111 - وَلَهُمَا، مِنْ حَدِيثِ مَيْمُونَةَ: «ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ، ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا الْأَرْضَ» - وَفِي رِوَايَةٍ: فَمَسَحَهَا بِالتُّرَابِ، وَفِي آخِرِهِ: ثُمَّ أَتَيْته بِالْمِنْدِيلِ، فَرَدَّهُ، وَفِيهِ: وَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ.

111. Dan bagi keduanya (Al Bukhari dan Muslim), dari hadits Maimunah , ‘Lalu beliau menyiram kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kirinya, lalu beliau memukulkan tangannya ke tanah.’ Di dalam riwayat lainnya, ‘Beliau mengusap tangannya dengan debu dan di akhirnya, ‘kemudian aku memberikan beliau sapu tangan tetapi beliau menolaknya.’ Dan dalam hadits itu disebutkan, ‘Dan beliau mengibaskan air dengan tangannya.”

[Al Bukhari 254, Muslim 317]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Hadits Maimunah menyebutkan tentang cara mandi junub Nabi mulai dari awal hingga selesai, tetapi penulis hanya mengambil apa yang tidak terdapat dalam hadits Aisyah .

Di dalam riwayat lainnya, ‘Beliau mengusap tangannya dengan debu dan di akhirnya, ‘kemudian aku memberikan beliau sapu tangan tetapi beliau menolaknya.’ Dan dalam hadits itu disebutkan, ‘Dan beliau mengibaskan air dengan tangannya.”

Sebelumnya lafazh ini dalam hadits keduanya, “Kemudian beliau beranjak dari tempatnya, lalu mencuci kedua kakinya, lalu saya mendatanginya... sampai akhirnya.

Kedua hadits tersebut mencakup keterangan tata cara mandi junub mulai dari permulaan sampai akhirnya, dimulai dengan mencuci kedua tangan sebelum mencelupkannya ke dalam bejana ketika baru bangun dari tidur, sebagaimana yang ditegaskan hadits, jika mandinya dari bejana, dan di dalam hadits Maimunah ditaqyid dengan dua atau tiga kali.

Lafazh ‘kemudian beliau mencuci kemaluannya’. Di dalam kitab Asy Syarh, sesungguhnya menurut zhahirnya hadits mencuci tangan itu diungkapkan dalam bentuk umum, sehingga cukup sekali saja dan menggosok tangan ke tanah untuk menghilangkan bau di tangan, tidak disebutkan kalau beliau mengulangi mencuci kemaluannya, padahal kalau saja bau masih ada di tangan, berarti bau juga masih melekat di kemalauan, inilah yang bisa dipahami dari hadits tersebut.

Hadits itu juga menunjukkan bahwa air yang digunakan membersihkan tempat yang bernajis adalah suci lagi menyucikan, juga menunjukkan bahwa niat untuk mandi menghilangkan najis harus disertai dengan niat untuk menghilangkan hadats. Dan dijadikan dalil bahwa bau yang belum hilang setelah mencuci tempat yang terdapat najis tidaklah membahayakan, dan menunjukkan bahwa mandi junub (yang wajib) hanya sekali.

Ini komentarnya dan mungkin juga tidak ada lagi baunya akan tetapi beliau menggosok tangannya ke tanah itu hanya untuk menghilangkan lengketnya tangan, jika betul bahwa bau tersebut sudah hilang.

Adapun wudhu beliau sebelum mandi junub, boleh jadi seperti wudhunya untuk shalat, dan wudhu tersebut sah sebelumnya menghilangkan hadats besar. Membasuh anggota-anggota wudhu tersebut sudah mencukupi dari mandi junub. Kedua cara bersuci itu digabung, ini adalah pendapat Zaid bin Ali, Asy-Syafi'i dan sekelompok ulama lainnya bahkan Ibnu Baththal menukil bahwa para ulama telah ijma’ dalam hal tersebut.

Mungkin juga beliau mencuci anggota wudhu untuk mandi junub, beliau mendahulukannya karena untuk memuliakannya, lalu beliau berwudhu untuk shalat. Tetapi pendapat ini pada dasarnya tidak ada yang menukilnya.

Mungkin juga wudhu beliau adalah untuk shalat, kemudian beliau menuangkan air padanya beserta anggota tubuh launnya dengan niat mandi junub. Tapi ungkapan (beliau mencurahkan air ke sekujur tubuhnya) tidak sesuai dengan ungkapan ini, karena zhahirnya bahwa beliau mencurahkan air pada bagian tubuhnya yang belum terkena air, padahal kata sa’ir artinya yang tersisa bukan semuanya. Di dalam Al Qamus dikatakan bahwa kata sa’ir artinya sisa, bukan semuanya seperti dugaan banyak orang.

Dua hadits tersebut menjelaskan bahwa mencuci anggota wudhu cukup sekali saja, untuk mandi junub dan wudhu, dan tidak disyariatkan sahnya wudhu dengan hilangnya hadats besar. Adapun orang yang berpendapat bahwa keduanya (wudhu dan mandi junub) tidak menyatu, dan orang itu mesti berwudhu setelah sempurna mandinya, tidak ada dalil yang mendukung pendapat tersebut.

Telah ditegaskan dalam Sunan Abu Daud:

«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ وَصَلَاةَ الْغَدَاةِ وَلَا يَمَسُّ مَاءً»

“Bahwa Rasulullah biasanya mandi dan shalat sunnah dua rakaat lalu shalat shubuh dan tidak menyentuh air.” [Shahih: Abu Daud 250]

Maka batallah pendapat yang mengatakan bahwa tidak terdapat dalam hadits Maimunah dan hadits Aisyah yang menyatakan bahwa beliau melaksanakan shalat setelah mandi junub itu. Dan juga alasan bahwa wudhu dan mandi junub menjadi satu tidaklah sempurna, kecuali jika benar-benar ada hadits yang menyatakan bahwa beliau shalat setelah mandi junub.

Kami katakan, “Sudah jelas dalam kitab Sunan Abu Daud bahwa beliau melaksanakan shalat cukup dengan mandi junub saja (tanpa wudhu), memang betul tidak disebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya ketika berwudhu sebelum mandi junub, kecuali hanya dikatakan bahwa sudah tercakup dalam hadits Maimunah dengan lafazh, “Beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat.’

Adapun ungkapan ‘Kemudian beliau mengguyurkan air’, kata mengguyurkan berarti mengalirkan air, ini dapat dijadikan dalil tidak wajibnya menggosok badan, karena yang namanya mandi tidak mengandung arti menggosok, sebab Maimunah sendiri menggunakan kata al ghusl (mandi) sedangkan Aisyah menggunakan kata al ifadhah (mengguyurkan) dan pengertiannya sama saja. Kata Al ifadhah tidak mengandung arti menggosok demikian pula kata al ghusl. Al Mawardi mengatakan, bahwa alasan tersebut tidak kuat, karena tetap saja ada perbedaan tentang persamaan arti al ifadhah dan al ghusl.

Al Mawardi berkata, “Tidak sempurna pengambilan dalil dengan hal itu, sebab ifadhah berarti ghusl, sedang perbedaannya pada mandi yang dijadikan alasan.”

Selanjutnya apakah membasuh anggota wudhu ketika berwudhu sebelum mandi junub perlu diulangi tiga kali? Hal itu tidak disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah. Al Qadhi Iyadh mengatakan, “Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan demikian”, penulis berkata, “Tetapi yang demikian ada dalam riwayat yang shahih dari Aisyah .”

Mengenai ucapan Maimunah, “Bahwasanya beliau mengakhirkan membasuh dua kaki”, dan tidak terdapat dalam riwayat Aisyah. Ada yang berpendapat bahwa mungkin saja dia mengulangi membasuh kedua kakinya setelah lebih dahulu dia mencuci keduanya untuk berwudhu, sesuai dengan zhahir ucapan Maimunah, “Beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat’, kalimat ini jelas menunjukkan masuknya kedua kaki dalam hal itu.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang memilih mencucinya terlebih dahulu, ada yang memilih mengakhirkan mencuci keduanya. Dari keterangan di atas dapat diambil pengertian bolehnya memisahkan membasuh anggota-anggota wudhu.

Adapun ucapan Maimunah “Kemudian aku berikan beliau sapu tangan lalu beliau menolaknya”, itu terkandung dalil tidak disyariatkannya mengeringkan air pada anggota badan, dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat, pendapat yang paling masyhur adalah sebaiknya tidak dilakukan, ada yang mengatakan boleh, dan ada pula yang mengatakan selain itu.

Dalam hal tersebut terdapat dalil bahwa mengeringkan tangan dari air wudhu tidak apa-apa, pendapat ini bertentangan dengan hadits:
«لَا تَنْفُضُوا أَيْدِيَكُمْ فَإِنَّهَا مَرَاوِحُ الشَّيْطَانِ»

Janganlah kami mengeringkan tanganmu, karena itu adalah kipas anginnya setan.

[Dhaif: Dhaif Al Jami 873]

Hanya saja hadits ini dhaif, tidak dapat menandingi hadits di atas.

============================

112 - وَعَنْ «أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - قَالَتْ: قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: وَالْحَيْضَةِ قَالَ: لَا، إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِك ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

112. Dari Ummu Salamah , dia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku orang yang suka mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus melepaskan ikatan itu ketika akan mandi junub?” dalam riwayat lain, “Atau sewaktu mandi haidh?” beliau menjawab, ”Tidak usah, cukup bagimu menyiran kepalamu dengan tiga kali siraman.” (HR. Muslim)

[Muslim 330, riwayat dengan lafazh ‘dan haidh’ tidak benar, lihat Al Irwa 1/168, 169]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Adanya lafazh ‘Aku mengikat rambut kepalaku’ sebagai ganti dari lafazh sya’rii (rambutku), seakan-akan penulis meriwayatkannya dengan makna dan lafazh dhafr lebih dikenal.

Hadits tersebut sebagai dalil bahwa wanita tidak wajib menguraikan rambutnya (membuka sanggul) sewaktu mandi junub atau mandi haidh, tidak juga disyaratkan sampainya air ke pangkal-pangkal rambut.

Mengenai hukum menguraikan rambut sewaktu mandi junub, terdapat perbedaan pendapat:
Menurut Al Hadawiyah, tidak wajib menguraikannya ketika mandi junub, tetapi wajib hukumnya ketika mandi haidh atau nifas berdasarkan sabda Rasulullah kepada Aisyah :

[اُنْقُضِي شَعْرَك وَاغْتَسِلِي]
Uraikan rambutmu, kemudian mandilah” [Shahih: Ibnu Majah 646]

Pendapat ini dapat dijawab, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan hadits bab ini, padahal keduanya dapat dikompromikan, bahwa perintah menguraikan itu adalah sunnah, atau bisa juga dijawab bahwa rambut Ummu Salamah jarang dan Rasulullah tahu kalau air pasti sampai ke pangkal rambutnya.

Ada yang mengatakan, diwajibkan menguraikan rambut kalau air tidak bisa sampai ke pangkal rambut, dan jika air bisa sampai lantaran jarangnya rambut, maka tidak wajib menguraikannya, atau apabila rambutnya dijalin (diikat) maka perlu diuraikan, tapi jika tidak, maka tidak wajib diuraikan, karena air dapat sampai ke pangkalnya.
Adapun hadits:
«بُلُّوا الشَّعْرَ وَأَنْقُوا الْبَشَرَ»
Basahilah rambutmu dan bersihkanlah kulitmu.” [akan dijelaskan takhrijnya nanti]

Tidak dapat menyamai hadits Ummu Salamah. Adapun perbuatan Rasulullah yaitu beliau memasukkan tangannya –sebagaimana telah dijelaskan dalam bab mandi junub- adalah perbuatan yang tidak menunjukkan wajib, lagi pula ini berkaitan dengan laki-laki dan hadits Ummu Salamah berkaitan dengan cara mandinya perempuan, demikianlah kesimpulan yang terdapat dalam Asy Syarh.

Hadits Aisyah yang menceritakan ritual haji yang dilakukannya, di mana Aisyah berihram untuk umrah, kemudian dia haidh sebelum masuk Makkah, maka Nabi menyuruhnya untuk menguraikan rambutnya, menyisir, mandi dan bertahallul untuk haji. Aisyah ketika itu belum suci dari haidhnya, itu hanyalah mandi agar bersih bukan mandi haidh, sehingga sebenarnya tidak ada pertentangan dengan hadits Ummu Salamah, juga tak butuh dengan berbagai macam penafsiran yang amat lemah tadi, karena membedakan antara rambut yang jarang dan yang tebal harus ada dalilnya.

Pendapat bahwa yang terikat dan yang lain tidak, dan ungkapan tentang keduanya dari perawi dengan lafazh menguraikan, merupakan pendapat yang tidak punya dalil.

Dalam masalah ini haditsnya sudah jelas: Ad Daruquthni meriwayatkan dalam kitab Al Afrad, At Thabrani dan Al Khathub meriwayatkan dalam AT Talkhish dan Ad Diya’ Al Maqdisi dari Anas secara marfu’:

 «إذَا اغْتَسَلَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ حَيْضِهَا نَقَضَتْ شَعْرَهَا نَقْضًا وَغَسَلَتْهُ بِخَطْمِيٍّ وَأُشْنَانٍ، وَإِنْ اغْتَسَلَتْ مِنْ جَنَابَةٍ صَبَّتْ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهَا صَبًّا وَعَصَرَتْهُ»

Apabila seorang perempuan mandi haidh, dia harus menguraikan rambutnya dengan sungguh-sungguh, lalu membasuhnya dengan daun khathmi, dan beberapa curahan, dan apabila mandi junub, dia harus menuangkan air ke atas kepalanya dengan sungguh-sungguh lalu memeras rambutnya.” [Adh Dhiya dalam Al Mukhtar 5/69, At Thabrani dalam Al Kabir 1/260]

Hadits ini meskipun diriwayatkan oleh Adh Diya’ Al Maqdisi –dan dia mengisyaratkan hadits yang diriwayatkannya shahih- namum menimbulkan zhan (keraguan) untuk pengamalannya, dan dipahami sebagai sunnah, karena ada penyebutan daun khatmi dan beberapa curahan, karena tidak ada yang menyatakan wajib menggunakan keduanya. Ia hanyalah qarinah yang menunjukkan sunnah, sedangkan hadits Ummu Salamah menunjukkan wajib, sebagaimana ia katakan ‘cukup bagimu’, apabila ia menambah dengan mengurai rambut, maka itu sunnah.

Dalil yang menunjukkan tidak wajibnya, adalah yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad:

«أَنَّهُ بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَأْمُرُ النِّسَاءَ إذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ فَقَالَتْ: يَا عَجَبًا لِابْنِ عُمَرَ هُوَ يَأْمُرُ النِّسَاءَ أَنْ يَنْقُضْنَ شَعْرَهُنَّ أَفَلَا يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ؟ لَقَدْ كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ فَمَا أَزِيدُ أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلَاثَ إفْرَاغَاتٍ»

“Telah sampai kepada Aisyah berita bahwa Ibnu Umar menyuruh wanita mengurai rambutnya ketika mandi, Aisyah mengatakan, “Aneh sekali Ibnu Umar, mengapa dia menyuruh perempuan menguraikan rambutnya, mengapa dia tidak menyuruh mereka mencukur rambut sekalian? Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah  dari satu bejana, maka aku tidak menuangkan air ke atas kepalaku lebih dari tiga tuangan.” [Muslim 331]

Sekalipun haditsnya tentang mandi junub dan zhahirnya apa yang dikutip dari Ibnu Umar menyuruh perempuan menguraikan rambutnya secara mutlak, baik ketika mandi haidh maupun mandi junub.

=================================

 113 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد. وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
113. Dari Aisyah  dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haidh dan junub.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

[Dhaif: Abu Daud 232]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid (yakni masuk dan menetap di dalamnya) bagi wanita yang sedang haidh dan junub.

Tafsir Hadits

Mengenai hadits ini, Ibnu Rifa’ah berpendapat bahwa di antara perawinya ada yang matruk. Pendapatnya ini tidak perlu didengarkan karena telah dibantah oleh sebagian ulama.

Hadits tersebut adalah dalil tidak bolehnya perempuan yang sedang haidh dan junub masuk ke dalam masjid, demikianlah menurut pendapat jumhur ulama. Sementara Daud dan ulama lainnya mengatakan boleh, sepertinya pendapatnya ini berdasarkan al bara’ah al ashliah (hukum asalnya, terlepas dari kewajiban) dan hadits ini tidak dapat mengangkat hukum asal tersebut.

Adapun melewati masjid bagi yang haidh dan junub, ada yang mengatakan boleh berdasarkan firman Allah :
{إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ}

“.... terkecuali sekedar berlalu saja...” (QS. An-Nisa' [4]: 43]

Mengenai yang junub, sedangkan perempuan haidh diqiyaskan padanya. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah tempat-tempat shalat.

Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa ayat itu berkenaan dengan orang yang junubnya terjadi di dalam masjid, maka dia harus keluar untuk mandi, ini berbeda dengan zhahirnya ayat tersebut. Dan terdapat penafsiran yang lain mengenai ayat ini.

===================

114 - وَعَنْهَا - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ، تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَزَادَ ابْنُ حِبَّانَ: وَتَلْتَقِي أَيْدِينَا.

114. Dari darinya , dia berkata, “Aku pernah mandi junub bersama Rasulullah dari satu bejana, tangan kami saling berebutan mengambil air dari dalam bejana itu.” (Muttafaq alaih, Ibnu Hibban menambahkan, “Dan tangan-tangan kami saling bertemu)

[Al Bukhari 261, Muslim 321, Ibnu Hibban 3/395]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Hadits ini adalah dalil bolehnya suami istri mandi junub bersama dari air yang sama dalam satu bejana. Kebolehan ini sebagai hukum asal, pembahasan tentang masalah ini sudah dipaparkan pada bab air.

================

115 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً، فَاغْسِلُوا الشَّعْرَ، وَأَنْقُوا الْبَشَرَ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَاه

115. Dari Abu Hurairah , dia berkata: “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut ada jinabat, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, keduanya mendha'ifkannya)

[Dhaif: Abu Daud 248, At Tirmidzi 106]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut ada jinabat (karena jika di bawahnya saja terdapat janabat, apalagi di rambut itu sendiri, maka ia menyebutkan secara tersendiri mencuci rambut atas hukum tersebut karena di bawah setiap helai rambut ada janabat)

Tafsir Hadits

Abu Daud dan At Tirmidzi mendha'ifkan hadits di atas, karena menurut keduanya hadits tersebut dari riwayat Al Harits bin Wajih. Abu Daud mengatakan haditsnya munkar, dan dia adalah perawi lemah. At Tirmidzi mengatakan haditsnya gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari Al Harits, padahal hadits syaikhnya tidak begitu. Asy-Syafi'i menuturkan, hadits ini tidak kuat. Sementara Al Baihaqi berkata, para ulama hadits mengingkari hadits tersebut, seperti Al Bukhari, Abu Daud dan lainnya.

Hanya saja dalam bab ini terdapat hadits dari Ali yang diriwayatkan secara marfu’:

«مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا، فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْت رَأْسِي فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْت رَأْسِي ثَلَاثًا، وَكَانَ يَجُزُّهُ»

Barangsiapa yang meninggalkan janabat pada sehelai rambutnya dengan tidak mencucinya, maka dia harus mengerjakan begini dan begitu.” Oleh sebab itu aku kibas-kibaskan kepalaku tiga kali, yang demikian itu sudah mencukupinya. 

[Dhaif: Abu Daud 249]

Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh penulis, hanya saja Ibnu Katsir mengomentarinya dalam Al Irsyad, bahwa hadits Ali tersebut termasuk riwayat Atha bin Sa’ib, dia jelek hafalannya. An Nawawi berkata, sesungguhnya haditsnya dhaif.

Saya katakan, sebab timbulnya perbedaan ulama tentang penilaian shahih dan dhaifnya hadits tersebut, karena Atha bin Sa’ib hafalannya rancu di akhir usianya. Oleh karena itu, barangsiapa yang meriwayatkan darinya sebelum dia pikun, maka riwayatnya shahih, sebaliknya, siapa yang meriwayatkan darinya setelah dia pikun, maka riwayatnya lemah.

Adapun hadits Ali ini, mereka berbeda pendapat, apakah meriwayatkannya sebelum dia pikun atau sesudahnya? Itulah penyebab timbulnya perbedaan pada penilaian shahih dan dhaifnya. Dan yang benar tawaquf (tidak memberikan penilaian) apakah shahih atau dhaif sampai masalahnya jelas. Ada yang mengatakan yang benar adalah hadits tersebut mauquf atas Ali.

Hadits tersebut adalah dalil wajib mencuci sekujur tubuh ketika mandi junub dan tidak dimaafkan jika ada yang tertinggal sedikit pun. Ada yang mengatakan, ‘itu sudah menjadi ijma ulama, kecuali kumur-kumur dan memasukkan air ke hidung terdapat perbedaan pendapat.’ Ada yang mengatakan kedua-duanya wajib, berdasarkan hadits ini, ada juga yang mengatakan keduanya tidak wajib, berdasarkan hadits Aisyah dan Maimunah yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya saja, hadits yang mewajibkan keduanya tidak shahih dan tidak dapat mengalahkan hadits yang tidak mewajibkan.

Adapun hadits yang mengatakan bahwa Nabi berwudhu seperti wudhu untuk shalat, itu hanyalah perbuatan yang tidak menetapkan hukum wajib. Hanya saja, ada yang mengatakan itu sebagai keterangan bagi yang masih mujmal (global), karena mandi yang terdapat dalam Al Qur'an masih mujmal, dan dijelaskan dengan praktek beliau.

==============

116 - وَلِأَحْمَدَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - نَحْوُهُ وَفِيهِ رَاوٍ مَجْهُولٌ

116. Dan bagi Ahmad dari Aisyah , sama dengan hadits sebelumnya. Dan padanya terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal)
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penulis tidak menyebutkan hadits tersebut dalam At Talkhish, dan tidak menentukan siapa perawi majhul tersebut. Dan jika ada perawinya yang majhul, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits-hadits yang ada dalam bab ini berjumlah 17 hadits.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top