44 - وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ
اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا - فِي صِفَةِ حَجِّ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ
اللَّهُ بِهِ» أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ هَكَذَا بِلَفْظِ الْأَمْرِ، وَهُوَ عِنْدَ
مُسْلِمٍ بِلَفْظِ الْخَبَرِ.
44. Dari Jabir bin Abdullah RA mengenai sifat haji Nabi SAW,
beliau bersabda, “Mulailah dari apa yang Allah memulai dengannya.” (HR.
An Nasa'i dengan lafazh perintah seperti ini, sedang menurut Muslim dengan
lafazh khabar)
[Sunan Al Kubro An Nasa'i
2/413]
[Shahih Muslim 1218]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Nama lengkap Jabir adalah Abu Abdullah Jabir bin Abdullah bin
Amr bin Haram, Al Anshari As Sulami. Termasuk shahabat yang sangat terkenal. Ia
turut serta dalam perang Badr. Turut serta bersama Nabi SAW dalam 18 peperangan.
Ia ikut serta dalam perang Shiffin bersama Ali Ra. Termasuk di antara shahabat
yang teerbanyak hafalannya. Penglihatannya buta pada akhir umurnya dan meninggal
dunia pada tahun 74 H atau 77 H di Madinah dalam usia 94 tahun. Ia adalah
shahabat yang terakhir meninggal dunia di Madinah.
Tafsir Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh An Nasa'i dengan lafazh perempuan
seperti ini. sedang menurut Muslim dengan lafazh khabar, yaitu dengan lafazh
(نَبْدَأُ) ‘aku memulai’. Lafazh hadits
tersebut: Ia berkata, ‘Kemudian ia keluar ke Shafa’, yakni Nabi SAW keluar dari
Masjidil Haram setelah thawaf untuk umrah ke Shafa. Setelah dekat Shafa beliau
membaca,
{إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ
اللَّهِ} [البقرة: 158] نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ
‘Sesungguhnya shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.....’ (QS. Al-Baqarah [2]: 158), Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya...’ Dengan lafazh khabar fi’lalu mudhari, beliau memulainya dengan Shafa karena Allah memulai dengannya dalam ayat.
Penulis menyebutkan potongan hadits Jabir di sini untuk
menunjukkan bahwa yang pertama disebutkan oleh Allah, maka dengan itulah kita
memulai mengerjakannya. Sibawaih berkata, “Sesungguhnya mereka –yaitu orang
Arab- mendahulukan apa yang mereka anggap lebih penting, dan merekalah yang
lebih mengetahuinya.”
Karena lafazh tersebut bersifat umum, sedang yang umum tidak
boleh dibatasi dengan penyebabnya. Yang saya maksudkan adalah kalimat (بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ) ‘dengan apa yang Allah memulai
dengannya’, karena huruf maa di sini adalah maushulah dan
maushulah termasuk kata umum. Sedangkan ayat wudhu dalam firman Allah :
{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ}
“.... maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Maidah [5]: 6) termasuk dalam perintah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah , ‘mulailah dengan apa yang Allah memulai dengannya.’ Maka wajib memulai dengan membasuh wajah, kemudian anggota wudhu lainnya secara berurutan. Meskipun ayat tersebut tidak menunjukkan untuk mendahulukan kedua tangan dan bagian kanan atas yang kiri, sebagaimana yang baru saja dibahas.
Al Hanafiyah dan yang lainnya berpendapat bahwa berurutan
(tartib) pada anggota-anggota wudhu tidak wajib. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رِجْلَيْهِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ
بِفَضْلِ وَضُوئِهِ»
‘Bahwa Nabi berwudhu, lalu membasuh wajahnya, kedua tangan dan kakinya, kemudian mengusap kepalanya dengan sisa wudhunya.’
Dapat dijawab, bahwa tidak dikenal ada jalur periwayatan
hadits ini yang shahih, sehingga dapat dijadikan dalil.
Kemudian, tidak diragukan lagi bahwa yang utama adalah
mendahulukan hadits Jabir atas hadits Al Mughirah, dan menghubungkannya dengan
hadits Abu Hurairah , karena kemiripan kandungan hukumnya.
==========
Fawaid hadits:
1. Memulai apa yang Allah mulai dalam ayat ayatnya, dalam thawaf, wudlu dsb.
2. Wajibnya tertib dalam wudlu, dengan memulai dari wajah, tangan, kepala lalu kaki. Karena itu yang Allah mulai dalam ayat wudlu.
3. Mencuci dua tangan ketika hendak wudlu adalah sunnah, karena Allah tidak memulainya dalam ayat al qur’an.
4. Allah menyebut sesuatu terlebih dahulu sebelum yang lainnya dalam ayat-ayat al qur’an pastilah mempunyai hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Terkadang kita mengetahuinya dan terkadang tidak mengetahuinya.
==============
45 - وَعَنْهُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ:
«كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ
الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ» . أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ
ضَعِيفٍ
45. Dan darinya ia berkata, ‘Rasulullah ketika berwudhu
beliau memutarkan air pada kedua sikunya.’ (HR. Ad Daruquthni dengan sanad
dhaif)
[Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini, lihat: Ash-Shahihah
2067, Shahih Al Jami' 4698 –ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Ad Daruquthni adalah seorang Hafizh dan imam besar, tidak ada
bandingan dalam hafalannya.
Adz Dzahabi menggambarkan profil Ad Daruquthni, ia berkata:
“dia adalah Hafizh pada zamannya. Beliau adalah Abu Al Hasan Ali bin Umar bin
Ahmad Al Baghdadi. Seorang Hafizh yang sangat masyhur. Penulis kitab As Sunan.
Lahir tahun 306. Ia telah belajar dari para ulama, lalu menguasai dalam bidang
ini.”
Al Hakim berkata, “Ad Daruquthni adalah satu-satunya ulama
pada masanya. Sangat kuat dalam masalah hafalan, pemahaman, wara’ dan imam dalam
qiraah dan nahwu. Ia memiliki karya-karya ilmiah yang sangat banyak, dan
bersaksi bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang menyamainya.”
Al Khatib berkata, “Tidak ada yang menandingi beliau pada
masanya, dan imam pada waktunya. Dialah yang paling tahu tentang ilmu atsar dan
pengetahuan tentang ilal (cacat) dan nama-nama para perawi hadits,
disertai dengan kejujuran, tsiqah dan keshahihan akidahnya.”
Para imam hadits banyak menyanjungnya. Ia wafat pada tanggal
8 Dzulqa’dah tahun 385 H.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut sanadnya lemah, dan dikeluarkan pula oleh Al
Baihaqi (1/56). Juga dengan sanad Ad Daruquthni, dan dalam kedua sanad itu
secara bersamaan terdapat Al Qasim bin Muhammad bin Aqil. Ia matruk, dilemahkan
oleh Ahmad dan Ibnu Main dan yang lainnya, dan digolongkan oleh Ibnu Hibban
sebagai orang yang tsiqah. Akan tetapi yang men-jarh (memberi celaan)
lebih didahulukan meskipun yang men-ta’dil lebih banyak, sementara di
sini jarh lebih banyak. Sekelompok para Hafizh menegaskan lemahnya hadits
tersebut, seperti Al Mundziri, Ibnu Ash Shalah dan An Nawawi, serta yang
lainnya.
Penulis berkata, “Menurut Muslim sudah cukup hadits Abu
Hurairah bahwa beliau berwudhu sampai pada lengan, dan Abu Hurairah berkata, ‘Demikian inilah aku melihat Rasulullah berwudhu.’ [Shahih Muslim 246]
Saya katakan, ‘Seandainya disebutkan di sini maka akan lebih
bagus.
===================
46 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: «لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ»
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ، بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ -
وَلِلتِّرْمِذِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، وَأَبِي سَعِيدٍ نَحْوُهُ، قَالَ
أَحْمَدُ: لَا يَثْبُتُ فِيهِ شَيْءٌ
46. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak membaca basmalah atasnya.” (HR.
Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dengan sanad lemah) Dan At Tirmidzi
dari Said bin Zaid. Dan Abu Sa’id sepertinya. Dan Ahmad berkata,
‘Tidak ada sedikitpun yang shahih padanya.’
[Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini
dalam Shahih Al Jami' 7573 –ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits:
Hadits ini adalah potongan dari hadits yang dikeluarkan oleh
para perawi yang telah disebutkan, sebab mereka mengeluarkannya dengan
lafazh:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا
وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ»
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu, dan
tidak sah wudhu bagi yang tidak menyebut basmalah.”
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Ya’qub bin Salamah Al
Laitsi dari ayahnya dari Abu Hurairah RA. Al Bukhari berkata, “Tidak dikenal
bahwa ia mendengar dari ayahnya, dan ayahnya tidak mendengar dari Abu Hurairah
RA.” Ia memiliki jalan lain menurut Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, akan tetapi
lemah. Sedangkan menurut At Thabrani dari hadits Abu Hurairah RA dengan lafazh
perintah:
«إذَا تَوَضَّأْت فَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، فَإِنَّ حَفَظَتَك لَا تَزَالُ تَكْتُبُ لَك الْحَسَنَاتِ
حَتَّى تُحْدِثَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءَ»
“Jika engkau berwudhu, maka bacalah Bismillah dan
alhamdulillah, sebab jika engkau menjaganya akan senantiasa ditulis kebaikan
bagimu hingga engkau berhadats dari wudhu tersebut.” akan tetapi sanadnya
lemah.
[Hadits tersebut diriwayatkan oleh At
Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shaghir 196, dan Al Haitsami menyatakan sanadnya hasan
dalam Al Majma’ 1112- ebook editor]
Ahmad berkata, “Tidak ada sedikit pun yang kuat.” Hadits
Sa’id bin Zaid juga diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ahmad, Ibnu Majah dan Ad
Daruquthni serta yang lainnya.
Imam At Tirmidzi berkata, “Sesungguhnya telah dikatakan oleh
Muhammad –yakni Imam Al Bukhari- sesungguhnya hadits itu adalah hadits yang
paling baik dalam bab ini, akan tetapi lemah, sebab di antara perawinya terdapat
orang-orang yang tidak dikenal identitasnya. Sedang riwayat Abu Sa'id Al Khudri
yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan yang lainnya termasuk riwayat Katsir dari
Rabih bin Abdurrahman bin Abu Sa’id, akan tetapi terdapat cacat pada Katsir bin
Zaid dan juga pada Rabih.
Hadits tentang tasmiyah (mengucapkan basmalah) telah
diriwayatkan dari hadits Aisyah RA, Sahl bin Sa’ad, Abu Saburah, Ummu Sabirah,
Ali dan Anas dan semua riwayat tersebut terdapat komentar, tetapi
riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu dengan lainnya, maka ia menjadi kuat,
oleh karena itu Ibnu Abi Syaibah berkata, “Telah tegas bagi kami bahwa Nabi SAW
mengucapkannya.”
Jika hal ini telah Anda ketahui, maka hadits tersebut
menunjukkan disyariatkan tasmiyah ketika wudhu. Dan zhahir ucapannya,
‘Tidak ada wudhu’ artinya tidak sah, dan tidak ada penafsiran lainnya sebab asal
penafian adalah mengandung makna yang sebenarnya.
Dalam hal itu para ulama berbeda pendapat; Al Hadawiyah
berpendapat bahwa tasmiyah adalah fardhu bagi yang ingat,
dan Ahmad bin Hambal juga mengatakan hal itu. Sementara Azh-Zhahariyah
mengatakan bagi yang ingat dan juga bagi yang lupa. Al Hadi berpendapat dalam
salah satu pendapatnya hal itu sunnah, dan itu pula pendapat Al Hanafiyah dan
Asy-Syafi'iyah, berdasarkan hadits Abu Hurairah RA:
«مَنْ ذَكَرَ اللَّهَ أَوَّلَ وُضُوئِهِ طَهُرَ
جَسَدُهُ كُلُّهُ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ لَمْ
يَطْهُرْ مِنْهُ
إلَّا مَوْضِعُ الْوُضُوءِ»
“Siapa yang menyebut nama Allah dari awal wudhunya, maka
sucilah semua tubuhnya, dan jika tidak menyebut nama Allah, maka tidak ada yang
suci melainkan hanya anggota wudhu.” Dikeluarkan Ad Daruquthni dan yang
lainnya, hadits ini dhaif.
Al Baihaqi dalam As Sunan berkata setelah
meriwayatkannya, “Ini juga lemah”, yang dimaksud adalah Abu Bakar ad Dahiri
–salah seorang perawinya- tidak tsiqah menurut ahli hadits.
Hadits itu juga dijadikan dalil bagi yang membedakan antara
yang ingat dan yang lupa, dengan mengatakan, “yang pertama adalah bagi yang
sengaja, dan ini bagi yang lupa.” Hadits Abu Hurairah RA yang terakhir ini
–meskipun lemah- tetapi dikuatkan dalam peniadaan kewajibannya oleh hadits,
“berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah pAdamu’, adalah dalil
yang menafikan kewajiban hadits bab ini, bahwa yang dimaksudkan adalah wudhu
tidak sempurna, dengan alasan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan lafazh,
‘Tidak ada wudhu yang sempurna’ , akan tetapi penulis berkata, ‘Kami
tidak melihatnya dengan lafazh ini.” adapun pendapat bahwa hadits ini kuat
menunjukkan perintah wajib, maka ia dianggap lemah karena di dalamnya tidak ada
penegasan yang menunjukkan wajib. Dan yang menunjukkan bahwa ia sunnah adalah
hadits ‘Segala urusan penting...” maka hadits ini dan hadits di atas
saling mendukung atas disyariatkannya secara mutlak, setidaknya sunnah.
====================
===============
Kandungan hadits :
. Wajib membaca basmallah saat akan memulai wudhu.
. Secara zhahir hadits diatas menilai tidak sah wudhu yang dilakukan tanpa membaca basmallah.
. Hadits diatas dengan sanadnya yang banyak menjadikan layak digunakan para ahli fiqih madzhab Hambali mewajibkan ketika hendak berwudhu jika ingat. Sebaliknya jika lupa tidak wajib.
=============
Fawaid hadits:
1. Para ulama berbeda pendapat ttg hukum membaca basmalah di awal wudlu.
Sebagian mewajibkan berdasarkan hadits ini.
Dan jumhur menganggapnya sunnah, karena tidak disebutkan dalam ayat, dan tidak juga para shahabat yg mempraktekan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkannya.
Dan ini yang rajih.
===============
47 - وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَفْصِلُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ» .
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد، بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
47. Dari Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya ia berkata, aku melihat Rasulullah memisahkan antara kumur-kumur dan isitinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung). (HR. Abu Daud dengan sanad dhaif)
[Dhaif: Dhaif Abu Daud
139]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Thalhah, yaitu Abu Muhammad – atau Abu Abdullah – Thalhah bin
Musharrif. Ia adalah seorang tokoh dan pemuka dari kalangan tabi’in. Meninggal
dunia tahun 112 H.
Tafsir Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad lemah,
karena termasuk riwayat Laits bin Abi Sulaim, sedang ia dhaif. Imam An Nawawi
berkata, “para ulama telah sepakat mengenai kedhaifannya”, dan dikarenakan
Musharif yaitu ayah Thalhah majhul. Abu Daud berkata, “Saya mendengar
Ahmad berkata, ‘Ibnu Uyainah berdalih bahwa ia mengingkarinya dan berkata, Ada
apa dengan Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya?’”
Hadits tersebut adalah dalil pemisahan antara kumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung, yaitu dengan mengambil untuk keduanya air yang
baru. Dan juga telah ditegaskan oleh hadits Ali dan Utsman, bahwa keduanya
memisahkan kumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, kemudian ia berkata,
“Demikian inilah kami melihat Rasulullah berwudhu.” Dikeluarkan oleh abu Ali
Ibnu Sakan dalam Shihah-nya. Dan pendapat ini yang dianut oleh jumhur.
Al Hadawiyah berpendapat bahwa yang sunnah adalah
mengumpulkan keduanya dengan satu cidukan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah dari hadits Ali :
«أَنَّهُ تَمَضْمَضَ فَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا مِنْ
كَفٍّ وَاحِدَةٍ»
bahwa ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya
dari satu cidukan. Dan juga dikeluarkan oleh Abu Daud.
[Shahih: shahih Ibnu Majah 410 dan shahih Abu
Daud 111]
Menyatukan keduanya diriwayatkan dari hadits Ali dari enam
jalan, dan salah satu di antaranya sebentar lagi akan disebutkan. Demikian pula
dari hadits Utsman yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya. Dalam
lafazh lain milik Ibnu Hibban,
[ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ ثَلَاثِ
حَفَنَاتٍ]
“tiga kali, dari tiga kali sepenuh telapak tangan.”
[Shahih Ibnu Hibban 1077]
Dan lafazh milik Al Bukhari
[ثَلَاثَ مَرَّاتٍ غَرْفَةً
وَاحِدَةً]
“Tiga kali dari satu kali ciduk.”
Meskipun kedua riwayat itu memang ada –yaitu antara memisahkan dan menyatukan- tetapi yang dekat kepada kebenaran adalah diberikan pilihan, dan semuanya sunnah, meski riwayat tentang mengumpulkan lebih banyak dan lebih absah. Yang terpilih dalam Asy Syarh adalah memberikan pilihan, dan ia berkata, ‘Pendapat tersebut adalah pendapat Imam Yahya.’
Perlu diketahui, bahwa mengumpulkannya terkadang dengan satu
ciduk, dan terkadang dengan tiga kali ciduk, sebagaimana hal itu diisyaratkan
zhahir ucapannya dalam hadits: ‘Dari satu kali sepenuh telapak tangan’ dan ‘Dari
satu ciduk’, dan juga terkadang mengumpulkannya dengan tiga kali ciduk, setiap
satu kali dari ketiganya satu ciduk, sebagaimana yang dijelaskan., ‘tiga kali
dari tiga kali sepenuh telapak tangan.’
Al Baihaqi berkata dalam As sunan setelah menyebutkan hadits
tersebut, bahwa Rasulullah berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung
setiap satu kali dari satu ciduk, kemudian beliau mengulanginya tiga kali dari
tiga kali ciduk. Lebih lanjut ia menuturkan, ‘Dan hal itu ditunjukkan oleh
hadits Abdullah bin Zaid, lalu ia menyebutkannya dengan sanadnya, dan di
dalamnya disebutkan,
«ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ
وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ ثَلَاثِ غَرْفَاتٍ مِنْ
مَاءٍ»
“Kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, lalu
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung serta menghembuskannya tiga
kali dari tiga kali ciduk air.”,
kemudian ia berkata, ‘Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash
Shahih’, dengan demikian maka jelaslah kemungkinan ini.
0 comments:
Post a Comment