106 - وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ

106. Dari Samurah bin Jundub dia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu pada hari Jum'at, berarti dia telah mengamalkan sunnah dan betapa nikmatnya, dan barangsiapa yang mandi, maka mandi lebih utama.” (HR. imam yang lima dan dihasankan At Tirmidzi)

[Hasan: Abu Daud 354]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Samurah bin Jundub adalah Abu Sa’id menurut kebanyakan pendapat. Samurah bin Jundub Al Fazariy sang tangan kanan golongan Anshar, pernah tinggal di Kufah dan menjadi gubernur Bashrah, ia termasuk orang Bashrah, termasuk penghafal hadits yang cukup banyak, meninggal dunia di Bashrah pada akhir tahun 59 H.

Penjelasan Kalimat

Barangsiapa yang berwudhu pada hari Jum'at, berarti dia telah mengamalkan sunnah (artinya dia telah mengambil sunnah) dan betapa nikmatnya, (yaitu sunnah, atau dia telah mengambil keringanan itu (mandi) dan betapa nikmatnya keringanan itu, karena yang sunnah adalah mandi, atau dia melaksanakan yang wajib (wudhu) dan betapa nikmatnya yang wajib itu, karena wudhu hukumnya wajib) dan barangsiapa yang mandi, maka mandi lebih utama.

Tafsir Hadits

Hadits di atas dikeluarkan oleh imam yang lima dan dihasankan oleh At Tirmidzi. Yang menshahihkan pendengaran Al Hasan dari Samurah, maka hadits tersebut shahih, dan mengenai pendengarannya itu terdapat perbedaan pendapat.

Hadits tersebut adalah dalil tidak wajibnya mandi dan –sebagaimana yang Anda ketahui- menjadi dalil jumhur ulama atas hal itu, juga bsg dalil untuk mentakwil hadits yang mewajibkan mandi. Hanya saja, muncul pertanyaan, bagaimana bisa mandi yang hukumnya sunnah, lebih utama dari wudhu yang hukumnya wajib menurut ijma ulama? Jawabannya adalah, maksudnya bukanlah keutamaan atas wudhu itu sendiri, tapi atas wudhu yang tidak disertai mandi, seakan-akan beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu dan mandi, maka dia lebih utama dari orang yang hanya berwudhu saja.”

Dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya mandi adalah hadits Muslim:

 «مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَةِ إلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثِهِ أَيَّامٍ»

barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian ia pergi shalat Jum’at, dia mendengarkan khutbaj dengan diam penuh perhatian, maka akan diampuni dosanya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya dan ditambah lagi tiga hari.” [Muslim 857]

Menurut Daud, hadits ini muqayyad (dibatasi) dengan hadits yang mewajibkan mandi, maka hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits Samurah, meskipun hadits yang mewajibkan lebih shahih, karena diriwayatkan oleh perawi yang tujuh. Berbeda dengan hadits Samurah yang tidak diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim, maka agar lebih hati-hati, hendaknya seorang mukmin tidak meninggalkan mandi pada hari Jum'at.

Dalam Al Hadyu An Nabawi dikatakan, perintah mandi pada hari Jum'at itu sangat ditegaskan, kewajibannya lebih kuat dari kewajiban shalat witir, membaca basmalah dalam shalat, juga melebihi kewajiban berwudhu karena menyentuh perempuan, karena menyentuh kemaluan, karena tertawa terbahak-bahak pada waktu shalat, karena keluar darah dari hidung (mimisan), karena berbekam dan karena muntah.
______________
Mengenai pendapat wajibnya mandi untuk shalat Jum’at, ada tulisan menarik dari Syaikh Ahmad Syakir, ketika mengomentari pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Ar Risalah, silakan rujuk untuk menambah pengetahuan

====================


107 - وَعَنْ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَهَذَا لَفْظُ التِّرْمِذِيِّ وَصَحَّحَهُ، وَحَسَّنَهُ ابْنُ حِبَّانَ
107. Dari Ali, dia berkata, Rasulullah biasanya membacakan Al Qur'an kepada kami selama beliau tidak junub. (HR. Ahmad dan Imam yang lima, dan ini lafazh At Tirmidzi dan ia menghasankannya, sedang Ibnu Hibban menilainya shahih)

[Dhaif: Dhaif Abu Daud 229]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Demikianlah menurut yang terdapat dalam cetakan Bulughul Maram, tapi yang lebih bagus adalah ‘Dan Al Arba’ah’, dan memang dalam sebagiannya tertulis seperti itu.

Ini adalah lafazh At Tirmidzi dan ia menghasankannya, sedang Ibnu Hibban menilainya shahih. Penulis dalam At Talkhish mengatakan, “At Tirmidzi, Ibnu Sakan, Abdul Haqq dan Al Baghawi telah menghukumi akan keshahihan hadits tersebut.” Dan diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan sanadnya dari Syu’bah ia berkata, “Hadits ini adalah sepertiga modalku dan aku tidak pernah meriwayatkannya hadits yang lebih baik dari ini.”

Adapun pendapat An Nawawi yang mengatakan, “kebanyakan ulama menyelisihi At Tirmidzi, mereka menilai hadits itu lemah.” Penulis mengatakan, “Sesungguhnya pengkhususan An Nawawi dengan hanya menyebutkan nama At Tirmidzi yang menshahihkannya, merupakan dalil bahwa ia tidak mengetahui ada yang menshahihkannya selain dia, dan telah kami sebutkan ulama yang menshahihkannya selain At Tirmidzi.”

Ad Daruquthni telah meriwayatkan dari Ali secara mauquf:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ مَا لَمْ تُصِبْ أَحَدُكُمْ جَنَابَةٌ، فَإِنْ أَصَابَتْهُ فَلَا وَلَا حَرْفًا

“Bacalah Al Qur'an, selama salah seorang dari kalian tidak junub, jika sudah junub maka janganlah ia membacanya, walau satu huruf.” [Sunan Ad Daruquthni 1/118]

Hadits ini mendukung hadits dalam bab ini (tidak boleh membaca Al Qur'an bagi yang junub), tapi Ibnu Khuzaimah mengatakan di dalam hadits tersebut tidak terdapat hujjah yang melarang orang junub membaca Al Qur'an, karena tidak terdapat larangan di dalamnya, itu hanyalah sebuah keterangan tentang perbuatan Nabi , dan Nabi sendiri tidak menjelaskan kalau dia tidak membaca Al Qur'an karena beliau sedang junub.

Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berpendapat tidak mengapa orang junub membaca Al Qur'an. [Al Bukhari 1/116]

Adapun pendapat tentang riwayat, ‘tidak ada sesuatu yang membatasi Nabi atau melarangnya selain jinabah’, dikeluarkan oleh Ahmad, dan Ashabus Sunan, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Bazzar, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, lebih jelas mengenai dalil keharaman membaca Al Qur'an bagi yang junub dari pada hadits bab ini. pendapat tersebut tidaklah kuat, karena lafazh-lafazh dalam riwayat tersebut semuanya adalah informasi tentang Rasulullah tidak membaca Al Qur'an ketika sedang junub, sikap beliau yang tidak membaca Al Qur'an itu tidaklah bisa menjadi dalil atas suatu hukum tertentu, karena telah disebutkan hadits Aisyah bahwa “beliau senantiasz berdzikir dalam setiap kondisi”, kami sudah menjelaskan bahwa hadits Aisyah ini ditakhshish oleh hadits Ali tadi.

Akan tetapi sebenarnya, hadits tersebut tidak tegas menunjukkan keharamannya, tetapi mungkin saja beliau meninggalkan bacaan Al Qur'an ketika sedang junub karena hukumnya makruh atau yang semacamnya, akan tetapi Abu Ya’la meriwayatkan dari Ali ia berkata;

«رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَوَضَّأَ ثُمَّ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا لِمَنْ لَيْسَ بِجُنُبٍ، فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا وَلَا آيَةً»

“Aku pernah melihat Rasulullah berwudhu, kemudian membaca sesuatu dari ayat Al Qur'an, kemudian beliau bersabda, ‘Beginilah bagi orang yang tidak dalam keadaan junub, adapun bagi orang yang junub dia tidak boleh membacanya walau satu ayat pun’.” [Musnad Abu Ya’la 1/300]

Al Haitsami berkata, “Para perawinya dalam orang-orang yang terpercaya semuanya.” Dan hadits menunjukkan keharaman membaca Al Qur'an ketika sedang junub, karena dalam hadits tersebut terdapat larangan dan larangan pada dasarnya menunjukkan keharaman, dan hadits ini memperkuat hadits sebelumnya.

Adapun hadits Ibnu Abbas yang marfu’:

«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إذَا أَتَى أَهْلَهُ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ»

Jika salah seorang di antara kalian ingin mencampuri istrinya, lalu dia mengucapkan bismillah....”

Dalam hadits ini tidak terdapat dalil yang membolehkan orang yang junub membaca Al Qur'an, dan karena menggunakan lafazh tersebut yang tidak dimaksudkan membaca Al Qur'an, juga bacaan basmalah dibaca sebelum mencampuri istrinya yang berarti dia belum dalam keadaan junub.

Adapun hadits Ibnu Abi Syaibah bahwasanya Rasulullah apabila mencampuri istrinya, beliau membaca:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ فِيمَا رَزَقَتْنِي نَصِيبًا

Ya Allah, janganlah Engkau berikan bagi setan peranan dari apa (anak) yang Engkau anugerahkan kepadaku.”

Dalam hadits tersebut tidak terdapat tasmiyah, maka tidak bertentangan dengan hadits yang mengharamkannya.

====================

108 - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ - زَادَ الْحَاكِمُ «فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ»

108. Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, kemudian dia ingin kembali, hendaklah dia berwudhu di antara keduanya dengan satu wudhu.” (HR. Muslim, Al Hakim menambahkan, “Karena sesungguhnya dengan wudhu lebih memberikan semangat untuk mengulanginya.”)

[Muslim 308, Al Hakim 1/254]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Dalam hadits ini sepertinya Rasulullah ingin mempertegasnya, karena terkadang hanya dimaksudkan mencuci sebagian anggota wudhu. Maka dengan penegasan ini, beliau menerangkan bahwa yang dikehendakinya adalah menurut syariat. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi disebutkan: “Seperti wudhunya untuk shalat, karena dengan wudhu lebih memberikan semangat untuk mengulanginya.”

Dalam hadits Rasulullah tersebut terdapat dalil disyariatkannya wudhu bagi yang ingin mengulangi berhubungan dengan istrinya. Akan tetapi ada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah telah mencampuri istrinya, tidak memperbarui wudhu antara keduanya, juga ada hadits yang menyatakan bahwa beliau mandi junub setiap kali selesai bercampur dengan istrinya. Semuanya diperbolehkan, sekalipun berwudhu hukumnya sunnah, hanya saja yang memalingkan perintah tersebut dari wajib ta’lil dan perbuatan Rasulullah .

=================

109 - وَلِلْأَرْبَعَةِ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً» ، وَهُوَ مَعْلُولٌ
109. Dan bagi imam yang empat, dari Aisyah dia berkata, ‘Rasulullah pernah tidur padahal beliau sedang junub, tanpa menyentuh air.’ Hadits ini cacat.’

[Shahih: Shahih Abu Daud 228]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Penulis telah menjelaskan alasan cacatnya, yaitu karena termasuk riwayat dari Abu Ishaq dari Al Aswad dari Aisyah . Ahmad berkata, “Ia itu tidak shahih.” Dan Abu Daud berkata, “Hadits itu diragukan keshahihannya.”

Alasannya adalah karena Abu Ishaq tidak mendengarkannya dari Al Aswad, akan tetapi dishahihkan oleh Al Baihaqi dan ia berkata, “Abu Ishaq betul-betul mendengarkan hadits tersebut dari Al Aswad, maka batallah perkataan bahwa ulama-ulama hadits telah sepakat akan kesalahan Abu Ishaq.”

At Tirmidzi mengatakan, “andai hadits itu shahih, mungkin yang dimaksud Aisyah adalah beliau tidak menyentuh air untuk mandi”, maka saya (Ash Shan’ani) katakan, “Hadits atsar sesuai dengan hadits dalam Ash-Shahihain yang menjelaskan bahwa Nabi berwudhu dan mencuci kemaluannya terlebih dahulu ketika akan tidur, makan, minum dan bercampur dengan istrinya.”

Para ulama berbeda pendapat, apakah berwudhu itu wajib, ataukah tidak? Jumhur ulama mengatakan tidak wajib, berdasarkan hadits bab ini yang menjelaskan bahwa beliau tidak menyentuh air dan berdasarkan hadits tentang Nabi menggilir istri-istri beliau dengan satu kali mandi. Tidak diragukan bahwa yang mengklaim pendapat tersebut tidak terdapat padanya dalil ini.

Daud dan sekelompok ulama lainnya berpendapat mengenai wajibnya, karena disebutkan perintah mencuci dalam riwayat Muslim,
«لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ»
Hendaklah dia berwudhu kemudian tidur..” [Muslim 306]

Juga dalam riwayat Al Bukhari:
«اغْسِلْ فَرْجَك ثُمَّ تَوَضَّأْ»
Cucilah kemaluanmu, kemudian berwudhu.” [1]

Asal dari suatu perintah adalah menunjukkan wajib.

Jumhur ulama mentakwilkan bahwa hal itu menunjukkan sunnah, untuk mengkompromikan antara berbagai dalil tersebut, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam shahih keduanya dari hadits Umar berikut:

«أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَيَنَامُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَيَتَوَضَّأُ إنْ شَاءَ»

“Bahwa ia bertanya kepada Nabi , ‘Apakah seseorang dari kami boleh tidur dalam keadaan junub?’ beliau menjawab ‘Ya’, dan dia boleh berwudhu jika dia mau.”

Asalnya dalam Ash-Shahihain tetapi tanpa penambahan kata (jika dia mau), hanya saja pentashihan dari orang yang menyebutkannya, ia meriwayatkannya dalam kitab Ash Shahih dari kitabnya cukup untuk menjadi pegangan.

Dan diperkuat oleh hadits ‘Dan beliau tidak menyentuh air’ dan tidak membutuhkan penakwilan At Tirmidzi. Juga memperkuat hukum asal, yakni tidak diwajibkan berwudhu bagi orang yang ingin tidur dalam keadaan junub, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
________________
[1] Al Bukhari tidak meriwayatkan dengan lafazh ini, Ash Shan’ani mendukung Ibnu Hajar dalam dugaan ini, lihat At Talkhish (1/141)

====================

110 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ، ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ، فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ. ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ، فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ، ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.
110. Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah apabila mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu lalu mengambil air, kemudian memasukkan jari-jari tangannya ke pangkal rambutnya, kemudian menuangkan di atas kepalanya tiga kali, kemudian menuangkan air ke sekujur tubuhnya, kemudian beliau mencuci kedua kakinya. (Muttafaq alaih, dan lafazh ini milik Muslim)

[Al Bukhari 183 dan Muslim 306]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

Rasulullah apabila mandi junub, (yakni hendak mandi junub) beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, (dalam hadits maimunah disebutkan dua kali atau tiga kali) kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu (dalam hadits Maimunah, seperti wudhu untuk shalat) lalu mengambil air, kemudian memasukkan jari-jari tangannya ke pangkal rambutnya, (yakni rambut kepalanya, dalam riwayat Al Baihaqi, “Beliau menyela-nyela belahan kepalanya bagian kanan, lalu menelusuri pangkal rambutnya, kemudian beliau mengerjakan pada belahan kepalanya bagian kiri dengan cara yang demikian pula.”) kemudian menuangkan di atas kepalanya tiga kali, (lafazh hafanah berarti sepenuh telapak tangan, sebagaimana dalam An Nihayah dan kitab Al Qamus, boleh mengkasrahkan ‘ha dan boleh memfathahkannya, sebagaimana dalam Al Qamus, dan dalam hadits Maimunah, “Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepalanya dengan tiga kali sepenuh kedua telapak tangannya.” Tapi kebanyakan riwayat Muslim menggunakan kalimat ‘Sepenuh telapak tangannya, dengan bentuk tunggal) kemudian menuangkan air ke sekujur tubuhnya, (yaitu tubuhnya yang belum terkena air) kemudian beliau mencuci kedua kakinya.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top