Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0088-91

<div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s18" lang="AR-SA">88 - وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَهُوَ يَبُولُ، وَلَا يَتَمَسَّحُ مِنْ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ، وَلَا يَتَنَفَّسُ فِي الْإِنَاءِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> 88. Dari Abu Qatadah dia berkata, Rasulullah bersabda: <i>“Janganlah seseorang di antara kamu menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, ketika sedang buang air kecil, dan janganlah menggunakan tangan kanannya ketika berisitinja dan buang air besar, dan janganlah ia meniupkan nafasnya ke dalam bejana.</i>”(Muttafaq alaih, dan lafazh ini milik Muslim)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b> <b>[Shahih: Al Bukhari 154, Muslim 267]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s15" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48" dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i><span class="s21">“Janganlah seseorang di antara kamu menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, ketika sedang buang air kecil, dan janganlah menggunakan tangan kanannya ketika berisitinja dan buang air besar</span>, </i>(merupakan kinayah dari buang air besar, sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa <i>al ghaa’ith</i> adalah salah satu istilahnya) <i><span class="s21">dan janganlah ia meniupkan nafasnya</span> </i>(mengeluarkan nafasnya<span class="s21">) <i> ke dalam bejana</i></span><i>. </i>(ketika dia sedang minum)<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini menunjukkan keharaman menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika buang air kecil, karena pada dasarnya larangan itu menunjukkan keharaman. Juga keharaman menggunakan tangan kanan ketika beristinja dari buang air besar dan kecil, berdasarkan hadits Salman yang akan datang. Serta haramnya meniup di dalam bejana ketika sedang minum.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Mazhab Az Zhahiriyah –sebagaimana yang telah Anda ketahui- mengharamkan semua hal tersebut, berdasarkan hadits di atas, demikian pula menurut sekelompok ulama mazhab Asy-Syafi'i dalam masalah istinja. Sedangkan menurut jumhur ulama, larangan dalam hadits tersebut hanya semata-mata untuk menjaga kesucian.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Imam Al Bukhari telah menyebutkan secara global dalam kitabnya, dengan judul <i>Bab Larangan Beristinja dengan tangan kanan</i>, lalu ia menyebutkan hadits ini. dalam <i>Al Fath</i> penulis mengatakan, “Penggunaan kata <i>an nahyu</i> (larangan) tidak jelas bagi Az Zhahiriyah, apakah menunjukkan haram, atau menunjukkan untuk penjagaan kesucian semata. Atau bahwa qarinah yang memalingkan pengertian larangan itu dari hukum haram juga tidak jelas baginya.”<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ini kalau bersuci dengan alat seperti air dan batu, tapi kalau dengan tangan langsung, maka haram hukumnya secara ijma. Hal ini sekaligus mengisyaratkan kemuliaan tangan kanan dan menjaganya dari segala kotoran. Adapun larangan meniup ke dalam bejana, tujuannya agar tidak mengotori yang lain, atau ada yang jatuh dari mulut dan hidungnya yang bisa mengotori yang lainnya. Secara tekstual larangan tersebut menunjukkan keharaman, tetapi jumhur ulama menafsirkannya dengan bagian dari adab kesopanan.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> ================</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>89 - وَعَنْ سَلْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: لَقَدْ «نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> 89. Dari Salman , beliau berkata, “Rasulullah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan kecil, beristinja dengan tangan kanan, berisitinja dengan batu yang kurang dari tiga buah, dan beristinja dengan kotoran (hewan) dan tulang. (HR. Muslim)<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Shahih: Muslim 262]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Biografi Perawi</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Salman adalah Abu Abdullah Salman Al Farisi, versi lain mengatakan, Salman Al Khair pelayan Rasulullah . berasal dari Persia, dan pergi mengembara mencari agama yang benar. Ia sempat menjadi Nashrani dan membaca bermacam-macam kitab suci. Beliau memiliki biografi yang panjang dan sangat berharga. Ia kemudian mengembara sampai pada akhirnya bertemu dengan Rasulullah . ia menyatakan keislamannya dengan sangat bagus dan menjadi tokoh penting dalam Islam.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Rasulullah pernah menyatakan tentang dirinya, beliau bersabda, </div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«سَلْمَانُ مِنَّا أَهْلُ الْبَيْتِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Salman termasuk keluarga kami</i>.” <span class="s20">[Dhaif Jiddan: Dhaif Al Jami 3272]</span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Umar mengangkatnya menjadi wali (gubernur) di Mada’in, ia termasuk orang yang dianugerahi umur yang panjang.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ada yang mengatakan dia hidup sampai 250 tahun, dan yang lain mengatakan 350 tahun. Beliau hanya senang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, dan menyedekahkan semua pemberian yang dia terima. Beliau meninggal dunia di Madinah pada tahun 50 Hari, ada yang mengatakan pada tahun 32 H.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat<o:p></o:p></b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s21">Rasulullah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan kecil</span>, (maksudnya adalah menghadapkan kemaluan kami ke kiblat ketika sedang buang air besar dan kecil) <span class="s21">beristinja dengan tangan kanan</span>, (ini bukan larangan menyentuh kemaluan ketika sedang buang air kecil, seperti yang telah lalu) <span class="s21">berisitinja dengan batu yang kurang dari tiga buah</span>, (istinja adalah menghilangkan kotoran –yang keluar dari perut- dengan air atau batu) <span class="s21">dan beristinja dengan kotoran </span>(yaitu kotoran hewan) <span class="s21">dan tulang<o:p></o:p></span><br /> <span class="s21"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits di atas menunjukkan larangan menghadap kiblat, yaitu Ka’bah, sebagaimana ditafsirkan oleh hadits Abu Ayyub, ‘Kami menemukan kakus-kakus dibangun menghadap ke arah Ka’bah, lalu kami berpaling dan memohon ampun kepada Allah’, sebagaimana yang akan disebutkan.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Juga ada hadits yang melarang membelakanginya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim secara marfu:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«إذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهَا»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> “<i>apabila salah seorang kalian duduk (untuk buang air) maka janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan membelakanginya</i>.” <span class="s20">[Shahih: Muslim 265], </span>dan hadits-hadits lainnya.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> Para ulama berbeda pendapat, apakah larangan ini menunjukkan haram atau tidak? Ada 5 pendapat:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>pertama</i>; Larangan itu untuk menjaga kesucian saja, tidak ada perbedaan di tempat terbuka atau di dalam bangunan, maka hukumnya makruh. Hadits yang melarang itu ditafsirkan demikian berdasarkan qarinah:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits Jabir:</div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span> «رَأَيْته قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Aku melihat beliau, setahun sebelum wafatnya, menghadap ke arah Kiblat (ketika buang air).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan lain-lain) <span class="s20">[Hasan: Abu Daud 13]<o:p></o:p></span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits Ibnu Umar:</div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span> «رَأَى النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلًا لِبَيْتِ الْمَقْدِسِ مُسْتَدْبِرًا لِلْكَعْبَةِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Ia melihat Rasulullah SAW ketika buang air menghadap Baitul Maqdis dan membelakangi Ka’bah.” (Muttafaq alaih) <span class="s20">[Shahih: Al Bukhari 147, Muslim 266]</span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits Aisyah :</div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«فَحَوِّلُوا مَقْعَدَتِي إلَى الْقِبْلَةِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Ubahlah tempat dudukku (untuk buang air) ke arah Kiblat</i>.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad hasan) <span class="s20">[Dhaif: Ibnu Majah 324]<o:p></o:p></span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pada awalnya hadits ini menyebutkan: diceritakan kepada Rasulullah , bahwa ada sekelompok kaum yang tidak suka menghadap Kiblat –dengan kemaluannya- Rasulullah bersabda:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s40" lang="AR-SA">أَرَاهُمْ قَدْ فَعَلُوا، اسْتَقْبِلُوا بِمَقْعَدَتِي الْقِبْلَةَ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> “<i>Aku melihat mereka menghadap tempat dudukku –dalam kamar kecil- ke arah kiblat</i>.” Ini lafazh Ibnu Majah menurut Adz Dzahabi dalam kitab Al-Mizan mengenai biografi Khalid bin Abu Ash Shalt, ‘Hadits ini mungkar.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>kedua</i>; hukumnya haram menghadap atau membelakangi Kiblat, sesuai zhahirnya beberapa hadits tentang larangan tersebut. Sedangkan hadits-hadits sebagai qarinah yang menunjukkan penyucian, dapat ditafsirkan bahwa hal itu terjadi lantaran ada udzur, dan itu hanya cerita shahabat yang tidak berlaku umum.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>ketiga</i>; bahwa buang air dengan menghadap atau membelakangi Kiblat hukumnya mubah, dengan alasan bahwa hadits-hadits yang menunjukkan larangan itu dinasakh oleh hadits-hadits yang menunjukkan kebolehannya, karena di dalamnya disebutkan taqyid (pembatasan), ‘setahun sebelum beliau wafat’ atau yang semacamnya dan hal itu diperkuat oleh keterangan dalam <i>Asy Syarh</i>.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>keempat</i>; Menghadap dan membelakangi Kiblat kalau di tempat terbuka hukumnya haram, tetapi dalam bangunan hukumnya boleh karena hadits-hadits yang membolehkan adalah ketika di dalam bangunan, maka hadits tersebut dipahami bahwa larangan itu ketika di tempat terbuka. Sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan larangan bersifat umum. Setelah dikhususkan dengan kebolehan di dalam bangunan dan hadits-hadits yang menceritakan perbuatan beliau –yang sudah dijelaskan sebelumnya- maka keharaman itu hanya berlaku di tempat terbuka.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ibnu Umar berkata, “Hal tersebut hanya dilarang di tempat terbuka, maka apabila antara kamu dengan arah Kiblat ada sesuatu yang dapat menghalangimu, maka tidak apa-apa.”(HR. Abu Daud dan lainnya) <span class="s20">[Hasan: Abu Daud 11]</span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pendapat ini tidak jauh (dari kebenaran), karena adanya beberapa hadits yang melarang dalam hal ini, disamping terdapat beberapa hadits yang membolehkannya.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>Kelima</i>; menghadap ke arah kiblat hukumnya haram, tapi membelakanginya boleh, baik di tempat terbuka atau dalam bangunan. Pendapat ini tidak dapat diterima karena adanya hadits yang menunjukkan larangan pada kedua tempat tersebut.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Inilah lima pendapat yang terdapat dalam masalah ini dan yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang keempat.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Telah dikemukakan alasan dari Asy Sya’bi, sebab adanya larangan menghadap dan membelakangi Kiblat di tempat terbuka, ‘Karena di padang sahara itu tidak sepi dari malaikat dan manusia, ataupun bangsa jin yang sedang shalat, yang terkadang auratnya bisa kelihatan oleh mereka.’ (HR. Al Baihaqi) <span class="s20">[Al Kubro 1/93]<o:p></o:p></span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Asy Sya’bi pernah ditanya tentang perbedaan antara dua hadits, yakni hadits dari Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah (ketika buang air) membelakangi Kiblat, dan hadits dari Abu Hurairah yang melarang perbuatan tersebut? Ia menjawab, “Keduanya betul, larangan dalam hadits Abu Hurairah itu untuk tempat terbuka, karena ada hamba Allah baik malaikat  maupun jin yang sedang melaksanakan shalat, maka janganlah salah seorang menghadap kepada mereka atau membelakanginya ketika buang air besar dan kecil. Adapun mengenai jambanmu, maka sama dengan rumah yang sengaja dibangun dan tidak memiliki kiblat.”<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ini khusus untuk Ka’bah saja, dan Baitul Maqdis disamakan dengan Ka’bah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَتَيْنِ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Rasulullah melarang menghadap dua kiblat ketika buang air besar dan kecil” <span class="s20">[Dhaif: Abu Daud 10]</span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini lemah dan tidak dapat mengubah hukum asal. Pendapat yang lemah dari itu adalah yang mengatakan makruh menghadap matahari dan bulan, sebagaimana akan dijelaskan pada hadits kedua belas.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Adapun beristinja dengan tangan kanan, telah dibasah sebelumnya. Dan sabdanya, “Dan beliau melarang kami beristinja kurang dari tiga buah batu”, menunjukkan bahwa beristinja kurang dari tiga batu tidak sah. Adapun mengenai cara menggunakan tiga batu telah dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas:</div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«حَجَرَانِ لِلصَّفْحَتَيْنِ وَحَجَرٌ لِلْمَسْرُبَةِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Dua batu digunakan untuk sebelah menyebelah pinggir dubur dan satu batu untuk lubang dubur</i>” yaitu tempat keluarnya kotoran dari dubur <span class="s30">[Dhaif: Adh Dhaifah 969, ebook editor]</span><br /> <span class="s30"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Para ulama berbeda pendapat tentang hukum beristinja dengan menggunakan batu:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Menurut Al Hadawiyah; hukumnya tidak wajib, kecuali bagi orang yang bertayamum atau orang yang khawatir kena benda yang basah, dan najis tidak bisa hilang dengan air, sedangkan pada kondisi lain hukumnya sunnah dan tidak wajib. Istinja yang wajib dengan air hanyalah untuk melaksanakan shalat.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Menurut mazhab Asy-Syafi'i, boleh memilih antara air dan batu, bila dia menggunakan salah satunya itu sudah sah dan bila menggunakan batu, maka harus dengan tiga kali gosokan, sekalipun bendanya sudah hilang sebelum sampai gosokan ketiga.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ada ulama berpendapat, bila sudah bersih sebelum digosok dengan tiga batu, maka sudah sah dan jika belum bersih dengan tiga batu, maka harus ditambah dan disunnahkan dengan jumlah ganjil. Wajib tiga batu di qubul dan dubur, sehingga berjumlah enam batu, cara semacam ini telah disebutkan dalam hadits.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Saya katakan, ‘Hadits tentang permintaan Nabi kepada Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah serta shahabat lainnya hanyalah tiga batu. Terdapat penjelasan tentang cara menggunakannya pada dubur, dan tidak ada penjelasan penggunaannya pada qubul. Seandainya enam batu yang dimaksudkan, Nabi pasti memintanya sewaktu beliau akan buang air, walaupun hanya pada beberapa waktu saja, bila batu itu memiliki enam sudut, maka sah untuk dipakai beristinja.”<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Batu bisa diganti dengan alat lainnya, asal bisa membersihkan najis sama fungsinya dengan batu. Pendapat ini berbeda dengan Az Zhahiriyah, mereka mengatakan wajib beristinja dengan batu, karena mereka berpegang pada text hadits. Dapat dijawab bahwa karena batu yang lebih umum sebab bisa didapatkan dengan mudah. Hal itu juga bisa dipahami dari adanya larangan beristinja dengan kotoran binatang ataupun tulang.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Seandainya diwajibkan hanya dengan batu, beliau pasti melarang btij dengan yang lainnya, demikian pula beliau melarang menggunakan arang, berdasarkan hadits riwayat Abu Daud:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«مُرْ أُمَّتَك أَنْ لَا يَسْتَنْجُوا بِرَوْثَةٍ أَوْ حُمَمَةٍ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> “perintahkan umatmu untuk tidak beristinja dengan kotoran binatang dan arang, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan itu sebagai sumber rejeki kami”, maka beliau melarang yang demikian itu. <span class="s20">[Shahih: Abu Daud 39]</span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pada hadits lain, beliau melarang menggunakan tulang, dengan alasan tulang merupakan makanan jin, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Mas'ud, dalam hadits itu beliau bersabda kepada jin ketika mereka bertanya kepada beliau tentang makanan:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s40" lang="AR-SA">لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَوْفَرُ مَا يَكُونُ لَحْمًا، وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i><br /></i> <i>“Untuk kamu segala tulang dari binatang yang disembelih dengan nama Allah itu lebih banyak daripada yang masih berdaging, dan setiap kotoran hewan menjadi makanan ternakmu</i><span class="s20">.” [Shahih: Muslim 450]<o:p></o:p></span><br /> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hal itu tidaklah menafikan alasan dilarangnya menggunakan kotoran hewan karena najis, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas'ud ketika Nabi memintanya mencarikan tiga buah batu, lalu ia membawakan dua buah batu dan kotoran hewan, lalu Rasulullah bersabda:<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s40" lang="AR-SA">إنَّهَا رِكْسٌ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> “<i>Sesungguhnya tahi binatang itu kotoran</i>.” <span class="s20">[Shahih: Al Bukhari 155], </span>sebab terkadang sebuah masalah memiliki banyak alasan. Maka tidaklah salah mengatakan bahwa karena kotoran hewan itu kotor dan sebagaimana makanan hewan piaraan jin.<br /> <br /></div> </div> </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Adapun hadits yang menunjukkan tidak adanya larangan menghadap matahari dan bulan ketika buang air adalah sebagai berikut:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> </div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>90 - وَلِلسَّبْعَةِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «وَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 90. Menurut para imam yang tujuh, dari Abu Ayyub Al Anshari RA, <i>“Janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula kamu membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.</i>”<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Shahih: Al Bukhari 144, Muslim 264]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><span class="s19" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Biografi Perawi</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Abu Ayyub adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib Al Anshari, termasuk shahabat senior, turut serta dalam perang Badr. Nabi singgah di rumahnya ketika beliau baru tiba di Madinah, ia gugur dalam peperangan tahun 50 Hari di Romawi, ada yang mengatakan setelah itu.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits tersebut marfu, permulaannya adalah Rasulullah bersabda, <i>“Apabila kalian mau buang air besar..</i>..”, dan pada akhir hadits terdapat ucapan Abu Ayyub, “Kami tiba di Syam, lalu kami jumpai kamar-kamar kecil di sana dibangun menghadap kiblat”, hadits ini telah dijelaskan sebelumnya.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Dari hadits di atas menunjukkan bolehnya menghadap atau membelakangi matahari dan bulan, karena biasanya posisi keduanya berada di timur atau di barat.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> =============================</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> </div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>91 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: إنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /> 91. Dari Aisyah dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda, ‘<i>Barangsiapa yang mendatangi tempat buang air, maka hendaklah ia membuat tabir’</i>.” (HR. Abu Daud) <br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Dhaif: Abu Daud 35 dari Abu Hurairah ]</b><span class="s51" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b> <b>Tafsir Hadits</b><br /> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini terdapat dalam kitab <i>As Sunan</i>, dan dinisbatkan kepada Abu Hurairah . Demikian pula dalam <i>At Talkhis</i>, ia berkata poros sanadnya adalah Abu Sa’id Al Hibrani Al Himshi, mengenai rawi ini terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa dia termasuk shahabat, tapi pendapat ini tidak benar, juga terjadi perbedaan pendapat tentang orang yang meriwayatkan hadits itu dari dia.<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini seperti hadits-hadits yang terdahulu, menunjukkan kewajiban menggunakan tabir, dan telah kami jelaskan hadits ini separohnya. Sedangkan lafazhnya terdapat dalam As Sunan, dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda: <br /> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«مَنْ اكْتَحَلَ فَلْيُوتِرْ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ أَكَلَ فَمَا تَخَلَّلَ فَلْيَلْفِظْ وَمَا لَاكَ بِلِسَانِهِ فَلْيَبْتَلِعْ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ؛</span></b><span dir="ltr"></span><b><span class="s40" dir="ltr" lang="AR-SA"><span dir="ltr"></span> </span></b><b><span class="s40" lang="AR-SA">وَمَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إلَّا أَنْ يَجْمَعَ كَثِيبًا مِنْ رَمْلٍ فَلْيَسْتَتِرْ بِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَلْعَبُ بِمَقَاعِدِ بَنِي آدَمَ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i><br /></i> <i>“Barangsiapa yang menggunakan celak mata maka hendaklah ia ganjilkan, barangsiapa yang melakukannya maka ia sudah berbuat baik, dan siapa yang tidak melakukannya maka dia tidak berdosa. Barangsiapa yang beristinja hendaklah ia ganjilkan, barangsiapa yang melakukannya maka ia sudah berbuat baik, dan siapa yang tidak melakukannya maka dia tidak berdosa. Barangsiapa yang makan lalu apa saja yang hendak keluar keluarkannya, dan apa saja yang sudah masuk dan cocok dengan seleranya maka telanlah, barangsiapa yang melakukannya maka ia sudah berbuat baik, dan siapa yang tidak melakukannya maka dia tidak berdosa. Barangsiapa yang hendak buang air besar, hendaklah ia membuat tabir penutup, jika dia tidak mendapatkannya selain tumpukan pasir saja, hendaklah ia menutupi dirinya, karena sesungguhnya setan itu mempermainkan pantan anak cucu Adam. barangsiapa yang melakukannya maka ia sudah berbuat baik, dan siapa yang tidak melakukannya maka dia tidak berdosa.”<o:p></o:p></i><br /> <i><br /></i></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Inilah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah , Abu Daud tidak meriwayatkan hadits ini dari Aisyah .<br /> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini dinilai lemah –sebagaimana telah Anda ketahui- seharusnya, penulis menisbatkannya kepada Abu Hurairah dan memberi isyarat –seperti kebiasaannya- mengenai komentar tentang hadits tersebut, tetapi sepertinya dia meninggalkan itu, karena –sebagaimana dikatakan pengarang dalam <i>Fathul Bari</i>- sanadnya hasan, sementara dalam kitab <i>Al Badr Al Munir</i> dijelaskan bahwa hadits itu shahih dan dishahihkan oleh sekelompok ulama, seperti Ibnu Hibban, Al Hakim dan An Nawawi.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKAAEuN8oxIyq6pazjCGT2Iw73is4ZBAY4XQtGTyZgQ2ai9iZO6fM0cjCpMiy_BCyQ7CvVdNodQv6dJSoyUAUpMIT4pQpmgAQjqA_8uPaJqMwqKsDEM63QTnmUEG86hregF3uwWJlb9yQ/s200/subulussalam.jpg" style="text-align: center;" width="200" /></div> </div> </div> </div> </div> </div> </div>

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0088-91

88 - وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَمَسَّنّ...

Read more »

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0083-87

<div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s18" lang="AR-SA">83 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ ظِلِّهِمْ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 83. Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah bersabda, <i>“Jauhkanlah dirimu dari dua perbuatan terkutuk, yaitu yang buang kotoran di jalan manusia, atau di tempat perteduhan mereka.</i>” (HR. Muslim)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Shahih: Muslim 269] <o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>“Jauhkanlah dirimu dari dua perbuatan terkutuk</i><span class="s21"> </span>(dengan menggunakan shighat mutsana, dan dalam riwayat Muslim disebutkan, para shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan dua macam perbuatan yang terkutuk itu?” beliau menjawab)<i>, <span class="s21">yaitu yang buang kotoran di jalan manusia, atau di tempat perteduhan mereka</span>.<o:p></o:p></i></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i><br /></i></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Al Khaththabi mengatakan, “Yang dimaksud dengan dua macam penentang yang terkutuk adalah dua perkara yang mengundang kutukan, yang menggiring dan mendorong orang untuk mengutuknya. Orang yang melakukannya jelas akan dikutuk dan dimaki oleh orang banyak, karena ia adalah penyebabnya dan orang akan mengutuknya bila berbuat demikian. Berarti perbuatan itulah yang menjadi penyebab kutukan.”</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Adapun yang dimaksud dengan orang yang buang air besar di jalan manusia, yaitu buang air di tempat lalu lalangnya manusia, karena akan menganggu mereka dengan baunya yang busuk dan menjijikkan. Hal itu tentu akan memancing mereka untuk mengutuk pelakunya. Kalau mengutuknya dibolehkan, maka hal itu dapat menjadi sebab ia didoakan supaya terjauh dari rahmat Allah, dan jika tidak boleh mengutuk, maka hal itu membuat orang lain berdosa karena mengutuknya.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Jika Anda tanyakan, “Manakah di antara dua perkara yang dimaksudkan disunnahkan?” saya (Ash Shan’ani) jawab: “Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh At Thabrani dalam kitab <i>Al Kabir</i> dengan sanad yang dihasankan orang lain Al Hafidz Al Mundziri, dari Hudzaifah bin Usaid: “Bahwasanya Rasulullah bersabda, </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«مَنْ آذَى الْمُسْلِمِينَ فِي طُرُقِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لَعْنَتُهُمْ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Siapa yang menyakiti kaum Muslimin di jalan-jalan mereka, pasti dia mendapatkan laknat mereka</i>.” <span class="s20">[Hasan: Shahih Al Jami' 5923]</span>, </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> dan ia meriwayatkannya dalam Al Aushat dan oleh Al Baihaqi, serta perawi lainnya, dengan sanad yang tsiqah, selain Muhammad bin Amr Al Anshari, tetapi dia tsiqah menurut Ibnu Ma’in, dari hadits Abu Hurairah : “Aku mendengar Rasulullah bersabda, </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«مَنْ سَلَّ سَخِيمَتَهُ عَلَى طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ النَّاسِ الْمُسْلِمِينَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Barangsiapa yang meninggalkan kotorannya pada salah satu jalan dari jalan-jalan kaum Muslimin, maka dia pantas mendapatkan laknat dari Allah dan malaikat, juga dari manusia seluruhnya</i>.” <span class="s20">[Sanadnya dhaif: Al Baihaqi dalam Al Kubro 1/98, dan lihat <i>At Talkhis</i> 1/105]<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits-hadits tadi jelas menunjukkan pantasnya kutukan bagi orang-orang semacam itu.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Adapun yang dimaksud dengan ‘perteduhan’ di sini adalah, tempat berteduhnya orang-orang yang mereka jadikan sebagai tempat beristirahat pada siang hari, tempat bernaung, bersinggah dan duduk melepas lelah, karena tidak semua naungan dilarang buang hajat di bawahnya. Nabi sendiri pernah duduk di sekitar teduhan pohon kurma untuk buang hajat, padahal tidak diragukan lagi kalau kurma tersebut ada naungannya.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Saya katakan: yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits Ahmad dengan lafazh:</div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <b><span class="s40" lang="AR-SA">أَوْ ظِلٍّ يُسْتَظَلُّ بِهِ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Atau naungan yang dijadikan tempat berteduh</i>.” <span class="s20">[Ahmad 1/299]</span></div> </div> </div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> ================================</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>84 - وَزَادَ أَبُو دَاوُد، عَنْ مُعَاذٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - " وَالْمَوَارِدُ " وَلَفْظُهُ: «اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ، وَقَارِعَةَ الطَّرِيقِ، وَالظِّلَّ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 84. Abu Daud menambahkan dari riwayat Muadz kata, “tempat-tempat aliran air”, lafazhnya: “<i>Jauhkanlah dirimu dari tiga macam laknat; Buang air besar di tempat-tempat aliran air, di tengah jalan raya, dan tempat berteduh</i>.” </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Hasan: Shahih Al Jami' 112]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>Jauhkanlah dirimu dari tiga macam laknat; Buang air besar </i>(<i>Al Baraaz</i> adalah tanah yang luas, isitilah tentang buang air besar, dan jika dikasrahkan artinya bertanding di medan tempur) <i> <span class="s21">di tempat-tempat aliran air</span>, </i>(yaitu tempat yang biasa didatangi orang, seperti sumber mata air atau sungai untuk minum dan berwudhu<span class="s21">) <i>di tengah jalan raya,</i></span><i> </i>(maksudnya adalah jalan raya tempat orang berlalu lalang atau tempat yang dilewati orang) <i>dan tempat berteduh</i><span class="s21"> </span>(telah kami jelaskan sebelumnya)</div> </div> </div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> =================================================</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>85 - وَلِأَحْمَدَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ " أَوْ نَقْعَ مَاءٍ " وَفِيهِمَا ضَعْفٌ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 85. Dan bagi Ahmad dari Ibnu Abbas , ‘<i>Atau tempat menggenangnya air’</i>. Kedua riwayat ini dhaif.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Dhaif: Ahmad 1/299]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><b><o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Riwayat Ahmad ini adalah kelanjutan hadits:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَ: أَنْ يَقْعُدَ أَحَدُكُمْ فِي ظِلٍّ يُسْتَظَلُّ بِهِ، أَوْ فِي طَرِيقٍ أَوْ نَقْعِ مَاءٍ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Takutlah kalian tiga macam laknat. Seorang dari kalian duduk (buang air) di tempat orang-orang berteduh, di jalan, atau di tempat air menggenang</i>.”</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pada keduanya terdapat kelemahan, yaitu pada hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud, riwayat Abu Daud dianggap dhaif karena setelah meriwayatkan hadits tersebut, ia mengatakan haditsnya mursal, sebab berasal dari riwayat Sa’id Al Humairi, ia tidak bertemu Muadz, maka haditsnya munqathi. Ibnu Majah meriwayatkannya dari jalan ini, sedang riwayat Ahmad menjadi dhaif, karena dalam periwayatannya terdapat Ibnu Luhaiah dan rawi yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri <i>mubham</i> (diragukan)</div> </div> </div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> ===================================</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>86 - وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ «النَّهْيَ عَنْ قَضَاءِ الْحَاجَةِ تَحْتَ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ، وَضِفَّةِ النَّهْرِ الْجَارِي» . مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 86. At Thabrani pernah meriwayatkan hadits tentang larangan buang air di bawah pohon yang berbuah dan di tepi sungai yang mengalir. (Dari hadits Ibnu Umar dengan sanad dhaif)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Dhaif: lihat At Talkhis 106/1]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Dhaif Jiddan: lihat Al Irwa 4707. ]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Biografi Perawi</b> </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Menurut Adz Dzahabi, At Thabrani adalah Al Imam Al Hujjah Abu Al Qasim Sulaiman bin Ahmad At Thabrani. Ia adalah rujukan para ulama sedunia, dilahirkan pada tahun 260 H. Ia berpindah-pindah ke berbagai kota seperti Syam, Haramain, Yaman, Mesir, Baghdad, Kufah, Bashrah, Ashbahan, Al Jazirah dan lain-lain. Ia mempelajari hadits kepada seribu Syaikh atau bahkan lebih, ia termasuk pahlawan dalam bidang ini, di samping kebenaran dan kejujurannya. Para ulama menyanjung keluasan ilmunya.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s21">larangan buang air di bawah pohon yang berbuah </span>(walaupun tidak dijadikan tempat berteduh oleh seseorang) <span class="s21">dan di tepi </span>(yaitu pinggiran) <span class="s21">sungai yang mengalir<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s21"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini dari Ibnu Umar dengan sanad dhaif, karena ada rawinya yang <i>matruk</i>. Jika hal ini telah diketahui, maka dari hadits-hadits di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ada enam tempat yang dilarang buang air besa padanya, yaitu: jalanan tempat orang berlalu lalang (tapi tidak mutlak semua jalan, hanya jalan yang jadi tempat berlalu lalang), tempat orang berteduh, sumber-sumber air, pada air yang menggenang, di bawah pohon yang berbuah, dan di pinggir sungai. Abu Daud menambahkan dalam Marasilnya, dari hadits Makhul:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ أَنْ يُبَالَ بِأَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Rasulullah melarang kencing di pintu-pintu masjid.”<span class="s20"> [Al Marasil no 3]</span>^{<span class="s30">[1]</span>}</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> --------------------</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s31">[1] syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Silsilah Ash Shahihah no 2773, dan hasan ligharihi pada Shahih Targhib wa Tarhib 150. </span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s31"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s31">======================</span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s31"><br /></span></div> <div class="MsoNormal"> <span class="s31"> </span></div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>87 - وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا تَغَوَّطَ الرَّجُلَانِ فَلْيَتَوَارَ كُلُّ</span></b><b><span class="s19" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span dir="ltr"></span><span dir="ltr"></span>87. Dari Jabir , ia berkata Rasulullah bersabda: “<i>Apabila ada dua orang yang ingin buang air besar, maka hendaklah masing-masing bersembunyi dari yang lainnya, dan janganlah keduanya saling berbicara, karena yang demikian itu sangat dibenci Allah.” </i>(Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu As Sakan da Ibnu Al Qaththan, tetapi haditsnya ma’lul)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Jayyid: lihat <i>Ash Shahihah</i> 3120. ]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Biografi Perawi<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ibnu As Sakan Al Hafidz Al Hujjah Abu Ali Sa’id bin Utsman bin Sa’id bin As Sakan Al Baghdadi, pernah tinggal di Mesir, lahir tahun 294 H. Perhatiannya terhadap ilmu hadits sangat besar, ia mengumpulkan dan menyusunnya, reputasinya tidak diragukan, banyak ulama hadits meriwayatkan hadits darinya. Ia wafat tahun 353 H.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ibnu Al Qaththan, beliau adalah Al Hafidz Al Allamah Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Abdul Malik Al Farisi, yang dikenal dengan Ibnu Al Qaththan. Ia adalah ulama hadits yang paling dalam ilmunya, paling banyak hafal tentang nama-nama perawi hadits, dan paling teliti dalam periwayatan hadits, juga memiliki banyak karangan. Dia meriwayatkan hadits dan mengkajinya, ia menulis kitab <i>Al Wahm wa Al Iham</i> yang disusun sebagai syarh kitab <i>Al Ahkam Al Kubra</i> karya Abdul Haq. Kitab ini sebagai bukti kekuatan hafalan dan pemahamannya. Akan tetapi ia merasa kesulitan dalam hal nama-nama perawi haditsnya. Ia wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 628 H.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <i>Apabila ada dua orang yang ingin buang air besar, maka hendaklah masing-masing bersembunyi </i>(yaitu membuat penghalang) <i><span class="s21">dari yang lainnya</span>, </i>(perintah ini menunjukkan wajib) <i><span class="s21">dan janganlah keduanya saling berbicara</span>, </i>(ketika keduanya sedang buang air) <i>karena yang demikian itu sangat dibenci Allah</i><span class="s21"> </span>(<i>Al Maqtu</i>, sangat marah).</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits di atas dinilai cacat dengan tanpa menyebutkan cacatnya dalam <i>Asy Syarh</i>, yaitu yang dikatakan oleh Abu Daud bahwa ia tidak menisbatkannya kepada Ikrimah bin Ammar Al Ajli Al Yamani, dan dijadikan hujjah oleh Muslim dalam kitab <i>shahih</i>-nya. Hanya saja, hadits itu dinilai lemah oleh sebagian ulama hadits, mereka menilai lemah hadits dari Ikrimah yang melalui sanad Yahya bin Abu Katsir. Sementara Muslim telah meriwayatkan haditsnya dari Yahya bin Abu Katsir, dan Al Bukhari juga menjadikan syahid haditsnya dari Yahya bin Abu Katsir.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Abu Daud dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits larangan berbicara ketika sedang buang air dari Abu Sa’id dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab <i>shahih</i>-nya, tetapi mereka semuanya meriwayatkannya dari riwayat Iyyadh bin Hilal atau Hilal bin Iyyad. Al Hafidz Al Mundziri mengatakan, “Saya tidak mengetahui cacat dan ketidakadilannya, dia termasuk rawi yang <i>majhul</i> (tidak dikenal identitasnya).”</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits tersebut adalah dalil wajibnya menutup aurat dan larangan berbicara ketika buang air. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan hukum haram, dengan alasan adanya kemurkaan Allah atas pelaku perbuatan itu, sebagai tambahan dalam menjelaskan keharamannya. Akan tetapi dalam kitab <i>Al Bahr</i> diklaim bahwa tidak ada kesepakatan ulama akan keharamannya, dan larangan itu makruh jika ada ijma, tapi jika tidak maka kembali kepada hukum asalnya, yaitu haram.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ketika buang air, Rasulullah tidak menjawab salam, padahal menjawab salam hukumnya wajib. Sejumlah ulama hadits –selain Al Bukhari- meriwayatkan dari Ibnu Umar, </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«أَنَّ رَجُلًا مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Bahwa ada seorang lelaki melewati Rasulullah , ketika itu beliau sedang buang air kecil, pemuda itu mengucapkan salam kepadanya, tetapi beliau tidak menjawabnya.” <span class="s20">[Shahih: Muslim 3]</span></div> </div> </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> </div> </div> <div style="text-align: justify;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKAAEuN8oxIyq6pazjCGT2Iw73is4ZBAY4XQtGTyZgQ2ai9iZO6fM0cjCpMiy_BCyQ7CvVdNodQv6dJSoyUAUpMIT4pQpmgAQjqA_8uPaJqMwqKsDEM63QTnmUEG86hregF3uwWJlb9yQ/s200/subulussalam.jpg" style="text-align: center;" width="200" /></div>

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0083-87

83 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «اتَّقُوا الل...

Read more »

Pensyaratan Jumlah Jama’ah Shalat Jum’at 40 Orang

<div style="text-align: right;"> عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا، وَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ وَأَضْحًى، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ جَمَاعَةٌ</div> <div style="text-align: right;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Sunnah (amal yang sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang telah dilakukan (sejak dulu) bahwa pada setiap tiga orang maka ada (seorang) yang dijadikan sebagai imam dan pada setiap empat puluh orang atau lebih dari itu maka (boleh mendirikan) shalat Jum’at, Idul fithri dan Idul Adha, karena mereka adalah jama’ah.”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ad-Daraquthni dalam as-Sunan (2/3) dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (3/177) dari jalur ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdirrahman al-Qurasyi, dari Khushaif, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini adalah hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdirrahman al-Qurasyi, dia dinyatakan sebagai rawi yang lemah riwayatnya oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab beliau yang tersebut di atas. Bahkan Imam Ahmad t berkata tentrang rawi ini, “Hapuslah hadits (yang diriwayatkan)nya karena itu dusta atau palsu.” Imam ad-Daraquthni berkata, “Hadits (yang diriwayatkan)nya mungkar (diingkari karena sangat lemah).”<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn1">[1]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Imam al-Baihaqi rahimahullah sendiri menilai hadits ini lemah setelah membawakannya. Hadits ini juga diisyaratkan kelemahannya oleh Imam Ibnul Jauzi, az-Zaila’i dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn2">[2]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Syaikh al-Albani.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn3">[3]</a> Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah hadits yang lemah dan tidak boleh dijadikan sebagai dalil (argumentasi).”<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn4">[4]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan riwayat di atas, dari Abu ad-Darda’ Radhiyallahu anhu dan Abu Umâmah Radhiyallahu anhu, akan tetapi semua itu tidak ada asal-usulnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullah.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn5">[5]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Imam ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang jumlah (orang dalam shalat Jum’at)”. Syaikh ‘Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata, “Dalam pembahasan ini ada beberapa hadits yang tidak ada asal-usulnya”<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn6">[6]</a>.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah lima puluh orang, dari Abu Umâmah rahimahullah, akan tetapi riwayat ini juga sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang ditinggalkan riwayatnya (karena kelemahannya yang fatal) dan rawi yang lemah.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn7">[7]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Demikian pula beberapa riwayat lain yang dijadikan dalil untuk menetapkan jumlah empat puluh orang sebagai syarat kebolehan mendirikan shalat Juma’at, akan tetapi semua riwayat itu tidak menunjukkan makna tersebut. Misalnya riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah (3/180). Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Riwayat ini tidak berkaitan dengan shalat Jum’at.”<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn8">[8]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Juga riwayat Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang dinyatakan hasan derajatnya oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah, akan tetapi riwayat ini tidaklah menunjukkan pensyaratan jumlah tersebut dan hanya kebetulan jumlah tersebut yang ada pada waktu itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syaukani dan Syaikh al-Albani <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn9">[9]</a>.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kesimpulannya : Tidak ada satupun hadits shahih yang menyebutkan jumlah empat puluh orang sebagai syarat untuk mendirikan shalat Jum’at, demikian juga jumlah yang lebih atau kurang dari itu.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn10">[10]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Cukuplah hadits shahih berikut yang sebagai bantahan terhadap pendapat yang bersandar kepada hadits lemah di atas. Dari Jabir bin ‘Abdillah rahimahullah bahwa suatu ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri menyampaikan khutbah di hari Jum’at, lalu datanglah kafilah dagang (yang membawa makanan) dari Syam, maka orang-orang (yang berada di Masjid) segera keluar menuju ke kafilah dagang tersebut, sehingga tidak tersisa (jama’ah yang shalat di Masjid) kecuali dua belas orang.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn11">[11]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah yang kurang dari empat puluh orang tetaplah boleh mendirikan shalat Jum’at.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sebagaimana hadits ini juga tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk menetapkan jumlah minimal pelaksanaan shalat Jum’at adalah dua belas orang, sebagaimana pendapat dari sebagian para ulama, karena kejadian yang disebutkan dalam hadits tersebut hanya kejadian tertentu dan jumlah dua belas orang tersebut hanyalah bersifat kebetulan, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan jumlah tersebut <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn12">[12]</a>.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Pendapat yang benar dan kuat dalam masalah ini adalah : Bahwa shalat Jum’at bisa didirikan dengan tiga orang muslim yang muqim (tidak sedang safar), seorang yang menjadi khatib (penyampai khutbah) dan dua orang yang mendengarkan. Pendapat ini yang dinyatakan oleh Imam Ahmad dan Abu Yusuf, serta inilah yang dipilih oleh para ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat), seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Ini juga yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan Syaikh ‘Abdullah al-Bassam.<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn13">[13]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dalil-dalil yang dijadikan sandaran pendapat ini di antaranya adalah:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> إِذَا كَانُوْا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kalau mereka berjumlah tiga orang maka salah seorang dari mereka menjadi imam (dalam shalat) bagi mereka dan yang paling berhak menjadi imam di antara mereka adalah yang paling baik dalam membaca (al-Qur’an) <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn14">[14]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dari Abu ad-Darda’ Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ وَلَا تَقُوْمُ فِيهِمُ الصَّلاةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tidaklah tiga orang (muslim yang menetap) di suatu desa atau perkampungan lalu mereka tidak mendirikan shalat (berjama’ah/ Jum’at) kecuali Syaithan akan menguasai mereka<a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftn15">[15]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA</div> <div style="text-align: justify;"> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1438H/2016M. ]</div> <div style="text-align: justify;"> _______</div> <div style="text-align: justify;"> Footnote</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref1">[1]</a> Semua dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Talkhîshul habîr, 2/55</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref2">[2]</a> Lihat kitab at-Tahqîq fi Ahâ-Dîtsil Khilâf, 1/500; Nashbur Râyah, 2/136 dan Talkhîshul Habîr, 2/55</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref3">[3]</a> Dalam kitab Irwâ-ul Ghalîl, 3/69</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref4">[4]</a> Kitab Fathu Dzil Jalâli Wal Ikrâm bi Syarhi Bulûgil Marâm, 2/364</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref5">[5]</a> Lihat kitab Taudhîhul Ahkâm, 2/611</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref6">[6]</a> Dalam kitab Talkhîshul Habîr, 2/56</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref7">[7]</a> Lihat kitab Talkhîshul Habîr, 2/56</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref8">[8]</a> Kitab Talkhîshul Habîr, 2/56</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref9">[9]</a> Lihat kitab Irwâ-ul Ghalîl, 3/70</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref10">[10]</a> Lihat kitab Irwâ-ul Ghalîl, 3/69</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref11">[11]</a> HSR. Muslim, no. 863</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref12">[12]</a> Lihat kitab Taudhîhul Ahkâm, 2/612</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref13">[13]</a> Lihat kitab Taudhîhul Ahkâm, 2/612-613 dan Fathu Dzil Jalâli Wal Ikrâm bi Syarhi Bulûgil Marâm, 2/364</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref14">[14]</a> HSR. Muslim, no. 672</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/7809-hadits-lemah-tentang-pensyaratan-jumlah-jamaah-shalat-jumat-40-orang.html#_ftnref15">[15]</a> HR. Abu Dawud, no. 547; an-Nasa-I, 2/106 dan Ahmad, 5/196. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <img alt="Related image" height="200" src="http://www.myjewishclipart.com/wp-content/uploads/2016/03/kata-bijak-sholat-jumat.gif" width="200" /></div>

Pensyaratan Jumlah Jama’ah Shalat Jum’at 40 Orang

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا، وَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ ...

Read more »

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0079-82

<div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl"> <b><span class="s18" lang="AR-SA">79 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ» . أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَهُوَ مَعْلُولٌ</span></b></div> <div class="MsoNormal"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 79. Dari Anas bin Malik , ia berkata, ‘Rasulullah apabila masuk WC, beliau melepas cincinnya.’ (HR. Imam yang empat dan haditsnya ma’lul)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Dhaif: Abu Daud 19]</b><span class="s51" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><span class="s20"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b><span class="s19" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s21">Rasulullah apabila masuk WC </span>(<i>Al khala’</i> yaitu tempat yang kosong yang dimaksudkan untuk buang hajat), <span class="s21">beliau melepas cincinnya</span>.’ </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits ini dikeluarkan oleh imam yang empat, dan haditsnya ma’lul. Dikatakan ma’lul karena merupakan riwayat Hammam dari Ibnu Juraij dari az Zuhri dari Anas, semua perawinya tsiqah, akan tetapi Ibnu Juraij tidak mendengar hadits ini dari Az Zuhri, tetapi ia mendengarnya dari Ziyad bin Sa’d Az Zuhri, dengan lafazh yang berbeda yaitu:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ أَلْقَاهُ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Bahwasanya Rasulullah memakai cincin dari perak, lalu beliau melepaskannya.” <span class="s20">[Shahih: Muslim 2093]<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Keraguan yang terjadi padanya adalah dari Hammam, sebagaimana dikatakan oleh Abu Daud, padahal Ibnu Ma’in mengatakan bahwa Hammam itu tsiqah. Imam Ahmad mengatakan nama Hammam itu ada di kalangan semua ulama hadits. Hadits tersebut diriwayatkan secara marfu dan mauquf dari Anas, melalui sanad selain Hammam, dan Al Baihaqi telah mengemukakan syahid hadits tersebut.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Diriwayatkan juga oleh Al Hakim:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span> «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَبِسَ خَاتَمًا نَقْشُهُ: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ؛ وَكَانَ إذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ وَضَعَهُ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Sesungguhnya Rasulullah memakai cincin yang terukir kalimat: Muhammad Rasulullah. Apabila beliau masuk kamar kecil, beliau melepas cincin itu.” </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Tapi selanjutnya Al Baihaqi mengatakan bahwa syahid ini lemah.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits di atas adalah dalail bagi orang yang ingin membuang hajat agar menjauh dari keramaian orang, sebagaimana yang ditunjukkan lafazh <i>al khala</i>, berarti tempat yang kosong atau sepi dan tempat yang memang disediakan untuk buang air, dan akan disebutkan pada hadits Mughirah yang lebih jelas, yaitu dengan menggunakan lafazh: ‘Lalu beliau pergi, sehingga tidak kelihatan.’ Dan menurut Abu Daud dikatakan dengan:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«كَانَ إذَا أَرَادَ الْبَرَازَ انْطَلَقَ حَتَّى لَا يَرَاهُ أَحَدٌ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Biasanya apabila beliau mau buang air, beliau pergi sampai tidak ada orang yang melihatnya.” <span class="s20">[Shahih: Abu Daud 2]<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits tersebut juga merupakan dalil agar menjauhkan apa saja yang padanya terdapat nama Allah ketika buang air. Ada sebagian ulama mengatakan haram membawa mushaf masuk ke dalam kamar kecil ketika kondisi tidak terpaksa sama sekali, ada yang mengatakan jika terlupa karena terburu-buru buang air, maka dimasukkan ke dalam mulut, di sorban atau di tempat yang semacamnya.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah , alasannya adalah untuk menjaga tulisan nama Allah yang terdapat pada benda itu dari tempat-tempat yang kotor. Perbuatan tersebut menunjukkan sunnah dan tidak khusus pada cincin saja, tetapi pada semua yang dipakai yang terdapat padanya nama Allah </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> ===============</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> </div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>80 - وَعَنْهُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ.</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 80. Dari Anas , dia berkata: “apabila Rasulullah masuk kamar kecil beliau mengucapkan ‘<i>Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan’</i>.” (HR. imam yang tujuh)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[Shahih: Al Bukhari 142, Muslim 375]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s21">apabila Rasulullah masuk kamar kecil </span>(yaitu ketika beliau hendak masuk ke dalamnya) <span class="s21">beliau mengucapkan ‘<i>Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki </i></span>(kata <i>khubuts</i> adalah bentuk jamak dari kata <i>khabits</i> ‘yang kotor’) <i>dan setan perempuan </i>(kata <i>khaba’its</i> adalah bentuk jamak dari kata <i>khabitsah</i>. Yang beliau maksud dengan yang pertama adalah setan laki-laki, sedang kata kedua adalah setan perempuan)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pada riwayat lain, Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Rasulullah mengucapkan, ‘<i>Bismillah, ya Allah</i> .....’, al hadits.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Penulis berkata dalam kitab <i>Fathul Bari</i>, “Dan diriwayatkan oleh Al Ma’mari, sanadnya sesuai dengan syarat Muslim, dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bacaan <i>basmalah</i>, dan tambahan ini tidak aku temukan pada riwayat selainnya.”</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hanya saja, kami katakan bahwa yang dimaksud dengan kata <i>dakhala</i> (masuk) adalah ketika beliau hendak masuk, karena jika beliau sudah masuk ke dalamnya, tidak lagi mengucapkannya. Pendapat kami ini dijelaskan oleh Al Bukhari dalam <i>Al Adab Al Mufrad</i> dari hadits Anas, ia berkata:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s50" dir="rtl" style="text-align: left;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s6" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span> [كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -</span></b><span dir="ltr"></span><b><span class="s6" dir="ltr" lang="AR-SA"><span dir="ltr"></span> </span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA">إذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ الْخَلَاءَ]</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Ketika Rasulullah ingin masuk kamar kecil.” (Al hadits) <span class="s30">[Shahih: Shahih Adabul Mufrad 536/692 –ebook editor]<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s30"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Ini berlaku untuk segala tempat yang memang dipersiapkan untuk buang hajat, dengan qarinah kata <i>dakhala</i> tadi. Oleh karena itu, Ibnu Baththal mengatakan, ‘riwayat dengan menggunakan lafazh ‘<i>idza ataa’</i> (bila datang) sifatnya lebih umum, karena lafazh tersebut cakupannya lebih luas.’</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Dzikir ini juga disyariatkan menyebutkannya pada tempat lain yang tidak disediakan sebagai tempat buang air, meskipun hadits itu menjelaskan pada tempat khusus (WC), dan bahwa setan hadir dalam tempat itu. Disyariatkan pula membacanya pada tempat yang bukan disediakan untuk buang air, sewaktu ingin mengangkat kainnya sebelum memasuki kamar kecil.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Zhahirnya hadits Anas ini menunjukkan bahwa Rasulullah mengeraskan bacaan dzikirnya, maka dari itu lebih baik dikeraskan.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> =======================</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> </div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>81 - وَعَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَدْخُلُ الْخَلَاءَ، فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إدَاوَةً وَعَنَزَةً، فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> 81. Dari Anas , ia berkata, ‘Ketika Rasulullah masuk kamar kecil, aku dan seorang anak sebaya denganku membawakannya air sekantong kulit dan tongkat kecil, lalu beliau beristinja dengan air itu.’ (Muttafaq alaih)</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>[shahih: Al Bukhari 150, Muslim 271]<o:p></o:p></b></div> <div class="MsoNormal s4" dir="rtl" style="text-align: center;"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal s8" style="text-align: center;"> <b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل السلام]</span></b><span class="s20"><o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Penjelasan Kalimat</b></div> <div class="MsoNormal"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> ‘<span class="s21">Ketika Rasulullah masuk kamar kecil, aku dan seorang anak </span>(yang dimaksud dengan <i>al ghulam</i> (anak muda) adalah anak yang sedang tumbuh. Ada yang mengatakan sampai usia tujuh tahun, pendapat lain mengatakan sampai tumbuh jenggot. Kata ini berlaku untuk selain itu sebagai kata kiasan) <span class="s21">sebaya denganku membawakannya air sekantong kulit</span> (bejana kecil yang terbuat dari kulit, digunakan sebagai tempat air) <span class="s21">dan tongkat kecil</span>, (tongkat panjang, di bagian bawahnya terdapat besi, seperti lembing, ada yang mengatakan tongkat pendek) <span class="s21">lalu beliau beristinja dengan air itu</span>.’ </div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Yang dimaksud dengan <i>al khala’</i> di sini adalah tanah lapang, berdasarkan qarinah kata <i>anazah</i> (membawa tongkat), karena biasanya apabila beliau berwudhu atau shalat di tanah lapang, beliau gunakan tongkat tersebut untuk menjadi pembatas, atau beliau gunakan sebagai penutup dengan meletakkan kain di atasnya atau yang lainnya, atau kebutuhan lainnya yang sewaktu-waktu dapat terjadi, dan karena melayaninya di rumah adalah tugas istri-istri beliau.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Tentang siapa anak muda yang bersama Anas, ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan dia adalah Ibnu Mas’ud, dan penggunaan kata (ghulam) dalam hadits tersebut adalah sebagai kiasan, tapi pendapat ini dibantah sendiri oleh ucapannya, ‘sebaya denganku’, karena Ibnu Mas’ud ketika itu sudah dewasa, tidak sebaya dengan Anas dalam usianya. Mungkin yang dimaksud dengan kata <i>nahwi</i> adalah sama seperti saya sebagai pelayan Nabi , kemungkinan ini yang benar, karena Ibnu Mas’ud adalah shahabat Rasulullah yang membawakan sepatu dan siwak beliau. Atau bisa jadi hanya sebagai kiasan saja, seperti dalam <i>Asy Syarh</i>. Ada juga yang mengatakan anak muda itu adalah Abu Hurairah, yang lainnya mengatakan adalah Jabir bin Abdullah.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits tersebut menunjukkan bolehnya minta bantuan kepada anak kecil dan beristinja dengan air. Akan tetapi telah dikutip dari pendapat Imam Malik, bahwa ia membantah kebenaran kalau Nabi beristinja dengan air, padahal beberapa hadits telah menegaskan hal tersebut, maka tidak perlu mendengarkan bantahan Imam Malik tersebut. Ada yang bpdp bahwa beristinja dengan air lebih rajih (kuat) daripada istinja dengan batu, dan sepertinya pendapat ini berdasarkan pertimbangan bahwa menyuruh anak kecil untuk membawakan air merupakan tambahan taklif (pembebanan) saja, seandainya sama dengan batu, atau batu lebih kuat, niscaya hal itu tidak dibutuhkan.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Jumhur ulama berpendapat bahwa yang lebih utama adalah menggunakan keduanya. Jika Cuma menggunakan salah satunya saja, maka air lebih utama. Hal ini jika orang yang beristinja itu tidak ingin melaksanakan shalat sesudah itu, tapi jika dia hendak shalat sesudahnya, maka ada perbedaan pendapat. Bagi yang mengatakan sah dengan menggunakan batu maka menggunakan air tidak wajib, tapi bagi yang berpendapat bahwa batu saja tidak sah, maka wajib menggunakan air.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Di antara bab istinja dengan air adalah mengusap tangan dengan tanah ketika selesai beristinja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Abu Hurairah :</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا أَتَى الْخَلَاءَ أَتَيْت بِمَاءٍ فِي تَوْرٍ أَوْ رَكْوَةٍ فَاسْتَنْجَى مِنْهُ ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى الْأَرْضِ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “apabila Rasulullah mendatangi kamar kecil, saya membawakan air untuk beliau dalam bejana kecil dan bejana kulit, lalu beliau beristinja dengannya, kemudian beliau mengusap tangannya di tanah.” <span class="s20">[Hasan: Abu Daud 45]</span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Juga diriwayatkan oleh An Nasa'i dari hadits Jarir dia berkata:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«كُنْت مَعَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَتَى الْخَلَاءَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ: يَا جَرِيرُ هَاتِ طَهُورًا، فَأَتَيْته بِمَاءٍ فَاسْتَنْجَى وَقَالَ بِيَدِهِ فَدَلَّك بِهَا الْأَرْضَ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “Pernah aku bersama-sama Rasulullah , lalu beliau ke kamar kecil untuk buang air, kemudian beliau berkata, <i>“Wahai Jarir, berikan aku alat bersuci’</i>, lalu aku bawakan beliau air, dan beliau pun beristinja dengan tangannya, lalu menggosokkan tangannya ke tanah.” <span class="s20">[Hasan, An Nasa'i 51]</span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Akan dijelaskan hadits yang serupa pada bab mandi.</div> <div class="MsoNormal"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> ============</div> <div class="MsoNormal"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> </div> <div class="sub-body"> <div class="inner"> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>82 - وَعَنْ «الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - خُذْ الْإِدَاوَةَ فَانْطَلَقَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي، فَقَضَى حَاجَتَهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.</span></b></div> <div class="MsoNormal"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> 82. Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, Rasulullah bersabda kepadaku, “<i>ambilkan kantong kulit itu</i>”, lalu beliau pergi sampai tidak kelihatan dariku, lalu beliau buang air. (Muttafaq alaih)</div> <div class="MsoNormal"> <br /></div> <div class="MsoNormal"> <b>[Shahih: Al Bukhari 363, Muslim 274]</b><span class="s24" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div> <div align="center" class="MsoNormal s4" dir="rtl"> <b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></div> <div align="center" class="MsoNormal s8"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div> <div class="MsoNormal"> <b>Tafsir Hadits</b></div> <div class="MsoNormal"> <b><br /></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits di atas adalah dalil bagi orang yang ingin buang hajat agar bersembunyi dari keramaian orang, tetapi hukumnya tidak wajib, karena dalilnya berdasarkan dalil <i>fi’il</i> (perbuatan) yang tidak menunjukkan kewajiban. Tetapi hukumnya bisa wajib jika berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan menutup aurat dari pandangan orang. Dan telah diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah yang memerintahkan untuk memasang tabir, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah bahwasanya Rasulullah bersabda:</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal s17" dir="rtl" style="text-align: justify;"> <span dir="rtl"></span><b><span class="s40" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>«مَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إلَّا أَنْ يَجْمَعَ كَثِيبًا مِنْ رَمْلٍ فَلْيَسْتَدْبِرْهُ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَلْعَبُ بِمَقَاعِدِ بَنِي آدَمَ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ»</span></b></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> “<i>Barangsiapa yang mendatangi tempat buang air maka hendaklah dia menutup dirinya dengan tabir, jika tidak mendapatkan kecuali hanya dengan menumpukkan pasir, maka hendaklah membelakanginya, karena sesungguhnya setan mempermainkan pantat anak Adam, siapa yang melakukannya sungguh ia telah berbuat baik, tapi siapa yang tidak melakukannya maka dia tidak berdosa</i><span class="s20">.” [Dhaif: Abu Daud 35]<o:p></o:p></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span class="s20"><br /></span></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Hadits tersebut menunjukkan bahwa memberi penghalang dengan tabir untuk menutup diri saat buang air hukumnya sunnah, karena tidak adanya dosa (bagi yang tidak bisa melaksanakannya). Akan tetapi ini bukan bararti agar tersembunyi dari pandangan orang lain, tapi ini khusus dengan qarinah ‘sesungguhnya setan’. Seandainya sewaktu buang air di tanah lapang yang tidak ada orang di sana, tetap saja membuat tabir disunnahkan, sekalipun hanya dengan menumpukkan pasir.</div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <br /></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKAAEuN8oxIyq6pazjCGT2Iw73is4ZBAY4XQtGTyZgQ2ai9iZO6fM0cjCpMiy_BCyQ7CvVdNodQv6dJSoyUAUpMIT4pQpmgAQjqA_8uPaJqMwqKsDEM63QTnmUEG86hregF3uwWJlb9yQ/s200/subulussalam.jpg" style="text-align: center;" width="200" /></div> </div> </div> </div> </div> </div> </div> </div> </div>

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0079-82

79 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا دَخَلَ...

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 96-100

<span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 96</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="font-size: large;"><br style="background-color: white; font-family: arial; text-align: justify;" /></span><br /> <div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: Oswald; text-align: justify;"><span style="font-size: large;">"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang mukmin, yang tertimpa fitnah, yang banyak bertobat."</span></span></div> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits ini maudhu'. </span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa'id al-Musnad, dengan nomor 605, dan 810, juga oleh Abu Naim dalam kitab al-Haliyyah III /178-179, dengan sanad dari Abi Abdillah Musalmali ar-Razi, dari Abi Amr al-Bajali, dari Abdul Malik bin Sufyan ats-Tsaqafi.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Sanad ini maudhu'. </span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Dalam biograftnya, Abu Abdillah ar-Razi tidak dikenal sebagai perawi. Inilah pernyataan Ibnu Hajar. Sedangkan Abu Amr al-Bajali adalah Ubaidah. Ibnu Hibban berkata, "Tidak dibenarkan riwayatnya untuk dijadikan dalil." Kemudian Abdul Malik bin Sufyan telah dinyatakan oleh al-Husaini sebagai perawi majhul (tak dikenal). Pernyataaan al-Husaini dibenarkan oleh al-Iraqi.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 97</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: Oswald; text-align: justify;"><span style="font-size: large;">"Sesungguhnya Allah mencintai pemuda yang bertobat."</span></span></div> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits ini dha'if.</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"> Al-Iraqi berkata dalam at-Takhrij IV/4-5, "Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitab at-Taubah dan Abu Syekh dalam kitab ats-Tsawab, dari hadits Anas bin Malik dengan sanad yang dha'if."</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 98</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: Oswald; text-align: justify;"><span style="font-size: large;">"Sesungguhnya Allah mencintai pemuda yang menghabiskan masa mudanya dalam ketaatan kepada Allah."</span></span></div> <div style="text-align: center;"> <span style="font-family: arial; font-size: 14px;"><br /></span></div> <span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits ini maudhu'.</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"> Telah diriwayatkan oleh Abu Naim V/360 dari sanad Muhammad bin Fadhl bin Athiyah, dari Salim al-Afthas, dari Umar bin Abdul Aziz, dari Abdullah bin Umar r.a.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Sanad hadits ini adalah maudhu' sebab Muhammad bin Fadhl adalah pendusta. Inilah kelemahan hadits ini.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Saya khawatir sanadnya terputus antara Umar bin Abdul Aziz dengan Abdullah bin Umar r.a., sebab pada saat Abdullah bin Umar r.a. wafat, usia Umar bin Abdul Aziz baru sekitar tiga belas tahun.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 99</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: Oswald; font-size: large; text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah mencintai orang yang beribadah dan bersih."</span></div> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits ini maudhu'.</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"> Telah diriwayatkan oleh al-Khatib dalam at-Tarikh II/11-12, dari sanad Abdullah bin Ibrahim al-Ghiffari, dari al-Munkadir bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Sanad tersebut adalah maudhu', sebab al-Ghiffari tertuduh suka memalsu riwayat.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 100</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: center;"> <span style="font-family: arial;"><span style="font-size: large;"><br /></span></span></div> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; text-align: justify;"><div style="text-align: center;"> <span style="font-family: Oswald;"><span style="font-size: large;">"Kebaikan orang yang banyak berbakti sama dengan kejelekan orang-orang muqarrabin (didekatkan Allah)."</span></span></div> </span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits ini batil dan tidak ada sumbernya.</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"> Telah diriwayatkan oleh al-Ghazali dalam Ihya IV/44, dengan redaksi: "Telah berkata orang-orang yang benar dan seterusnya."</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">As-Subuki berkata, "Tidak diketahui siapakah yang dimaksud oleh al-Ghazali sebagai orang-orang yang benar."</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Menurut saya, barangkali al-Ghazali tidak bermaksud menyatakannya sebagai hadits. Karena itu, al-Iraqi tidak menyebutkannya dalam kitabnya Takhriij Ahadits al Ihya, namun hanya mengisyaratkan bahwa pernyataan al-Ghazali itu adalah dari ucapan Abi Said al-Kharaz, seorang sufi.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;">Menurut hemat saya, makna riwayat tersebut tidak benar, sebab bagaimanapun juga yang namanya kebaikan tidak mungkin akan berubah menjadi kekejian, siapapun yang melakukannya. Hanya saja sesuatu amal akan berbeda hasil dan bentuknya jika si pelaku berbeda. Itu pun dalam hal amal yang mubah (dibolehkan) dan tidak ada pujian ataupun celaan. Wallahu a'lam.</span><br /> <br /> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" />

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 96-100

Hadits 96 "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang mukmin, yang tertimpa fitnah, yang banyak bertobat." Hadits ini maudhu'....

Read more »