٢ - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- «إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ
وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
2. Dan dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya air itu suci tidak ada sesuatupun yang dapat
menajiskannya.
(HR. Imam yang tiga dan dishahihkan Ahmad)
[Shahih: Shahih Al-Jami
1925]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Abu Sa’id nama lengkapnya adalah Sa’id bin Malik bin Sinan Al
Khazraji Al Anshari. Al Khudri dinisbatkan kepada Khudrah, salah satu suku
Anshar sebagaimana dalam Al Qamus.
Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama para shahabat yang
menyaksikan Baiat Asy Syajarah. Meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa
dalam beberapa waktu.”
Abu Sa’id meninggal pada awal tahun 74 H dalam usia 86 tahun.
Banyak meriwayatkan haditsnya. Sekelompok shahabat meriwayatkan hadits darinya.
Ia memiliki 84 hadits dalam Ash-Shahihain.
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang tiga, yaitu para
penyusun kitab as sunan selain Ibnu Majah, sebagaimana yang sudah diketahui, dan
dishahihkan oleh Ahmad. Dalam Mukhtashar As Sunan, Al Hafidz Al Mundziri
berkata: “Sesungguhnya sebagian mereka mengomentarinya dan diceritakan dari Imam
Ahmad bahwa ia berkata, “Hadits sumur Budha’ah shahih.”
At Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih.” Abu Usamah
menganggap baik hadits ini. tidak ada hadits Abu Sa’id mengenai sumur Budha’ah
yang lebih baik dari yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Hadits ini diriwayatkan
lebih dari satu jalur dari riwayat Abu Sa’id.
Hadits tersebut memiliki sebab, yaitu ketika
«قِيلَ لِرَسُولِ لِلَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ
فِيهِ الْحَيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ: الْمَاءُ
طَهُورٌ»
Rasulullah ditanya, “Apakah kami boleh berwudhu
dari sumur Budha’ah, yaitu sumur tempat membuang kain-kain bekas haidh,
bangkai, anjing dan barang-barang busuk? Maka beliau menjawab, “Air itu
suci”. Al hadits.
Demikian yang terdapat dalam sunan Abu Daud dan dalam satu
lafazh padanya:
[إنَّ الْمَاءَ]
Sesungguhnya air itu...
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis.
Perlu diketahui, bahwa dalam Asy-Syarh penulis telah
mengomentarinya panjang lebar, dan menyebutkan pendapat-pendapat mengenai air
secara memadai. Dalam membahas masalah air ini, kami akan membatasinya pada
hadits-hadits terpenting, mengetahui pengambilan pendapat-pendapat tersebut dan
cara pengambilan dalil, maka kami katakan, “Banyak hadits telah diriwayatkan
yang dijadikan dalil tentang hukum-hukum air, seperti:
«الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ
شَيْءٌ»
“air itu suci dan tidak ada sesuatu yang dapat
menjadikannya najis.”
«إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ
الْخَبَثَ»
Apabila air itu telah sampai dua qullah, maka tidak
mengandung kotoran.
[shahih: Shahih Al-Jami
416]
Dan hadits perintah menuangkan satu timba air pada tempat
yang terkena air seni orang Arab Badui di dalam Masjid.
[shahih: shahih Al Bukhari (219, 221) Muslim
(284)]
«إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ فَلَا يُدْخِلْ
يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا»
“apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka
janganlah ia masukkan tanggannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya tiga
kali.”
[shahih: shahih Al Bukhari (162) Muslim
(278)]
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ
الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air
yang tenang (air yang tidak mengalir) kemudian ia mandi padanya.”
[shahih: shahih Al Bukhari (239,
282)]
«إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ
أَحَدِكُمْ»
“Apabila ada anjing menjilat pada bejana salah seorang
dari kalian....”
[shahih: shahih Muslim
(279)]
Hadits-hadits tersebut semuanya kuat, dan akan disebutkan
semuanya pada komentar penulis. Jika hal ini telah Anda ketahui, maka
sesungguhnya pendapat-pendapat para ulama berbeda-beda mengenai air jika
bercampur dengan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya.
Al Qasim, Yahya bin Hamzah dan sekelompok pengikutnya, Malik
dan Azh-Zhahariayah berpendapat bahwa aiur itu suci, baik sedikit maupun banyak,
berdasarkan hadits, Air itu suci. Hanya saja mereka menghukumi ketidaksucian air
jika berubah salah satu sifatnya sebab terkena najis, berdasarkan kesepakatan
ulama atas hal tersebut, sebagaimana yang sebentar lagi akan dibahas.
Menurut golongan Al Hadawiyah, Al Hanafiyah dan Asy Syafiiyah
mereka membagi air dalam dua kategori, air sedikit yang dapat dirusak oleh najis
secara mutlak, dan air yang banyak yang tidak dapat dirusak kecuali jika dapat
mengubah salah satu sifat-sifatnya.
Kemudian mereka berbeda pendapat dalam memberikan batasan air
sedikit dan air yang banyak:
Al Hadawiyah berpendapat dalam membatasi air yang
sedikit, yaitu kondisi air yang terkena najis, ketika orang yang menggunakannya
beranggapan bahwa dengan menggunakan air tersebut berarti ia telah menggunakan
air najis. Jika si pemakai air tersebut tidak beranggapan demikian berarti
dianggap sebagai air yang banyak. Dan selain mereka berpendapat yang berbeda
dalam memberikan batasan air yang sedikit di antaranya:
· Al Hanafiyah
berkata: “Batasan air yang banyak adalah air yang apabila seseorang menggerakkan
salah satu ujungnya, gerakan tersebut tidak sampai pada ujung lainnya, dan
selain itu berarti sedikit.”
· Sementara
Asy-Syafi'iiyah berkata: “Air yang banyak adalah yang sampai dua kullah menurut
ukuran kullah bani Hajar, yaitu sekitar 500 liter, berdasarkan hadits tentang
air dua kullah, dan jika kurang berarti sedikit.”
Perbedaan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan
hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu. Karena hadits tentang bangun
tidur dan hadits tentang air tenang menunjukkan bahwa najis yang sedikit membuat
najis air yang sedikit, demikian pula tentang air yang dijilat anjing dan
perintah menuangkan air yang dijilatnya. Kemudian ditentang oleh hadits orang
Badui dan perintah menuangkan satu timba air di atasnya, karena hal itu
menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat menajiskan air yang sedikit,
dan sudah maklum bahwa tempat yang terkena dengan air seni orang Badui tadi
telah disucikan oleh satu timba tersebut, demikian pula sabda beliau, “Air
itu suci dan tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu.”
Kelompok pertama, mereka yang berpendapat bahwa tidak ada
sesuatu yang dapat menajiskannya kecuali yang mengubah salah satu sifatnya.
Hadits-hadits tersebut dikumpulkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak
ada yang dapat menajiskannya sebagaimana yang ditunjukkan lafazh ini dan hadits
orang Badui. Sedang hadits bangun tidur, air tenang dan yang dijilat anjing
tidak disebutkan untuk menjelaskan hukum najisnya air, tetapi perintah untuk
menjauhinya sebagai ta’abud bukan karena najis, dan untuk menunjukkan
makna yang tidak kita ketahui sebagaimana kita tidak mengetahui hikmah jumlah
shalat dan yang lainnya.
Pendapat lain, bahwa larangan dalam hadits-hadits ini
hanyalah makruh, tetapi ia suci dan menyucikan.
Asy-Syafi'iyyah memadukan hadits-hadits tadi, bahwa hadits
‘tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya najis’, berlaku untuk air yang
sampai dua kullah dan yang lebih dari itu berarti banyak. Sedangkan hadits
bangun tidur dan air tenang berlaku untuk air sedikit. Sedangkan menurut Al
Hadawiyah, bahwa hadits bangun tidur berlaku sebagai Sunnah, maka tidak wajib
mencucinya.
Al Hanafiyah berkata, “Yang dimaksud dengan ’tidak ada
sesuatu yang dapat menajiskannya, adalah air banyak yang telah terdahulu
pembatasannya, dan mereka mencela hadits dua kullah bahwa hadits tersebut adalah
mudhtharib. Demikian pula dianggap cacat oleh Imam Al Mahdi dalam Al
Bahr, sebagian mereka menakwilkannya dan hadits-hadits lainnya pada air
sedikit.
Akan tetapi diriwayatkan atas mereka hadits air seni orang
Badui, karena sesungguhnya hadits tersebut –sebagaimana yang telah Anda ketahui-
menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat merusak air yang sedikit, lalu
Asy-Syafi'iyah membantahnya dengan membedakan antara air yang mencampuri najis
dengan najis yang mencampuri air, mereka berkata, “Jika najis mencampuri air,
maka ia menajiskannya, sebagaimana pada hadits bangun tidur, dan jika air yang
mencampuri najis maka tidak merusaknya sebagaimana dalam hadits air seni orang
Badui.” Dalam hal ini ada pembahasan yang telah kami teliti pada catatan kaki
syarh Umdah dan Dha’untuk An Nahr.
Kesimpulannya yaitu mereka menghukumi bahwa jika najis
mengalir pada air yang sedikit dapat membuatnya najis, dan jika air yang
mengalir pada najis, maka tidak membuatnya najis. Mereka menjadikan Illat
tidak dapatnya air menjadi najis karena mengalir pada benda najis. Namun tidak
demikian, bahkan menurut penelitian ketika air mengalir di atas najis ia
mengalir di atasnya sedikit demi sedikit hingga benda najis itu hilang dan najis
tersebut hilang sebelum musnahnya benda najisnya, maka air yang terakhir
mengalir di atas najis mendapati tempat najis itu telah suci atau
masih tersisa bagian yang ada najisnya, namun akan hilang dan lenyap ketika
bertemu dengan bagian akhir dari air yang mengalir di atasnya, sebagaimana
hancur dan lenyapnya najis yang mengalir di atas air yang banyak menurut ‘ijma.
Maka tidak ada perbedaan antara ini dengan air yang banyak dalam menghilangkan
najis, karena bagian akhir yang mengalir atas najis dapat menghilangkan bendanya
lantaran banyaknya terhadap najis yang masih tersisa, maka Illat tidak
najisnya dengan mengalir atasnya adalah karena banyaknya dan bukan karena ia
mengalir di atasnya, sebab tidak masuk akal perbedaan antara dua yang mengalir
bahwa salah satunya dapat menajiskannya dan yang lain tidak.
Jika Anda telah mengetahui apa yang telah kami terangkan
terdahulu, bahwa tidak ada dalil yang tegas dalam pembatasan air banyak dan
sedikit, maka pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) dengan memperhatikan
dalil adalah pendapat Al Qasim bin Ibrahim dan para pendukungnya, yaitu pendapat
sekelompok shahabat sebagaimana dalam Al Bahr, dan dipegangi oleh para
imam mutaakhir dan di antara mereka yang memilihnya adalah Imam Syarafuddin.
Ibnu Daqiq Al Id berkata: “Sesungguhnya hal itu adalah
pendapat Ahmad bin Hanbal, dan didukung oleh sebagian ulama mutaakhir dari para
pengikutnya dan juga ditarjih (dikuatkan) oleh salah seorang pengikut Imam
Asy-Syafi'i yaitu Al Qadhi Abul Hasan Ar-Ruyani penulis Bahr Al Mazhab,
ia mengungkapkannya dalam Al Iman.”
Dalam Al Muhalla Ibnu Hazm berkata, “Sesungguhnya
pendapat itu diriwayatkan dari Aisyah RA Ummul Mukminin, Umar bin Khaththab,
Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Maimunah Ummul
Mukminin, Abu Hurairah RA, Khuzaifah bin Al Yaman, Al Aswad bin Yazid,
Abdurrahman saudaranya, Ibnu Al Musayyib, Ibnu Abi Laila, Sa’id bin Jubair,
Mujahid, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad dan Al Hasan Al Bashri serta yang
lainnya.
=========
=========
Faedah Hadits:
1). Air memiliki sifat Thahur, yaitu suci dan menyucikan.
2). Selama tidak terjadi perubahan pada warna, rasa dan bau pada air,mair tetap memiliki hukum asal, suci dan menyucikan.
3). Telah terjadi ijma’ ulama bahwa jika najis bercampur ke dalam air yang kemudian merubah salah satu dari tiga sifat air tersebut: warna, rasa dan bau, maka air itu menjadi najis.
4). Jika salah satu sifat air berubah karena sesuatu yang suci dan bukan najis, maka air tetap bersifat suci dan menyucikan, selama ia tetap disebut sebagai air.
========================
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
FIQIH HADITS
Hadits Abu Sa’id Al khudriy (no: 2) bersama ijma’ ulama di atas mengandung beberapa hukum, dalam masalah air diantaranya:
Hadits Abu Sa’id Al khudriy (no: 2) bersama ijma’ ulama di atas mengandung beberapa hukum, dalam masalah air diantaranya:
1. Bahwa air itu sedikit atau banyak tetap suci dan mensucikan kecuali kalau berubah salah satu sifatnya seperti baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan najis. Inilah yang menjadi mazhabnya para shahabat seperti Umar bin Khath-thab, Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan lain-lain. Demikan juga tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Mujahid, Ikrimah, Hasan Bashri dan lain-lain. Dan yang menjadi mazhabnya imam Malik dan imam Ahmad -dalam salah satu pendapatnya- dan Azh Zhahiriyah dan lain-lain. Mereka semuanya mengamalkan ketegasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id Al Khudriy (no:2) (Subulus Salam 1/17-18).
2. Bahwa ait itu sedikit atau banyak apabila kemasukan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya, maka air itu tetap suci menurut mazhab yang lebih kuat dan benar dari perselisihan para ulama sebagaimana telah dijelaskan dengan luas berdasarkan dalil-dalil naql dan akal oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau sendiri menguatkannya dan berpegang dengan mazhab ini. Dan inilah yang menjadi mazhabnya Malik dan Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- dan lain-lain. (Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 21/30-35)
3. Bahwa air itu sedikit atau banyak apabila berubah salah satu sifatnya seperti: baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan atau bercampur dengan suatu zat yang tidak najis seperti sabun atau daun bidara atau kamper atau tepung atau garam dan lain-lain selama tidak berubah nama bagi zat air tersebut –seperti berubah namanya menjadi air teh, air kopi atau susu- maka air tersebut tetap suci dan mensucikan berdasarkan beberapa dalil:
a). Hadits Abu Hurairah (no:1) bahwa air laut itu suci, sedangkan air laut itu telah berubah rasanya, baunya dan warnanya karena bercampur dengan garam yang begitu banyak sehingga berubah rasanya menjadi asin, akan tetapi tidak sampai merubah nama bagi zat air tersebut.
b). Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan memandikan orang yang mati dalam keadaan ihram dengan air dan daun bidara sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1267,1268) dan Muslim (no:1206).
c). Dan beliau juga telah memerintahkan memandikan anak perempuannya yang mati dengan air dan daun bidara sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari (no: 1253).
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Sudah maklum, bahwa daun bidara itu dapat merubah air, maka kalau sekiranya perubahan dapat merusak air tersebut niscaya beliau tidak akan memerintahkannya.”
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Sudah maklum, bahwa daun bidara itu dapat merubah air, maka kalau sekiranya perubahan dapat merusak air tersebut niscaya beliau tidak akan memerintahkannya.”
d). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudlu dari bak yang di dalamnya terdapat bekas tepung sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasaa-i (no: 415), Ibnu Majah (no: 378) dan Ahmad (6/342).
e). Keumuman firman Allah: “…Maka jika kamu tidak mendapatkan air…” (Al Maidah ayat: 6). Lafazh air bersifat umum dalam bentuk nakirah. (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah 21/24-29).
0 comments:
Post a Comment