عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ – وَاسْمُهُ سَعْدُ بْنُ إيَاسٍ – قَالَ : حَدَّثَنِي صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إلَى اللَّهِ ؟ قَالَ : الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا . قُلْتُ : ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ : بِرُّ الْوَالِدَيْنِ , قُلْتُ : ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ , قَالَ : حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Dari Abu Amr asy-Syaibâni –namanya Sa’d bin Iyâs- berkata, “Pemilik rumah ini telah menceritakan kepadaku –sambil menunjuk rumah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan tangannya, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku (Abdullah bin Mas’ud) mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbakti kepada dua orang tua.” Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allâh.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Itu semua telah diceritakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, sekiranya aku menambah (pertanyaanku), pasti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menambah (jawaban Beliau) kepadaku.”
PERAWI HADITS
Abu Amr Sa’d bin Iyâs Asy-Syaibâni  
Abu Amr mendapati masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mendapati kemunculan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa awal dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun dia baru masuk Islam setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat). Ia berkata, “Aku ingat bahwa aku mendengar kemunculan seorang Nabi di Tihâmah, sedangkan ketika itu aku menggembala unta keluargaku di Kâzhimah.”
Abu Amr ini adalah seorang tabi’i mukhadhram[2]. Imam Muslim menghitung tabi’i mukhadhram itu berjumlah 20 orang, namun beliau melupakan sekelompok lainnya; di antaranya al-Ahnaf bin Qais dan Abu Muslim al-Khaulâni.
Abu Amr hidup 120 tahun. Dia rahimahullah mengajarkan al-Quran di Masjid Agung (al-Masjid al-A’zham).  Âshim bin Bahdalah membaca dan mengkaji al-Quran kepadanya.
Abu Amr adalah seorang yang telah disepakati ketsiqahannya. Ibnu Hibbân berkata, tampaknya ia wafat pada tahun 101 H. Sedangkan Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) berkata ia meninggal tahun 95. Adz-Dzahabi berkata, “Ada yang mengatakan ia meninggal tahun 98.”
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu 
Beliau adalah Abu Abdirrahman al-Hudzali Radhiyallahu anhu , salah seorang as-sâbiqûnal awwalûn (yang mula-mula masuk Islam). Ia adalah sekutu dari Bani Zuhrah. Ibundanya Ummu Abdillah binti Abd dari bani Hudzail juga. Beliau Radhiyallahu anhu turut serta dalam perang Badr dan peperangan lainnya. Dia yang membunuh Abu Jahl pada perang Badr[3]. Ia turut serta dalam dua hijrah (ke Habasyah dan Madinah); mendapati shalat ke arah dua kiblat.
Beliau masuk Islam sebelum Umar Radhiyallahu anhu . At-Thabrâni meriwayatkan darinya bahwa ia berkata, “Aku dapati diriku ini orang keenam yang masuk Islam, (di mana ketika itu) tidak ada Muslim di atas muka bumi ini selain kami.”
Dia adalah pemegang rahasia Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mengurusi urusan kasur, siwak, terompah dan bersuci Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaksikan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu sebagai penghuni surga yang disebutkan dalam rangkaian sepuluh orang yang dijamin masuk surga dalam hadits hasan yang diriwayatkan Abu Umar dalam kitabnya al-Istî’âb.[4]
Beliau termasuk yang menghimpun al-Quran pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan salah seorang dari empat Sahabat yang kaum Muslimin diperintahkan untuk mengambil al-Qur’an dari mereka. Empat Sahabat  ini selain Ibnu Mas’ud  Radhiyallahu anhu adalah Mu’adz, Ubayy, dan yang keempat Sâlim Maula Abi Hudzaifah Radhiyallahu anhum.
Beliau Radhiyallahu anhu berperawakan pendek dan kurus; di mana kaum lelaki yang berperawakan tinggi kala duduk hampir sama dengan dia padahal ia dalam posisi berdiri. Rambutnya sampai pada cuping telinganya. Dan beliau tidak merubah warna rambut ubannya. Beliau mempunyai dua betis yang kecil. Ilmunya banyak, jiwanya penuh dengan kedalaman ilmu; dan mempunyai kedudukan tinggi. Beliau mempunyai berbagai fatwa dan juga mempunyai qira’ah al-Quran yang menyendiri dari lainnya sebagaimana yang sudah diketahui.
Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh, aku adalah orang yang paling alim tentang Kitabullah, dan aku bukanlah Sahabat yang terbaik. Tidak ada satu surat pun, tidak juga satu ayat dalam Kitabullah, melainkan aku tahu dalam hal apa itu diturunkan, dan kapan turunnya.” Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari Ibnu Mas’ud dalam ucapannya ini.
Riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 848 hadits; di mana al-Bukhâri dan Muslim menyepakati 64 hadits dari jumlah tersebut. Sedangkan yang hanya diriwayatkan oleh al-Bukhâri tanpa Muslim berjumlah 21 hadits, sementara yang hanya diriwayatkan Imam Muslim tanpa imam  al-Bukhâri berjumlah 35 hadits. Ada sekelompok kalangan Sahabat dan tabiin yang meriwayatkan hadits darinya.
Beliau Radhiyallahu anhu meninggal pada 32 H. Ada yang mengatakan tahun 33, ada pula yang mengatakan 36 H, dalam usia 60 lebih. Abu ad-Dardâ’ berkata, “Sepeninggalnya, ia tidak meninggalkan orang yang sekaliber dengannya.” Ia dimakamkan di Baqi’, ada yang mengatakan di Kufah. Az-Zubair yang menshalatkan jenazahnya (yang menjadi imamnya) sesuai dengan wasiat yang ditujukan kepadanya. Ada yang mengatakan yang menshalatkannya adalah Utsman Radhiyallahu anhu , ada lagi yang mengatakan Ammâr.
FAWA’ID HADITS
1.Ucapan perawi:
حَدَّثَنِي صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Pemilik rumah ini telah menceritakan kepadaku –sambil memberikan isyarat kearah rumah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan tangannya
Disimpulkan dari ucapan ini, bahwa isyarat sudah cukup sehingga tidak perlu lagi menyebut nama secara tegas. Isyarat sama dengan penyebutan nama secara terang, bila menunjuk pada obyek yang ditunjuk sehingga terbedakannya dari yang lainnya. Bahkan bisa saja untuk memahamkan sesuatu, isyarat lebih mengena dan lebih mendalam daripada menyebut nama dengan jelas. Karena isyarat tertuju (secara khusus) pada apa yang ditunjukkan oleh tangan yang menunjuk, sedangkan isim ‘alam (nama) mungkin saja ada unsur kesamaan dengan obyek lainnya. Oleh karena itu –wallâhu a’lam– sebagian pakar nahwu (Gramatika Bahasa Arab) berpendapat bahwa isim isyârah (ini, itu dan yang semisalnya) itu lebih tinggi tingkat ma’rifahnya daripada isim ‘alam (lebih spesifik dalam menentukan -mendefinitifkan- sesuatu benda). Meskipun yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat kebalikannya.
2. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang mencari amalan yang paling utama, yang dilontarkan untuk menggelorakan semangat dalam mengamalkannya dan menjaganya. Karena seorang hamba diperintahkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sehingga apa yang lebih utama harus ia dahulukan daripada amalan yang utama, dalam rangka meraih derajat yang tinggi.
3. Kata amalan (a’mâl, jamak dari ‘amal), bisa diungkapkan untuk menyebut amalan hati dan amalan anggota badan. Yang dimaksudkan di sini adalah amalan hati[5] dan amalan badan; yang mana pertanyaan tersebut direspon dengan jawaban “shalat pada waktunya”. Dan secara otomatis, niat pun menjadi kelaziman dari tuntutan amalan tersebut, bukan karena maksud khusus dari hadits tersebut. Berkenaan dengan amalan hati, ada amalan yang utama, ada pula yang lebih utama; seperti iman misalnya, di mana ini telah ditandaskan dalam berbagai hadits yang shahih. Di antaranya hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amalan apakah yang paling utama?
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amalan apakah yang paling utama? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman kepada Allâh dan Rasul-Nya.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya kembali, “Lalu apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Haji yang mabrur.[6] Yang dimaksudkan dengan amalan-amalan dalam hadits ini adalah amalan badan dan hati.
4. Ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا
Shalat pada waktunya
Dalam ucapan ini tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa shalat di awal waktu lebih baik atau lebih utama daripada waktu yang lain. Namun yang dimaksudkan di sini adalah berhati-hati agar tidak melakukan ibadah shalat diluar waktu yang telah disyariatkan. Namun demikian, memang disebutkan dalam sebuah riwayat shahih dari Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbân serta al-Hâkim yang datang dengan bunyi redaksi:
الصَّلاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا
shalat pada awal waktunya.
Ini jelas dan tegas menunjukkan keutamaan menunaikan shalat pada awal waktunya. Adapun yang kami sebutkan di atas, yaitu bahwa dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa shalat di awal waktu lebih utama, ini adalah ucapan Syaikh Taqiyyuddin (yaitu Ibnu Daqîq al-Îd). Namun membawa hadits ini pada makna tersebut, yaitu memberi peringatan agar jangan mengerjakan shalat di luar waktunya, ini hal yang perlu ditinjau ulang. Mengingat perbuatan tersebut adalah perbuatan haram. Juga kata ‘alâ mengandung makna isti’lâ’ (menunjukkan tinggi). Maka maksudnya adalah menunaikan shalat pada awal waktunya.
5. Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang ada, berbeda-beda tentang amalan yang paling utama dan berbeda urut-urutannya. Dalam hadits ini, shalat didahulukan, lalu berbakti kepada dua orang tua dan berikutnya jihad.
Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang disinggung sebelumnya, iman kepada Allâh Azza wa Jalla lebih didahulukan, lalu jihad, kemudian haji mabrur. Sedangkan dalam hadits Abu Dzarr Radhiyallahu anhu iman dan Jihad dikedepankan[7]; sedangkan dalam hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma[8]:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(Amalan) Islam apa yang paling baik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.”
Dalam hadits Abu Musa dan Abdullah bin Amr [9] : “(Amalan) Islam apa yang paling baik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(amalan) di mana orang-orang Muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya.
Dan telah shahih dari hadits Utsman Radhiyallahu anhu :[10]
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Yang paling baik di antara kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya.
Dan berbagai hadits lainnya.
Untuk mengkompromikan berbagai hadits tersebut, ada yang mengatakan bahwa itu merupakan jawaban yang ditujukan khusus untuk penanya tertentu, dengan melihat pada keadaan, atau waktunya. Atau dilihat dari sisi keumuman keadaan atau keumuman waktu tersebut; atau dilihat dari sisi keadaan orang yang menjadi sasaran ucapan tersebut (mukhâthab) atau keadaan orang-orang yang seperti keadaan mereka. Sekiranya hal itu ditujukan kepada seorang pemberani, tentulah akan dijawab dengan jihad; Atau ditujukan kepada seorang kaya, tentu akan dijawab dengan sedekah; atau ditujukan kepada seorang penakut yang fakir, tentu akan dijawab dengan amal kebajikan atau dzikir; Atau ditujukan kepada orang yang cerdas, tentu akan dijawab dengan (mencari) ilmu; atau ditujukan kepada orang yang perangainya keras, tentu akan dijawab dengan: janganlah engkau marah. Dan seperti itulah disesuaikan dengan semua keadaan manusia.
Bisa saja amalan yang paling utama bagi seseorang berbeda dengan amalan paling utama bagi orang lain, sesuai dengan maslahat yang sesuai dengan waktu, keadaan ataupun person individunya.
Al-Halîmi menyebutkan dari syaikhnya; al-Allâmah Abu Bakr al-Qaffâl asy-Syâsyi al-Kabîr (wafat 365 H), di mana ia berkomentar tentang gurunya tersebut: ia adalah orang paling alim yang pernah aku jumpai dari kalangan Ulama masanya; ia mengkompromikan berbagai hadits tersebut dengan dua metode:
(a). Seperti yang telah disebutkan di muka. Ia berkata, “Kadang dikatakan: hal yang paling baik adalah ini misalnya, namun bukan berarti itu adalah yang terbaik dari semua perkara dari segala sisinya, dalam semua keadaan, atau bagi semua orang, namun maksudnya dalam keadaan tertentu, dan yang semisalnya. Ia mengambil dalil penguat dengan beberapa hadits. Di antaranya adalah dari Ibnu Abbâs c bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Haji bagi orang yang belum berhaji lebih utama daripada 40 peperangan; sedangkan satu peperangan bagi yang sudah haji, itu lebih utama daripada 40 haji.”[11]
(b). Atau bisa saja maksudnya adalah (bahwa amalan tersebut) di antara amalan yang paling utama, di antara amalan terbaik, atau di antara orang terbaik di antara kalian adalah yang melakukan ini dan itu. Huruf min (yang juga mengandung makna sebagian, meskipun) dihapuskan dari redaksi kalimat, namun maknanya tetap masih dipakai. Seperti bila dikatakan: min a’qal an-nâs wa afdhalihim (maksudnya ia adalah di antara orang yang paling cerdas dan paling utama). Di antara yang menunjukkan makna ini adalah sabda Nabi:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik untuk keluarganya.”[12]
Dan sudah maklum adanya, bahwa itu bukan berarti ia orang terbaik secara mutlak. Maka menurut metode ini, iman merupakan amalan yang paling utama secara mutlak; sedangkan amalan lainnya sama; yaitu bahwa amalan tersebut di antara amalan atau keadaan yang paling utama; untuk kemudian keutamaan sebagian amalan tersebut atas amalan lainnya bisa diketahui dengan berbagai dalil yang menunjukkannya; dan ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan personalnya.
6. Dalam hadits ini, berbakti kepada kedua orang tua (birr al-wâlidain) didahulukan daripada jihad. Ini menunjukkan betapa besar perkara bakti kepada mereka. Dan tidak disangsikan lagi, bahwa menyakiti dua orang tua adalah hal terlarang dan diharamkan.
Kata al-Birru (berbuat baik, berbakti) adalah kebalikan dari ‘Uqûq (durhaka). Ahli Bahasa Arab mengatakan: ucapan barartu wâlidi; abarruhu birran; anâ barrun atau bârrun bihi mengandung arti aku berbakti dan berbuat baik kepada orang tuaku.
Birrul wâlidain adalah berbuat baik kepada keduanya, melakukan hal yang bagus kepada keduanya, serta melakukan hal yang membuat mereka senang. Berbuat baik kepada teman mereka, juga termasuk dalam cakupan bakti kepada dua orang tua. Ini seperti yang ditegaskan dalam hadits shahih:
إنَّ مِنْ أبَرِّ البِرِّ أنْ يَصِلَ الرَّجُلُ أهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
Sesungguhnya di antara perbuatan bajik yang paling baik adalah seseorang menyambung persaudaraan dengan orang dekat ayahnya.[13]
Mengenai firman Allâh,
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu… [Luqmân/ 31: 14]
Sufyân bin Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menunaikan shalat fardhu yang lima, sungguh ia telah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan barangsiapa berdoa untuk kedua orang tuanya seusai shalat, maka sungguh ia telah bersyukur (berterima kasih) kepada mereka.”
7. Jihad terbagi menjadi dua kategori, jihad yang fardhu ‘ain (kewajiban yang dituntut dari setiap individu), dan yang fardhu kifâyah (dituntut dari semua mukallaf, namun bila sudah ditunaikan sebagian kaum Muslimin yang menukupi kebutuhan, maka kewajiban ini gugur dari yang lainnya).
Jihad yang fardhu ‘ain lebih didahulukan daripada hak dua orang tua. Sedangkan jihad yang fardhu kifâyah, tidak diperbolehkan kecuali dengan seizin dua orang tua bila kepentingan dua orang tua yang wajib menjadi terlantar karenanya. Dan inilah hukum untuk semua amalan yang terkadang menjadi wajib ‘ainidan terkadang menjadi wajib kifa’i bila terkait dengan orang tua.
Sedangkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang sudah disinggung di muka, ibadah jihad lebih didahulukan daripada ibadah haji dengan menggunakan kata tsumma. Kata ini ditetapkan untuk menunjuk makna urutan (tartîb). Kata tsumma di sini menunjuk pada makna urutan dalam penyebutan (littartîb fî adz-dzikr); seperti dalam firman Allâh:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ﴿١١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ
Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar; Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, (Al-Balad/ 90: 11-13); sampai pada firman-Nya:
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman… [Al-Balad/ 90: 17].
Dan tentunya sudah dimaklumi bahwa yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah bukan urutan dalam perbuatan (yang dimaksudkan bukan ia membebaskan budak, memberikan makan, baru kemudian ia menjadi orang beriman, namun tsumma di sini hanya untuk urutan penyebutan saja, bukan urutan waktu). Seorang penyair mengatakan,
قُلْ لِمَنْ سَادَ ثُمَّ سَادَ أَبُوهُ … ثُمَّ قَدْ سَادَ قَبْلَ ذَلِكَ جَدُّهُ
Katakanlah kepada orang yang telah berkuasa, juga  telah berkuasa ayahnya…. pun telah berkuasa pula sebelum itu kakeknya
(bukan diartikan kemudian berkuasa pula ayahnya, kemudian sebelum itu berkuasa pula kakeknya)
Mengenai didahulukannya jihad sebelum haji dalam hadits di atas, al-Qadhi Iyâdh memberi jawaban, bahwa itu ketika awal masa Islam. Kala itu, ikut jihad lebih utama; berbeda dengan keadaan sekarang ini.
Yang dimaksud dengan jihad adalah jihad yang harus dilakukan oleh individu pada waktu penyerangan atau mobilisasi perang; maka itu lebih didahulukan daripada haji; karena di dalamnya terkandung kemaslahatan umum bagi kaum Muslimin.
Dan perlu untuk diketahui, bahwa ibadah itu terbagi dalam dua kategori:
  • Ada ibadah yang esensi dari ibadah tersebut memang menjadi tujuan.
  • Ada ibadah yang menjadi perantara (wasîlah) untuk amalan ibadah lainnya. Dan keutamaan wasîlah sesuai dengan amalan yang menjadi tujuan dari wasîlah Jihad adalah wasîlah untuk memproklamirkan iman dan menyebarkannya, serta memadamkan dan mengenyahkan kekufuran. Maka keutamaannya pun menjadi agung karena agungnya maksud dari jihad tersebut yaitu Iman.
CATATAN:
Yang tampak kuat mengenai urutan amalan-amalan tersebut adalah –wallâhu a’lam– bahwa iman merupakan amalan yang paling utama, kemudian shalat, mengingat ia adalah indikasi terbesar dari suatu keimanan; kemudian puasa, lalu haji, setelah itu jihad, dan kemudian zakat. Kalau menurut qiyâs (analogi), seharusnya jihad berada setelah Iman. Karena jihad adalah wasîlah menuju diproklamirkannya Iman. Dan memang jihad telah datang dalam riwayat di mana disebutkan bersamaan dalam urutan Iman; yaitu: “Iman kepada Allâh dan jihad di jalan-Nya.” Sedangkan bakti (kepada orang tua) didahulukan atas jihad dalam hadits yang kita bahas di atas, untuk menunjukkan betapa agung kedudukannya.
Al-Qarâfi menegaskan bahwa haji lebih utama daripada jihad, seperti yang telah kami sebutkan. Karena haji menjadi tuntutan semua individu mukallaf (yaitu bagi yang mampu); berbeda dengan jihad yang menjadi tuntutan sebagian mukallaf saja. Juga karena maslahat jihad tidak berulang-ulang, berbeda dengan kemaslahatan haji.
Dua Faidah Berharga Terkait Jihad:
A. Jihad mencakup hak Allâh, hak Rasul-Nya dan hak kaum Muslimin.
1. Adapun terkait hak Allâh, karena jihad menghapuskan kekufuran dari hati dan lisan, serta menghancurkan tempat-tempatnya.
2. Syahadat dengan mempersaksikan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa risalah-Nya, dan menyambut seruan dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
3. Membela kaum Muslimin, anak-anak, istri dan harta mereka, serta mendapatkan ghanîmah untuk mereka serta memperoleh kemenangan atas musuh.
B. Shalat juga kombinasi dari hak Allâh, seperti niat, takbir dan lainnya; dan hak Rasul seperti bersaksi bahwa   Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pembawa risalah-Nya; serta hak anak Adam, yaitu doa (mendoakan mereka).
C. Faidah ketiga: Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan bakti kepada orang tua pada urutan kedua setelah Shalat; seperti halnya juga disebutkan dalam urutan kedua pada firman-Nya,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, [An-Nisâ’/ 4: 36]
Juga dalam firman-Nya,
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu… [Luqmân/ 31: 14]
8. Ucapan perawi:
حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan itu semua kepadaku
Seolah-olah itu adalah penetapan dan penegasan atas apa yang telah disebutkan (di awal hadits). Karena tidak diragukan bahwa lafaz yang pertama (awal hadits) memberikan makna bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hal tersebut kepadanya. Dan ini adalah level tahammul (keadaan seorang perawi menerima atau mendapatkan suatu hadits dari gurunya) yang paling tinggi.
9. Ucapan perawi:
وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Sekiranya aku meminta tambahan (menambah pertanyaan), pastilah Beliau akan memberi jawaban tambahan
Ini mengenai perawi, sekiranya meminta tambahan, bisa saja makna yang ia maksudkan adalah meminta tambahan amalan dari jenis yang disebut dalam pertanyaannya, yaitu tingkatan-tingkatan amalan yang lebih utama dan keutamaan sebagian amalan atas amalan lainnya. Juga mungkin juga makna lain,  yaitu meminta tambahan berbagai perkara amalan yang dibutuhkannya secara mutlak. Ini menunjukkan betapa luas ilmu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya karena khawatir terlalu berpanjang lebar.
10. Di dalam hadits ini terdapat pelajaran perlunya bertanya tentang ilmu dan berbagai tingkatan ilmu terkait keutamaannya.
11. Dari hadits ini bisa disimpulkan bolehnya mengulangi pertanyaan dan permintaan fatwa tentang berbagai permasalahan pada satu waktu bersamaan.
12. Disimpulkan juga betapa tinggi kedudukan seorang alim dan kesabarannya terhadap orang yang bertanya.
13. Disimpulkan pula keutamaan shalat pada waktunya, dan awal waktunya lebih utama sebagaimana yang telah disebut di muka. Sedangkan para ahli ra’yi menyelisihi hal ini. Mereka mengatakan bahwa mengakhirkannya hingga akhir waktu itu lebih utama, kecuali bagi orang berhaji; di mana ia mengawalkan Shalat Shubuh pada saat masih gelap pada hari nahr (Idul Adha) di Muzdalifah.
14. Disimpulkan bahwa shalat adalah amalan yang paling utama.
15. Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, dan itu lebih utama dari Jihad dengan memperhatikan syarat-syaratnya.
16. Keutamaan Jihad.
17. Disimpulkan pula harus didahulukannya amalan yang paling penting, kemudian hal penting sesuai dengan level urgensinya.
18. Terdapat catatan bagi penuntut ilmu untuk merealisasikan (dan meneliti) ilmu dan cara mengambilnya.
19. Di dalamnya menunjukkan kedudukan penuntut ilmu di sisi para guru dan kaum cendikia, agar ilmunya diambil dengan penuh penerimaan dan lapang dada serta dengan penuh ketepatan.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diadaptasikan dari Al-I’lâm bi Fawâ’id Umdatil Ahkâm 2/ 212 karya Imam Ibnul Mulaqqin dengan sedikit perubahan.
[2] Mukhadhram adalah orang yang mendapati masa jahiliyyah dan masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dia baru masuk Islam setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat; atau masuk Islam pada saat beliau masih hidup, namun tidak berjumpa dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[3] Yaitu setelah perang berakhir, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapa yang berkenan memeriksa, apa yang diperbuat Abu Jahl?” Lalu para sahabat berpencar mencarinya, dan Ibnu Mas’ud pun mendapati Abu Jahl yang masih ada padanya sisa-sisa akhir nyawanya, bahkan terjadi dialog antara keduanya (pen).
[4] Ketika para sahabat berada di Hira’, Beliau menyebut 10 orang yang dijanjikan Surga: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Az-Zubair, Abdurrahman Bin Auf, Sa’d Bin Malik, Sa’id Bin Zaid, dan Abdullah Bin Mas’ud; semoga Allâh meridhai mereka. Al-Istî’âb 1/ 593. Dalam riwayat-riwayat yang biasa dikenal, Ibnu Mas’ud tidak disebutkan bersama mereka, yang disebutkan adalah Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah.
[5] Dalam Ihkâm al-Ahkâm hal 165 dikatakan: amalan di sini (dalam hadits di atas), tampaknya dibawa pada makna amalan-amalan badan, seperti yang dikatakan para fuqaha (ahli fiqh): ibadah badan yang paling utama adalah Shalat. Lihat juga Hâsyiyah Ash-Shan’âni atas Ihkâm al-Ahkâm 2/ 7.
[6] HR. Al-Bukhâri dalam al-Îmân bab Mân Qâla: al-Îmân Huwal ‘Amal. Juga dalam al-Hajj al-Mabrûr. Dan Muslim dalam al-Îmân bab Kaunil Îmân Billâh Ta’ala Afdhalul A’mâl.
[7] Al-Bukhâri dalam al-‘Itqu, Muslim dalam al-Îmân Billâh Ta’ala Afdhalul A’mâl.
[8] Al-Bukhâri al-Îmân bab Ith’âm ath-Tha’âm Minal Islâm no 12.
[9] Al-Bukhâri al-Îmân bab Ayyul Islâm Afdhal no 11.
[10] Al-Bukhâri dalam Fadhâ’il al-QURÂN bab Khairukum Man Ta’allamal Qurân, Abu Daud 1452, At-Turmudzi 2909.
[11] Lihat Dha’îf al-Jâmi’ 2689; dan hadits ini lemah. Ada hadits-hadits lain yang senada, namun Syaikh Al-Albâni menilainya dha’if. Dha’îf al-Jâmi’ 2691, 4666.
[12] At-Tirmidzi dan ad-Dârimi dari Aisyah, dan Ibnu Mâjah dari Ibnu Abbâs. al-Albâni berkata dalam (Takhrîj) Misykât al-Mashâbîh 2/971, isnadnya shahih.
[13] Shahîh Muslim 2552.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top