141 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «وَقْتُ الظُّهْرِ إذَا زَالَتْ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ

141. Dari Abdullah bin Amr , bahwasanya Rasulullah bersabda, “Waktu shalat Zhuhur dimulai saat matahari tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tinggi tubuhnya, selama waktu shalat Ashar belum tiba; sedangkan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning; waktu shalat Maghrib selama mega merah belum menghilang dari langit; waktu shalat Isya hingga pertengahan malam; dan waktu shalat Shubuh sejak terbit fajar selama matahari beliau terbit.” (HR. Muslim)
[Muslim 612]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Waktu shalat Zhuhur ialah dimulai saat matahari tergelincir" yaitu saat matahari mulai bergeser ke arah barat dan saat inilah yang dimaksud dengan kata al-Duluuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
{أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ}
"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir." (QS. Al-Isra: 78)

"Dan bayangan seseorang sama dengan tinggi tubuhnya", waktu shalat Zhuhur habis saat panjang bayangan segala sesuatu persis sepanjang wujud aslinya. Hadits ini menjelaskan permulaan waktu shalat Zhuhur hingga batas terakhirnya, hal ini berdasarkan kenyataan bahwa kata kaana zhillu (bayang-bayang menjadi) dikaitkan dengan kata zaalat (tergelincir).

"Selama waktu shalat Ashar belum tiba" ungkapan ini menunjukkan dengan jelas bahwa waktu Shalat Ashar tiba saat bayangan sesuatu sama dengan panjang aslinya.

"Sedangkan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning", akan tetapi ada hadits lain yang menjelaskan bahwa akhir waktu shalat Ashar adalah saat bayangan sesuatu dua kali dari panjang wujud aslinya.

"Dan waktu shalat Maghrib", dimulai sejak bola matahari tenggelam di ufuk barat, dan hal itu berlangsung "Selama mega merah belum menghilang dari langit", kata-kata 'merah' di sini akan dijelaskan pada kesempatan mendatang.

"Waktu shalat Isya (dimulai sejak hilangnya mega merah dan berkelanjutan) "hingga pertengahan malam" (yang pertama) "dan waktu shalat Subuh" (dimulai) "dari terbit fajar" (dan berlangsung) "selama matahari belum terbit."

Tafsif Hadits

Hadits ini menjelaskan batasan waktu-waktu shalat baik awal waktu maupun akhirnya. Awal waktu Zhuhur adalah ketika matahari tergelincir ke arah barat dan berakhir ketika bayangan sesuatu sama persis dengan panjang wujud aslinya, sedangkan ungkapan "bayangan seseorang" dalam hadits di atas hanyalah sebagai contoh semata.

Jika bayangan sesuatu telah menyamai panjang wujud aslinya maka waktu shalat Ashar telah tiba, akan tetapi saat itu masih bercampur dengan waktu shalat Zhuhur dengan durasi selama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan empat raka'at shalat Zhuhur. Singkat kata, saat itu adalah waktu bersama antara shalat Zhuhur dan shalat Ashar sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Jibril [At Tirmidzi 150] , yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahn Alaihi wa Sallam menunaikan shalat Zhuhur pada hari pertama saat matahan tergelincir dan menunaikan shalat Ashar pada saat bayangan sesuatu persis sepanjang wujud aslinya, kemudian pada hari kedua beliau menunaikan shalat Zhuhur pada saat bayangan sesuatu persis sepanjang wujud aslinya dan menunaikan shalat Ashar pada saat bayangan sesuatu dua kali panjang wujud aslinya. Inilah yang dimaksud —waktu al-Musytarak- waktu bersama antara Zhuhur dan Ashar, tetapi ada beberapa pendapat dalam masalah ini.

Mereka yang menetapkan adanya waktu bercampur -waktu al-Musytarak- antara shalat Zhuhur dan Ashar, berargumen dengan apa yang telah saya sampaikan di atas.

Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa tidak ada waktu bersama antara shalat Zhuhur dan shalat Ashar, mereka memahami ungkapan dalam hadits Jibril, "beliau menunaikan shalat Zhuhur pada hari kedua pada saat bayangan sesuatu persis sepanjang wujud aslinya" bahwa beliau selesai dari shalat Zhuhur tepat saat bayangan sesuatu persis sepanjang wujud aslinya. Akan tetapi pemahaman ini jauh dari yang tertulis dalam hadits tersebut.

Akhir waktu Ashar adalah saat matahari menguning, setelah matahari menguning maka saat itu bukanlah saat adaa' untuk shalat Ashar -menunaikan shalat pada waktunya- dan barangsiapa mendirikan shalat Ashar saat itu maka Ia dianggap membayar hutang shalat atau qadha’ demikian menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan menurut penjelasan kitab asy-Syarh.

Tetapi ada yang berpendapat bahwa saat itu masih terhitung adaa' selama seseorang masih bisa menunaikan satu rakaat dari shalat Ashar, berdasarkan hadits,

 «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ»
"Barangsiapa bisa menunaikan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan waktu shalat Ashar."

Awal waktu shalat Maghrib ialah saat matahan terbenam, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, Shahih Bukhari" dan kitab yang lainnya. Waktu shalat Maghrib berlangsung selama mega merah belum hilang.

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Maghrib waktunya lumayan lapang, akan tetapi hal ini bertentangan dengan hadits Jibril yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan shalat Maghrib pada waktu yang sama, yaitu setelah matahari terbenam, baik pada hari pertama maupun pada hari kedua.

Kompromi atau penggabungan kedua hadits di atas menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa hadits Jibril tidak secara signifikan membatasi awal dan akhir waktu shalat Maghrib. Hal itu didukung oleh sebuah fakta bahwa hadits yang menerangkan berlangsungnya waktu shalat Maghrib adalah selama mega merah belum menghilang, muncul lebih akhir jika dibanding dengan hadits Jibril. Karena hadits-hadits itu diriwayatkan saat beliau di Madinah, sedangkan hadits Jibril diriwayatkan saat beliau masih berada di Mekah, maka waktu yang lebih lapang tersebut merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah jawaban yang bisa di kemukakan jika ada orang mengatakan bahwa waktu shalat Maghrib terbatas hanya saat itu saja, yakni setelah matahari terbenam.

Awal waktu shalat Isya' ialah saat mega merah menghilang dari langit dan berakhir saat tengah malam, walaupun di sana ada hadits yang menjelaskan bahwa akhir waktu shalat Isya' ialah sepertiga malam yang terakhir, akan tetapi hadits yang membatasinya hingga pertengahan malam adalah hadits shahih, maka ia tidak bisa diabaikan begitu saja.

Awal waktu shalat Subuh ialah saat terbit fajar dan berakhir saat matahari terbit.

Dengan demikian, hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim ini telah menjelaskan awal dan akhir waktu-waktu shalat wajib dalam sehari semalam.

Hadits ini sekaligus menjadi dalil bahwa pada setiap shalat ada awal waktunya dan ada akhir waktunya. Jika demikian halnya, maka ada pertanyaan yang muncul, jika matahari telah menguning dan telah lewat tengah malam, apakah masih ada waktu untuk menunaikan shalat Ashar atau shalat Isya'?

Tentunya hadits ini jelas menegaskan bahwa saat itu bukan saatnya lagi untuk menunaikan qadaa' shalat tersebut. Akan tetapi, ada hadits yang berbunyi,

 «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ»
"Barang siapa bisa menunaikan satu rakaat sebelum matahari terbenam maka ia telah menunaikan shalat Ashar.”

Lafadz adraka menyiratkan bahwa jika keterlambatan orang tersebut disebabkan oleh alasan tertentu atau sejenisnya -maka shalatnya sah dan dianggap menunaikan shalat tepat pada waktunya-.

Demikian pula halnya dalam masalah shalat Subuh, karena ada hadits yang menjelaskan permasalahan serupa yang akan kami jelaskan nanti.

Akan tetapi dalam masalah shalat Isya' tidak ada hadits yang menjelaskan masalah tersebut, namun perlu diingat bahwa ada hadits yang berbunyi,

«لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى»

"Ketiduran tidak dianggap meremehkan —shalat-, akan tetapi orang yang meremehkan ialah orang yang tidak segera menunaikan shalatnya hingga tiba waktu   Shalat yang lainnya —setelahnya-. [Muslim 681]

Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa waktu untuk masing-masing shalat memanjang hingga tiba waktu shalat berikutnya, hanya saja khusus waktu fajar yakni waktu shalat Subuh ia dibatasi oleh terbitnya matahari, dan setelah terbit matahari adalah bukan waktu shalat wajib apapun.

Begitu pula dengan shalat Isya' ia dibatasi dengan pertengahan malam dan setelah itu maka bukan waktu untuk shalat wajib apapun.

Ada yang membagi waktu shalat menjadi dua bagian, yaitu waktu ikhtiyari —saat orang boleh memilih kapan hendak menunaikan shalat-dan waktu idhthirari —saat seseorang harus mengerjakan shalat karena waktunya hampir habis-, akan tetapi pembagian tidak berdasarkan kepada argumen apapun kecuali apa-apa yang mungkin pernah Anda dengar. Dan kami telah menulis buku kecil membahas tuntas tentang waktu-waktu shalat yang kami beri nama "al-Yawaqit fii al-Mawaqit".

====================


142 - وَلَهُ مِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ فِي الْعَصْرِ: " وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ "

142. Dalam riwayat Muslim juga, terdapat hadits dari Buraidah yang menjelaskan tentang waktu shalat Ashar, “Dan matahari masih putih bersih.” (HR. Muslim dari Buraidah)
[Muslim: 613]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Buraidhah, nama lengkapnya Abu Abdillah atau Abu Sahl atau Abu Al-Husaib, Buraidah bin al-Husaib al-Aslami. Ia masuk Islam sebelum perang Badar, akan tetapi beliau tidak turut serta di sana. Beliau mengikuti Baiat Ridhwan. Tinggal di Madinah kemudian pindah ke Bashrah, lalu pergi menuju Khurasan untuk sebuah peperangan, beliau wafat di Marwa pada zaman Yazid bin Muawiyah tahun 62 H atau 63 H.

Tafsif Hadits

Hadits ini menjelaskan waktu shalat Ashar. Lafazh, "Dan maiahaii masih putih bersih", yakni belum ada rona kuning sama sekali.

===================


143 - وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: " وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ "

143. Dari hadits Abu Musa, “Dan matahari sedang meninggi
[Muslim: 614]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Abu Musa Radhiyallahu Anhu adalah Abdullah bin Qais Al-Asy'ari. Beliau masuk Islam pada masa-masa awal, di Makkah, kemudian hijrah ke Etiopia -Habasyah-. Diceritakan bahwa beliau kembali ke tanah kelahirannya lalu tiba di Madinah bersamaan dengan tibanya para pengungsi Etiopia. Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu menjadikannya sebagai gubernur Bashrah setelah menarik kembali Al-Mughirah Radhiyallahu Anhu dari kedudukan tersebut pada tahun 20 H. Beliau berhasil membuka daerah Al Ahwaz dan tetap menjadi gubernur hingga awal kekhilafahan Utsman Radhiyallahu Anhu, lalu Ustman menarik dari kedudukannya, kemudian beliau pindah ke Kufah. Beliau menetap di sana dan Khalifah Utsman Radhiyallahu Anhu menjadikannya salah seorang pegawai di Kufah, sampai Utsman Radhiyallahu Anhu wafat terbunuh. Setelah terjadi peristiwa Tahkim -pemecahan masalah antara Muawiyah dan Ali Radhiyallahu Anhuma- beliau pindah ke Makkah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya pada tahun 50 H. Walaupun ada yang meriwayatkan bahwa beliau wafat setelah tahun 50 H., beliau berumur enam puluh tahun lebih.

Penjelasan Kalimat

"Dan matahari sedang meninggi (bahwasanya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menunaikan shalat Ashar saat matahari masih tinggi belum condong untuk terbenam)."

Tafsir Hadits

Hadits-hadits di atas menjelaskan keharusan untuk bersegera menunaikan shalat Ashar, sedangkan hadits yang paling jelas menyebutkan awal waktu shalat Ashar adalah hadits Jibril Alaihissalam yang berbunyi,

أَنَّهُ صَلَّاهَا بِالنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَظِلُّ الرَّجُلِ مِثْلُهُ

"Malaikat Jibril Alaihissalam mendirikannya —shalat Ashar- bersama Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam saat bayangan seseorang sama dengan tinggi tubuhnya".

Dan masih ada hadits-hadits serupa yang lainnya seperti hadits Buraidah Radhiyallahu Anhu dan hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu di atas.

==========

144 - وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُصَلِّي الْعَصْرَ، ثُمَّ يَرْجِعُ أَحَدُنَا إلَى رَحْلِهِ فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ، وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ الْعِشَاءِ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا، وَكَانَ يَنْفَتِلُ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حِينَ يَعْرِفُ الرَّجُلُ جَلِيسَهُ، وَكَانَ يَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إلَى الْمِائَةِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

144. Dari Abu Barzah Al Aslami, bahwasanya Rasulullah menunaikan shalat ashar, kemudian salah seorang dari kami pulang ke tempat tinggalnya di ujung Madinah pada saat matahari masih terik, dan bahwasanya beliau suka mengakhirkan shalat Isya, beliau tidak menyukai tidur sebelum shalat Isya, tidak menyukai perbincangan setelah shalat Isya, beliau membalik tubuhnya setelah menunaikan shalat Shubuh saat seseorang bisa mengenali teman duduknya, dan beliau membaca antara enam puluh hingga seratus ayat.” (Muttafaq alaih)

[Al Bukhari 547, Muslim 647]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Abu Barzah, nama aslinya Nadhlah bin 'Ubaid al-Aslami dan ada yang menyebutnya Ibnu Abdillah, beliau masuk Islam pada periode awal, ikut serta dalam peristiwa pembukaan Makkah, selalu menyertai peperangan bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hingga beliau wafat, setelah Rasulullah wafat beliau tinggal di Bashrah lalu ikut berperang ke Khurasan dan akhirnya beliau wafat di Marwa -ada yang mengatakan bahwa beliau wafat bukan di Marwa- pada tahun 60 H.

Penjelasan Kalimat

"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunaikan shalat Ashar, kemudian salah seorang dari kami pulang (setelah selesai menunaikan shalat) ke tempat tinggalnya di ujung Madinah. Pada saat matahari masih terik (yakni saat ia tiba di rumahnya, matahari masih terik, berwarna putih dan sinarnya masih menyengat kuat) dan bahwasanya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam suka mengakhirkan shalat Isya’ (akan tetapi tidak dijelaskan sampai jam berapa beliau mengakhirkannya, seakan-akan beliau' tidak ingin memberi batasan, namun ada hadits-hadits lain yang menjelaskan masalah tersebut) dan beliau tidak menyukai tidur sebelum shalat Isya’ (agar tidak kelewatan dari waktu yang beliau pilih) dan tidak menyukai perbincangan setelah shalat Isya’ (yakni tidak menyukai obrolan bersama orang-orang, dengan harapan bisa segera tidur setelah mendapat pengampunan dosa, yaitu saat beliau menunaikan shalat Isya’ tersebut, sehingga ia menjadi penutup amal perbuatan hari itu dan agar bisa bangun malam tanpa disibukkan oleh obrolan malam. Namun ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah begadang bersama Abu Bakar Radhiyallahu Anhu membicarakan urusan kaum muslimin) dan beliau membalik tubuhnya (yakni menengok ke arah orang-orang yang berada di belakangnya atau keluar) setelah menunaikan shalat Subuh (yakni shalat Fajar) saat seseorang bisa mengenali teman duduknya (karena terangnya cahaya fajar, hal ini dikarenakan pada masa itu masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mempunyai penerangan. Pada sisi lain, hadits ini mengisyaratkan bahwa saat mereka memasuki masjid mereka tidak bisa mengenali teman duduk mereka. Secara tidak langsung hadits ini menjadi dalil dianjurkannya bersegera untuk menunaikan shalat Subuh saat keadaan masih gelap) dan beliau membaca antara enam puluh hingga seratus ayat (yaitu jika beliau ingin menyingkat shalat Subuhnya beliau membaca enam puluh ayat dan jika ingin memanjangkan shalatnya beliau membaca seratus ayat)."

Tafsir Hadits

Hadits ini menjelaskan waktu-waktu shalat Ashar, Isya' dan Subuh tanpa menyebutkan batasannya, yang mana hal tersebut telah dibahas secara jelas dan tuntas dalam hadits sebelumnya.

==================


145 - وَعِنْدَهُمَا مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ: «وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا: إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ، وَالصُّبْحُ؛ كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ»

145. Dari mereka berdua –Al Bukhari dan Muslim- dari hadits Jabir , ‘Shalat Isya kadang beliau segerakan dan kadang beliau akhirkan, jika beliau lihat para shahabat telah berkumpul maka beliau menyegerakannya dan jika beliau melihat mereka terlambat maka beliau mengakhirkannya, sedangkan shalat Shubuh, Rasulullah menunaikannya saat malam masih gelap.”

[Al Bukhari 565, Muslim 646]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Shalat isya’ kadang beliau segerakan (pada awal waktunya) dan kadang beliau akhirkan (dari awal waktunya, yang kemudian diperjelas) jika beliau lihat para sahabat telah berkumpul, maka beliau menyegerakannya dan jika beliau melihat mereka terlambat (dari awal waktunya) maka beliau mengakhirkannya (menunggu yang belum hadir. Dan dalam satu riwayat dijelaskan bahwa andai tidak takut memberatkan para shahabat pastilah beliau mengakhirkan shalat Isya’) sedangkan shalat Subuh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunaikannya saat malam masih gelap (kegelapan di sini adalah kegelapan ujung malam, sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qamus, yakni permulaan fajar, yang hal ini bertentangan dengan apa yang dimuat dalam hadits Rafi' bin Khudaij).

=============

146 - وَلِمُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: «فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ، وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا»

146. Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Musa , “Maka beliau menunaikan shalat Shubuh ketika fajar tiba di saat orang-orang hampir-hampir tidak saling mengenali seorang dengan yang lainnya.”

[Muslim 614]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim sendirian, dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu.

============

147 - وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

147. Dari Rafi’ bin Khudaij , beliau berkata, ‘Kami menunaikan shalat Maghrib bersama Rasulullah SAW, kemudian salah seorang dari kami keluar di saat ia masih bisa melihat tempat jatuh anak panahnya.”

[Al Bukhari 559, Muslim 637]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Rafi' bin Khudaij Radhiyallahu Anhu adalah Abu Abdullah atau Abu Khudaij Al-Khazraji Al-Anshari Al-Ausi, seorang penduduk Madinah. Beliau tidak ikut serta pada perang Badar karena saat itu ia masih kecil, beliau ikut serta pada perang Uhud dan peperangan-peperangan setelahnya. Beliau terkena satu panah pada saat perang Uhud, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadanya, "Saya akan menjadi saksi untukmu pada hari kiamat." Beliau hidup hingga masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, kemudian luka-lukanya kambuh sehingga beliau wafat pada tahun 73 H atau 74 H dalam usia 86 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau wafat pada masa Yazid bin Muawiyah.

Tafsir Hadits

Hadits ini menjadi dalil atas anjuran untuk bersegera menunaikan shalat Maghrib sebagaimana yang diilustrasikan di dalam hadits tersebut bahwa mereka keluar dari masjid dalam keadaan cahaya siang masih tersisa, di samping ada banyak anjuran untuk hal tersebut.

===========

148 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «أَعْتَمَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعِشَاءِ، حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ، ثُمَّ خَرَجَ، فَصَلَّى، وَقَالَ: إنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي» رَوَاهُ مُسْلِمٌ

148. Dari Aisyah bahwasanya suatu malam Rasulullah mengakhirkan shalat Isya, hingga sebagian malam telah berlalu, kemudian beliau keluar seraya menunaikannya, lalu bersabda, “Sungguh saat inilah waktunya, seandainya tidak memberatkan umatku.”(HR. Muslim)

[Muslim: 638]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

'Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengakhirkan (yaitu memasuki sepertiga malam yang pertama setelah hilangnya mega merah di langit, demikian yang disebutkan di dalam al-Qamus) suatu malam Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengakhirkan shalat Isya’ (mengundurnya) hingga sebagian malam telah berlalu (bukan sebagian besar dari malam) kemudian beliau keluar seraya menunaikannya, lalu bersabda, 'Sungguh saat inilah waktunya (waktu yang paling baik dan paling utama) seandainya tidak memberatkan umatku (pastilah aku mengakhirkannya sampai jam ini)."

Tafsif Hadits

Hadits menunjukkan bahwa waktu shalat Isya terhitung lapang, dan waktu yang paling utama ialah di saat akhir waktunya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih memperhatikan keringanan untuk umatnya sehingga terpaksa harus meninggalkan waktu yang utama tersebut, hal ini berlawanan dengan kondisi shalat Maghrib, yang mana waktu' paling utamanya adalah di awal waktunya, begitu pula dengan shalat-shalat yang lainnya kecuali shalat Zhuhur pada musim panas, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits yang akan datang ini.

==========

149 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

149. Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika keadaan sangat panas, maka tunggulah saat dingin –teduh- untuk shalat, karena panas yang sangat menyengat adalah dari hembusan neraka Jahannam.” (Muttafaq alaih)

[Al Bukhari 536, Muslim 613]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Jika keadaan sangat panas maka tunggulah saat dingin -teduh- untuk shalat (yakni shalat Zhuhur) karena panas yang sangat menyengat adalah dari hembusan neraka Jahannam (yakni karena luasnya penyebaran panas dan hembusannya)."

Lafazh abrada yaitu jika seseorang memasuki saat dingin atau teduh, sebagaimana lafazh Azhhara yaitu jika seseorang memasuki saat Zhuhur, keduanya menjelaskan tentang waktu, dengan kaidah serupa berlaku pada lafazh Anjada bila seseorang memasuki wilayah Najd atau athama jika seseorang memasuki wilayah Tihamah, hanya saja bedanya bahwa lafazh kedua yang terakhir ini berkenaan dengan tempat.

Tafsir Hadits

Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya menunggu saat dingin pada waktu keadaan sangat panas sekali, untuk melakukan shalat Zhuhur, karena kalimat perintah pada dasarnya bermakna wajib, tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa perintah ini berarti mustahab —disukai-.

Kemudian hadits ini bersifat umum mencakup orang yang mengerjakan shalat sendirian atau berjamaah, baik di negara bersuhu panas maupun sebaliknya, dan di sana masih ada beberapa pendapat dalam masalah ini.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menunggu saat dingin adalah sunnah, akan tetapi bersegera menunaikan shalat adalah lebih utama, berdasarkan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaan mengerjakan shalat di awal waktu.

Atas pendapat ini saya berkomentar, "Dalil-dalil mengenai keutamaan mengerjakan shalat pada awal waktu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan pengecualian untuk perkara menunggu udara dingin (teduh) pada shalat Zhuhur ini."

Hadits ini ditentang oleh hadits Khabbab Radhiyallahu Anhu,

«شَكَوْنَا إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَرَّ الرَّمْضَاءِ فِي جِبَاهِنَا وَأَكُفِّنَا فَلَمْ يُشْكِنَا»

"Kami mengeluh kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai panasnya pasir yang memanas, pada kening dan telapak tangan kami —waktu shalat- akan tetapi beliau tidak menghiraukan keluhan kami. Maksudnya, apa yang kami keluhkan masih kami rasakan." (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim). [Muslim 619]

Kami memiliki banyak komentar untuk hadits ini, akan tetapi yang paling bagus ialah bahwa apa yang mereka keluhkan adalah panasnya pasir yang tentunya hal itu tidak akan hilang kecuali di akhir waktu shalat Zhuhur atau setelah habis waktunya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu A.laihi wa Sallam bersabda,

«صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا»
"Shalatlah setiap shalat pada waktunya.'"

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, hal ini menunjukkan bahwa saat itu mereka ingin agar mereka menunggu saat dingin yang melebihi batasnya, dengan begitu hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang memerintahkan untuk menunggu saat dingin atau teduh di atas.

Alasan untuk menunggu saat dingin karena suhu yang panas adalah berasal dari hembusan neraka Jahannam, maksudnya adalah bahwa suhu yang sangat panas akan menghilangkan kekhusyu'an, padahal khusyu' adalah jiwa dari shalat dan sesuatu yang keberadaannya sangat diharapkan dari shalat tersebut.

Jika demikian hal yang mendasari perintah tersebut maka perintah ini tidak berlaku pada negara-negara bersuhu dingin. Dalam al-Qabas Ibnu Abdul Barr mengatakan, "Proses menunggu saat dingin di sini tidak ada batasan tertentu, kecuali dari apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasai dan Al-Hakim melalui Al-Aswad, ia berkata, "Masa itu panjang bayangan saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat Zhuhur di musim panas ialah tiga hingga lima kaki, dan pada musim dingin antara lima hingga tujuh kaki." Hal ini di sebutkan di dalam Al-Talkhiish, akan tetapi dalam Al-Yawaaqiit dijelaskan bahwa hadits ini tidak bisa dipakai sebagai dalil.

Anda telah memahami bahwa hadits yang memerintahkan untuk menunggu saat dingin, menjadi pengecualian atas hadits yang menerangkan keutamaan shalat Zhuhur pada awal waktunya, khususnya pada musim-musim panas, sebagaimana ada yang mengatakan juga bahwa ada hadits yang menjadi pengecualian dalam masalah shalat Subuh yaitu hadits berikut ini.

===============

150 - وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ. وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ.

150. Dari Rafi’ bin Khudaij berkata, Rasulullah bersabda, “tunggulah hingga tiba waktu pagi untuk melaksanakan shalat Shubuh, karena ia lebih besar untuk pahala-pahala kalian atau ia lebih besar pahalanya.” (HR. Al Khamsah, dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

[Shahih: At Tirmidzi 154]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Tunggulah hingga tiba waktu pagi untuk mendirikan shalat Subuh (pada riwayat lain disebutkan (أَسْفِرُوا ) -tunggulah hingga pagi bersinar- ) karena ia lebih besar untuk pahala-pahala kalian atau ia lebih besar pahalanya." HR. lima perawi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, sementara teks hadits ini adalah teks Abu Dawud.

Syarah Hadits

Berdasarkan hadits ini, madzhab Imam Hanafi menganjurkan untuk mengakhirkan shalat Subuh hingga pagi bersinar.
Tetapi pendapat ini dibantah dengan jawaban, bahwa selama itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu mengerjakan shalat di saat pagi masih gelap yang didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas Radhiyallahu Anhu,

«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَسْفَرَ بِالصُّبْحِ مَرَّةً ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدُ بِغَلَسٍ حَتَّى مَاتَ»

"Bahwasanya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam suatu kali mengerjakan shalat Subuh saat pagi sudah bersinar, akan tetapi shalat beliau setelah itu selalu pada saat pagi masih gelap hingga beliau wafat." [shahih: Abu Daud 394, dari Abu Mas’ud Al Anshari]

Hal ini mengisyaratkan bahwa lafazh ashbihu tidak dipakai dalam arti aslinya, yaitu agar menunggu hingga pagi bersinar.

Sehingga ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafazh ini adalah agar seseorang meyakinkan diri bahwa fajar telah terbit, dan bahwa lafazh A’zamu -lebih besar- di sini bukan untuk menunjukkan keutamaan.

Ada juga yang mengatakan bahwa maksud dari perintah ini adalah bahwa agar seseorang yang sedang mengerjakan shalat Subuh memanjangkan bacaannya, sehingga ketika ia selesai menunaikan shalat Subuh dalam keadaan pagi telah bersinar.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits ini digunakan pada waktu malam-malam berbulan yang mana kadang kedatangan fajar tidak begitu jelas, karena kedatangan fajar tersamarkan oleh cahaya bulan.

Bisa jadi beliau melakukannya sekali dikarenakan ada halangan, kemudian ia kembali melakukan kebalikannya -yakni ketika pagi masih gelap- selamanya, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Anas Radhiyallahu Anhu.

Sedangkan upaya untuk membantah hadits yang memerintahkan untuk menunggu hingga pagi bersinar dengan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,

«مَا صَلَّى النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا الْآخَرِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ»

"Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan shalat pada akhir waktunya hingga wafat." [1]

Maka tidaklah tepat karena waktu bersinarnya pagi bukanlah akhir shalat Subuh, akan tetapi akhir waktu shalat Subuh adalah yang dijelaskan dalam hadits berikut ini.
_________________
[1] tidak ditemukan dalam kitab Ibnu Abi Syaibah, akan tetapi ia diriwayatkan oleh Al Hakim 1/302

=============


151 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

151. Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh, sebelum matahari terbit maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh, dan barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar, sebelum matahari terbenam maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.’ (Muttafaq alaih)

[Al Bukhari 579, Muslim 608 -ebook editor ; dalam catatan kaki penerbit Darus Sunnah dicantumkan At Tirmidzi 154, ini kekeliruan –ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Subuh, sebelum matahari terbit (kemudian orang tersebut mengerjakan rakaat keduanya setelah matahari terbit) maka ia telah mendapatkan shalat Subuh dan barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar, sebelum matahari terbenam (yakni mengerjakan satu rakaat) maka ia telah mendapatkan shalat Ashar (walaupun ia mengerjakan tiga rakaat sisanya setelah matahari terbenam)."

Tafsir Hadits

Dari hadits ini kami memahami bahwa orang tersebut mengerjakan satu raka'at shalat Subuh setelah terbit matahari atau mengerjakan tiga raka'at shalat Ashar setelah matahari terbenam, karena para ulama telah berijma' bahwa hadits tersebut tidak bermaksud menjelaskan bahwa barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat saja maka ia seakan-akan telah mengerjakan shalat dengan sempurna.

Dalam masalah ini hadits Al-Baihaqi menyebutkan dengan jelas,

«مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَرَكْعَةً بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ»

"Barangsiapa mendapatkan atau mengerjakan satu raka'at dari shalat Subuh sebelum matahari terbit dan satu raka'at lagi setelah matahari terbit, maka ia telah mendapatkan atau mengerjakan shalat Subuh."  [Al Kubra 1/378]
Dalam riwayat lain disebutkan,
«مَنْ أَدْرَكَ فِي الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَلْيُصَلِّ إلَيْهَا أُخْرَى»

"Barangsiapa mendapatkan atau mengerjakan satu raka'at dari shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka hendaklah ia menyempurnakan raka'at yang lainnya." [Al Kubra 1/379]

Sedangkan hadits yang membicarakan shalat Ashar adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu,
«مَنْ صَلَّى مِنْ الْعَصْرِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى مَا بَقِيَ بَعْدَ غُرُوبِهَا لَمْ يَفُتْهُ الْعَصْرُ»

"Barangsiapa mengerjakan satu raka'at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, kemudian ia mengerjakan raka'at yang lainnya setelah matahari terbenam maka ia telah mendapatkan atau mengerjakan shalat Ashar."

Ungkapan mendapatkan atau mengerjakan satu raka'at, yang dimaksud ialah melakukan semua rukunnya yang terdiri dari membaca surat Al-Fatihah lalu menyempurnakan ruku' dan sujudnya.

Zhahir hadits ini menjelaskan bahwa orang yang melakukannya dianggap telah menunaikan shalat Ashar pada waktunya atau Adaa', dan bahwasanya raka'at yang dilakukan sebelum waktunya habis menarik raka'at yang dilakukan setelah waktunya habis, hal ini merupakan kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dan bisa disimpulkan bahwa yang tidak bisa menyempurnakan satu raka'at sebelum waktunya habis, maka ia dianggap tidak melakukan shalat tersebut pada waktunya, namun ada hadits yang menyebutkan:

===============

 152 - وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - نَحْوُهُ، وَقَالَ: " سَجْدَةً " بَدَلَ " رَكْعَةً ". ثُمَّ قَالَ: «وَالسَّجْدَةُ إنَّمَا هِيَ الرَّكْعَةُ»

152. Dari riwayat Muslim melalui Aisyah menyebutkan hadits serupa itu juga, beliau bersabda, “Satu sujud” sebagai ganti “satu rakaat”. kemudian ia berkata, “Sesungguhnya satu sujud itu ialah satu rakaat.”

[Muslim: 609]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Satu sujud" sebagai ganti "satu rakaat"(hal ini jelas menyebutkan bahwa seseorang yang mendapatkan atau mengerjakan satu sujud maka ia telah mengerjakan shalat pada waktunya, akan tetapi hadits itu diteruskan) Kemudian ia berkata (yakni perawi hadits, bisa juga yang berkata di sini ialah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) Sesungguhnya satu sujud itu ialah satu rakaat (hal ini memperjelas makna bahwa yang dimaksud dengan satu sujud bukan berarti satu sujud begitu saja, karena tambahan ini adalah tafsir atau penjelasan dari potongan hadits di atas, jika benar tambahan ini berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan seandainya ia berasal dari perawi hadits, maka sesungguhnya ia lebih memahami apa yang ia riwayatkan dari pada kita).

Al-Khathabi berkata, "Yang dimaksud satu sujud di sini ialah satu rakaat lengkap dengan ruku' dan sujudnya, karena dalam mengerjakan satu rakaat pasti diakhiri dengan satu sujud, maka dengan begitu satu rakaat bisa disebut satu sujud."

Tafsir Hadits

Andaikan hadits di atas dipahami begitu adanya, yakni seseorang yang mengerjakan satu sujud dari dua sujud dalam satu raka'at dianggap telah berhasil mendapatkan kesempatan menunaikan shalat tepat waktunya, maka hal ini pun akan dipatahkan dengan kenyataan bahwa banyaknya hadits yang menyebutkan satu raka'at bukan satu sujud. Sehingga hadits yang menyebutkan satu sujud diartikan satu raka'at, dengan begitu hadits yang menyebutkan satu raka'at tidak terbantahkan oleh hadits apapun.

Bisa juga dipahami bahwa seseorang yang mendapatkan satu sujud pada waktunya, maka ia telah mengerjakan shalat tersebut pada waktunya, sebagaimana orang yang mendapatkan satu raka'at, dan keduanya tidak saling mematahkan, karena inti hadits 'yang mendapatkan satu raka'at' lain dari hadits "yang mendapatkan satu sujud." Itu artinya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kemurahan kepada orang-orang yang mendapatkan satu sujud dianggap telah mengerjakan shalat pada waktunya, sebagaimana orang yang mendapatkan satu raka'at. Bisa jadi pemberitahuan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa orang yang mendapatkan satu raka'at dianggap telah mengerjakan shalat pada waktunya sebelum memberitahukan bahwa orang yang mendapatkan satu sujud dianggap telah mengerjakan pada waktunya, karena satu raka'at tentunya lebih sempurna dari pada satu sujud.

Sedangkan ungkapan yang mengatakan, "Sesungguhnya satu sujud itu ialah satu raka'at" bisa jadi ia adalah ucapan perawi, dengan begitu ia tidak bisa dijadikan dalil, walaupun di sana ada ungkapan, "penafsiran perawi lebih utama" itu memang secara umum, tetapi perlu diingat bahwa ada hadits yang menyebutkan,
«فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ»
"Berapa banyak orang yang menerima berita lebih paham dari pada yang membawa berita." [shahih: At Tirmidzi 2657]

Dan dalam riwayat lain menyebutkan, "Afqahu" lebih paham dari sisi fikih, sehingga kita temui beberapa orang yang lebih paham fikih dari pada para pendahulu.

Zhahir hadits menjelaskan bahwa seseorang yang mendapatkan satu raka'at shalat Subuh sebelum matahari terbit atau satu raka'at shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka shalatnya di saat matahari terbit maupun terbenam bukanlah perbuatan makruh, akan tetapi hukum makruh berkenaan orang yang mengerjakan shalat sunnah di saat itu. Sebagaimana yang dijelaskan di hadits berikut.

================


153 - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلَفْظُ مُسْلِمٍ: «لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ»

153. Dari Abu Sa'id Al Khudri berkata, Saya telah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (Muttafaq alaih) dan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Tidak ada shalat setelah shalat Fajar.

[Al Bukhari 586, Muslim 827]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Tidak ada shalat (yakni shalat nafilah atau sunnah) setelah shalat Subuh (yakni setelah shalat Subuh atau setelah lewat waktu shalat Subuh) hingga matahari terbit dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar (yakni setelah shalat Ashar atau setelah lewat waktu shalat Ashar) hingga matahari terbenam" (Muttafaq Alaih), Dan dalam riwayat Muslim disebutkan, "Tidak ada shalat setelah shalat Fajar."

Tafsir Hadits

Riwayat ini menerangkan dengan jelas maksud dari hadits di atas, karena hadits di atas bisa dipahami seperti apa yang kami jelaskan, begitu pula dengan shalat Ashar, ada hadits serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Atsir, dan beliau menisbahkannya kepada Al-Bukhari dan Muslim, hadits tersebut ialah,

«لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ»
"Tidak ada shalat setelah shalat Ashar.”

Riwayat lain menyebutkan,
«لَا صَلَاةَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إلَّا رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ»
'Tidak ada shalat setelah fajar terbit kecuali dua rakaat shalat Fajar."

Larangan ini ditujukan untuk shalat setelah mengerjakan shalat fajar dan setelah mengerjakan shalat Ashar. Akan tetapi, setelah terbit fajar tidak diperkenankan mengerjakan shalat, kecuali shalat sunnah fajar saja.

Akan halnya setelah masuk waktu shalat Ashar, maka zhahir hadits mengisyaratkan diperbolehkannya mengerjakan shalat sunnah sebanyak-banyaknya selama belum mengerjakan shalat Ashar. Larangan ini hanya berkenaan dengan shalat dalam arti terminologi saja, -karena shalat berarti doa juga-, inilah yang dimaksudkan oleh larangan di atas.

Makna asli dari larangan adalah pengharaman, dengan begitu bisa dipahami bahwa shalat sunnah apa pun tidak diperbolehkan pada dua kesempatan ini.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab ia tetap diperbolehkan sementara itu shalat-shalat sunnah tanpa sebab dilarang, maka pendapat ini telah kami jelaskan bahwasanya ia tidak memiliki dalil apa pun, sebagaimana yang kami jelaskan di dalam Syarh Al-Umdah.

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat Ashar di rumahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu Anha,

«مَا تَرَكَ السَّجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ عِنْدِي قَطُّ»
"Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan dua rakaat setelah Ashar di rumahku."
Atau dalam riwayat lain,

لَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا سِرًّا وَلَا عَلَانِيَةً
"Beliau tidak pernah meninggalkannya baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan." [Al Bukhari 593, Muslim 835]

Maka komentar saya ialah bahwasanya shalat yang beliau kerjakan tersebut adalah shalat Qadha'untuk sunnah Zhuhur yang ketinggalan yang hal itu berkelanjutan, karena biasanya jika beliau mengerjakan satu pekerjaan beliau akan membiasakan atau melakukannya secara konsisten. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mengerjakan qadha' shalat sunnah yang ketinggalan pada waktu-waktu makruh diperbolehkan, dan itu merupakan kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Dawud dari Aisyah Radhiyallahu Anhu,
«أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْعَصْرِ وَيَنْهَى عَنْهَا، وَكَانَ يُوَاصِلُ وَيَنْهَى عَنْ الْوِصَالِ»

"Bahwasanya beliau mengerjakan shalat setelah shalat Ashar akan tetapi beliau melarang perbuatan tersebut, dan beliau melakukan puasa wishal padahal beliau melarang perbuatan tersebut." [Dhaif: Abu Daud 1280]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa melakukan shalat nafilah (shalat sunnah) setelah shalat Subuh maupun shalat Ashar diperbolehkan berdasarkan perbuatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits di atas, juga berdasarkan persetujuan beliau atas orang yang melakukan shalat sunnah fajar setelah mengerjakan shalat Fajar -Subuh-.

Ada yang menjawab pendapat di atas dengan argumen sebagai berikut: Kedua argumen yang digunakan di atas adalah argumen dibolehkannya mengerjakan qadha' shalat nafilah pada waktu-waktu yang dimakruhkan mengerjakan shalat, bukannya argumen atas bolehnya mengerjakan shalat nafilah apa saja. Karena dalil yang lebih khusus tidak bisa secara langsung menganulir dalil yang umum begitu saja, akan tetapi ia hanya mengkhususkan atau mempersempitnya saja, dalam masalah ini yang terjadi ialah mempersempit dalil qauli -atau perkataan dengan dalil fi'li atau perbuatan.

Walaupun di sini akan kami sebutkan satu hadits yang menjelaskan bahwa barangsiapa ketinggalan shalat nafilah Zhuhur, maka hendaklah ia tidak mengqadha'nya. setelah shalat Ashar, ditambah lagi ada kaidah yang mengatakan jika perkataan -dalam hadits- berlawanan dengan perbuatan maka perkataan lebih diutamakan.

Dengan begitu maka pendapat yang benar ialah, bahwa shalat sunnah diharamkan pada dua waktu ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits berikut bahwa diharamkan shalat pada tiga waktu.

==================

154 - وَلَهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: «ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَتَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ»

154. Dan dalam riwayatnya juga, dari Uqbah bin Amir, ‘Ada tiga waktu dimana Rasulullah melarang kami mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah padanya, saat matahari terbit hingga meninggi, saat matahari tepat berada di atas kepala hingga tergelincir atau condong dan saat matahari miring akan terbenam.”

[Muslim 831]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً، حَتَّى تَرْتَفِعَ

Ada tiga waktu dimana Rasulullah melarang kami mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah padanya, saat matahari terbit dan meninggi”, hadits Amr bin Abasah menjelaskan ukuran tingginya matahari sehingga keluar dari saat terlarang tersebut, ‘Naik setinggi satu atau dua tombak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa'i)

[Shahih: Abu Daud 1288]
Biografi Perawi

Uqbah bin Amir adalah Abu Hammad atau Abu Amir, Uqbah bin Amir Al-Juhani. Salah seorang pegawai Muawiyah di Mesir, meninggal di sana juga pada tahun 58 H. Ada yang mengatakan bahwa ia meninggal pada perang Nahrawan saat ia bersama Ali Radhiyallahu Anhu, akan tetapi Ibnu Abdul Barr mengatakan bahwa berita ini salah.

Penjelasan Kalimat

"Saat matahari tepat berada di atas kepala (hadits Amr bin Abasah menjelaskan, "Saat tombak tepat di atas bayangannya." ) hingga tergelincir atau condong (dari tengah langit) dan saat matahari miring akan terbenam."

Tafsir Hadits

Tiga waktu ini jika ditambahkan kepada dua di atas maka ia menjadi lima waktu, hanya saja tiga waktu terakhir ini berkenaan dengan dua masalah yang tidak disukai, yaitu menguburkan jenazah dan mendirikan shalat, sedangkan dua waktu di atas berkenaan dengan masalah shalat saja.

Alasan pelarangan pada tiga waktu ini dijelaskan di dalam hadits Ibnu Abasah -bagi sebagian orang yang menerima hadits tersebut- yaitu bahwa ketika matahari sedang terbit ia terbit di antara dua tanduk setan, maka orang-orang kafir menyembahnya saat itu, sedangkan pada tengah hari, maka pada saat itu neraka Jahannam sedang dipanaskan dan pintu-pintunya sedang dibuka dan saat terbenam matahari terbenam di antara dua tanduk setan maka orang-orang kafir menyembahnya saat itu.

Makna 'Qaaimu Zhahirah' ialah saat matahari diam untuk condong ke barat. Disebut demikian karena lafazh 'Qaamat bihi Daabbatuhu' artinya hewan kendaraannya berhenti, sebab jika saat itu seseorang sedang berjalan melihat bayangannya, ia seakan-akan tidak bergerak atau diam di tempat.

Larangan ini mencakup shalat-shalat wajib maupun shalat sunnah. Larangan ini berarti pengharaman, karena demikianlah makna dasar dari sebuah larangan begitu pula hukum menguburkan jenazah pada saat itu.

Akan tetapi kewajiban shalat bagi orang yang ketiduran ada pengecualiannya berdasarkan hadits, "Barangsiapa ketiduran dari satu shalat...", maka waktunya adalah saat ia mengingatnya."[lihat Shahihul Jami 6571]. Maka kapan saja ia terbangun atau teringat kepada shalat tersebut ia harus segera menunaikannya, begitu pula orang yang menunaikan satu raka'at shalat sebelum matahari terbit atau sebelum matahari terbenam, maka ia harus menunaikannya saat itu pula dan hal itu tidak dianggap haram.

Dengan demikian larangan tersebut berkenaan dengan shalat sunnah bukan shalat wajib. Namun ada yang mengatakan bahwa larangan itu mencakup keduanya, yaitu yang wajib maupun yang sunnah, berdasarkan satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika beliau ketiduran untuk melakukan shalat Subuh di suatu lembah, saat terbangun beliau tidak langsung menunaikan shalat tersebut akan tetapi menunggu hingga keluar dari saat yang dimakruhkan shalat padanya.

Jawaban atas pendapat ini ialah:

1. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat waktu itu bangun dari tidur karena sengatan matahari, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits tersebut, artinya saat mereka bangun mereka telah keluar dari waktu yang dilarang shalat padanya.

2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan alasan mengakhirkan shalat saat itu, bahwasanya lembah itu telah didatangi oleh para setan. Maka beliau ingin menunaikan shalat pada tempat lain jadi alasan pengunduran waktu shalat saat itu bukan karena adanya waktu yang dilarang shalat padanya. Seandainya apa yang mereka katakan benar, bisa diambil kesimpulan shalat sunnah haram dilakukan pada kelima waktu tersebut, dan dibolehkan mengqadha' shalat sunnah setelah shalat Subuh dan setelah shalat Ashar, berdasarkan dalil bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengadha' shalat sunnah Zhuhur setelah shalat Ashar, seandainya hal tersebut bukan merupakan hukum khusus untuknya. Sedangkan qadha' shalat sunnah setelah shalat Subuh berdasarkan persetujuan beliau terhadap seseorang yang pernah mendirikan shalat sunnah Subuh setelah shalat Subuh. Kesimpulan selanjutnya ialah shalat wajib bisa dilakukan pada kelima waktu tersebut untuk orang-orang yang ketiduran kelupaan dan orang yang sengaja mengakhirkannya walaupun dengan begitu ia berdosa atas keterlambatannya dengan sengaja, shalatnya mereka itu dianggap shalat tepat pada waktunya kecuali jika orang yang mengakhirkan waktu shalat tersebut telah keluar dari saatnya.

Khusus hari Jumat diperbolehkan shalat sunnah saat matahari sedang tergelincir, berdasarkan hadits berikut ini.

=============


155 - وَالْحُكْمُ الثَّانِي عِنْدَ الشَّافِعِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ. وَزَادَ " إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ "

155. Dan hukum untuk kondisi kedua, menurut imam Asy-Syafi'i berdasarkan hadits Abu Hurairah dengan sanad dhaif, dan ia menambahkan,”.... kecuali hari Jum'at.”

[Dha’if: Musnad Asy Syafi’i 1/139, Syaikh Hamid Al Faqi berkata dalam ta’liqnya atas Bulughul Maram, Hadits ini dhaif karena di dalamnya terdapat Ibrahim bin Yahya dan Ishaq bin Abi Farwah, keduanya dhaif. Demikian pula yang dikatakan Syaikh Abdullah bin Abdullah Al Bassam dalam Taudihul Ahkam 1/283. Ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Dan hukum untuk kondisi kedua (yakni hukum larangan mendirikan shalat saat matahari sedang tergelincir tengah hari, sedangkan hukum yang pertama adalah hukum saat matahari sedang terbit)."

Tafsir Hadits

Pensyarah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kedua ialah, larangan mendirikan shalat pada ketiga waktu tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Sa'id dan hadits Uqbah, akan tetapi dalam hadits ini ia disebut sebagai hukum pertama, karena hukum keduanya adalah larangan menguburkan jenazah. Dalam hadits Uqbah juga dijelaskan bahwa pengecualian diperbolehkannya shalat, untuk hari Jumat ini mencakup ketiga waktu tersebut, akan tetapi hal itu tidak disepakati oleh para ulama, karena yang diperselisihkan ialah hanya waktu matahari sedang tergelincir.

Menurut Imam Syafi'i berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan sanad dhaif, dan ia menambahkan, "...kecuali hari Jumat, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Ma'rifah dan Atha’ bin Ajlan dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah, mereka berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mendirikan shalat pada tengah hari kecuali hari Jumat." Akan tetapi hadits ini dhaif, karena di dalamnya ada Ibrahim bin Abu Yahya dan Ishaq bin Abdullah bin Abu Firarah yang keduanya merupakan perawi dhaif. Namun hadits ini didukung oleh hadits berikut,


156 - وَكَذَا لِأَبِي دَاوُد عَنْ أَبِي قَتَادَةَ نَحْوُهُ

156. Dan seperti itu pula riwayat Abu Daud dari Abu Qatadah.

[Dhaif: Abu Daud 1083]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Dengan lafazh,

«وَكَرِهَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الصَّلَاةَ نِصْفَ النَّهَارِ إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ؛ وَقَالَ: إنَّ جَهَنَّمَ تُسْجَرُ إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ»

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membenci pelaksanaan shalat di tengah hari kecuali pada hari Jumat." Dan beliau bersabda, "Sesungguhnya neraka Jahannam dipanaskan kecuali pada hari Jumat."

Abu Dawud berkata, "Hadits ini adalah hadits mursal." Karena di dalamnya terdapat Laits bin Abu Salim, ia adalah perawi dhaif.

Namun hal ini didukung oleh perbuatan para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka mendirikan shalat di tengah hari pada hari Jumat. Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam juga menganjurkan agar bersegera menuju ke masjid pada hari itu, kemudian ia menganjurkan untuk shalat hingga imam keluar tanpa mengkhususkan atau mengecualikan waktu apapun. Kemudian hadits yang melarang tersebut merupakan hadits yang umum mencakup semua tempat kecuali Makkah.


157 - وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ. وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ.

157. Dari Jubair Ibnu Muth’im berkata, Rasulullah bersabda, “Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian melarang siapa pun melakukan tawaf di Ka’bah ini atau melakukan shalat pada waktu kapan pun ia kehendaki, baik malam maupun siang.” (HR. Al Khamsah, dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

[Shahih: At Tirmidzi 868]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Jabir bin Muth'im adalah Abu Muhammad Jabir bin Muth'im bin Adi bin Naufal Al-Qurasyi An-Naufali, bergelar Abu Umayyah. Masuk Islam sebelum penaklukan Makkah, tinggal di Madinah dan wafat di sana pada tahun 57 atau 59 H. Ia adalah orang yang sangat memahami silsilah nasab Quraisy yang ia pelajari dari Abu Bakar.

Tafsir Hadits

Hadits di atas menunjukkan bahwa thawaf maupun shalat di Ka'bah pada waktu kapan pun tidak dilarang, dan hal ini bertentangan dengan hadits yang lalu. Karena itu, jumhur ulama mengedepankan hadits yang lalu yang melarang shalat pada jam-jam tertentu dengan alasan bahwa hadits yang melarang tersebut terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari maupun Shahih Muslim dan kitab yang lainnya dengan begitu hadits itu lebih kuat.

Sedangkan As-Syafi'i berpegang kepada hadits ini yang memperbolehkan thawaf maupun shalat di Ka'bah pada waktu kapanpun. Mereka berargumen, "Hadits yang melarang telah dilemahkan dengan pengecualian bagi orang yang ketinggalan, orang yang lupa, orang yang ketiduran dan qadha" shalat sunnah, artinya hadits ini merupakan pengecualian untuk hadits yang lalu."

Dan shalat sunnah apa pun dan kapan pun di Makkah tidak dilarang. Hal ini bukan khusus shalat sunnah thawaf saja, tetapi mencakup seluruh shalat sunnah. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya.,

«يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إنْ كَانَ لَكُمْ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ فَلَا أَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ يَمْنَعُ مَنْ يُصَلِّي عِنْدَ الْبَيْتِ أَيَّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ»

"Wahai Bani AbdulMuththalib, jika kalian memiliki urusan maka sesungguhnya aku tidak ingin tahu ada seseorang dari kalian melarang orang yang hendak mendirikan shalat di Ka'bah, pada waktu kapanpun, baik malam maupun siang hari."

Di dalam An-Najm Al-Wahhaj disebutkan, jika diperbolehkan mendirikan shalat sunnah di Masjidil Haram, apakah diperbolehkan juga di semua tempat yang masuk wilayah tanah Haram Makkah?

Dalam masalah ini ada dua pendapat, namun yang lebih benar ialah diperbolehkan di seluruh wilayah Haram Makkah.

158 - وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «الشَّفَقُ الْحُمْرَةُ» ، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ. وَغَيْرُهُ وَقَفَهُ عَلَى ابْنِ عُمَرَ
158. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Mega itu ialah yang berwarna merah.” (HR. Ad Daruquthni, Ibnu Khuzaimah dan perawi lainnya menyatakan bahwa hadits ini mauquf pada Ibnu Umar)

[Dhaif: Dhaif Al Jami’ 3440]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Tafsir Hadits

Oleh perawi lain dinyatakan bahwa hadits ini mauquf pada Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, kelanjutan hadits tersebut ialah,

«فَإِذَا غَابَ الشَّفَقُ وَجَبَتْ الصَّلَاةُ»

"Jika kemerah-merahan telah lenyap maka telah masuk waktu wajib shalat — Isya-'

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan di dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu sebagai hadits marfuu'. Al-Baihaqi berkata, "Hadits ini diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu Anhu, Umar Radhiyallahu Anhu, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, Ubadah bin Shamit Radhiyallahu Anhu, Syidad bin Aus Radhiyallahu Anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, namun tidak ada satupun yang shahih."

Saya katakan, "Jika pembahasannya dari sisi bahasa, maka hendaklah dikembalikan kepada ahli bahasa, dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu adalah salah satu ahli bahasa dan penghulu bangsa Arab, dengan begitu maka ucapannya merupakan dasar hukum wakupun hadits itu mauquf padanya. Dan dalam Al-Qamus diterangkan, mega ialah warna merah di ufuk barat yang bertahan hingga tiba waktu Isya atau telah mendekati waktu Isya’ atau ketika tiba sepertiga malam yang pertama."

As-Syafi'i berpendapat bahwa, waktu shalat Maghrib ialah tepat setelah matahari terbenam, berdurasi selama lima raka'at shalat ditambahkan waktu untuk bersuci, memakai pakaian, mengumandangkan adzan dan iqamah. Berdasarkan hadits Jibril Alaihissalam, bahwasanya ia menunaikan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama dua hari dalam waktu yang sama, yaitu tepat setelah matahari terbenam. Ia berkata, "Seandainya waktu Maghrib itu panjang tentulah ia mengakhirkannya sebagaimana ia mengakhirkan waktu shalat Zhuhur, hingga bayangan segala sesuatu sepanjang wujud aslinya pada hari keduanya."

Jawaban atas pendapat ini ialah bahwa hadits Jibril Alaihissalam lebih dahulu keluar, yaitu pada awal-awal perintah shalat di Makkah, sedangkan hadits yang menjelaskan bahwa akhir waktu shalat Maghrib adalah hilangnya mega merah dari ufuk barat ia lebih akhir yaitu di Madinah, baik nash maupun prakteknya, maka ia harus dipakai sebagai sumber hukum dan ia lebih shahih sanadnya, dengan begitu hadits ini harus dikedepankan saat terjadi perbedaan.

Jika ada yang membantah, "Hadits kedua ini adalah hadits pernyataan, sedangkan hadits Jibril Alaihissalam adalah perbuatan."

Maka bantahan ini tidak benar karena hadits Jibril Alaihissalam adalah hadits pernyataan maupun perbuatan, karena setelah menunaikan lima waktu shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Jibril Alaihissalam berkata kepadanya, "Antara kedua waktu tersebut adalah waktu shalat untukmu dan untuk umatmu."

Betul, memang tidak ada jeda antara shalat Maghrib dan shalat Isya yang dilakukan oleh Jibril. Jawaban atas fenomeaa ini ialah bahwa fenomena itu hanyalah perbuatan jika dipandang dari sisi penentuan waktu shalat Maghrib, dan pendapat yang lebih benar ialah bahwa perkataan lebih didahulukan atas perbuatan jika keduanya saling bertentangan, akan tetapi dalam masalah ini tidak ada pertentangan dalam kedua hadits tersebut, karena ungkapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits kedua memberikan keterangan tambahan atas hadits Jibril Alaihissalam, ia adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Menurut saya seharusnya hadits ini diletakkan di awal-awal bab waktu shalat, setelah hadits yang pertama yaitu hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu.

Dan harap diketahui pendapat yang baru kita sebutkan tadi adalah pendapat baru Imam Syafi'i, sedangkan pendapatnya yang lebih dahulu ialah bahwa ada dua pendapat dalam masalah waktu shalat Maghrib, yang pertama adalah pendapat ini yaitu, bahwa waktu shalat Maghrib ialah tepat setelah matahari terbenam dan yang kedua bahwa waktunya mulai terbenamnya matahari hingga hilangnya mega merah, yang hal ini didukung oleh rekan-rekannya seperti Ibnu Khuzaimah, Al-Khathabi, Al-Baihaqi dan yang lain-lainnya.

Imam Nawawi telah menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan bahwa waktunya agak panjang hingga hilangnya mega merah, di dalam Syarh Al-Muhadzdzab, kemudian ia berkata, "Jika Anda telah memahami kekuatan hadits tersebut maka harus mengamalkannya, karena sebenarnya pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi'i terdahulu, akan tetapi kemudian ia mengomentari kekuatan hadits ini di dalam Al-Imla’ namun sekarang kekuatan hadits ini tidak diragukan lagi bahkan banyak hadits serupa yang juga kuat."

159 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ الصَّلَاةُ - أَيْ صَلَاةُ الصُّبْحِ - وَيَحِلُّ فِيهِ الطَّعَامُ» رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ

159. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Fajar itu ada dua macam, fajar yang mengharamkan makan dan diperbolehkan shalat padanya dan fajar yang tidak boleh melakukan shalat padanya.” Yaitu shalat Shubuh, dan diperbolehkan makan padanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, dan keduanya menshahihkannya)

[Shahih: Shahih Al Jami 4279]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Syarah Kalimat

"Ada dua macam. Fajar, yang mengharamkan makan (untuk orang-orang yang hendak menunaikan puasa) dan diperbolehkan shalat padanya (karena telah masuk waktu untuk melaksanakan shalat Subuh) dan fajar yang tidak boleh melakukan shalat padanya.' Yaitu shalat Subuh (diterangkan sedemikian rupa agar tidak ada yang mengira bahwa saat itu diharamkan mengerjakan shalat apapun, akan tetapi keterangan tambahan ini bisa jadi berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan itulah seharusnya; dan bisa jadi berasal dari perawi hadits) dan diperbolehkan makan padanya"

Dikarenakan kata fajar secara bahasa mempunyai dua makna, dan dalam beberapa hadits disebutkan bahwa awal waktu shalat Subuh adalah fajar, maka Rasulullah menjelaskan fajar manakah yang beliau maksud, yaitu fajar yang mempunyai tanda sangat jelas seperti diterangkan di dalam hadits berikut ini.


160 - وَلِلْحَاكِمِ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ نَحْوُهُ، وَزَادَ فِي الَّذِي يُحَرِّمُ الطَّعَامَ؛ " إنَّهُ يَذْهَبُ مُسْتَطِيلًا فِي الْأُفُقِ "، وَفِي الْآخَرِ: " إنَّهُ كَذَنَبِ السِّرْحَانِ "

160. Al Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Jabir, kemudian dalam masalah fajar yang dilarang makan padanya ditambahkan, “Sesungguhnya ia memanjang di ufuk.” Dan dalam riwayat lain, “Sesungguhnya ia bagaikan ekor srigala.”

[Shahih: Shahih Al Jami 4278]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Jabir yakni serupa dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, yang lafazhnya disebutkan di dalam Al-Mustadrak,

«الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السِّرْحَانِ فَلَا يَحِلُّ الصَّلَاةُ وَيَحِلُّ الطَّعَامُ؛ وَأَمَّا الَّذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيلًا فِي الْأُفُقِ فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ»

"Fajar itu ada dua macam; fajar yang menyerupai ekor serigala, pada waktu itu tidak boleh melakukan shalat dan masih dibolehkan makan -bagi yang berpuasa-, sedangkan fajar yang memanjang di ufuk, pada waktu itu diperbolehkan melakukan shalat dan diharamkan makan —bagi yang berpuasa-."

Penjelasan Kalimat

Anda telah memahami apa yang dimaksud dengan ucapan Ibnu Hajar berikut ini, "Kemudian dalam masalah fajar yang dilarang makan padanya ditambahkan, "Sesungguhnya ia memanjang di ufuk (dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengulurkan tangannya dari kalian ke kiri)." Dan dalam riwayat lain, "Sesungguhnya ia bagaikan ekor srigala (yakni ilustrasi fajar yang tidak boleh shalat dan tidak diharamkan makan padanya, yang maksudnya ialah saat itu ia seperti ekor srigala yang tegak ke atas tidak memanjang, yang jarak antara keduanya sekitar satu jam, setelah fajar yang pertama muncul kemudian akan muncul fajar yang kedua nampak jelas, inilah penjelasan awal waktu shalat Subuh, sedangkan akhir waktunya ialah waktu yang tersisa untuk menunaikan satu raka'at, sebagaimana telah Anda pahami terdahulu).

Dikarenakan setiap waktu shalat ada awal dan ada akhirnya, maka beliau menjelaskan waktu yang paling utama.
========================

161 - وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ. وَصَحَّحَاهُ، وَأَصْلُهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ.

161. Dari Ibnu Mas’ud , Rasulullah bersabda: “Seutama-utama pekerjaan ialah menunaikan shalat pada awal waktunya.” (HR. At Tirmidzi dan Al Hakim dan keduanya menshahihkannya. Asli hadits ini terdapat dalam Shahihain)

[Shahih: At Tirmidzi 173]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dengan lafazh,

«سَأَلْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا»
"Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Perbuatan apakah yang paling dicintai oleh Allah?" Beliau bersabda, 'Shalat tepat pada waktunya?"

Dalam riwayat ini tidak disebutkan lafazh 'pada awal'.

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat pada awal waktunya merupakan perbuatan paling utama dibandingkan dengan perbuatan apa pun, karena hadits di atas menggunakan kata Al A'maal'dalam bentuk ma'rifah dengan tambahan alif dan laam.

Namun hadits ini bertentangan dengan hadits:
«أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ إيمَانٌ بِاَللَّهِ»
"Seutama-utama amal perbuatan ialah beriman kepada Allah."[Al Bukhari 26, Muslim 83]
Dengan demikian jelas bahwa maksud pertanyaan Ibnu Mas'ud di atas ialah amal perbuatan apakah yang paling utama selain iman, atau apakah perbuatan orang mukmin yang paling utama?

Ibnu Daqiq Al-'Iid berkata, "Maksud amal perbuatan di dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas ialah amal perbuatan fisik dan tidak berkenaan dengan amal perbuatan hati. Dengan demikian, hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, "Seutama-utama amal perbuatan ialah beriman kepada Allah Aza wa Jalla.” Akan tetapi ada hadits-hadits lain yang menerangkan bahwa kebajikan adalah amal perbuatan yang paling utama dan dalam masalah ini jelas ia bertentangan dengan hadits di atas."

Jawaban atas masalah ini adalah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan jawaban yang paling tepat untuk setiap orang yang diajak bicara, paling cocok untuknya, paling ia sukai dan paling banyak manfaatnya bagi orang tersebut. Sebagai contoh, untuk orang pemberani maka amal perbuatan yang paling utama ialah berjihad, karena hal itulah yang lebih baik untuknya daripada menghabiskan waktunya untuk beribadah ritual, sedangkan untuk orang kaya amal perbuatan yang paling utama untuknya ialah bersedekah, dan demikian selanjutnya.

Atau bisa jadi di dalam hadits tersebut ada lafazh yang disembunyikan yaitu 'di antara' sehingga maksudnya adalah 'di antara amal perbuatan paling utama', bisa juga lafazh Afdhal' di dalam hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan kelebihan akan tetapi hanya bermaksud bahwa hal itu adalah amal perbuatan utama, tidak ada maksud untuk menjelaskan bahwa amal perbuatan itu adalah paling utama.
Ungkapan yang menjelaskan bahwa amal paling utama adalah shalat pada awal waktunya bertentangan dengan hadits yang menerangkan hal lain, seperti hadits shalat Isya', karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Seandainya tidak memberatkan umatku pastilah aku akhirkan shalat Isya'." Yakni mengakhirkannya hingga pertengahan malam atau sekitar pertengahan malam, juga dengan hadits 'Menunggu pagi bersinar untuk shalat Subuh' dan hadits 'Menunggu saat dingin untuk shalat Zhuhur.'

Jawaban atas masalah ini adalah, bahwa hadits-hadits terdahulu termasuk pengecualian dari hadits nomor 161 ini, sehingga tidak ada pertentangan antara hadits-hadits di atas dengan hadits nomor ini.

Sedangkan pertanyaan yang mengatakan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan oleh Ali bin Hafsh sendirian dan tidak didukung oleh shahabat-shahabat Syu'bah, padahal mereka semua meriwayatkan dengan lafazh 'pada waktunya' tidak dengan lafazh 'awal waktunya'.

Maka pertanyaan ini telah dijawab, bahwasanya walaupun Ah bin Hafsh meriwayatkannya sendirian, ia adalah seorang syaikh yang shaduuq (jujur), termasuk di antara perawi yang diakui oleh Muslim, kemudian hadits tersebut telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim dan diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam Shahih Ibnu Khuzaimah.

Dari sisi makna, lafazh "Alaa waqtihaa' (tepat pada waktunya) menyiratkan makna pada awal waktunya, karena lafazh "Alaa' mempunyai konotasi bahwa ia berada di atas keseluruhan waktunya. Sedangkan riwayat yang menyebutkan 'liwaqtihaa maka ia bermakna menyongsongnya, dan secara mudah telah dipahami bahwa shalat tersebut tidak mungkin dilakukan sebelum waktunya dengan harapan menyongsongnya, sehingga sudah pasti yang dimaksud dengan lafazh 'liwaqtihaa ialah pada awal waktunya.
Hal ini didukung oleh firman Allah Ta'ala,
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ}

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik." (QS. Al-Anbiyaa": 90), demikian pula bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu melakukan shalat pada awal waktunya dan tentu apa yang beliau lakukan adalah yang paling utama, dalam hadits Ali yang diriwayatkan oleh Abu Dawud disebutkan,
«ثَلَاثٌ لَا تُؤَخَّرُ، ثُمَّ ذَكَرَ مِنْهَا الصَّلَاةَ إذَا حَضَرَ وَقْتُهَا»

"Tiga hal yang seyogyanya jangan kalian akhirkan, kemudian ia menyebutkan di antaranya; shalat jika telah datang waktunya" [1]

Yang maksudnya, itulah yang lebih utama, walaupun melakukannya setelah saat itu juga boleh.
______________
[Dhaif: At Tirmidzi 171, saya tidak menemukannya dalam riwayat Abu Daud]

================

162 - وَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أَوَّلُ الْوَقْتِ رِضْوَانُ اللَّهِ، وَأَوْسَطُهُ رَحْمَةُ اللَّهِ، وَآخِرُهُ عَفْوُ اللَّهِ» أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ جِدًّا

162. Dari Abu Mahdzurah bahwasanya Nabi bersabda, “Awal waktu adalah keridhaan Allah, tengahnya adalah rahmat Allah dan akhirnya adalah ampunan Allah.” (HR. Ad Daruquthni dengan sanad dhaif sekali)

[Dhaif dalam Dhaif Al Jami 2131, Maudhu dalam Dhaif Targhib wa Tarhib 218 –ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Biografi Perawi

Tentang nama Abu Mahdzurah, ada beberapa pendapat mengenai nama aslinya, akan tetapi yang paling benar ialah bahwa namanya Samurah bin Mi'yan. Ibnu Abdul Barr berkata, "Seluruh orang yang ahli dalam masalah nasab Quraisy menyatakan bahwa Abu Mahdzurah adalah dari suku Aus." Ia adalah muadzin Rasulullah Shallallahu A-laihi wa Sallam, masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah, ia tinggal di Makkah dan wafat di sana sebagai pengumandang adzan pada tahun 59 H.

Penjelasan Kalimat

"Awal waktu (untuk shalat-shalat wajib) adalah keridha'an Allah (yakni akan mendatangkan keridhaan Allah bagi orang yang menunaikan shalat padanya) tengahnya adalah rahmat Allah (yakni ia akan mendatangkan rahmat Allah bagi orang yang menunaikan shalat padanya, dan telah diketahui bahwa keridhaan lebih utama daripada rahmat) dan akhirnya adalah keampunan Allah (yang tentunya tidak diperlukan ampunan kecuali jika ada dosa)."

Tafsir Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dengan sanad dhaif, karena hadits ini melalui Ya'qub bin Al-Walid Al-Madani. Imam Ahmad mengatakan, "Ia adalah termasuk pembohong besar", Ibnu Ma'in menyatakan, "Ia sebagai pembohong", An-Nasai meninggalkan riwayat orang tersebut, Ibnu Hibban menganggapnya sebagai pemalsu hadits, demikianlah yang disebutkan di dalam Hawasyi Al-Qhaadi dan di dalam As-Syarh disebutkan bahwa di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Zakariya Al-Bajali yang ia itu termasuk Muttaham -tertuduh-, karena itulah penulis buku menambahi kata-kata 'lemah sekali' menguatkan kedhaifannya.
Dan hadits berikut ini tidak bisa dijadikan penguat hadits di atas.

163 - وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ نَحْوُهُ، دُونَ الْأَوْسَطِ، وَهُوَ ضَعِيفٌ أَيْضًا

163. Demikian pula hadits At Tirmidzi dari Ibnu Umar tanpa menyebutkan ‘bagian tengahnya’ namun hadits ini dhaif juga.

[Maudhu: At Tirmidzi 172]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Tafsir Hadits

Demikian pula hadits At-Tirmizi dari Ibnu Umar dalam menjelaskan awal dan akhir waktu shalat, akan tetapi ia tidak menyebutkan bagian tengahnya namun hadits ini dhaif juga, karena di dalam sanadnya terdapat Ya'qub bin Al-Walid sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kami katakan bahwa, hadits ini tidak bisa menjadi penguat hadits di atas karena dalam kedua hadits tersebut ada seseorang yang telah dicap sebagai pembohong oleh para ulama, selain itu dalam masalah ini terdapat hadits yang diriwayatkan dari Jabir, Ibnu Abbas dan Anas, akan tetapi semua riwayat ini dhaif. Ada juga hadits yang diriwayatkan dari Ali, melalui jalur Musa bin Muhammad bin Ali bin Al-Hasan dari ayahnya dari kakeknya dari Ali, mengenai riwayat ini Al-Baihaqi berkomentar, "Sanad hadits ini adalah sanad terbaik dari berbagai sanad dalam masalah ini walaupun ada cacatnya karena yang tercatat dalam riwayat ialah bahwa Ja'far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya dan berhenti di situ atau mauquf"

Al-Hakim berkata, "Dalam masalah ini saya tidak menemukan hadits yang shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam maupun dari para sahabat, yang ada hanya riwayat Ja'far bin Muhammad dari ayahnya secara mauquf."

Saya katakan, "Jika hadits mauquf ini adalah hadits shahih maka hukumnya seperti hadits marfu' karena dalam masalah fadhail amal -keutamaan amal perbuatan- boleh diungkapkan berdasarkan pendapat, apalagi dalam hadits ini ada kemungkinan untuk itu, dan seandainya semua hadits ini tidak ada yang shahih, kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu mengerjakan shalat pada awal waktunya menunjukkan keutamaan awal waktu, ditambah lagi bukti-bukti yang telah kami kemukakan di atas."

164 - وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إلَّا سَجْدَتَيْنِ» أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ وَفِي رِوَايَةِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ «لَا صَلَاةَ بَعْدَ طُلُوع الْفَجْرِ إلَّا رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ»

164. Dari Ibnu Umar , bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua rakaat.” (HR. Al Khamsah kecuali An Nasa'i) dalam riwayat Abdurrazaq disebutkan, “Tidak ada shalat setelah terbit fajar kecuali dua rakaat fajar.”

[Shahih: Abu Daud 1278, At Tirmidzi 419. Dan tambahan Abdurrazaq sanadnya sangat lemah, lihat Al Irwa’ 478. Ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penjelasan Kalimat

"Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua rakaat (yaitu dua rakaat shalat fajar sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat setelah itu)."

Tafsif Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh yang lima perawi kecuali An-Nasa'i, yakni diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daraquthni. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini gharib, karena tidak ada yang meriwayatkan kecuali dari Quddamah bin Musa."

Hadits ini menjelaskan keharaman melaksanakan shalat apa pun setelah terbit fajar sebelum shalat fajar atau Subuh, kecuali shalat sunnah fajar, karena walaupun hadits itu susunan kalimatnya berbentuk kalimat berita negatif, akan tetapi ia bermakna larangan, dan makna dasar sebuah larangan adalah pengharaman.

At-Tirmidzi berkata, "Seluruh ulama berijma' atas makruhnya mendirikan shalat setelah fajar kecuali shalat fajar."

Pengarang buku ini mengatakan, "Klaim At-Tirmidzi atas ijma' ulama dalam masalah ini adalah sesuatu yang aneh, karena perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup masyhur sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Al-Mundzir dan yang lainnya."

Hasan Al-Bashri berkata, "Mendirikan shalat pada saat itu tidak apa-apa." Sedangkan Malik berpendapat, "Jika seseorang tidak sempat melakukan suatu shalat pada malam hari, maka diperbolehkan mendirikan shalat pada saat itu."

Dan yang dimaksud setelah fajar yaitu, setelah terbit fajar sebagaimana yang dijelaskan di dalam riwayat Abdurrazaq dari Ibnu Umar ~Radhiyallahu Anhu, "Tidak ada shalat setelah terbit fajar kecuali dua raka'at fajar." Demikian juga riwayat berikut ini.

165 - وَمِثْلُهُ لِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -

165. Demikian juga hadits riwayat Ad Daruquthni dari Amr bin Ash.
[Shahih: Sunan Ad Daruquthni 1/419]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Tafsir Hadits

Hadits ini dan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu di atas menjelaskan maksud ungkapan 'setelah fajar', dan ini merupakan waktu keenam dari rangkaian waktu-waktu yang tidak diperbolehkan mendirikan shalat padanya. Akan tetapi larangan mendirikan shalat setelah Ashar, yang merupakan salah satu dari keenam waktu tersebut, bertentangan dengan hadits berikut ini.

166 - وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - قَالَتْ: «صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْعَصْرَ، ثُمَّ دَخَلَ بَيْتِي، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ. فَسَأَلْته، فَقَالَ: شُغِلْت عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَصَلَّيْتهمَا الْآنَ، فَقُلْت: أَفَنَقْضِيهِمَا إذَا فَاتَتَا؟ قَالَ: لَا» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ

166. Dari Ummu Salamah berkata, Rasulullah telah menunaikan shalat Ashar, kemudian beliau memasuki rumahku seraya mendirikan shalat dua rakaat. kemudian aku bertanya kepadanya dan beliau menjelaskan, “Saya mempunyai kesibukan sehingga tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah shalat Zhuhur, maka saya mengerjakannya sekarang.” Saya berkata, “Apakah kami harus mengqhada’nya jika kita tidak sempat melakukannya pada waktunya?” Beliau menjawab, “Tidak.” (HR. Ahmad)

[Shahih: tanpa tambahan, apakah kami harus mengqadhanya dan seterusnya.. lihat; Al Irwa 441, ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penjelasan Kalimat

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menunaikan shalat Ashar, kemudian beliau memasuki rumahku seraya mendirikan shalat dua rakaat. Kemudian aku bertanya kepadanya (hal ini mengisyaratkan bahwa beliau tidak pernah melakukan hal tersebut sebelum itu di rumahnya, dan Ummu Salamah Radhiyallahu Anha telah mengetahui larangan menunaikan shalat setelah Ashar, ia merasa aneh saat melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melanggar larangan itu) dan beliau menjelaskan, "Saya mempunyai kesibukan sehingga tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah shalat Zhuhur (kesibukan tersebut ialah bahwa telah datang kepadanya beberapa orang dari kaum Abdul Qais, sedangkan dalam hadits At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa telah dibawa kepadanya harta benda yang menyibukkan beliau hingga tidak sempat mengerjakan shalat ba'diyah Zhuhur) maka saya mengerjakannya sekarang (yakni beliau mengqadha'nya waktu itu, sebagaimana yang dipahami oleh Ummu Salamah Radhiyallahu Anha, karena itu ia bertanya) Saya berkata, Apakah kami harus mengqadha’nya jika kami tidak sempat melakukannya pada waktunya? (yakni sebagaimana yang engkau lakukan, wahai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?) Beliau menjawab, "Tidak" (yakni, "Jangan mengqadha'nya pada waktu itu?)

Walaupun larangan di atas bersifat umum akan tetapi bisa dipahami larangan itu pada waktu itu saja berdasarkan situasi dan kondisi kisah.

Akan tetapi sampai di sini pengarang buku, Ibnu Hajar tidak berkomentar, namun dalam Fath Al-Bari, setelah menyebutkan hadits ini beliau menjelaskan bahwa riwayat hadits ini lemah atau dhaif tidak bisa digunakan sebagai argumen, yang disayangkan beliau tidak menjelaskan apa yang menyebabkan riwayat ini menjadi dhaif, pada hal sebenarnya tidak baik baginya untuk diam tidak berkomentar tentang hadits ini dalam buku ini.

Tafsir Hadits

Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa mengqadha' shalat saat itu ialah salah satu dari kekhususan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan hal ini diperkuat oleh hadits Aisyah Radhiyallahu Anha, "Bahwasanya beliau mengerjakan shalat setelah shalat Ashar akan tetapi beliau melarang perbuatan tersebut, dan beliau melakukan puasa wishal padahal beliau melarang perbuatan tersebut."

Namun Al-Baihaqi berkata, "Kekhususan di sini ialah dalam masalah untuk selalu mengerjakan shalat sunnah sesudah Zhuhur tersebut, bukan masalah diperbolehkannya mengqadha pada saat itu."

Jika kita lihat, jelas bahwa hadits Ummu Salamah di atas membantah jendapat Al-Baihaqi ini. Sehingga bisa disimpulkan bahwa diperbolehkannya mengqadha' saat itu adalah salah satu kekhususan beliau juga, demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan hal itu diisyaratkan oleh pengarang, Ibnu Hajar dalam hadits berikut ini,

167 - وَلِأَبِي دَاوُد عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - بِمَعْنَاهُ

167. dalam riwayat Abu Daud dari Aisyah dengan makna yang sama.”

[Shahih: Abu Daud 1273]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penjeksan tentang makna hadits ini telah dijelaskan sebelumnya.

 

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top