٥- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا
يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
- وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي
لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد:
«وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
5. Dari Abu Hurairah , ia berkata, ‘Rasulullah bersabda,
“Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang
(tidak mengalir)
sedang ia junub.”
(HR. Muslim)
[Shahih: Muslim
283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang
kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di
dalamnya.”
[shahih: Al Bukhari 239, Muslim
282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan
janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami
7595]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Janganlah salah seorang kalian mandi di
dalam air yang tenang (yaitu air yang diam
tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim
meriwayatkannya dengan lafazh ini) di
dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi
dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia
mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi
(menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara
tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian
ia mandi darinya.”
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika
pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit
menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat
menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka
yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan
pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan
melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab
bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka
yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya
berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap
suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena
larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut
Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan
bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan
haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak,
“Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika
tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya
adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat
dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh
tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran
keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya
dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman,
karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa
larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai
kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir
sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun
air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang
mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena
hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir,
maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya
dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada
yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing
dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di
dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal
itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai
dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi
kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram
berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga
berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak
untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan
dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam
air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus
dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air
tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak
terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu dalam air yang telah dikencingi
sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat
disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ
الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air
yang diam kemudian ia berwudhu darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami
7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan
kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At
Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits
Abu Hurairah secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan
Al Baihaqi dengan tambahan,
[أَوْ يَشْرَبُ]
‘atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 1256]
=============
💎 BEBERAPA FAEDAH HADITS
=============
💎 BEBERAPA FAEDAH HADITS
1). Tidak diperbolehkan mandi dengan cara memasukkan tubuh ke dalam air yang tidak mengalir, sementara dia dalam keadaan junub.
2). Mafhum hadits ini, bolehnya mandi di air diam, jika tidak dalam keadaan junub. Tentu dengan syarat jika tidak memudaratkan manusia dan tidak menyebabkan gangguan pada mereka.
3). Bolehnya mandi di air yang mengalir bagi orang yang junub dan yang tidak junub, selama tidak menimbulkan kemudaratan.
4). Larangan kencing di air yang tidak mengalir, lalu mandi dari air tersebut, atau mandi di dalamnya. Telah datang pula riwayat yang melarang secara mutlak kencing di air yang tidak mengalir, meskipun ia tidak mandi dari air tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dari hadits Jabir رَضِيَ اللهُ عَنُْه , berkata: bahwa Rasulullah َصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَسَلَّم melarang kencing di air yang tergenang."
5). Jika kencing tidak diperbolehkan pada air yang tergenang, maka lebih terlarang lagi jika seseorang buang air besar di air tersebut.
6). Ulama sepakat tentang bolehnya kencing atau mandi pada air yang tidak mengalir, jika airnya berjumlah banyak, seperti lautan atau danau. Maka ini dikecualikan dari larangan yang terdapat didalam hadits tersebut.
0 comments:
Post a Comment