Sejak masa Rasulullah dan bahkan hingga era sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in terdapat dua cara ijtihad berkaitan dengan pemeliharaan atau penyelamatan keberadaan hadits Nabi.

Ijtihad pertama:

Dengan lisan, yaitu mendengar suatu hadits dari seseorang lalu menyampaikannya kepada orang lain. Demikian seterusnya dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Ijtihad kedua:

Dengan tulisan. Cara ini lebih baik dan lebih langgeng daripada cara lisan. Hanya saja, baik secara lisan maupun secara tulisan, tetap saja terdapat beberapa kesalahan.

Kesalahan pada metode lisan -biasanya- diakibatkan oleh faktor lupa atau kesalahpahaman. Sementara kesalahan tulis atau kesalahan akibat tulisan yang buruk kadang-kadang terjadi pada metode tulisan.

Meski demikian, mereka yang menggunakan metode lisan (mendengar dan menyampaikan) mengutip hadits-hadits mereka dari para penulis hadits. Sedangkan mereka yang menggunakan metode tulisan tidak menulis hadits Nabi secara keseluruhan. Mereka hanya menulis apa yang mereka anggap penting, khususnya yang berkaitan dengan undang-undang (tasyrii) dan hukum. Kodifikasi hadits yang mereka lakukan tidak menggunakan metode tertentu. Mereka hanya mencatat hadits yang diriwayatkan oleh orang lain dan mengutip hadits dari orang yang memperolehnya secara lisan –jika mereka mengenalnya sebagai orang yang tsiqah dan 'adil.

Saat itu, kodifikasi hadits tidak menggunakan pendekatan (manhaj) tertentu.

Orang yang memutuskan pelaksanaan kodifikasi hadits adalah seorang tokoh yang adil dan zuhud, Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada pejabatnya yang menjadi hakim (qadhi) di Madinah, Abu Bakar bin Hazm.

"Carilah hadits Rasulullah SAW lalu tulislah. Aku khawatir ilmu semakin berkurang dan para ulama meninggal dunia. Jangan kamu terima kecuali hadits Nabi SAW. Perintahkan mereka agar menyebarkan ilmu dan duduk mendengarkannya sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ilmu tidak akan punah sehingga (sebelumnya) menjadi sesuatu yang rahasia"

Hal yang sama juga dilakukannya kepada para pejabat pembantunya yang berada di kota-kota Islam penting lainnya yang dihuni oleh para sahabat dan tabi'in.

Adapun orang pertama yang melakukan kodifikasi hadits di bawah perintah Umar bin Abdul Aziz RA adalah Muhham bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab Az-Zuhri (w. 125 H), tokoh ulama negeri Syam dan Hijaz. Az-Zuhri memperoleh hadits-haditsnya dari para sahabat junior yang masih hidup di masanya, yang ia lihat dan dengar sendiri serta dari beberapa orang tokoh tabi'in senior.

Setelah Az-Zuhri, kodifikasi hadits pada peringkat selanjutnya (ath-thabqah) semakin banyak dilakukan. Orang pertama pada peringkat ini adalah Ibnu Ishaq dan Malik di kota Madinah, Ibnu Juraij di Makkah serta ulama-ulama lain yang berada di kota lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Husyaim di Wasith, Jarir bin Abdul Hamid di Rayy, Ibnu Al Mubarak di Kharasan, Al Auza'i di Syam, Ma'mar di Yaman dan Abu Bakar bin Abu Syaibah di Kufah.

Masa itu merupakan tahap penulisan dan pengarangan yang berlangsung sejak akhir abad 2H hingga awal abad 3H. Tahap ini diikuti dengan tahap kodifikasi (tadwiin), pengumpulan dan kompilasi antara matan hadits dan perawinya. Lalu tahap pemilahan hadits shahih dan penilaian terhadap perawi dari segi adil atau tidaknya.

Orang pertama yang muncul berkaitan dengan pemilahan dan penilaian tersebut adalah Al Bukhari. Buku Shahih-nya (yang terkenal) merupakan buku hadits Shahih yang pertama. Dia telah meletakkan beberapa aturan (syarth) yang digunakan sebagai tolok ukur shahih tidaknya suatu hadits atau shahih tidaknya sebuah sanad.

Selanjutnya, langkah Al Bukhari diikuti oleh Muslim bin Al Hajjaj yang menyusun bukunya yang terkenal Shahih Muslim. Lalu orang-orang menyebut kedua buku di atas dengan istilah Ash-Shahihain. Sementara kedua ulama tersebut diberi gelar Asy-Syaikhain.

Buku-buku hadits sebelum kedua buku ini mencampur-adukkan hadits Nabi dengan pendapat sahabat serta fatwa para tabi'in. Di samping itu, buku-buku tersebut berisi hadits shahih, dha’if, matruk dan majhul. Tidak ada kepastian mengenai status haditsnya kecuali setelah melakukan penelitian mendalam berkaitan dengan para perawi dan matannya (esensi). Apalagi masa itu adalah masa perkembangan kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Para mudallis dan para pemalsu hadits berusaha menciptakan hadits yang mendukung kelompok dan pendapatnya. Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan era sahabat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap hadits sehingga tidak menyebarkan hadits kecuali yang sudah dipastikan shahih, baik redaksi maupun maksudnya.

Ketika terjadi pergolakan akibat kepemimpinan dalam tubuh muslimin sendiri sehingga menimbulkan perpecahan dan muncul kelompok Khawarij, sebagian mereka ketika menemukan hadits yang dapat digunakan oleh kelompok lain untuk menyerangnya maka mereka menciptakan hadits baru dan menyebarkan kepada semua orang.

Ketika suasana mulai tenang dan normal, para ulama khususnya para ahli hadits melakukan perlawanan dengan cara melakukan pemisahan di antara hadits-hadits yang ada dan pemurnian, memisahkan di antara yang shahih dan yang bukan. Pertama kali mereka mengumpulkan seluruh hadits. Mereka hanya meninggalkan hadits yang secara pasti diketahui sebagai hadits palsu (maudhu), lalu mulai meneliti para perawinya. Untuk ini mereka mempelajari biografi para perawi dan perilakunya untuk keperluan pemurnian. Para perawi yang dinilai pembohong ditinggalkan, kepribadiannya (dari sisi periwayatan) dinilai sebagai dha’if. Begitu pula hadits yang diriwayatkannya dinilai dha’if atau ditolak (mardud). Dengan demikian mereka tidak menerapkan penilaian shahih atau hasan berdasarkan periwayatan perawi yang 'adil dari perawi yang 'adil lainnya atau periwayatan perawi yang tsiqah dari perawi yang tsiqah lainnya.

Pada masa selanjutnya, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadits semakin berkembang dan bercabang. Di antaranya ilmu yang berkaitan dengan para perawi hadits dari sisi perilaku, biografi, penilaian buruk atau ke-'adil-annya, tempat tinggal dan pertumbuhannya. Termasuk juga ilmu jejak keturunan, penjabaran hadits, komentar dan catatan-catatan kaki atas hadits. Ilmu-ilmu ini di kemudian hari dikenal dengan istilah ilmu-ilmu hadits, ushul al hadits atau mushthalah ilmu hadits.

Buku yang ada di hadapan Anda ini, Ta'wil Mukhtalaf Al Hadiits merupakan buku tersendiri dari segi kategori dan isi. Dalam bukunya ini, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri membela madzhab ahli hadits dan mempertahankannya. Beliau menentang madzhab-madzhab lainnya hingga pada taraf mengecam dan mencaci para tokoh-tokohnya. Bahkan beliau kadang-kadang menuduh mereka (sebagai pembohong. Penj).

Download Disitu -> DOWNLOAD

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top