عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا؟ قَالَ: «سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ»
(52) Dari Usaid bin Khudhair radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada salah seorang Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengangkatku sebagai pegawai sebagaimana engkau mengangkat si fulan?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau akan menemui sikap mementingkan diri sendiri setelahku, maka bersabarlah sampai engkau menemuiku di telaga (pada hari Kiamat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Tidak boleh meminta jabatan, dan bahwa orang yang memintanya tidak diberikan.
2. Perintah bersabar terhadap kezaliman penguasa dan tidak keluar memberontak kepadanya.
3. Keutamaan kaum Anshar, karena mereka termasuk orang-orang yang mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana umat manusia pada saat itu merasakan kehausan dan penderitaan yang luar biasa.
4. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (2/293) berkata, “Perhatikanlah rahasia takdir. Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui menakdirkan sikap mementingkan diri sendiri kepada manusia yang lain tidak kepada kaum Anshar yang merupakan kaum yang mengutamakan orang lain. Yang demikian agar Dia membalas mereka karena sikap mereka mengutamakan orang lain di dunia dengan balasan berupa tempat-tempat yang tinggi di surga Adn di atas manusia yang lain. Ketika itu, tampak jelas keutamaan sikap mereka mengutamakan orang lain dan kedudukannya, sehingga orang-orang yang mementingkan diri sendiri dalam urusan dunia iri terhadap mereka. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki, dan Allah memiliki karunia yang besar. Jika engkau lihat manusia lebih mementingkan dirinya daripada dirimu padahal engkau telah mengutamakan mereka, maka ketahuilah bahwa yang demikian karena kebaikan yang diinginkan untukmu, dan Allah Subhaanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي بَعْضِ أَيَّامِهِ الَّتِي لَقِيَ فِيهَا الْعَدُوَّ، يَنْتَظِرُ حَتَّى إِذَا مَالَتِ الشَّمْسُ قَامَ فِيهِمْ، فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، وَاسْأَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ» ، ثُمَّ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: «اللهُمَّ، مُنْزِلَ الْكِتَابِ، وَمُجْرِيَ السَّحَابِ، وَهَازِمَ الْأَحْزَابِ، اهْزِمْهُمْ، وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ»
(53) Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertemu musuh pada salah satu perangnya, maka Beliau menahan diri, sehingga ketika matahari telah tergelincir, maka Beliau berdiri di tengah-tengah mereka (para sahabat) dan bersabda, “Wahai manusia! Janganlah berangan-angan ingin bertemu musuh dan mintalah kepada Allah keselamatan. Jika kalian ternyata bertemu mereka, maka bersabarlah. Ketahuiah, bahwa surga berada di bawah naungan pedang.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab, menjalankan awan, dan mengalahkan pasukan bersekutu. Kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Persiapan untuk berjihad. Hal ini mencakup persiapan lahir (fisik dan senjata) dan batin (akidah yang kuat), keluar menghadapi musuh, dan menghadap Allah dengan berdoa, setelah sebelumnya meninggalkan maksiat dan bertaubat secara murni.
2. Anjuran berdoa pada suasana genting, terutama pada situasi berhadapannya dua pasukan, karena keadaan ini merupakan keadaan dan tempat dikabulkannya doa.
3. Sayangnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya.
4. Tidak bersandar kepada kekuatan lahiriah, tetapi bersandar dan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
5. Bersabar ketika berhadapan dengan musuh.
6. Memberikan pesan kepada para mujahid fi sabililah sebelum berperang.
7. Anjuran bertawassul dalam berdoa menggunakan Asma’ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
8. Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah membeli jiwa dan harta orang mukmin dan membalas mereka dengan surga.
9. Larangan berangan-angan bertemu musuh.
10. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan jawami’ul kalim(kalimat ringkas namun padat maknanya) seperti dalam doa di atas, Beliau berdoa dengan menyebutkan nikmat diturunkan kitab sehingga tercapai nikmat akhirat, nikmat dijalankan awan sehingga diperoleh nikmat duniawi berupa rezeki, dan nikmat dikalahkannya musuh yang sekutu sehingga diperoleh kedua nikmat itu.
Wabillahit taufiq
BAB: KEJUJURAN
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119)
وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
“Dan orang-orang yang jujur; laki-laki dan perempuan.” (QS. Al Ahzab: 35)
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَىالْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
(54) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran membawa seeorang kepada kebaikan dan kebaikan membawa seseorang ke surga, dan jika seseorang selalu berlaku jujur dan terus memilih kejujuran hingga nantinya dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiq (sangat jujur). Jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta membawa seseorang kepada perbuatan jahat dan perbuatan jahat membawa seseorang ke neraka, dan jika seseorang senantasa berkata dusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai Kadzdzaab (pendusta).” (HR. Bukhari-Muslim)
Fawaid:
1. Dorongan berkata jujur, karena yang demikian merupakan sebab memperoleh kebaikan dan surga.
2. Peringatan terhadap dusta, karena yang demikian merupakan sebab yang mengantarkan seseorang kepada keburukan dan neraka.
3. Barang siapa yang berlaku jujur dan mengedepankannya, maka kejujuran akan menjadi tabiatnya, dan barang siapa yang berlaku dusta dan mengedepankannya, maka kedustaan akan menjadi tabiatnya.
4. Barang siapa yang dikenal dengan sebuah sikap, maka orang tersebut  bisa disifati dengannya.
5. Akhlak utama dimiliki dengan cara membiasakan diri dan melatihnya (muktasabah), meskipun di antara manusia ada yang diberikan Allah akhlak yang mulia yang menjadi tabiatnya (ghariziyyah) sejak awal.
6. Amal saleh mengantarkan ke surga, sedangkan amal buruk mengantarkan ke neraka.
عَنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ»
(55) Dari Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku hapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits, yaitu,“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan, dan dusta adalah kegelisahan.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits shahih.”)
Maksud hadits di atas adalah tinggalkanlah apa yang meragukanmu tentang kehalalannya dan beralihlah kepada yang tidak meragukanmu.
Fawaid:
1. Termasuk sikap wara’ (hati-hati) adalah tidak masuk ke dalam lingkaran syubhat (yang belum jelas kehalalannya). Dan barang siapa yang menjaga dirinya dari syubhat, maka berarti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.
2. Kembali kepada hati yang bersih dan jiwa yang suci saat terjadi kesamaran, karena jiwa seorang mukmin terbentuk di atas tenang kepada kehalalan dan kejujuran, dan gelisah terhadap sesuatu yang belum jelas dan dusta.
3. Seorang muslim hendaknya mendasari perkaranya di atas hal yang yakin dan hendaknya ia berada di atas ilmu dalam agamanya.
عَنْ أَبِي سُفْيَانَ صَخْرِ بْنِ حَرْبٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ فِي قِصَّةِ هِرَقْلَ ، قَالَ هِرَقْلُ: فَمَاذَا يَأَمُرُكُمْ - يَعْنِي: النَّبيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ: قُلْتُ: يَقُوْلُ: «اعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ لاَ تُشْرِكوُا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاةِ، وَالصِّدْقِ، والعَفَافِ، وَالصِّلَةِ»
(56) Dari Abu Sufyan Shakhr bin Harb radhiyallahu ‘anhu dalam haditsnya yang panjang tentang kisah Heraklius (raja Romawi), Heraklius berkata, “Apa perintah Nabi ini -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “(Yaitu) Sembahlah Allah saja; jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan tinggalkanlah apa yang dikatakan nenek moyang kamu (kebiasaan buruk kaum Jahiliyah).” Dia juga menyuruh kami mendirikan shalat, berkata jujur, menjaga diri (dari yang haram), dan menyeruh kami menyambung tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1.  Keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa jujur dan perintah Beliau memiliki sikap jujur.
2. Pondasi agama Islam adalah Tauhid.
3. Syariat Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia yang rusak.
4. Peringatan terhadap sikap taqlid buta (ikut-ikutan tanpa dasar ilmu).
5. Ajaran Islam mencakup akidah, ibadah, hukum, akhlak mulia, dan sebagainya, dimana ini semua merupakan sendi-sendi kehidupan umat manusia.

Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top