٨- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ
مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ "
فَلْيُرِقْهُ "، وَلِلتِّرْمِذِيِّ " أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُولَاهُنَّ
"
8. Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda,
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing,
hendaknya ia
mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.
(HR. Muslim)
Dan pada lafazh lain: “Hendaklah ia
menumpahkannya”
[HR. Muslim 279]
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, atau yang pertama
dengan tanah.”
[shahih: shahih al Jami
8116]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian
yang dijilat anjing, (ia minum apa yang terdapat di dalamnya dengan
ujung-ujung lidahnya atau ia memasukkah lidahnya ke dalamnya lalu
menggerak-gerakkannya) hendaknya ia mencucinya
(maksudnya bejana tersebut) tujuh kali, yang
pertama dengan tanah.”Hendaklah ia
menumpahkannya” (yaitu air yang telah dijilat
anjing)
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir,
(yaitu yang ketujuh).
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan beberapa hukum:
Pertama: najisnya mulut anjing. Rasulullah memerintahkan untuk mencuci sesuatu (bejana) yang dijilat anjing, dan
menumpahkan air yang ada di dalamnya. sabda beliau “sucinya bejana salah seorang
dari kalian”. maka tidak diperintahkan dicuci, kecuali dari hadats atau najis,
dan di sini tidak ada hadats, berarti najis. Menumpahkannya berarti
membuang-buang harta, maka seandainya air tersebut suci niscaya beliau tidak
akan menyuruh menyia-nyiakannya karena membuang-buang harta terlarang.
Secara zhalim, hadits itu menunjukkan bahwa mulut anjing itu
najis dan badannya dihukumi sama dengan mengqiyaskannya. Karena jika telah jelas
bahwa ludahnya najis, ludahnya adalah bagian dari mulutnya, dan ludah adalah
peluh mulutnya serta peluh adalah bagian yang keluar dari badan, maka demikian
pula semua badannya.
Tetapi ulama yang berpendapat bahwa perintah mencuci bukan
lantaran najisnya anjing, ia berkata, “Boleh jadi najis itu terdapat pada mulut
dan ludahnya, sebab mulutnya adalah tempat yang biasa ia gunakan untuk memakan
najis sebagaimana umumnya, ia mengaitkan hukum tersebut dengan melihat kepada
keumuman kondisinya seperti memakan berbagai najis dan bersentuhan secara
langsung, tidak menunjukkan bahwa benda (mulut)nya yang najis.
Pendapat mengenai najisnya air liur anjing adapun pendapat
jumhur, dan yang menyelisihinya adalah pendapat Malik, Daud dan Az Zuhri. Dalil
kelompok pertama adalah sebagaimana yang telah disebutkan, dan dalil selain
mereka – yaitu mereka yang berpendapat bahwa perintah mencuci adalah untuk
ta’abbudi bukan lantaran najis -, mereka berkata, “Seandainya karena
najis, niscaya cukup jika kurang dari tujuh kali, karena najisnya tidak lebih
dari kotoran.” Argumen ini dapat dijawab, bahwa hukum asal perintah untuk
mencuci dapat dipahami maknanya dan bisa dikemukakan alasannya, yaitu lantaran
najis, dan dasar daripada berbagai hukum adalah dengan mengemukakan alasan, maka
ia dikategorikan ke dalam yang umum dan mayoritas. Yang bersifat
ta’abbudi hanyalah pada jumlahnya, demikian yang terdapat dalam Asy Syarh
yaitu yang diambil dari Syarh Al Umdah.
Kami telah menetapkan pada catatan kaki yang menyelisihi apa
yang telah mereka tetapkan, yaitu keumuman hukum yang bisa dikemukakan
alasannya. Di sana kami telah mengomentarinya panjang lebar.
Kedua: bahwa hadits tersebut menunjukkan
kewajiban mencuci tujuh kali pada bejana, dan hal itu sudah jelas. Yang
mengatakan tidak wajib tujuh kali, tetapi jilatan anjing sama dengan najis-najis
lainnya, dan tujuh kali hanyalah Sunnah, hal itu berdasarkan dalil bahwa perawi
hadits yaitu Abu Hurairah berkata, “jilatan anjing dicuci tiga kali,
sebagaimana ditakhrij oleh Ath Thahawi dan Ad Daruquthni.
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa yang diamalkan adalah yang
diriwayatkan dari Nabi bukan menurut pendapatnya dan yang ia fatwakan. Juga
karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan darinya, bahwa ia
memfatwakan dengan mencuci tujuh kali, dan ini lebih kuat sanadnya, dan juga
menjadi lebih kuat karena sesuai dengan riwayat marfu. Dan berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda mengenai anjing
yang menjilat bejana,
[يُغْسَلُ ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ
سَبْعًا]
“Dicuci tiga kali, atau lima kali, atau tujuh
kali.”
[Penerbit Darus Sunnah (h. 50) dalam
catatan kaki menuliskan hadits ini shahih riwayat muslim 279, ini adalah keliru
yang benar hadits ini dikeluarkan oleh Ad Daruquthni 194, berkata Ad Daruquthni,
Abdul Wahab meriwayatkannya secara sendirian dari Isma’il bin Ayyas dan dia
matrukul hadits]
Mereka berkata, “Hadits tersebut menunjukkan tidak
ditentukannya tujuh kali, bahkan diberikan pilihan, dan tidak ada pilihan bagi
yang ditentukan.” Jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dhaif tidak bisa
dijadikan hujjah.
Ketiga: wajib mencuci bejana dengan debu sebagaimana telah
ditegaskan dalam hadits. Kemudian hadits tersebut menunjukkan ditentukannya
tanah, dan digunakan pada cucian yang pertama. ulama yang mewajibkannya berkata,
“Tidak ada perbedaan antara mencampur air dengan tanah hingga keruh, atau air
disiramkan atas tanah, atau tanah dimasukkan ke dalam air.” Bagi mereka yang
berpendapat wajibnya mencuci tujuh kali berkata, “Tidak wajib mencuci dengan
tanah, lantaran hal itu tidak kuat menurutnya.” Dapat dijawab, bahwa telah
ditegaskan dalam riwayat yang shahih tanpa keraguan dan tambahan dari perawi
tsiqah dapat diterima.
Disebutkan bahwa riwayat tentang mencampur dengan tanah tidak
konsisten. Terkadang diriwayatkan dengan lafazh yang pertama atau yang
terakhir, atau salah satunya atau yang ketujuh atau yang
kedelapan, dan idhthirab (ketidakkonsistenan) adalah aib, maka wajib
dibuang. Dapat dijawab, bahwa ketidakkonsistenan tidak menjadi aib kecuali jika
riwayat-riwayat tersebut sama, di sini tidak seperti itu. Karena, riwayat dengan
lafazh yang pertama lebih kuat lantaran banyaknya perawi,
dan diriwayatkan oleh salah seorang Ash-Shahihain. Hal itu merupakan tarjih
ketika terjadi perbedaan, sedang lafazh-lafazh riwayat yang bertentangan
dengannya tidak dapat menandinginya.
Yakni, bahwa riwayat, ‘yang terakhir’ diriwayatkan
secara menyendiri, tidak didapatkan sedikitpun dalam buku-buku hadits yang
bersanad.
Riwayat ‘yang ketujuh dengan tanah’ terdapat perbedaan
padanya, maka tidak dapat menyaingi riwayat ‘yang pertama dengan
tanah’.
Riwayat ‘salah satu di antaranya’, tidak terdapat
dalam buku-buku induk, tetapi diriwayatkan oleh Al Bazzar, meskipun shahih, hal
itu bersifat mutlak (umum) sehingga wajib mengamalkan yang
muqayyad (khusus)
Riwayat ‘yang pertama atau yang terakhir’, diberikan
pilihan. Jika itu dari perawi maka hal itu adalah keraguan darinya dan harus
dikembalikan kepada tarjih, dan riwayat ‘yang pertama’ lebih kuat. Dan
jika termasuk sabda Rasulullah, maka hal itu adalah pemberian pilihan dari
beliau. hal ini dikembalikan kepada pentarjihan riwayat ‘yang
pertama’ karena disebutkan oleh salah seorang dari Ash-Shahihain sebagaimana
Anda ketahui.
Sabda beliau, ‘Bejana selalu salah seorang dari
kalian’, penyandaran bejana di sini dihilangkan, sebab hukum suci dan najis
tidak hanya karena memiliki bejana. Demikian pula sabda beliau, ‘Maka
hendaklah ia mencucinya’, tidak berarti bahwa harus pemilik bejana yang
mencucinya. Dan dalam sabdanya yang lain, ‘maka hendaklah ia
menumpahkannya’, adalah termasuk lafazh Muslim, yaitu perintah menumpahkan
air atau makanan yang dijilat anjing. Lafazh tersebut adalah dalil paling kuat
yang menunjukkan najis, karena yang ditumpahkan lebih umum daripada hanya
sekedar air atau makanan. Sekiranya makanan atau air itu suci, pasti beliau
tidak menyuruh untuk menumpahkannya, sebagaimana yang telah Anda ketahui.
Namun, penulis menukil dalam Fathul Bari bahwa lafazh
ini tidak shahih dari para Hafizh. Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak pernah
dinukil oleh para Hafizh dari sahabat-sahabat Al Amasy. Ibnu Mundah berkata,
“Tidak dikenal dari Nabi SAW dalam bentuk bagaimanapun.”
Memang betul, penulis tidak menyebutkan cucian yang
kedelapan, sementara hal ini ditegaskan oleh Muslim,
[وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ
بِالتُّرَابِ]
“Dan campurlah yang kedelapan dengan tanah.”
[HR. Muslim 280]
Ibnu Daqiqil Id berkata, “Sesungguhnya hal itu dikatakan oleh
al Hasan al Bashri, dan tidak dikatakan oleh yang lainnya.” Ini adalah pendapat
dari ulama terdahulu, dan derajat haditsnya kuat. Dan bagi yang tidak
berpendapat dengannya, telah melakukan penakwilan yang tidak tepat.
Saya katakan, “Cara penakwilan yang tidak tepat, telah
disebutkan oleh An Nawawi, ia berkata, “Maksudnya cucilah tujuh kali dan salah
satu di antaranya dengan tanah bersama air”, dengan demikian berarti tanah
menggantikan satu kali cucian, maka disebut yang kedelapan.”
Saya katakan, “Dan seperti itu dikatakan oleh Ad-Darimi dalam
Syarh Al Minhaj”, dan ia menambahkan, “Sesungguhnya ia memutlakan mandi
dengan mencampurkan debu sebagai kiasan.”
Saya katakan, “Tidak asing lagi, bahwa maksud penulis
menyebutkannya, dan adanya takwil dengan mengeluarkannya kepada majaz,
semua itu adalah pembelaan terhadap mazhab, dan yang benar adalah apa yang
dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri.
Adapun perintah membunuh anjing, larangan membunuhnya, dan
hal-hal yang boleh dipergunakan darinya, akan dibahas pada bab binatang buruan.
0 comments:
Post a Comment