungi diri kita dari syetan.
4. Kewajiban seorang muslim mengimani perkara yg gaib yang ditunjukkan oleh dalil, walaupun akal kita tidak bisa merekanya.
=========
35 - وَعَنْهُ «إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ
نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا،
فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ
مُسْلِمٍ
35. Dan darinya ‘apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana posisi tangannya saat tidur.’ (Muttafaq alaih dan ini lafazh Muslim)
[Shahih: Al Bukhari 162, Muslim
278]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
apabila salah seorang dari kalian bangun
dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya (tidak termasuk
dalam kategori ini jika memasukkan tangan dengan timba untuk mengambil air, hal
itu boleh sebab tidak termasuk memasukkan tangan, diriwayatkan dengan lafazh,
‘Janganlah memasukkan’ tetapi yang dimaksud adalah memasukkan tangan ke
dalam air, bukan mengambil) ke dalam bejana (tidak
termasuk kolam) sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia
tidak tahu di mana posisi tangannya saat tidur.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan wajibnya mencuci tangan bagi yang
bangun dari tidur, baik malam ataupun siang. Dan yang mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah tidur di malam hari adalah Imam Ahmad, berdasarkan sabdanya
baatat (tidur malam), ini adalah qarinah (indikasi) maksudnya tidur pada
malah hari –sebagaimana telah disebutkan- tetapi diriwayatkan dengan lafazh:
إِذَا قَامَ
أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ....
‘apabila salah seorang kamu bangun tidur di waktu
malam..’
[Shahih: Shahih Abu Daud
103]
Menurut Abu Daud dan At Tirmidzi dari jalur lain yang shahih,
tetapi dapat dibantah bahwa keterangannya menunjukkan dimasukkannya tidur pada
siang hari dengan tidur pada waktu malam.
Yang lainnya berpendapat –yaitu Asy-Syafi'i, Malik dan yang
lainnya – bahwa perintah dalam riwayat, ‘Maka hendaklah ia mencucinya’
menunjukkan sunnah, dan larangan dalam riwayat ini adalah menunjukkan makruh.
Qarinahnya adalah disebutkannya jumlah. Karena penyebutan pada najis yang tidak
ada bendanya adalah dalil sunnah. Juga menjelaskan sesuatu perintah yang
menimbulkan keraguan, dan keraguan tidak menunjukkan wajib dalam hukum ini. oleh
karenanya, tetap mengacu pada hukum asal, yaitu suci.
Kemakruhan itu tidak dapat dihilangkan tanpa mencucinya tiga
kali. Ini berlaku bagi yang bangun tidur. Adapun bagi yang hendak berwudhu
tetapi tidak bangun dari tidur maka dianjurkan baginya berdasarkan hadits yang
telah disebutkan pada sifat wudhu. Tidak makruh jika ditinggalkan, lantaran
tidak adanya dalil yang melarangnya.
Jumhur berpendapat bahwa larangan dan perintah tersebut
karena kemungkinan adanya najis di tangan. Dan jika seseorang mengetahui di mana
posisi tangannya saat tidur, seperti orang yang membalut tangannya dengan kain
lalu ia bangun dalam kondisi yang sama, maka tidak dimakruhkan baginya
memasukkan tangannya meskipun disunnahkan mencucinya sebagaimana yang bangun
tidur. Yang lainnya mengatakan perintah mencuci adalah taabudi, maka
tidak ada perbedaan antara yang ragu dengan yang yakin. Dan pendapat mereka ini
lebih kuat, sebagaimana yang telah berlalu
=======
Fawaid hadits:
=======
Kandungan hadits :
. Kewajiban mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali setelah bangun dari tidur malam. Dengan demikian sekali cuci atau dua kali cuci tidak dianggap cukup.
. Hadits ini melarang mencelupkan kedua tangan sebelum mencucinya terlebih dahulu sebanyak tiga kali. Namun, jika ia hanya mencuci salah satu tangan saja dan tidak mencuci tangannya yang lain, maka ia dapat mencelupkan tangan yang satu tersebut.
. Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama berpendapat air yang telah dimasuki tangan yang belum di cuci tidak lagi mensucikan. Hukum air tersebut menjadi suci dan tidak mensucikan. Namun, pendapat ini bukan pendapat yang kuat. Pendapat yang kuat mengatakan hukum sir tersebut tetap menyucikan, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa air tidak dihukumi najis kecuali saat salah satu sifatnya berubah karena suatu najis.
. Hadits ini memberi anjuran bahwa bertindak hati-hati berkaitan dengan masalah ibadah lebih diutamakan, selama tindakan tersebut tidak sampe keluar menuju peringkat was-was.
. Disunnahkan penggunaan ungkapan kiasan untuk hal-hal yang malu diungkapkan spa adanya dengan syarat ungkapan kiasan tersebut dapat dipahami.
==============Fawaid hadits:
1. Wajibnya mencuci tangan tiga kali setelah bangun tidur, dan ini adalah madzhab imam Ahmad.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa ini berlaku untuk semua tidur, baik di waktu siang maupun malam. Sedangkan imam Ahmad memandang khusus tidur malam saja, berdasarkan lafadz: “dimana tangannya menginap”.
3. Larangan memasukkan tangan ke bejana setelah bangun tidur sampai dicuci dulu tiga kali.
4. Illat perintah mencuci tangan ini adalah mulamasatu syaithan (menyentuh syetan) sebagaimana yang dikatakan oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah. Bukan karena najisnya tangan.
============
36 - وَعَنْ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ، - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - «أَسْبِغْ الْوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي
الِاسْتِنْشَاقِ، إلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ،
وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَلِأَبِي دَاوُد فِي رِوَايَةٍ «إذَا تَوَضَّأْت
فَمَضْمِضْ»
36. Dari Laqith bin Shabirah , ia berkata Rasulullah bersabda: “Sempurnakanlah wudhu, dan sela-selalah antara jari jemari, dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq, kecuali bila engkau sedang berpuasa.” (HR. Imam yang empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
[shahih: Shahih Al Jami'
927]
Dan Abu Daud dalam satu riwayat: “apabila engkau berwudhu
maka berkumur-kumurlah.”
[shahih: Abu Daud
144]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Laqith adalah Ibnu Amir Ibnu Shabirah, julukannya Abu Razin –
sebagaimana dikatakan Ibnu Abdil Barr – seorang shahabat yang sangat masyhur,
termasuk penduduk Thaif.
Penjelasan Kalimat
Sempurnakanlah wudhu, ( Al
Isbagh yaitu menyempurnakan (membasuh) seluruh anggota wudhu) dan sela-selalah antara jari jemari, (yang dimaksudkan
adalah jari-jari kedua tangan dan kaki, dan telah disebutkan dengan jelas dalam
hadits Ibnu Abbas: “jika engkau berwudhu, maka sela-selalah ruas jari kedua
tangan dan kakimu.” [Shahih: Shahih Al Jami' 452],
akan disebutkan perawinya sebentar lagi) dan
bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq, kecuali bila engkau sedang
berpuasa.
Dan Abu Daud dalam satu riwayat: “apabila engkau berwudhu
maka berkumur-kumurlah.” Juga dikeluarkan oleh Ahmad, Asy-Syafi'i, Ibnu al
Jarud, Ibnu Hibban, Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan
Al Baghawi serta Al Qaththan.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan wajibnya menyempurnakan wudhu,
yaitu membasuh atau mengusap seluruh anggota wudhu. Dalam Al Qamus, lafazh
‘asbagha al wudhu’ yakni meratakan air dan menyempurnakan hak setiap anggota
wudhu. Membasuh tiga kali pada anggota wudhu tidak diwajibkan, tetapi hanya
sunnah. Tidak boleh lebih dari tiga kali. Maka jika ragu apakah telah mencuci
anggota wudhu dua kali atau tiga kali, hendaknya dihitung membasuhnya dua
kali.
Al-Juwaini berkata, “Mengerjakan wudhu hanya tiga kali dan
tidak boleh melebihkannya, karena dikhawatirkan melakukan bid'ah.”
Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia mencuci
kakinya tujuh kali, maka perbuatan shahabat tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah, dan hal itu dapat dipahami bahwa ia mencuci najis empat kali yang tidak
dapat hilang melainkan dengan jumlah tersebut, dan juga dalil atas wajibnya
menyela-nyela ruas jari.
Telah ditegaskan pula dalam hadits Ibnu Abbas sebagai telah
disebutkan yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Al Hakim
dan dihasankan Al Bukhari.
Adapun cara meratakan air pada anggota wudhu adalah
menyela-nyela bagian yang dibasuh dengan jari kelingking tangan kiri. Ini tidak
terdapat dalam nash, hanya saja Al Ghazali berkata, “dilakukannya dengan tangan
kiri diqiyaskan atas istinja”, dan dimulai dengan bagian bawah jari. Abu Daud
dan At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Al Mustaurid bin Syaddad:
«رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا تَوَضَّأَ يُدَلِّكُ بِخِنْصَرِهِ مَا بَيْنَ أَصَابِعِ
رِجْلَيْهِ»
“Aku melihat Rasulullah jika berwudhu beliau menggosok ruas jari-jari kakinya dengan jari kelingkingnya.”
[Shahih: At Tirmidzi
40]
Dalam lafazh lain Ibnu Majah (يُخَلِّلُ)
menyela-nyela sebagai ganti dari (يُدَلِّكُ)
menggosok.
Hadits tersebut menunjukkan perintah untuk bersungguh-sungguh
dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) bagi yang tidak
berpuasa, namun tidak dianjurkannya bagi yang sedang berpuasa agar air tidak
turun ke tenggorokannya yang dapat merusak puasanya. Hal itu menunjukkan bahwa
mubalaghah (bersungguh-sungguh) tidak wajib, sebab seandainya wajib,
nisacaya tidak diperbolehkan meninggalkannya.
Sabda beliau dalam riwayat Abu Daud, “Jika engkau berwudhu
maka berkumur-kumurlah”, dijadikan dalil wajibnya berkumur-kumur. Bagi yang
berpendapat bahwa berkumur-kumur tidak wajib, ia menjadikannya Sunnah dengan
indikasi yang telah disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi mengenai perintah
Rasulullah terhadap Arab Badui berkenaan dengan tata cara wudhu, yang shalat
tidak sah tanpa dengannya. Dalam tata cara wudhu tersebut tidak disebutkan
kumur-kumur dan istinsyaq.
=============
Fawaid hadits:
=============
Fawaid hadits:
1. Wajibnya menyempurnakan wudlu.
2. Ditekankannya menyela-nyelai jari jemari, bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya. Namun jumhur menganggapnya sunnah, karena bila air telah mengalirinya itu sudah mencukupi, dan selebihnya adalah sunnah.
3. Disunnahkannya bersungguh-sungguh dalam istinsyaq, kecuali bila kita sedang puasa.
4. Wajibnya berkumur-kumur, karena ia adalah bagian wajah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya, dan asal perintah adalah wajib.
0 comments:
Post a Comment