Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ،قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَارِبُوْا وَسَدِّدُوْا ، وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ. قَالُوْا: وَلَا أَنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَلاَ أنَا ، إِلاَّ أنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bersikaplah yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran. Dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya". Para sahabat bertanya, "Termasuk engkau, wahai Rasûlullâh?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Termasuk aku, hanya saja Allâh meliputi diriku dengan rahmat dan karunia-Nya."

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 2816 (76).
2. Ahmad, II/495.
3. Ibnu Majah, no. 4201. 
4. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath, no. 4284.
5. Al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab, no. 626. 
6. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 4194. 
7. dan lainnya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh para imam ahli hadits dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillâh, ‘Aisyah, dan lainnya Radhiyallahu anhum.

KOSA KATA HADITS
• قَارِبُوْا : yakni bersikaplah pertengahan, tidak berlebihan dan tidak mengurang-ngurangi dalam beribadah.

• سَدِّدُوْا : yakni hendaklah kalian istiqamah dan menetapi yang benar. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama menjelaskan, ‘Istiqamah berarti teguh dalam ketaatan kepada Allâh Ta’ala’.” Kata istiqamah termasuk bentuk jawâmi’ul-kalim (lafazh yang singkat tapi bermakna luas).

• يَتَغَمَّدَنِيْ : yaitu meliputiku, menaungiku, dan menutupiku.

SYARH HADITS
Hadits ini dimasukkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyâdhush-Shâlihîn, Bab al-Istiqamah, Bab ke-8 (no. 86). Hadits ini menunjukkan bahwa bersikap istiqamah sesuai dengan kemampuan, yaitu dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Bersikaplah yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran,” yakni bersikaplah pertengahan dalam perkara-perkara yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya kepada kalian dan berusahalah untuk mendekatinya (melaksanakannya) semampu kalian.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (سَدِّدُوْا) “tetaplah dalam kebenaran,” yaitu berusahalah kalian dengan sungguh-sungguh agar amalan-amalan kalian mencapai kebenaran sesuai dengan kemampuan kalian. Yang demikian itu karena walaupun seseorang sudah mencapai ketakwaan, tetap saja sebagai manusia ada kesalahan, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat (dari kesalahannya itu).[1] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لَوْلَمْ تُذْنِبُوْا لَذَهَبَ اللهُ بِكُمْ، ثُمَّ لَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُوْنَ فَيَسْتَغْفِرُوْنَ اللهَ، فَيَغْفِرُ لَهُمْ

Jika kalian tidak berbuat salah, maka Allâh akan menghilangkan kalian dan menggantikan kalian dengan suatu kaum yang mereka berbuat salah, kemudian mereka meminta ampun kepada Allâh. Lalu Allâh mengampuni mereka.[2] 

Maka manusia diperintahkan untuk berbuat yang lurus dan menetapi kebenaran sesuai dengan kemampuannya.[3] 

Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah: 
Pertama, amal shalih yang dilakukan secara kontinyu (terus menerus) meskipun sedikit. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...يَاأَيُّهَا النَّاسُ، خُذُوْا مِنَ الْأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ، فَإِنَّ اللهَ لَايَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَادَامَ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia. Kerjakanlah amalan-amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allâh tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.[4] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَاعْلَمُوْا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Tetaplah dalam kebenaran dan bersikaplah yang lurus. Ketahuilah, bahwasanya amalan seseorang tidak dapat memasukkannya ke dalam surga. Dan bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.[5] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى الله أَدْوَمُهَا وَ إِنْقَلَّ.

Amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.[6] 

Kedua, amal-amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah yang dikerjakan sesuai dengan Sunnah, sederhana, mudah, dan tidak takalluf (memberat-beratkan diri) dalam mengerjakannya. Karena sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. 

Allâh Ta’ala berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu... [al-Baqarah/2:185].

Yang penting lagi, seluruh amal shalih wajib dikerjakan dengan ikhlas semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla dan sesuai dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kedua hal ini, ikhlas dan ittiba`, merupakan syarat diterimanya amal.

Islam memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ama-amal ketaatan secara terus-menerus, seperti shalat berjama’ah bagi laki-laki di masjid, shalat malam (tahajjud, shalat witir), membaca al-Qur`ân, dzikir; semuanya harus dilakukan secara kontinyu, bukan hanya saat bulan Ramadhan saja. Begitu juga sedekah, infaq, shalat-shalat sunnah rawatib, harus dilaksanakan secara kontinyu meskipun sedikit. Kita juga wajib istiqamah, berpegang teguh di atas Sunnah.

Kita wajib istiqamah dalam mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, istiqamah dalam melaksanakan Sunnah dan menjauhkan dari dari bid’ah, istiqamah dalam ketaatan dan menjauhi maksiat, istiqamah dalam berpegang teguh kepada al-Qur`ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shâlih, serta istiqamah dalam menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya. Kita juga wajib menjauhkan diri dari larangan-larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam seumur hidup kita.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ

(dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya), yaitu tidak ada seseorang yang selamat dari neraka karena amal perbuatannya. Yang demikian itu karena amalan tidak memenuhi apa-apa yang semestinya dilakukan kepada Allâh Azza wa Jalla dari rasa syukur, dan juga apa-apa yang wajib dilakukan oleh hamba-Nya terhadap hak-hak Allûh, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala meliputi hamba-Nya dengan rahmat-Nya, maka Allâh mengampuninya.

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya, maka para sahabat bertanya, “Termasuk engkau?” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Termasuk aku.” Sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak selamat dari neraka karena amal perbuatannya, hanya saja Allâh meliputinya dengan rahmat-Nya.

Hal itu menunjukkan bahwa walaupun manusia telah mencapai derajat wali, ia tetap tidak selamat karena amal perbuatannya, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika saja Allâh tidak menganugerahinya dengan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, maka amalan-amalannya tidak bisa menyelamatkannya.

Jika seseorang berkata, ada nash-nash dari al-Qur`ân dan Hadits yang menunjukkan bahwa amal shâlih bisa menyelamatkan seseorang dari neraka dan memasukkannya ke surga, seperti firman Allâh Ta’ala: 

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu karena perbuatan yang telah kamu kerjakan.’[az-Zukhruf/43:72].

Dan juga firman-Nya,

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ ۙ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ 

(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salâmun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan" – an-Nahl/16 ayat 32), maka bagaimana menyatukan ayat ini dengan hadits tersebut?

Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Jawabannya yaitu: Pertama, maksud dalam an-Nahl/16 ayat 32, yaitu masuklah ke tempat tinggal dan istana-istana surga karena apa yang telah kamu kerjakan. Dan maksud kata ‘masuk’ di sini bukan kata asalnya. Kedua, boleh jadi hadits tersebut sebagai penjelas ayat ini, yaitu masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan dengan rahmat Allâh dan karunia-Nya atas kalian, karena pembagian tempat tinggal di surga adalah dengan rahmat Allâh. Begitu juga asal masuk surga yaitu dengan rahmat-Nya, dimana Allâh memberi ilham kepada manusia atas apa-apa yang mereka dapatkan.”

‘Iyadh rahimahullah berkata, “Termasuk dari rahmat Allâh yaitu Dia memberi taufiq dalam beramal dan hidayah kepada ketaatan. Dan semua itu tidak didapat oleh manusia karena amalannya, tetapi itu semua karena rahmat Allâh dan karunia-Nya.”

Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata, “Jawabannya ada empat: Pertama, bahwa sukses dalam beramal adalah rahmat Allâh. Kalau bukan karena rahmat Allâh, maka tidaklah tercapai iman dan ketaatan yang menjadi sebab keselamatan. Kedua, bahwa keuntungan seorang hamba itu milik tuannya, maka amalannya juga berhak untuk tuannya. Jadi apapun yang dikaruniakan kepadanya dari balasan dan ganjaran, maka itu karena karunianya. Ketiga, terdapat dalil dalam beberapa hadits bahwa seseorang masuk surga karena rahmat Allâh, adapun tingkatan mereka sesuai dengan amalan-amalannya. Keempat, bahwa amal ketaatan dikerjakan pada waktu sebentar (tidak lama), sedangkan ganjarannya tak ada habisnya. Maka nikmat yang tidak ada habisnya tersebut merupakan balasan dari apa-apa yang habis dengan sebab karunia Allâh, bukan balasan dari amalan.”[7] 

Kesimpulannya, menyatukan kedua nash tersebut yaitu bahwa yang dinafikan adalah masuknya seseorang ke surga karena amalnya sebagai balasan. Adapun yang ditetapkan yaitu bahwa amal merupakan sebab, bukan ganti.

Tidak diragukan lagi, bahwa amalan merupakan sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka, tetapi ia bukan sebagai ganti, dan bukan satu-satunya yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Tetapi karunia dan rahmat Allâh-lah yang merupakan sebab seseorang masuk ke dalam surga. Kedua hal tersebut yang menyampaikan seseorang ke surga dan menyelamatkannya dari neraka.[8] 

Yang wajib kita imani dan yakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang kepada hamba-hamba-Nya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْراً لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ...

Jika seandainya Allâh menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allâh tidak berbuat zhalim dengan menyiksa mereka. Jika seandainya Allâh merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik bagi mereka daripada amal perbuatannya...[9] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

...قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : أَنْتِ رَحْمَتِيْ ،أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِيْ ...

…Allâh Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada surga, "Engkau adalah rahmat-Ku. Aku merahmati siapa saja yang Aku kehendaki dari hamba-hamba-Ku denganmu…".[10] 

FAWÂ-ID
1. Wajib untuk istiqamah dalam melakukan amal-amal ketaatan.

2. Berlaku sederhana dalam melaksanakan ketaatan, tidak berlebihan, dan tidak meremehkan.

3. Amal yang dicintai oleh Allâh adalah yang kontinyu terus-menerus meskipun sedikit.

4. Wajib beramal dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

5. Janganlah seseorang bangga diri dengan amalannya walaupun dia telah mengerjakan banyak amalan shalih, karena itu semua hanya sesuatu yang kecil dibandingkan hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya.

6. Hendaklah manusia selalu memperbanyak dzikir kepada Allâh, meminta kepada-Nya agar Allâh meliputinya dengan rahmat-Nya. Dan bacalah do’a seperti yang dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ وَرَحْمَتِكَ، فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا إِلَّا أَنْتَ.

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu karunia-Mu dan rahmat-Mu, karena tidak ada yang memilikinya kecuali hanya Engkau.[11] 

7. Hadits ini menunjukkan semangat para sahabat Radhiyallahu anhum dalam memperoleh ilmu. Karena ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya”, mereka meminta penjelasan, apakah keumuman ini mencakup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu mencakup dirinya.

8. Karunia dan rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya lebih luas daripada amal perbuatan mereka.

9. Bimbingan mengenai cara memperoleh kebaikan, yaitu dengan istiqamah pada syari’at Allâh tanpa berlebih-lebihan, dan tidak pula meremehkannya.

10. Amal perbuatan tidak dapat memasukkan manusia ke surga, melainkan karena rahmat Allâh Azza wa Jalla dan karunia-Nya. Namun, tingkatan mereka di surga didasarkan pada amal perbuatan masing-masing.

Wallîhu A’lam.

Marâji`:
1. Al-Qur`ânul-Karim.
2. Kutubus-Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
3. Syarhus-Sunnah, al-Baghawi.
4. Al-Mu’jamul-Ausath, ath-Thabrani.
5. Musnad asy-Syihâb, al-Qudha’iy.
6. Riyâdhush-Shâlihîn, Imam an-Nawawi.
7. Majmû’ Fatâwâ Syaikhil-Islâm Ibni Taimiyyah.
8. Miftâh Dâris-Sa’adah, Ibnul Qayyim tahqiq Syaikh Ali Hasan.
9. Al-Mahajjah fî Sairi ad-Duljah, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, tahqiq Yahya Mukhtar Zaghzawi.
10. Fat-hul-Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Cet. Daarul-Fikr.
11. Syarh Riyaâdhish-Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
12. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013.]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR at-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), dan Ahmad (III/198). At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ (no. 4515).
[2]. Shahîh: HR Muslim (no. 2749).
[3]. Syarh Riyâdhish-Shâlihîn (I/573-574), karya Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dengan sedikit tambahan.
[4]. Shahîh: HR al-Bukhari (no. 5861) dan Muslim (no. 782 (215)), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[5]. Shahîh: HR al-Bukhari (no. 6464) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .
[6]. Shahîh: HR Ahmad (VI/165), Muslim (no. 783 (218)), dan al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab (no. 1303) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[7]. Fat-hul-Bâri (XI/295-296), Cet. Dârul-Fikr.
[8]. Syarh Riyâdhish-Shâlihîn (I/575), Syaikh al-‘Utsaimin.
[9]. Shahîh: HR Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77), Ahmad (V/185). Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (no. 3932), dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu . 
[10]. Shahîh: HR al-Bukhari (no. 4850), Muslim (no. 2846), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[11]. Shahîh: HR Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` dan ath-Thabrani, Majma’uz-Zawâ-id (X/159). Lihat juga Shahîhul-Jâmi’ (no. 1278), Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1543).

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top