16. Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda,
Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini. sedangkan menurut
imam yang empat ‘Kulit apa saja yang disamak.’ Lanjutannya (فَقَدْ طَهُرَ) ‘maka sungguh telah suci.’
Hadits tersebut dikeluarkan oleh perawi yang lima, hanya saja
lafazhnya berbeda-beda. Hadits tersebut diriwayatkan dengan beberapa lafazh dan
disebutkan latar belakangnya bahwa Nabi melewati bangkai kambing milik
Maimunah maka beliau bersabda:
‘Kambing kami mati lalu kami menyamak kulitnya, kami tetap
menjadikannya sebagai tempat minuman hingga lusuh.’
Hadits tersebut adalah dalil bahwa menyamak dapat menyucikan
kulit bangkai setiap hewan sebagaimana ditunjukkan kalimat () (yakni kulit apa
saja), dan bahwa dengan menyamaknya dapat menyucikan bagian luar kulit dan juga
bagian dalamnya.
Dalam riwayat Asy-Syafi'i dan Abu Daud “Satu bulan sebelum
meninggalnya.” Dalam riwayat lain, ‘satu atau dua bulan’. At Tirmidzi berkata
‘hasan’ dan Ahmad berpendapat dengannya dan berkata ‘ini adalah pendapat
terakhir dari dua pendapat, kemudian ia meninggalkannya.’
Mereka berkata, ‘hadits ini menasakh (menghapus) hadits Ibnu
Abbas, karena menunjukkan haramnya menggunakan kulit bangkai dengan menyamak dan
membalutnya.’
1.
bahwa hadits tersebut adalah
mudhtarib pada sanadnya, karena terkadang diriwayatkan dari para penulis
Rasulullah , dan terkadang dari para Syaikh dari Juhainah dan terkadang pula
dari orang yang membaca wasiat Nabi . juga mudhtarib pada matannya,
karena diriwayatkan dengan tanpa batasan dan inilah riwayat yang terbanyak, dan
diriwayatkan dengan membatasi satu bulan, dua bulan, empat puluh hari ataupun
tiga hari.
Kemudian juga memiliki cacat yaitu mursal, karena
Abdullah bin Ukaim tidak mendengarnya dari Nabi , juga dengan keterputusan
sanad, karena tidak didengarkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila dari Ibnu Ukaim.
Oleh karenanya, Ahmad meninggalkan pendapat ini setelah sebanyak ia bpdp
dengannya sebagaimana dikatakan oleh At Tirmidzi.
2.
hadits tersebut tidak bisa untuk
menasakh, karena hadits menyamak lebih shahih, sebab diriwayatkan oleh Muslim
dan diriwayatkan dari beberapa jalan. Dan yang semakna dengannya ada beberapa
hadits dari sekelompok shahabat.
Dari Ibnu Abbas ada dua hadits, dari Ummu Salamah ada
tiga hadits, dari anas ada dua hadits, dan satu hadits dari Salamah bin Al
Muhabbik, Aisyah , Al Mughirah, Abu Umamah serta Ibnu Mas'ud. Dan hadits yang
menasakh harus terbukti diucapkan terakhir sementara tidak ada dalil bahwa
hadits Ibnu Ukaim lebih terakhir. Dan riwayat yang menyebutkan satu atau dua
bulan ada cacat padanya, maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk
menasakh, meskipun riwayat dengan membatasinya tadi shahih, namun tidak secara
otomatis menunjukkan bahwa itulah yang terakhir dari keduanya.
Tidak dapat dikatakan, jika tidak terjadi nasakh maka
dua hadits tadi bertentangan, yaitu hadits Ibnu Ukaim dan hadits Ibnu Abbas dan
yang menyertainya. Meskipun bertentangan, maka harus ditarjih atau didiamkan,
karena kami mengatakan tidak ada pertentangan kecuali jika keduanya sama.
Sementara di sini tidak demikian karena hadits Ibnu Abbas shahih dan banyaknya
para perawi yang menyertainya, dan hal itu tidak terdapat pada riwayat Ibnu
Ukaim
3.
Bahwa (الْإِهَاب)
sebagaimana yang Anda ketahui dari Al Qamus dan An Nihayah adalah
nama bagi kulit yang belum disamak, menurut salah satu dari dua pendapat. An
Nadhr bin Syuma’il berkata, ‘Ihab adalah nama bagi yang belum disamak dan
setelah disamak namanya syannun (geriba yang sudah lusuh) atau qirbah (geriba
adalah tempat air atau susu yang terbuat dari kulit), dan ini yang ditegaskan
oleh Al Jauhari.
Ada yang mengatakan, karena mengandung makna kedua hal
tersebut, maka diriwayatkanlah dua hadits yang bertentangan yang kami
kompromikan antara keduanya, bahwa dilarang menggunakan kulit yang belum
disamak, dan jika telah disamak tidak dinamakan lagi ihab, maka tidak
termasuk yang terlarang, dan ini pendapat yang baik
Ini adalah pendapat Az Zhuri. Dan telah dijawab bahwa hadits
tersebut bersifat mutlak, dan telah dibatasi oleh hadits-hadits menyamak yang
telah lalu.
================
Kandungan hadits :
. Larangan makan dan minum dengan menggunakan bejana / wadah dan piring yang terbuat dari emas dan perak.
. Larangan ini menunjukan hukum haram.
. Hukum ini berlaku umum, bagi laki-laki dan perempuan.
. Larangan menggunakan keduanya untuk makan dan minum yang mencakup penggunaan untuk manfaat apa saja kecuali sesuatu yang telah diperbolehkan.
. Apabila menggunakan keduanya adalah haram pada hal-hal yang dibutuhkan, maka menggunakan wadah-wadah tersebut hanya sebagai hiasan lebih diharamkan.
. Didalam hadits tersebut bukan berarti dibolehkan bagi non muslim menggunakan perabotan emas dan perak di dunia, tetapi yang dimaksud adalah menjelaskan kondisi dan realitas yang ada pada mereka. Sebab apabila tidak, maka mereka terkena perintah dan disiksa berdasarkan dasar-dasar syariat, cabang syariat, perintah dan larangan agama.
Sementara orang Islam yang bertaqwa yang menjauhi hal-hal tersebut, maka mereka akan menikmati penggunaannya di akhirat sebagai balasan atas apa yang mereka tinggalkan di dunia dalam rangka mencari pahala dari Allah.
. Larangan dan hukum haram dalam penggunaan wadah atau perabotan dari emas dan perak serta pemakaiannya bersifat umum, baik dari emas murni atau perak murni, atau yang disepuh dan dilapisi, serta jenis-jenis alat kecantikan dan hiasan lainnya. Larangan dan hukum haram tersebut bersifat umum.
Imam an-Nawawi berkata : Ijma’ telah terlaksana mengenai haramnya makan dan minum dengan keduanya, juga seluruh jenis pemakaian barang yang sejenis dengan makan dan minum berdasarkan ijma’ ulama
Ungkapan fainnaha lahum liddunya maksudnya barangsiapa yang menggunakannya, maka ia telah menyerupai orang-orang non muslim karena mereka memang menghalalkannya. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka. Dan keserupaan yang paling besar adalah pada hal keyakinan dan hukum halal haram.
============
l-ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah kulit bangkai yang disamak diperselisihkan oleh ulama.
Di antara pendapat itu, pendapat yang mengatakan kulit bangkai secara umum tidak tersucikan dengan penyamakan. Ini riwayat yang paling masyhur dari Malik dan Ahmad yang menjadi mazhab bagi fuqaha Hanbali. Namun, keduanya membolehkan pemanfaatannya untuk sesuatu yang kering, tidak yang basah/lembab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim,
كَتَبَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرٍ :أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Jangalah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Mereka mengatakan bahwa hadits ini menghapus hadits-hadits pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak. Akan tetapi, hadits ini diperselisihkan keabsahannya. Kebanyakan pakar hadits dari kalangan para hafizh (penghafal hadits), seperti Ibnu Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, al-Baihaqi, al-Khaththabi,dan Ibnu Hajar, menghukuminya dha’if(lemah).
Ibnu Ma’in mengatakan, “Hadits tersebut bukan sesuatu (hujah).”
Abu Hatim ar-Razi, al-Khaththabi, dan al-Baihaqi menyatakannya mursal (putus antara Ibnu ‘Ukaim dengan Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam), karena Ibnu ‘Ukaim bukan sahabat.
At-Tirmidzi menukil bahwa pada mulanya al-Imam Ahmad berpendapat dengan hadits ini karena merupakan hukum terakhir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi akhirnya beliau meninggalkan hadits ini tatkala mendapati kegoncangan (idhthirab) pada sanadnya dengan sebagian mereka meriwayatkannya dari Ibnu ‘Ukaim, dari sekelompok syaikh dari Juhainah yang datang kepada mereka kitab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi hadits tersebut. Al-Khallal juga meriwayatkan hal yang sama dari Ahmad.
Sementara itu, al-Albani menghukuminya sebagai hadits sahih. Alasannya, perselisihan riwayat itu bukan kegoncangan yang mencacati hadits, sedangkan klaim mursal itu pun tidak tepat. Sekelompok syaikh dari Juhainah tersebut adalah sahabat yang datang kepada mereka kitab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas dibacakan kepada mereka, dan boleh jadi Ibnu ‘Ukaim hadir saat pembacaan kitab itu kepada mereka mengingat dia mendapati zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kendati tidak mendengar darinya—sebagaimana kata al-Bukhari dan lainnya.
Hal ini telah diakui sendiri oleh Ibnu Hajar dalam kitab
Taqrib at-Tahdzib pada biografi Ibnu ‘Ukaim, ia berkata, “Abdullah bin ‘Ukaim al-Juhani, Abu Ma’bad al-Kufi,
mukhadhram[1], dia telah mendengar kitab Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditulis kepada (kabilah) Juhainah.”
Alhasil, seandainya hadits itu sahih, tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai. Sebab, tidak bisa dipastikan bahwa hadits ‘Ukaim datang belakangan setelah hadits-hadits tersebut.
Seandainya benar bahwa hadits ‘Ukaim yang terakhir datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits sebelumnya, karena kedua dalil yang seakan bertentangan tersebut masih bisa dipadukan dengan metode al-jam’u baina ad-dalilain, yaitu dengan mengatakan bahwa hadits ‘Ukaim pada dasarnya tidak mengandung larangan pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak, tetapi larangan pemanfaatannya sebelum disamak. Menurut sebagian ahli bahasa, kata ‘ihab’ ( إِهَابٌ ) digunakan untuk kulit yang belum disamak, sedangkan kulit yang sudah disamak dinamakan ‘adim’ (أَدِيمٌ).
Jika sistem pemaduan tersebut enggan diterima, harus ditempuh metode tarjih (memilih yang terkuat). Jika begitu, tentu saja hadits-hadits sahih yang menunjukkan kesucian kulit bangkai yang telah disamak lebih kuat dan lebih pantas diamalkan daripada hadits ‘Ukaim yang diperselisihkan keabsahannya.
Ada sebuah diskusi ilmiah yang menarik antara al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Kata Ibnul Mulaqqin dalam al-Badru al-Munir, “Al-Hazimi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu asy-Syaikh al-Hafizh bahwa ia berkata, ‘Telah dihikayatkan bahwasanya Ishaq bin Rahawaih berdebat ilmiah dengan asy-Syafi’i—sedangkan Ahmad bin Hanbal hadir—mengenai kesucian kulit bangkai apabila disamak.
Kata asy-Syafi’i, ‘Penyamakannya menjadikannya suci.’
Kata Ishaq, ‘Apa dalilnya?’
Kata asy-Syafi’i, ‘Hadits az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma, dari Maimunah
radhiallahu ‘anha bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulit bangkai itu?’[2]
Lantas Ishaq berkata kepadanya, ‘Bagaimana dengan hadits Ibnu ‘Ukaim, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya’.” Hadits ini semacam hukum baru yang menghapuskan hadits Maimunah radhiallahu ‘anha, karena datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebulan sebelum wafatnya.’
Kata asy-Syaifi’i, ‘Ini adalah kitab (ditulis oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan itu adalah
sama’ (sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didengar langsung darinya).’
[3]
Kata Ishaq lagi, ‘Jika demikian, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, lantas itu menjadi hujah di kalangan ahli hadits di sisi Allah.’
Akhirnya asy-Syafi’i terdiam.
Tatkala Ahmad mendengar hasil perdebatan keduanya, ia lantas berpendapat mengikuti hadits Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya, sedangkan Ishaq sendiri justru rujuk kepada hadits (hujah) asy-Syafi’i.”
Jika telah jelas kelemahan mazhab ini, tampaklah bahwa yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa kulit bangkai akan tersucikan dari kenajisannya dengan penyamakan sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk sesuatu yang kering maupun basah.
[5] Ini adalah mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i, riwayat lain dari Malik dan Ahmad, serta pendapat jumhur ulama. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, Ibnu Baz, al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits-hadits berikut:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.
“Jika kulit bangkai disamak, sungguh menjadi suci.” (HR. Muslim)
Pada riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan lafadz,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’no. 2711)
- Hadits Maimunah radhiallahu ‘anha:
مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللهِ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَجُرُّونَ شَاةً لَهُمْ مِثْلَ الْحِمَارِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ :لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟ قَالُوا :إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ.
“Beberapa pria Quraisy yang sedang menarik (bangkai) kambing sebesar keledai melintas di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sekiranya kalian memanfaatkan kulitnya?’ Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kambing ini adalah bangkai.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kulitnya dapat disucikan dengan air dan qarazh
[6].” (
HR. Ahmad,
Abu Dawud,
an-Nasa’i, dan lainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dengan penguatnya dalam
ash-Shahihah)
[7]
- Hadits Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari jalan riwayat Qatadah, dari al-Hasan, dari Jaun bin Qatadah, dari Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu. Riwayat Abu Dawud dengan lafadz,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ، فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk mendatangi sebuah rumah, ternyata ada geriba yang digantung. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minta air. Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya geriba itu dari bangkai.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penyamakannya adalah kesuciannya’.”
Riwayat Ahmad lainnya dengan lafadz,
دِبَاغُهَا طُهُورُهَا أَوْ ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannya adalah kesuciannya atau penyembelihannya.”
Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i dengan lafadz,
دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannnya adalah penyembelihannya.”
Riwayat Ibnu Hibban dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْأَدِيْمِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan kulit bangkai adalah penyamakannya.”
Pada sanadnya terdapat Jaun bin Qatadah yang diperselisihkan keadaannya. Kata an-Nawawi dalam al-Majmu’, “Sanadnya sahih, hanya saja Jaun diperselisihkan. Ahmad mengatakan bahwa dia majhul (tidak dikenal), sedangkan Ibnul Madini mengatakan bahwa dia ma’ruf (dikenal).”
Ibnul Mulaqqin juga telah berbicara panjang lebar tentang Jaun lebih dari keterangan an-Nawawi dalam kitab
al-Badru al-Munir, dan ia menyatakan hadits ini sahih.
[8]
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib, “Maqbul (diterima)”, yakni diterima jika riwayatnya diikuti oleh rawi lain.
Kata al-Albani dalam al-Misykat (no. 511), “Sanadnya hasan untuk penguat.” Terdapat hadits-hadits lain yang saling menguatkan dengannya sehingga dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud (no. 4125),Shahih Sunan an-Nasa’i (no. 4254), dan Ghayatul Maram (no. 26).
Di antara penguatnya adalah hadits ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha yang juga datang dengan dua lafadz seperti di atas. Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban
[9]:
سُئِلَ النَّبِيُّ عَنْ جُلُودِ الْمَيْتَةِ فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kulit bangkai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyamakan adalah kesuciannya.”
Riwayat an-Nasa’i lainnya dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْمَيْتَةِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan bangkai adalah penyamakannya.”
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 3432) dan Shahih an-Nasa’i(no. 4255, 4256, 4257, 4258).
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat di antara jumhur ulama mengenai rincian kulit bangkai binatang apa saja yang dapat tersucikan dengan penyamakan.
- Kulit bangkai seluruh jenis binatang, termasuk kulit anjing dan babi.
Ini adalah mazhab Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh ash-Shan’ani dan asy-Syaukani. Dalilnya adalah keumuman makna hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.”
- Kulit bangkai binatang yang pada asalnya suci di masa hidupnya, termasuk hewan yang tergolong haram dimakan melalui penyembelihan, seperti kulit bangkai macan, ular, dan semacamnya.
Dalilnya adalah keumuman makna hadits-hadits tersebut di atas, kecuali hewan yang memang najis semasa hidupnya tidak bisa disucikan kulitnya dengan penyamakan selamanya. Pendapat ini adalah mazhab Abu Hanifah, salah satu riwayat dari asy-Syafi’i yang menjadi mazhab bagi ahli fikih mazhab Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini salah satu pendapat Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat dan al-Inshaf. Dalam hal ini asy-Syafi’i dan Ahmad memperkecualikan babi dan anjing karena meyakini keduanya najis, sedangkan Abu Hanifah hanya memperkecualikan babi karena meyakini anjing adalah suci kecuali air liurnya najis.
- Kulit bangkai binatang yang tergolong hewan yang halal dimakan melalui penyembelihan, seperti kulit bangkai sapi, kambing, buaya, dan semisalnya. Adapun kulit bangkai macan, ular, dan semisalnya tidak tersucikan dengan penyamakan, karena hewan-hewan tersebut tergolong haram dimakan melalui penyembelihan.
Ini adalah riwayat lain dari asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini pendapat kedua Ibnu Taimiyah yang menurutnya berhasil memadukan seluruh hadits-hadits dalam masalah ini—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa. Ini pula yang dipilih oleh as-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu dan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas yang menyebutkan bahwa penyamakan kulit bangkai berkedudukan seperti penyembelihan hewan itu. Artinya, penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai hewan yang tergolong halal dimakan melalui penyembelihan. Adapun yang haram dimakan meskipun disembelih secara syar’i, kulitnya tidak bisa disucikan dengan penyamakan. Apalagi anjing dan babi yang pada asalnya memang najis, lebih jelas lagi tidak bisa disucikan dengan penyamakan selamanya.
Hal ini semakin kuat dengan hadits al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu yang berkata kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
نَهَى shallallahu ‘alaihi wa sallam فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Aku menyumpahmu demi Allah, apakah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari memakai kulit hewan buas dan menjadikannya sebagai pelana?”
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” (
HR. Abu Dawud dan
an-Nasa’i. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dan memiliki penguat)
[10]
Ibnu Baz rahimahullah berfatwa agar berhati-hati dalam permasalahan ini dengan memilih pendapat ini.
Alhasil, yang terbaik adalah pendapat ketiga demi kehati-hatian.
[1] Mukhadhram adalah orang yang hidup mendapati masa jahiliah dan masa kenabian tetapi tidak sempat berjumpa dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia beriman dan mati di atas Islam.
[2] Hadits ini akan kami sebutkan nanti secara lengkap
insya Allah.
[3] Maksudnya, hadits Maimunah
radhiallahu ‘anha lebih kuat daripada hadits ‘Ukaim.
[4] Lihat kitab
Talkhish al-Habir (1/76—78),
al-Badru al-Munir (1/587—600), dan
al-Irwa’ (1/76—79, no. 38).
[5] Seperti pada hadits ‘Imran bin Hushain
radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya berwudhu dari
mazadah (kantong air yang terbuat dari kulit bangkai yang telah disamak) milik wanita musyrik, padahal sembelihan orang musyrik adalah bangkai.
[6] Sejenis tumbuhan. An-Nawawi menegaskan bolehnya penyamakan dengan apa saja yang dapat menyerap keluar kotoran yang ada dalam kulit bangkai, membersihkannya, dan mencegahnya dari kerusakan (mengawetkannya).
Contohnya, qarazh, kulit delima, syabb (batu tawas), dan obat-obatan yang suci semacamnya. Ibnu Qudamah juga menyatakan hal yang semakna dengan ini. Setelah itu, wajib dicuci dengan air untuk menyucikannya, menurut pendapat yang terkuat. Ini yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah.Wallahu a’lam.
Lihat kitab al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”),al-Majmu’ (1/276—281), dan al-Mughni (1/95—96).
[7] Pada sanadnya terdapat dua rawi yang tidak dikenal, tetapi memiliki penguat (
syahid) dari hadits Ibnu ‘Abbas
rahimahullah riwayat ad-Daraquthni dan al-Baihaqi dengan sanad yang dihukumi oleh al-Albani sebagai hadits sahih menurut syarat al-Bukhari-Muslim. Lengkapnya lihat
ash-Shahihah (5/no. 2163).
[8] Lihat kitab
al-Badru al-Munir (1/608—612, Darul Hijrah, program Maktabah Syamilah).
[9] Pada Kitab ath-Thaharah, Bab “Julud al-Maitah” , no. 1290.
[10] Lihat kitab
ash-Shahihah (3/no. 1011).
[11] Lihat kitab
al-Muhalla (1/no. 129),
Bidayah al-Mujtahid (1/78—79),
al-Mughni (1/89—95),
al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”),
al-Majmu’ (1/268, 270—276),
Majmu’ al-Fatawa (21/90—96),
al-Ikhtiyarat (hlm. 42),
Zadul Ma’ad (5/757—758),
al-Inshaf (1/86—87),
Nailul Authar (1/Bab “Ma Ja’a fi Tathhir ad-Dibagh”),
Subulus Salam (Kitabath-Thaharah, Bab “al-Aniyah”, syarah hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Salamah, dan haditsMaimunah),
al-Mukhtarat al-Jaliyyah (hlm. 42—43),
ats-Tsamar al-Mustathab (hlm. 6—7),
Majmu’ Fatawa Ibni Baz (6/354),
asy-Syarh al-Mumti’ (1/85—92), dan
Fath Dzil Jalal wal Ikram.