61 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلَى عَهْدِهِ - يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَصَحَّحَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِمٍ

61. Dari Anas bin Malik ia berkata, ‘Para shahabat Rasulullah pada masa beliau, menuggu shalat Isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu lagi.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Ad Daruquthni, dan asalnya terdapat dalam Shahih Muslim)

[Shahih: Muslim 376, Abu Daud 200 dan Ad Daruquthni 1/130]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

Para shahabat Rasulullah pada masa beliau, menuggu shalat Isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk, (sama dengan dharabayadhribu, artinya miring, lantaran tertidur) kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu lagi.”

Tafsir Hadits

Hadits serupa dikuatkan pula oleh At Tirmidzi dan di dalamnya tidak lafazh:
[يُوقِظُونَ لِلصَّلَاةِ]
“Mereka dibangunkan untuk shalat”
dan di dalamnya:
«حَتَّى إنِّي لَأَسْمَعُ لِأَحَدِهِمْ غَطِيطًا، ثُمَّ يَقُومُونَ فَيُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ»
“Hingga aku benar-benar mendengar suara dengkur salah seorang dari mereka, kemudian mereka bangun lalu shalat dan tidak berwudhu.” [Shahih: At Tirmidzi 78]

Sekelompok ulama menamainya dengan istilah tidurnya orang duduk. Takwil ini dibantah, bahwa dalam satu riwayat dari Anas:

[يَضَعُونَ جُنُوبَهُمْ]
“Mereka meletakkan lambung mereka”,[1] diriwayatkan oleh Yahya Al Qaththan.
Ibnu Daqiq Al Id menamainya dengan istilah tidur ringan. Ini juga dapat dibantah bahwa pendapat ini tidak sesuai karena disebutkan suara dengkur dan membangunkan, dimana keduanya tidak terdapat kecuali pada orang yang tidur nyenyak. Jika hal ini telah Anda ketahui, maka hadits-hadits tersebut mencakup kepala yang mengangguk-angguk, suara dengkur, membangunkan, dan meletakkan lambung, semuanya disebutkan bahwa mereka tidak berwudhu dari hal tersebut.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut terbagi 8 kelompok.

pertama; bahwa tidur membatalkan wudhu secara mutlak dalam kondisi apa pun, berdasarkan hadits Shafwan bin Assal yang terdahulu pada bab mengusap khuf yang menyebutkan secara mutlak. Pada hadits tersebut disebutkan, ‘kencing, berak dan tidur.’ Mereka berkata, ‘Beliau menjadikan tidur secara mutlak, seperti buang air besar dan buang air kecil dalam membatalkan wudhu.

Sedangkan hadits Anas, dengan redaksi bagaimanapun diriwayatkan, tidak terdapat keterangan bahwa Rasulullah SAW membiarkan mereka atas hal itu, dan beliau tidak melihat mereka. Dengan demikian, maka hal itu adalah perbuatan shahabat yang tidak diketahui bagaimana ia terjadi, sedang yang dapat dijadikan hujjah hanyalah perbuatan, ucapan atau yang dibiarkan oleh beliau .

kedua; bahwa tidak tidak membatalkan wudhu secara mutlak, berdasarkan hadits yang telah lalu dari Anas dan cerita tidurnya para shahabat atas fardhu  yang terjadi pada mereka. Seandainya tidur membatalkan wudhu, niscaya Allah tidak membiarkan mereka atas hal itu, dan Allah akan menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW berkenaan dengannya, sebagaimana Dia mewahyukan kepada beliau mengenai najisnya sandal beliau. Dan yang lebih utama adalah sahnya shalat orang yang berada di belakangnya, akan tetapi datang kepada mereka hadits Shafwan bin Assal.

ketiga; bahwa tidur membatalkan semuanya, hanya saja dimaafkan tidur dengan dua kali anggukan meskipun berturut-turut, dan beberapa anggukan secara terpisah, ini adalah mazhab Al Hadawiyah.

al Khafaqah (mengangguk) adalah miringnya kepala karena kantuk, dan batasan satu anggukan, yaitu kepala tidak tegak hingga bangun. Barangsiapa yang tidak miring kepalanya, dimaafkan baginya sekitar satu anggukan, yaitu hanya sekedar condongnya kepala hingga dagu sampai ke dada. Hal ini diqiyaskan atas tidur satu kali anggukan. Mereka memahami hadits Anas atas kantuk yang tidak menghilangkan kesadaran,  pendapat ini tidak diragukan kejauhannya.

keempat; bahwa tidur tidak membatalkan wudhu dengan sendirinya tetapi hanyalah penyebab batalnya wudhu, maka jika tidur dengan duduk dalam posisi tenang maka tidak membatalkan dan jika tidak, dapat membatalkan. Ini adalah mazhab Asy-Syafi'i. Ia berdalil dengan hadits Ali :

«الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ»
Mata adalah pengikat dubur, maka barangsiapa yang tidur hendaklah ia berwudhu.”

Hadits ini dihasankan oleh At Tirmidzi, akan tetapi pada sanadnya terdapat perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah, yaitu Baqiyah bin Al Walid, ia meriwayatkannya secara an’anah (dengan ungkapan ‘an), ia menjadikan hadits Anas bagi tidur dalam posisi tegak, untuk memadukan dua hadits tersebut, dan membatasi hadits Shafwan dengan hadits Ali  ini. ia berkata , ‘Makna hadits Ali  bahwa tidur adalah penyebab keluarnya sesuatu tanpa terasa, maka dengan itu, tidur membatalkan wudhu tidak dengan sendirinya.’

Kelima; jika tertidur dapat posisi orang yang sedang shalat, ruku, sujud ataupun berdiri maka wudhunya tidak batal, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Maka jika tidur dalam keadaan berbaring atau di atas tengkuknya, wudhunya batal, berdasarkan hadits:

«إذَا نَامَ الْعَبْدُ فِي سُجُودِهِ بَاهَى اللَّهُ بِهِ الْمَلَائِكَةَ يَقُولُ: عَبْدِي رُوحُهُ عِنْدِي، وَجَسَدُهُ سَاجِدٌ بَيْنَ يَدَيْ»

“Apabila seorang hamba tidur dalam sujudnya, Allah membanggakannya di hadapan para malaikat, Dia berkata, “Hamba-Ku, ruhnya di sisi-Ku, dan tubuhnya sujud di hadapan-Ku[2]

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan yang lainnya, tetapi ada yang mendha'ifkannya. Mereka berkata, “Ia menamakan sujud sedang ia tidur, sementara tidak ada sujud tanpa bersuci.” Dapat dijawab, bahwa ia menamakannya sujud dilihat dari awal atau keadaannya.

Keenam; bahwa batal, kecuali tidurnya orang yang sedang ruku’ atau sujud, berdasarkan hadits yang telah lalu, meskipun khusus dengan sujud tetapi diqiyaskan atas ruku’ sebagaimana diqiyaskan yang sebelumnya semua bai’ah (keadaan) orang yang sedang shalat.

Ketujuh; tidur tidak membatalkan wudhu jika terjadi saat mengerjakan shalat, baik dalam kondisi bagaimanapun, dan membatalkan jika di luar shalat. Hujjahnya adalah hadits yang telah disebutkan karena merupakan hujjah bagi tiga pendapat.

Kedelapan; tidur yang nyenyak membatalkan wudhu dan jika sedikit tidak membatalkan. Mereka berkata, “Karena tidur tidak membatalkan wudhu dengan sendirinya, akan tetapi penyebab batalnya wudhu. Yang banyak dapat menyebabkan batal berbeda dengan yang sedikit, mereka memaknai hadits Anas dengan tidur yang sedikit. Tetapi mereka tidak menyebutkan kadar sedikit dan banyak hingga ucapan mereka dapat diketahui dengan jelas, dan apakah termasuk di antara pendapat-pendapat tersebut atau tidak?

Inilah pendapat-pendapat para ulama tentang tidur, pandangan mereka berbeda-beda disebabkan berbeda-beda hadits yang telah kami sebutkan. Dan dalam bab ini terdapat hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat, maka kami meninggalkannya.

Yang lebih dekat adalah pendapat bahwa tidur membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Shafwan, dan telah Anda ketahui bahwa dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, At Tirmidzi dan Al Khaththabi, akan tetapi lafazh tidur yang terdapat dalam hadits tersebut mutlak, dan dalil menyamakannya lemah, maka tidak boleh mengatakan, ‘disamakan dengan air seni dan tinja, karena keduanya membatalkan wudhu dalam kondisi bagaimanapun’, dikarenakan hadits tersebut mutlak maka diriwayatkan hadits Anas mengenai tidurnya para shahabat dan bahwa mereka tidak berwudhu meskipun mereka mendengkur, diambil bahwa mereka meletakkan lambung-lambung mereka, dan mereka dibangunkan, ini menunjukkan besarnya kadar tidur mereka (lelap). Mereka itu tidak bodoh tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, terlebih karena Anas menceritakannya dari para shahabat secara mutlak, dan sudah maklum bahwa di antara mereka itu terdapat para ulama yang mengetahui urusan agama khususnya shalat yang merupakan rukun Islam yang paling agung, terlebih di antara mereka menunggu shalat bersama Rasulullah SAW, dan mereka adalah para shahabat pilihan.

Jika demikian, maka kemutlakan hadits Shafwan dibatasi dengan tidur nyenyak yang tidak mengingat apa-apa lagi. Apa yang disebutkan Anas yaitu berdengkur, meletakkan lambung, dibangunkan dapat ditakwilkan dengan tidur tidak nyenyak, karena terkadang orang yang baru mulai tidur mendengkur sebelum nyenyak, dan meletakkan lambung tidak selamanya berarti nyenyak, karena Rasulullah SAW pernah meletakkan lambungnya setelah shalat sunnah dua rakaat fajar dan beliau tidak tidur, dan sesungguhnya beliau pernah berdiri shalat fajar setelah meletakkan lambungnya, meskipun boleh jadi dkit, ‘bahwa sesungguhnya di antara kekhususan beliau SAW bahwa tidurnya tidak dapat membatalkan wudhu’, yang penting diketahui bahwa dia tidak selamanya tidur dengan meletakkan lambungnya, dan dibangunkan boleh jadi bagi orang yang di awal tidurnya lalu dibangunkan agar tidurnya tidak nyenyak.

Selanjutnya bahwa pingsan, gila dan mabuk dengan penyebab apa pun digolongkan dengan tidur, karena sama-sama hilangnya akal. Disebutkan dalam Asy Syarh bahwa mereka telah sepakat bahwa hal-hal tersebut membatalkan wudhu, jika hal ini benar berarti ini adalah dalil ijma.
_____________
[1] [Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Tamamul Minnah 1/100, “diriwayatkannya oleh Abu Daud dalam Marasil Imam Ahmad hal 318, dan isnadnya shahih menurut syarat Al Bukhari dan Muslim.” Juga tercantum dalam Musnad Al Bazzar 7077, dan Musnad Abu Ya’la 3199, Syaikh Husain Salim Asad mengatakan, ‘Isnadnya shahih’. Ebook editor]
[2] [Dhaif: Dalam Silsilah Adh-Dhaifah 953, dengan lafazh: وجسده في طاعتي (dan tubuhnya dalam ketaatan kepada-Ku –ebook editor)

===========
Fawaid hadits:

1. Disunnahkan menunggu shalat ke shalat di masjid, dan pahalanya sangat besar di sisi Allah.

2. Terjadi perselisihan diantara para ulama apakah tidur membatalkan wudlu atau tidak?

Yang rajih adalah membatalkan wudlu. Dasarnya hadits: “Siapa yang tidur hendaklah ia berwudlu”. HR Ahmad.

Juga berdasarkan hadits yg telah berlalu yg menyamakan tidur dengan buang air besar dan kecil.
Adapun hadits ini dibawa kepada makna mengantuk yang merupakan pendahuluan tidur.

=====================

📜 Kandungan hadits :
1⃣. Tidur sebentar dalam posisi duduk tidak membatalkan wudhu.
2⃣. Tidur lama membatalkan wudhu. Hal ini seperti yang telah diyakini oleh sahabat perowi hadits ini bahwa tidur dapat membatalkan wudhu, kecuali dalam kadar yang disaksikannya.
3⃣. Suci dari hadats adalah syarat sahnya shalat. Ketidakwajiban wudhu dalam kondisi seperti ini memberi arti bahwa wudhu wajib dalam kondisi lain yang membatalkan bersuci.

4⃣. Disunnahkan mengakhirkan shalat Isya dari awal waktu.

5⃣. Adanya semangat para shahabat untuk tetap dimasjid menunggu shalat Isya ( bersama Rasulullah ) dan semangat mereka dalam memperoleh keutamaan menunggu waktu shalat.
6⃣. Diperbolehkan mengantuk atau tidur didalam masjid, disaat menunggu waktu shalat.
7⃣. Perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Para ulama berbeda pendapat tentang tidur, apakah membatalkan wudhu atau tidak ?
👉🏻 Perbedaan ini terbagi dalam 3 pendapat :
~ Sebagian ulama mengatakan bahwa tidur, baik sebentar maupun lama membatalkan wudhu. Pendapat ini beralasan bahwa tidur itu sendiri sudah merupakan hadats yang membatalkan wudhu.
~ Sebagian lagi berpendapat bahwa tidur, baik sebentar maupun lama tidak membatalkan wudhu, selama tidak diyakini adanya hadats yang keluar. Dasarnya adalah bahwa tidur itu sendiri bukan hadast, tetapi biasa menjadi tempat keluarnya.
~ Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidur yang lama dan berat membatalkan wudhu, sedangkan tidur ringan tidak membatalkan. Hanya saja kemudian mereka berbeda pendapat sehubungan batasan tidur berat dan ringan yang perinciannya dijelaskan dalam kitab-kitab hukum Islam.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top