Para Ulama berbeda pendapat seputar hukum menggunakan air laut untuk bersuci. Yang râjih adalah pendapat yang menyatakan bahwa air laut itu suci dan mensucikan, artinya boleh digunakan dalam bersuci, baik ketika ada air yang lain atau pun ketika tidak air yang lain. Inilah pendapat mayoritas Ulama dari para sahabat, tabi’în dan yang setelah mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Radhiyallahu anhu , Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma dan Umar Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan juga dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhu . Ini pula pendapat Athâ’, Ibnu Sîrin, al-Hasan, ‘Ikrimah, Thâwûs, Ibrâhîm an-Nakha’i, Sufyân ats-Tsauri, al-Auzâ’i, Ahlu syam, Madinah, Kufah, Abu Ubaid dan Ishâq.[1]
Ini adalah pendapat madzhab fikih yang empat (al-madzâhib al-arba’ah). [2]
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5:6]
Kata air (مَآءً) dalam ayat bersifat umum, mencakup semua air kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Air laut termasuk dalam keumuman air tersebut.
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allâh yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. [al-Mâidah/5:96]
Apabila hewan laut halal bagi kita maka demikian juga airnya, tentu suci.
3. Firman Allâh Azza wa Jalla :
Ayat yang mulia ini menunjukkan pengertian semua air yang turun dari langit adalah suci mensucikan. Kata (مَاء) dalam ayat ini disampaikan dalam rangka pemberian nikmat (imtinân), karena Allâh menyebutnya dalam mengenalkan nikmat tersebut, seandainya tidak menunjukkan keumuman tentulah tampak tidak sempurna yang diinginkan.[3]
4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang air laut :
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasâ-i, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan lafazhnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Tirmidzi dan telah diriwayatkan pula oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad].
Sebagian Ulama mengklaim adanya ijma’ tentang air laut itu suci mensucikan, diantaranya Ibnu Juzâ dari Ulama Madzhab Mâlikiyah dalam kitab al-Qawânin al-Fiqhiyah (hlm 44) menyatakan, “Air muthlaq adalah yang masih ada pada asal penciptaannya, maka ia suci mensucikan secara ijma’ baik airnya tawar atau asin, baik dari laut, langit atau tanah.”
Penukilan ijma’ seperti ini lemah dan tidak benar, sebab Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausâth 1/246 menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara Ulama yang aku hafal dan aku temui bahwa orang yang bersuci dengan air itu sah kecuali air laut, karena ada perbedaan pendapat dan berita dari para Ulama terdahulu.
Sedangkan Ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhîd 16/221 menyatakan, “Sepakat mayoritas Ulama dan banyak sekali imam-imam fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fikih bahwa air laut itu suci dan wudhu diperbolehkan dengannya kecuali yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin al-Khathab z dan Abdullah bin Amru bin al-‘Ash. Diriwayatkan keduanya memakruhkan berwudhu dengan air laut. Wallahu a’lam.
1. Berubah dengan sebab najis. Jika ada benca najis yang bisa merubah salah satu sifat air, yaitu bau, rasa dan warna, maka hukumnya adalah najis menurut ijma’ para Ulama. [4]
2. Berubah dengan sebab benda suci. Dalam masalah ini ada tiga bentuk:
a). Sifat air laut tersebut berubah dengan sebab campuran benda suci yang dominan sehingga tidak lagi dinamakan air dan disebut dengan nama yang lain, misalnya minyak bumi atau selainnya karena minyak bercampur dengan air laut lebih dominan. Dalam keadaan ini mayoritas Ulama memandang air yang banyak atau air laut tersebut tidak sah menjadi alat bersuci. Ini yang shahih dari madzhab Hanafiyah dan pendapat Abu Yusuf. Ini juga adalah pendapat madzhab Mâlikiyah, asy-Syâfi’iyah dan Hambaliyah. Diantara argumen yang merajihkan pendapat ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla mewajibkan tayammum bagi orang yang tidak menemukan air mutlak sehingga menunjukkan tidak bolehnya menggunakan (zat cair) selain air yang tidak dinamakan air secara mutlak.[5]
b). Sifat air laut tersebut berubah dengan sebab campuran benda suci yang tidak sampai menghilangkan penamaan sebagai air. Hal ini ada dua macam:
1. Campuran benda suci yang merubah sifat air tersebut termasuk yang susah sekali dipisahkan seperti warna hijau akibat air menggenang terlalu lama, atau lumut dan tumbuhan yang hidup didalamnya. Juga kadang dedaunan yang jatuh ke air atau kayu, tanah dan sebagainya yang terbawa banjir sehingga mengotori air dan merubah sebagian sifat-sifat airnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat para Ulama akan kesucian air tersebut; karena air mutlak bercampur dengan benda suci dan tidak bisa dipisahkan dan tidak dominan juga, sehingga tetap dalam keadaan suci.[6]
2. Campuran benda sucinya tidak menghilangkan nama air darinya dan memungkinkan untuk untuk dipisahkan seperti minyak bumi dan sejenisnya. Pada masalah ini ada perbedaan pendapat para Ulama dalam dua pendapat:
a). Pendapat madzhab Mâlikiyah dan as-Syâfi’iyah serta Hambaliyah menyatakan tidak sah bersuci dengan air yang berubah sifatnya karena tercampur benda suci yang bisa dipisahkan.
b). Pendapat madzhab Hanafiyah dan salah satu riwayat dari imam Ahmad serta dirajihkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan sah bersuci dengan air yang berubah sifatnya karena tercampur benda suci selama belum menghilangkan penamaan sebagai air. Inilah pendapat yang rajih dengan dasar:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6]
Kata (air) dalam ayat ini umum mencakup semua air tanpa membeda-bedakannya kecuali bila ada dalil lain yang membedakannya. Juga tidak ada pembedaan air dengan sebab susah atau tidaknya dipisahkan dari yang mencampuri air, sehingga berlaku secara umum.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَقْبَلَ رَجُلٌ حَرَامًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَخَرَّ مِنْ بَعِيرِهِ، فَوُقِصَ وَقْصًا، فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَأَلْبِسُوهُ ثَوْبَيْهِ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي»
Seorang datang dalam keadaan ihram bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu terjatuh dari ontanya kemudian terinjak injak hingga mati. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandikanlah dengan air dicampur bidara dan kafanilah dengan dua kain ihramnya tersebut dan jangan tutupi kepalanya, karena dia kan datang dihari kiamat dalam keadaan bertalbiyah. [HR. Muslim]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mencampur air dengan bidara dan tetntunya mengakibatkan perubahan pada sifat airnya. Setelah dicampur, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan air yang sudah dicampuri daun bidara itu untuk memandikan mayit dalam rangka mensucikannya. Dengan demikian perubahan akibat campuran benda suci tersebut tidak menghilangkan sifat suci mensucikan air tersebut.
3. Hadits Ummu Hâni` Radhiyallahu anha yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ
Sesunggunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dengan Maimunah dari satu bejana dalam bejana berisi bekas adonan roti. [HR Ibnu Mâjah no. 378 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah 1/66].
Biasanya air berubah sifatnya karena tercampur bekas adonan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakannya untuk bersuci.
Demikianlah kekuatan dalil ini merajihkan pendapat kedua ini. Wallahu a’lam.
3. Perubahan air laut atau air yang banyak dengan sebab yang tidak jelas. Dalam keadaan ini para ahli fikih sepakat tentang kesucian air laut, karena itu adalah asal hukumnya sehingga tidak hilang dengan sesuatu yang masih diragukan.
PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH KEHIDUPAN MANUSIA PADA AIR LAUT.
Dewasa ini limbah kehidupan manusia berupa kotoran, sampah dan air yang digunakan untuk mencuci, mandi dan keperluan manusia sehari-hari banyak yang terbuang atau melewati laut. Ada sebagiannya yang terproseskan sebelum masuk laut dan ada yang langsung masuk ke lautan.
Sudah dimaklumi limbah-limbah tersebut banyak yang membawa benda-benda najis. Apabila dibuang kelaut atau sungai umumnya tidak merubah sifat air karena luas dan banyaknya air laut tersebut. Namun kadang berubah satu bagian tertentu karena campuran najis tersebut. Maka bagian yang berubah karena najis tersebut adalah air najis.
Penulis kitab Mawâhib al-Jalîl Syarh Mukhtashar Khalîl, Syeikh Muhammad bin Muhammad bin Abdirrahman al-Maghribi (wafat tahun 954 H) pernah mengisyaratkan masalah ini yang beliau nukil dari Ibnu Rusyd, “Di teluk Iskandariyah (Mesir) berlayar kapal-kapal laut. Apabila air sungai Nil mengalir maka ia bersih dan bila hilang air sungai Nil tersebut berubah warna, rasa dan baunya. Kapal-kapal itu berlayar seperti biasanya dan toilet-toiletnya menumpahkan kotoran padanya. Tidak sepatutnya berwudhu dengan air tersebut kecuali diketahui secara pasti bahwa warnanya tidak berubah akibat pembuangan toilet-toilet tersebut dan seandainya berubah karena hal itu maka ia adalah najis menurut ijma’. Ketika tidak diketahui dengan jelas, maka yang lebih hati-hati dianggap najis. Seandainya mendapatkan perubahan warna namun tidak diketahui perubahannya disebabkan najis yang menyerupainya maka dianggap suci.[8]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1435H/2014.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/130, Sunan ad-Daraquthni 1/35-36, dan al-Ausâth ibnu al-Mundzir 1/247 )
[2]. Lihat kitab Badâ’i’ ash-Shanâi’ 1/15, Ahkâm al-Qur`an Ibnul Arabi 1/43, al-Majmû’ 1/136 dan al-Mughni 1/22-23). Juga pendapat ibnu Hazm (lihat al-Muhalla 1/210).
[3]. (Lihat Bidâyatul Mujtahid 1/38-39, al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab 1/110-111 dan al-Mughni 1/38).
[4]. Lihat al-Majmû’ 1/92
[5]. Lihat al-Majmû’ 1/102 dan al-Mughni 1/22-23.
[6]. Lihat Fathul Qadîr Ibnul Humaam 1/82, Mawâhib al-Jalîl 1/53, al-Majmû’ 1/168-169 dan al-Mughni 1/58.
[7]. Mawâhib al-Jalîl 1/53-54.
============
Dalil Tentang Hewan Air
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “
al bahru al maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.”
[Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 2/361, Mawqi’ At Tafasir.]
Dalam perkatan yang masyhur dari Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud “
shoidul bahr” dalam ayat di atas adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup, sedangkan yang dimaksud “
tho’amuhu” adalah bangkai hewan air.
[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 5/365, Muassasah Qurthubah.]Yang dimaksud bangkai hewan air adalah yang mati begitu saja, tanpa diketahui sebabnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Apakah Semua Hewan Air Halal?
Pembahasan mengenai hewan air dibagi menjadi dua:
Pertama: Hewan yang hanya hidup di air saja.
Kedua: Hewan yang hidup di dua alam (di air dan di darat).
Para ulama berselisih pendapat mengenai hewan air menjadi empat pendapat:
Pendapat pertama: Seluruh hewan air itu halal. Inilah pendapat ulama Malikiyah dan pendapat ulama Syafi’iyah yang lebih tepat.
Pendapat ketiga: Seluruh hewan air haram dimakan kecuali ikan. Setiap ikan di air boleh dimakan kecuali ikan yang mati begitu saja lalu mengapung di atas air. Pendapat ini dipilih oleh ulama Hanafiyah dan salah satu pendapat dari Syafi’iyah. Pendapat ini pun mengharamkan katak, kepiting dan ular air karena dianggap khobits(menjijikkan)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan,
وَلَا خِلَاف بَيْن الْعُلَمَاء فِي حِلّ السَّمَك عَلَى اِخْتِلَاف أَنْوَاعه ، وَإِنَّمَا اُخْتُلِفَ فِيمَا كَانَ عَلَى صُورَة حَيَوَان الْبَرّ كَالْآدَمِيِّ وَالْكَلْب وَالْخِنْزِير وَالثُّعْبَان
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan,
أَنَّ جَمِيع حَيَوَانَات الْبَحْر أَيْ مَا لَا يَعِيش إِلَّا بِالْبَحْرِ حَلَال ، وَبِهِ قَالَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَدُ ، قَالُوا مَيْتَات الْبَحْر حَلَال وَهِيَ مَا خَلَا السَّمَك حَرَام عِنْد أَبِي حَنِيفَة وَقَالَ الْمُرَاد بِالْمَيْتَةِ السَّمَك كَمَا فِي حَدِيث ” أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ السَّمَك وَالْجَرَاد ” وَيَجِيء تَحْقِيقه فِي مَوْضِعه إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى
Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama dari ulama Malikiyah, yaitu halalnya seluruh hewan yang hidup di air. Alasannya karena keumuman dalil berikut.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)
Juga keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.”
Sedangkan ulama yang mengharamkan kepiting, ular, dan semacamnya berdalil dengan ayat,
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Diharamkan bagi kalian yang khobits (menjijikkan).” (QS. Al A’rof: 157). Pendalilan seperti ini tidaklah tepat. Karena semata-mata klaim khobit (menjijikkan) bukanlah dalil tegas. Selengkapnya tentang hewan-hewan yang hidup di dua alam semacam ini akan kami kupas dalam tulisan selanjutnya, insya Allah.
Adapun ulama yang berpendapat haramnya hewan air yang mirip dengan hewan darat yang diharamkan seperti anjing dan babi, maka qiyas (analogi) tersebut bertentangan dengan keumuman dalil surat Al Maidah ayat 96.
[Lihat Al Ath’imah, hal. 88.]
Apakah Hewan Air yang Ditemukan Mati Mengapung atau Terseret Hingga ke Pinggiran Halal?
Dalil dari pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12)
Juga keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96). Yang dimaksud dengan “
tho’amuhu” dalam ayat ini adalah bangkainya, artinya mati begitu saja tanpa diketahui sebabnya. Dalam perkataan lain, Ibnu ‘Abbas menafsirkan “
tho’amuhu” adalah hewan air yang mati dan terlempar hingga ke pinggiran (pantai atau sungai).
[Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/365-366.] Tafsiran ini menjadi pendapat mayoritas ulama.
[Al Ath’imah, hal. 88.]
Juga dalil dari pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
“Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air, pen) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan ulama Hanafiyah memakruhkan hal ini.”
[Lihat Fathul Baari, 9/618.]
Dalil lain tentang halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Ketika menjelaskan hadits di atas yang terdapat dalam kitab Bulughul Marom, Ash Shon’ani mengatakan,
وَكَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى حِلِّ مَيْتَةِ الْحُوتِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ وُجِدَ ، طَافِيًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ
Adapun dalill ulama yang memakruhkan memakan hewan air yang mati mengapung atau ditemukan di pinggiran (pantai atau sungai) tanpa diketahui sebab matinya adalah dalil berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَلْقَى الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ فَكُلُوهُ وَمَا مَاتَ فِيهِ وَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang didamparkan oleh laut atau yang tersingkap darinya maka makanlah, dan apa yang mati padanya dalam keadaan mengapung maka janganlah engkau makan.” (HR. Abu Daud no. 3815 dan Ibnu Majah no. 3247). Setelah Abu Daud membawakan hadits tersebut dalam kitab sunannya, beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan Ats Tsauri dan Ayyub serta Hammad dari Abu Az Zubair mereka menyandarkannya kepada Jabir. Dan hadits ini juga di sandarkan dengan sanad yang lemah, dari jalur Ibnu Abu Dzi`b dari Abu Az Zubair dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penulis Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani rahimahullah mengatakan,
بِأَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ
“Hadits Jabir di atas adalah hadits yang dho’if (lemah) berdasarkan kesepakatan ulama pakar hadits
.”
[Subulus Salam, 1/52.]
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
فَحَدِيث ضَعِيف بِاتِّفَاقِ أَئِمَّة الْحَدِيث ، لَا يَجُوز الِاحْتِجَاج بِهِ لَوْ لَمْ يُعَارِضهُ شَيْء ، كَيْف وَهُوَ مُعَارَض بِمَا ذَكَرْنَاهُ ؟
Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
[Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/337.]
==========
KESUCIAN HEWAN LAUT
Para Ulama sudah memberikan perhatian besar terhadap hukum-hukum berkenaan dengan hewan laut dan air. Hal ini mendorong seorang Muslim untuk mengetahui lebih banyak mengenai hukum kesucian dan kehalalan hewan laut dan juga kandungan laut lainnya.
Hewan laut atau air dibagi oleh para Ulama menjadi dua:
1. Hewan air yang hanya hidup di dalam air dan bila keluar ke darat, ia akan mati, seperti hewan yang disembelih. Contohnya ikan dan sejenisnya.
2. Hewan air yang dapat hidup di darat juga, dinamakan sebagian orang dengan istilah al-barma`i (yang hidup di dua alam), seperti buaya, kepiting dan sejenisnya. Mereka memandang pada habitatnya yang dominan, di air atau darat, sehingga akhirnya terjadi perbedaan pendapat mereka dalam menentukan apakah hewan tersebut adalah hewan laut sehingga berlaku padanya hukum ikan ataukah termasuk hewan darat yang berlaku padanya hukum hewan darat.
KEHALALAN MEMAKAN HEWAN LAUT ATAU AIR.
Para Ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
1. Seluruh hewan laut halal. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah dan Syâfi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. [Al-Mâidah/5:96]
Ayat ini bersifat umum pada semua hewan laut.
2. Seluruh hewan laut atau air halal kecuali katak, buaya dan ular. Ini adalah pendapat madzhab Hambaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan sebagai dasar argumen oleh pendapat pertama. Binatang katak dikecualikan, karena dilarang membunuhnya dan mengecualikan buaya karena binatang buas lagi pemangsa dengan taringnya dan memangsa manusia. Sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
3. Semua yang ada dalam laut diharamkan kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan kecuali yang sudah mati mengambang dipermukaan laut. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah. Mereka berdalil pada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. [Al-Mâidah/5:3].
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla tidak memerinci antara hewan laut dengan darat, sehingga berlaku umum. Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [Al-A’râf/7:157]
Selain ikan, semua hewan laut khabîts (buruk), seperti kepiting dan lain-lainnya.
4. Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan, apabila yang hewan darat yang serupa dengannya halal dimakan. Apabila hewan darat yang menyerupainya haram dimakan, maka hukumnya haram. Misalnya, babi laut diharamkan karena babi darat diharamkan, anjing laut haram karena anjing darat haram. Ini adalah satu di antara pendapat dalam madzhab Syafi’iyah dan satu pendapat dari madzhab Hambaliyah. Dalilnya adalah qiyâs (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama, maka diberi hukum yang sama.
Pendapat Yang Rajih
Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh bin Fauzân Al-Fauzân merajihkan pendapat madzhab Malikiyah, karena kekuatan dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka. Kemudian beliau membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan:
Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (Al-Mâidah/5:3). Maka jawabnya adalah ini umum yang sudah dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut : (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ) .
Sedangkan argumen mereka dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ( Al-A’râf/7:157) dalam mengharamkan kepiting, ular dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima perihal ini semua adalah khabîts (buruk/menjijikkan). Sekedar klaim ini termasuk yang menjijikkan tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyâs (analogi) mereka semua yang ada di laut dengan hewan darat yang dilarang, maka ini tidak sah karena menyelisihi nash syariat. [Al-Ath’imah hlm. 78-79.]
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah merajihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau, “Yang benar adalah tidak dikecualikan satu pun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali di air adalah halal baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu”.[Syarhul Mumti’ 15/35.]
Hukum Darah Ikan.[Diambil dari Ahkâm al-Bahr hlm. 81-87.]
Kehalalan memakan ikan sudah dijelaskan dalam banyak nash syariat dan disepakati para Ulama, hanya saja terjadi perbedaan pendapat dalam hukum darah ikan. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Sebab perselisihan mereka dalam darah ikan adalah sama dengan sebab perselisihan mereka dalam bangkainya. Ulama yang menjadikan bangkainya masuk dalam keumuman pengharaman, mereka menghukumi darahnya juga demikian. Ulama yang mengeluarkan bangkai ikan darinya, maka mengeluarkan darahnya dengan menganalogikannya dengan bangkai. [Bidâyatul Mujtahid I/102.]
Demikianlah para Ulama berbeda pendapat tentang kesucian darah ikan dalam dua pendapat:
1. Darah ikan hukumnya najis. Ini adalah pendapat Abu Yusuf rahimahullah dari ulama Hanafiyah, satu pendapat dari Malikiyah dan pendapat yang shahîh dari madzhab Syafi’iyah dan Abu Tsaur rahimahullah . Mereka berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allâh. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-An’âm/6:145].
Ayat yang mulia ini umum mencakup semua darah yang mengalir dan di antaranya adalah darah ikan, sehingga hukumnya najis seperti darah-darah lainnya.[Lihat Bidâyatul Mujtahid I/100.]
Argumentasi ini disanggah dengan menyatakan bahwa ayat di atas bersifat umum pada darah yang mengalir dan ada sebagian nash syariat yang mengecualikan darah ikan, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا المَيْتَتانِ: فَالْجَرَادُ والْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحالُ وَالْكَبِدُ». أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.
“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai adalah: (bangkai) belalang dan ikan, dan dua macam darah adalah limpa dan hati.” [HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah] .
Dua darah ini dikecualikan dan Nabi ketika menyampaikan kehalalan bangkai ikan, jelas mengetahui adanya darah pada ikan tersebut dan tidak melarangnya sehingga menunjukkan kesucian darahnya.
2. Darah ikan hukumnya suci. Ini pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan Muhammad bin al-Hasan rahimahullah dan menjadi pendapat madzhab Hanafiyah. Ini juga satu pendapat dalam madzhab Mâlikiyah dan dirajihkan Ibnul Arabi rahimahullah. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa argumen:
a. Bangkai ikan halal dan tidak disyariatkan menyembelihnya. Seandainya darah ikan najis tentulah disyariatkan menyembelihnya.
b. Ikan tidak memiliki darah hakiki, tapi merupakan air yang tercampur darah. Oleh karena itu, darahnya tidak menjadi hitam apabila dibiarkan terbuka di paparan sinar matahari.
c. Tabiat darah itu panas dan tabiat air itu dingin. Seandainya ikan memiliki darah, tentunya tidak kuat berdiam lama di air.
d. Darah ikan tidak jauh dari bangkainya dalam hukum. Bangkai ikan suci dan halal dimakan, maka demikian pula darahnya.
Pendapat kedua ini yang rajih karena argumentasi yang kuat. Wallâhu A’lam.
=============
# Fiqhul Hadîts :
1. Air laut suci secara mutlak tanpa terkecuali, suci pada dzatnya dan dapat mensucikan benda lainnya. Sehingga air laut boleh dan sah digunakan untuk thaharah (bersuci/menghilangkan najis) dan berwudhu`, bahkan mandi janabah.
2. Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan hewan laut adalah semua hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut.
Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah -pada hadits nomor : 480- mengatakan : “Halalnya semua hewan yang mati di laut jika memang hewan tersebut tempat hidupnya di laut, walaupun sudah mengapung di atas air.
Betapa baiknya sebuah atsar yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, bahwasanya beliau ditanya : “Apakah boleh aku memakan (hewan laut) yang telah terapung di atas air?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya segala yang terapung di atas air (laut) adalah bangkainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya halal (dimakan.” Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni 538.
Sementara hadits yang berisi larangan memakan hewan yang terapung di atas air (laut) adalah hadits yang tidak sah, sebagaimana telah dipaparkan pada kitab yang lain.
[Hadits yang beliau maksud adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir dengan lafadz :
ما ألقى البحر أو جزر عنه فكلوه و ما مات فيه و طفا فلا تأكلوه
Segala terdampar di laut (di pantai) silakan kalian makan. Sementara yang mati di laut dan terapung maka jangan kalian makan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3815 dan Ibnu Majah 3247.]
— selesai Asy-Syaikh Al-Albani –
Di antara yang memperkuat dalil di atas adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوت، و أما الدمان : فالكبد و الطحال
“Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai adalah serangga dan ikan. Adapun dua jenis darah adalah hati dan jantung”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 3218, 3314.
Hadits ini mauquf (yakni hanya dari ucapan shahabat Nabi) jika ditinjau dari lafazhnya, akan tetapi dihukumi marfu‘ (yakni sumber asalnya adalah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) jika ditinjau dari sisi hukumnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihah no 1118.
Hukum ini mencakup semua bangkai hewan yang hidup di laut, sekalipun penamaanya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, misalnya: anjing laut, ular laut, babi laut, dan sebagainya. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam Asy-Syaukani.
# Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jawabannya menyebutkan juga tentang hukum bangkai hewan laut, padahal sang penanya hanya menanyakan tentang hukum berwudhu menggunakan air laut, tidak bertanya tentang hukum bangkai hewan laut?
Jawab : Karena orang yang mengarungi lautan sangat mungkin menghadapi permasalahan terkait bangkai hewan laut -boleh dimakan atau tidak- terlebih di tengah lautan sangat memungkinkan kehabisan bekal, dan di tengah laut tidak ada tempat bertanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melengkapkan jawabannya ketika itu.
Al-Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berkata : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa penanya tidak mengetahui tentang hukum air laut, maka sangat mungkin penanya juga tidak mengetahui hukum bangkai hewan yang hidup di laut. Terkadang orang yang mengarungi lautan dihadapkan dengan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan jawabannya mengenai hukum memakan bangkai hewan yang hidup di laut.
Al-Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata : “Di antara bentuk fatwa yang baik adalah memberikan jawaban lebih banyak dari sekadar yang ditanyakan dalam rangka menyempurnakan pengetahuan, sekaligus memberikan pengetahuan ilmu yang tidak ditanyakan oleh si penanya.”