10 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ -، قَالَ: «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ،
فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
10. Dari Anas bin Malik ia berkata, ‘Seorang Arab Badui
datang, lalu kencing di sudut masjid, maka orang-orang membentaknya, dan Nabi melarang mereka. Setelah ia selesai kencing, Nabi menyuruh untuk
mengambil air satu timba, lalu dituangkan di tempat yang kena najis tersebut.
(Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 221, Muslim
284]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Anas bin Malik adalah Abu Hamzah Khazraji
pelayan Rasulullah sejak beliau datang ke Madinah hingga wafatnya. Ketika
Rasulullah datang ke Madinah, Anas baru berumur 10 atau 9 atau 8 tahun,
dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Ia tinggal di Bashrah sejak masa
Khilafah Umar untuk mengajar kepada umat manusia. Umurnya panjang hingga 103
tahun. Ada yang mengatakan kurang dari itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Pendapat
yang paling shahih adalah 99 tahun.” Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal
dunia di Bashrah yaitu pada tahun 91 atau 92 atau 93 H.
Penjelasan Kalimat
‘Seorang Arab Badui datang,
(dinisbatkan kepada Al Arab yaitu mereka yang tinggal di pedesaan baik orang
Arab maupun non Arab. Disebutkan namanya adalah Dzul Khuwaisharah Al Yamani,
bertabiat kasar) lalu kencing di sudut masjid, (yaitu
sudut Ath Thaifah, adalah bagian dari sesuatu) maka orang-orang
membentaknya, (yakni menghardik.
Dalam lafazh lain:
[فَقَامَ إلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا
بِهِ]
‘maka orang-orang menuju kepadanya untuk memukulnya’
[shahih: shahih Al Bukhari
5777]
Dalam lafazh lain:
فَقَالَ أَصْحَابُ
رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَهْ، مَهْ،
‘maka para shahabat Rasulullah berkata ‘mah..mah..’
[shahih: shahih Muslim
285]
dan Nabi melarang mereka. (dengan
mengatakan:
[دَعُوهُ]
biarkanlah dia.
Dalam lafazh lain:
لَا
تَزْرِمُوهُ
“janganlah kalian memutuskannya.”)
[Shahih: Shahih Al Bukhari 5679, Muslim
285]
Setelah ia selesai kencing, Nabi menyuruh
untuk mengambil air satu timba, (yaitu satu timba penuh. Pendapat lain
mengatakan yang banyak) dari air (sebagai bentuk
penegasan, jika bukan sebagai penegasan maka telah ditunjukkan oleh lafazh
(الذَّنُوبِ) (satu timba air) sama dengan (كَتَبْت بِيَدَيَّ) (saya menulis dengan tanganku). Dalam satu
riwayat (سَجْلًا), artinya satu timba) lalu
dituangkan di tempat yang kena najis tersebut.
Tafsir Hadits
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan
najisnya air kencing manusia, dan ini merupakan ijma ulama. Juga
menunjukkan bahwa bumi itu dapat disucikan dengan air sebagaimana najis-najis
lainnya. Lalu, apakah najis bisa disucikan dengan selain air? Ada yang
berpendapat bahwa dapat disucikan oleh matahari dan angin, karena pengaruh
keduanya dalam menghilangkan najis lebih besar daripada air, dan berdasarkan
hadits:
[زَكَاةُ الْأَرْضِ يُبْسُهَا]
“sucinya bumi itu ketika telah kering.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 624,
merupakan perkataan Abu Ja’far –ebook editor]
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dapat dijawab
bahwa ia menyebutkannya secara mauquf bukan sabda Rasulullah SAW.
sebagaimana Abdurrazzaq menyebutkan hadits Abu Qilabah mauquf atasnya
dengan lafazh:
جُفُوفُ الْأَرْضِ
طَهُورُهَا
“Keringnya bumi itu –menunjukkan- sucinya tempat
tersebut.”
[HR. Abdurrazaq dalam Al Mushanaf 5143,
merupakan perkataan Abu Qilabah –ebook editor]
Maka keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dengan
menuangkan air dapat menyucikan tanah, baik tanah yang lunak maupun keras. Ada
yang mengatakan bahwa harus mencuci tanah yang keras sebagaimana benda-benda
lainnya yang terkena najis, karena tanah Masjid Rasulullah ketika itu lunak
maka cukup dengan menuangkan air di atasnya. Hadits tersebut juga menjelaskan
bahwa sucinya tanah tidak hanya dengan meresapnya air, karena beliau tidak
mensyaratkan sesuatu atas kencing seorang Arab Badui, pendapat ini yang dipilih
oleh Al Mahdi dalam Al Bahr. Dan bahwa tidak diisyaratkan menggali dan
membuang tanahnya.
Abu Hanifah berkata, “jika tanahnya keras, maka harus digali
dan dibuang tanahnya, karena air tidak mengenai semua bagian atas dan bagian
bawahnya. Juga karena diriwayatkan dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa
Rasulullah bersabda:
«خُذُوا مَا بَالَ عَلَيْهِ مِنْ التُّرَابِ
وَأَلْقُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى مَكَانِهِ مَاءً»
“Ambillah tanah yang telah terkena air kencing lalu
buanglah, dan tuangkanlah air di atas tempatnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud
381]
Penulis rahimahullah berkata dalam At Talkhis,
“Hadits ini memiliki dua sanad yang maushul (bersambung); yang pertama
dari Ibnu Mas'ud dan yang lainnya dari Watsilah bin Al Asqa, tetapi pada
keduanya terdapat pembicaraan.” Dan seandainya tambahan ini kuat, niscaya
batallah pendapat orang yang mengatakan bahwa tanah Masjid Nabi lunak,
karena dia berkata, “tidak digali dan tidak dibuang kecuali dari tanah yang
keras.”
Dalam hadits tersebut terdapat beberapa faedah:
1.
Menghormati Masjid. Hal ini
ditunjukkan dengan sikap Nabi, bahwa ketika orang Badui tersebut selesai
buang air kecil, beliau memanggilnya dan berkata kepadanya,
إنَّ هَذِهِ
الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إنَّمَا
هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid ini tidak layak terhadap
sesuatu dari kencing dan kotoran, masjid itu adalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur'an.”
[Shahih: Muslim
285]
Dan sikap para shahabat dengan segera melarangnya,
disetujui oleh Nabi . hanya saja, beliau menyuruh mereka bersikap lemah
lembut, sebagaimana dalam riwayat Al Jama’ah, kecuali Muslim. Bahwa beliau
bersabda kepada mereka:
«إنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ
تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»
“Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan
tidak diututs untuk mempersulit.”
[Shahih: Al Bukhari
220]
Seandainya pengingkaran itu dilarang, tentu beliau akan
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tidaklah orang Badui itu datang
(melakukan sesuatu) yang mana kalian wajib melarangnya.”
2.
Bersikap lemah lembut dan tidak kasar
terhadap orang yang bodoh.
3.
Kemuliaan akhlak Rasulullah dan
sikap lemah lembut dalam memberikan pelajaran kepada umatnya.
4.
Menjauh dari keramaian orang ketika
buang hajat hanyalah bagi yang ingin buang hajat besar, bukan kencing. Karena
menurut urf (kebiasaan) orang Arab, hal itu tidak wajib dan disetujui
oleh syariat. Dan Rasulullah perempuan buang air kecil dan menyuruh shahabat
yang berada di belakang beliau untuk menutupinya.
5.
Menolak kemudharatan yang lebih besar
dengan memilih yang lebih ringan di antara keduanya. Seandainya kencingnya
terputus (ditahan), tentu akan mendatangkan madharat bagi dirinya. Dan
seandainya ia berpindah tempat yang pertama kali telah terkena najis, tentu
najis itu akan mengenai badan dan pakaiannya, serta tempat-tempat lain di dalam
masjid.
0 comments:
Post a Comment