Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نِعْمَ الْمُذَكِّرِ السُّبْحَةُ 

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik alat untuk berdzikir adalah subhah (biji-bijian tasbih).”

Hadits ini dikeluarkan oleh imam ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus (4/98 – al-Mukhtashar) dari Jalur Muhammad bin Hârûn bin ‘Isa bin Manshûr al-Hâsyimi, dari Muhammad bin ‘Ali bin Hamzah al-‘Alawi, dari ‘Abdush Shamad bin Mûsâ, dari Zainab binti Sulaimân bin ‘Ali, dari Ummul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dari bapaknya, dari kakeknya, dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Hadits ini adalah hadits palsu. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin Hârûn bin ‘Isa bin Manshûr al-Hâsyimi yang dikenal dengan Ibnul bariyyah. Imam Ibnu ‘Asâkir berkata tentangnya, “Dia memalsukan hadits.”[1] Imam al-Khathib al-Bagdadi berkata, “Hadits (yang diriwayatkan)nya rusak dan dia tertuduh memalsukan hadits.”[2] 

Juga ada rawi yang bernama ‘Abdush Shamad bin Musa al-Hâsyimi, dia dinyatakan lemah riwayatnya oleh para Ulama dan dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.[3] 

Hadits ini dihukumi palsu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani karena rawinya seorang pemalsu hadits tersebut di atas[4] .

Ada hadits lain yang menjelaskan kebolehan berdzikir dengan biji-bijian, diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dengan menggunakan batu-batu kerikil. Hadits ini juga hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdullâh bin Muhammad al-Qudami, dia meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dari Imam Mâlik, sebagaimana pernyataan para Ulama Ahli hadits.[5] 

Demikian pula beberapa hadits semakna yang menunjukkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan dan membiarkan beberapa orang shahabat Radhiyallahu anhum yang berdzikir dengan menggunakan batu-batu kerikil dan biji-bijian kurma, semua hadits tersebut lemah dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.

Yang paling terkenal adalah dua hadits, dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu dan Shafiyyah bintu Huyay Radhiyallahu anhuma. Hadits yang pertama dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal (majhûl) dan rawi yang tercampur hafalannya. Sedangkan hadits yang kedua dalam sanadnya ada rawi yang lemah.[6] 

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits palsu dan hadits-hadits yang semakna dengannya berkisar antara palsu dan lemah. 

Oleh karena itu, hadits ini tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (argumentasi) untuk menetapkan bolehnya memakai biji-bijian tasbih untuk menghitung jumlah dzikir, apalagi menetapkan keutamaannya. Meskipun ada di antara para Ulama yang membolehkannya hal tersebut dengan bersandar pada hadits-hadits tersebut di atas. Akan tetapi pendapat yang membolehkan ini lemah, karena tidak ada argumentasi kuat yang mendukungnya, bahkan penggunaan biji-bijian tasbih ini bertentangan dengan petunjuk yang benar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut:

1. Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung tasbih (dzikir) dengan tangan kanan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[7] 

2. Dari Yusairah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Shahabat perempuan Radhiyallahu anhum, “Hendaknya kalian selalu bertasbih (mengucapkan subhanallah), bertahlil (mengucapkan lâ ilâha illallah) dan mensucikan/mengagungkan-Nya, dan hitunglah (dzikir-dzikir tersebut) dengan ruas-ruas jari tangan, karena jari-jari tangan akan ditanya dan dijadikan bisa bersaksi (di hadapan Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat)”[8] 

Maka petunjuk yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diridhai Allâh Azza wa Jalla dalam menghitung jumlah dzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan kanan. Adapun menggunakan biji-bijian tasbih, maka ini bertentangan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum, sehingga sebagian dari para Ulama menghukuminya termasuk perbuatan bid’ah[9] . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah), semua bid’ah adalah kesesatan (dan tempatnya di Neraka)”[10] .

Perlu juga ditegaskan di sini bahwa menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih tidak dibutuhkan dalam mengamalkan dzikir yang benar dan bersumber dari hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, karena jumlah terbanyak yang dihitung dalam dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seratus[11] , dan ini sangat mudah dihitung dengan jari-jari tangan kanan.

Adapun dzikir dalam jumlah yang sangat banyak, seperti seribu, lima ribu, sepuluh ribu atau jumlah lainnya, maka semua ini bertentangan dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk bid’ah dan kesesatan. Kemudian kesesatan inilah yang menarik kesesatan berikutnya, yaitu menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih, karena jumlah dzikir yang dihitung sangat banyak. 

Kalau seandainya orang-orang yang melakukan dzikir-dzikir yang menyimpang tersebut mau mencukupkan diri dengan dzikir yang sesuai dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , mereka akan terhindar dari keburukan dan kesesatan ini. 

Wallahul musta’an[12] . 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1434H/2013M.]
________
Footnote
[1]. Kitab Târîkh Dimasyq (14/28).
[2]. Kitab Târîkh Bagdad (7/403).
[3]. Lihat penjelasan imam adz-Dzahabi dalam kitab Mîzânul I’tidâl (2/621).
[4]. Lihat penjelasan rinci tentang kepalsuan hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/184-187, no. 83).
[5]. Lihat penjelasan rinci tentang kepalsuan hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (3/47-48, no. 1002).
[6]. Lihat penjelasan rinci tentang kelemahan hadits-hadits ini oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/188-190).
[7]. HR Abu Dawud (no. 1502), at-Tirmidzi (no. 3485), an-Nasa’i, Ibnu Hibban (no. 843) dan al-Baihaqi (2/187), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[8]. HR Abu Dawud (no. 1501), at-Tirmidzi (no. 3583), dinyatakan hasan oleh Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan Syaikh al-Albani (Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/160).
[9]. Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/185). 
[10]. HSR Muslim (no. 867).
[11]. Memang ada hadits yang menyebutkan jumlah dzikir lebih dari seratus, akan tapi kelebihan tersebut tidak diperintahkan untuk dihitung.
[12]. Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/192)

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top