Oleh Ustadz Abdullâh bin Taslim al-Buthoni MA

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ، وَحَصِّنُوْا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ فَإِنَّهَا تَدْفَعُ عَنْكُمُ الأَعْرَاضِ وَاْلأَمْرَاضِ

Dari ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah, dan bentengilah hartamu dengan (mengeluarkan) zakat, karena sesungguhnya hal itu akan mencegah berbagai keburukan dan penyakit.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami dalam Musnadul-Firdaus[1] dengan sanad beliau dari jalur Muhammad bin Yûnus al-Kudaimi, dari Badal bin al-Muhabbar, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yûnus bin ‘Ubaid, dari Hurr bin ash-Shayyah, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Yûnus al-Kudaimi. Dia tertuduh memalsukan hadits. Imam Abu Bakr bin Wahb at-Tammar berkata, “Abu Dawud tidak menampakkan (tuduhan) dusta terhadap seseorang kecuali terhadap al-Kudaimi dan Ghulam Khalil.”[2] 

Imam Ibnu ‘Adi berkata, “Dia tertuduh memalsukan dan mencuri hadits, mengaku bertemu orang-orang (para rawi hadits) padahal ia tidak pernah bertemu mereka, serta mengaku meriwayatkan (hadits) dari mereka padahal mereka tidak mengenalnya. Mayoritas guru-guru kami meninggalkan riwayat (hadits) darinya.”[3] 

Imam Ibnu Hibban berkata, “Dia memalsukan hadits atas (nama) rawi-rawi hadits yang terpercaya secara jelas, dan barangkali ia telah memalsukan lebih dari seribu hadits”.[4] Imam ad-Daraquthni berkata: “Dia tertuduh memalsukan hadits”[5]. 

Muhammad bin Yûnus al-Kudaimi juga telah melakukan kesalahan dalam hadits ini, karena meriwayatkannya dari jalur lain dengan lafazh hadits yang agak berbeda dengan tambahan di akhir hadits. Jalur ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân,[6] dari Muhammad bin Yûnus al-Kudaimi, dari al-Muhabbar al-Yarbu’i, dari Hilal bin, dari Yunus bin ‘Ubaid, dari Nafi’, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma .

Setelah membawakan hadits ini, maka Imam al-Baihaqi berkata, “Hadits ini mungkar (sangat lemah) dengan sanad ini.”

Hadits ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul- Ahâdîtsidh-Dha’îfah wal-Maudhû’ah, 8/87, no. 3591.

Hadits ini juga dihukumi tidak shahîh oleh al-Lajnah ad-Da-imah (komite para ulama besar di Arab Saudi) yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Bâz, dalam fatwa no. 18369.

Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat Radhiyallahu anhum dan al-Hasan al-Bashri secara mursal, tetapi semua riwayat tersebut sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.

Kesimpulannya, hadits ini sangat lemah bahkan sebagian dari jalur periwayatannya palsu. Yang paling ringan penyebab kelemahannya adalah riwayat mursal al-Hasan al-Bashri, akan tetapi tidak ada riwayat lain yang bisa mendukung atau menguatkannya, karena semua sangat lemah. Sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau argumentasi, meskipun sebagian dari para ulama ada yang mengamalkan kandungannya.

Adapun penukilan dari dua kitab Syaikh al-Albâni[7] bahwa hadits ini adalah hadits hasan, maka ini tidak bisa diterima karena beberapa hal:

1. Dalam kitab Shahîhul-Jâmi’ish-Shagîr sendiri terdapat tiga nukilan dari beliau rahimahullah bahwa hadits ini lemah, sangat lemah dan palsu[8], ditambah lagi tiga nukilan dari kitab Silsilatul-Ahâdîtsidh-Dha’îfah wal-Maudhû’ah (no. 3591, 3492 dan 575) yang menerangkan bahwa hadits ini palsu, sangat lemah dan mungkar.

2. Nukilan dari dua kitab di atas hanya bersifat kesimpulan tanpa perincian, sedangkan nukilan dari kitab Silsilatul-Ahâdîtsidh-Dha’îfah wal-Maudhû’ah disertai keterangan rinci dan detail, sehingga lebih layak untuk didahulukan.

3. Ada kemungkinan hadits ini termasuk hadits-hadits yang diteliti ulang oleh Syaikh al-Albani kemudian beliau rahimahullah rujuk. Awalnya beliau menghukuminya sebagai hadits hasan, kemudian setelah menelitinya kembali dan jelas kelemahannya yang sangat, maka beliau menghukuminya sebagai hadits yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran, wallâhu a’lam.

Kelemahan hadits yang sangat fatal menjadikan hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk membolehkan bersedekah dengan niat untuk kesembuhan penyakit. Karena ini termasuk keinginan duniawi yang asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla.[9] Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Ibadah dan amal shalih yang dilakukan dengan niat untuk mendapatkan balasan duniawi adalah termasuk bentuk perbuatan syirik kepada Allâh Azza wa Jalla yang bisa menjadikan pahala amal shalih tersebut gugur. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan. [Hûd/11:15-16].

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shalih yang dilakukan dengan niat duniawi termasuk perbuatan syirik dan bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga. Perbuatan ini juga bisa menggugurkan amal kebaikan.[10] Sehingga Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab dalam kitab at-Tauhîd mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shalih yang dilakukan)nya.[11] 

Adapun Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menunjukkan contoh-contoh perbuatan ini, beliau menyebutkan di antaranya adalah seseorang yang beribadah dengan tujuan untuk menolak gangguan, penyakit dan keburukan (dalam urusan dunia) dari dirinya.[12] 

Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita dari segala bentuk keburukan yang merusak agama kita dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1434H/2013M.]
________
Footnote
[1]. Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam al-Gharâibul-Multaqathah min Musnadil-Firdaus, no. 244 – Disertasi S2.
[2]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Tahdzîbut-Tahdzîb, 9/476.
[3]. Kitab al-Kâmil fi Dhu’afâ-ir-Rijâl, 6/292-293.
[4]. Kitab al-Majrûhîn, 2/313.
[5]. Kitab Suâlâtu Hamzah as-Sahmi, hlm. 111, no. 74.
[6]. Lihat Syu’abul-Îmân, 3/282, no. 3556. 
[7]. Kitab Shahîhut-Targhîbi wat Tarhîb, 1/182, no. 744 dan Shahîhul-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 5669.
[8]. Lihat kitab Shahîhul-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6469, 6470 dan 6702.
[9]. Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab al-Qaulul-Mufîd ‘ala Kitâbit-Tauhîd, 2/245.
[10]. Lihat kitab Fathul-Majîd, hlm. 451.
[11]. Ibid.
[12]. Kitab al-Qaulul-Mufîd ‘ala Kitâbit-Tauhîd, 2/243

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top