Hadits 66 

"Domba berumur satu tahun boleh dijadikan kurban."

Hadits ini dha'if. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/275, Baihaqi dan Imam Ahmad dari sanad Muhammad bin Abu Yahya, dari ibunya, dari Ummu Bilal binti Hilal, dari ayahnya.

Sanad tersebut sangat lemah karena Ummu Muhammad dan Ummu Bilal adalah majhul (asing) Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Hazem dalam al-Muhalla VII/365.

Pernyataan Ibnu Hazem tersebut ditanggapi oleh ad-Dumairi dengan menyatakan, "Ibnu Hazem benar dalam mendha'ifkan Ummu Muhammad. Namun dalam menilai dha'if terhadap Ummu Bilal ia salah, sebab Ummu Bilal dikenal di kalangan sahabat seperti disebutkan oleh Ibnu Mundih dan Abu Naim serta Ibnu Abdil Bar."

Menurut saya, yang benar adalah Ibnu Hazem, sebab Ummu Bilal tidak dikenal kecuali dalam riwayat ini. Di samping itu, tidak ada kejelasan bahwa dia telah bergaul dengan sahabat. Jadi dalam sanadnya ada kemajhulan.

Ringkasnya, hadits riwayat di atas tidak sahih. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Nasa'i dan Hakim serta Imam Ahmad dari sanad Ashim, dari ayahnya, dari sanad Jabir bin Abdilah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, adalah sahih. Karena itu, hendaknya kita mengamalkan hadits yang lebih sahih dalam bab ini.

Hadits 67

"Barangsiapa pada shalat fajar membaca surat Alam Nasyrah dan Alam Tara Kaifa, maka ia tidak akan terkena penyakit opthalmia (radang mata)."

Hadits di atas tidak ada sumbernya. As-Sakhawi berkata bahwa itu hadits palsu dan tidak ada sumbernya sama sekali, baik yang dimaksud di sini adalah shalat subuh maupun shalat sunnah sebelum subuh. Riwayat ini jelas bertentangan dengan sunnah yang terbukti kesahihannya bahwa Rasulullah saw. dalam shalat sunnah sebelum fajar membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas. Sedang dalam shalat (fardu) subuh beliau membaca lebih dari enam puluh ayat.

Yang berkeinginan lebih luas mengetahui bagaimana shalat Rasulullah saw. hendaknya merujuk buku kami yang sengaja kami susun dari kumpulan hadits-hadits sahih dengan judul Sifat Shalat Rasulullah.

Hadits 68 

"Hendaknya surat Innaa anzalnaahu dibaca setiap usai berwudhu."

Menurut as-Sakhawi riwayat ini tidak ada sumbernya. Kemudian ia berkata, "Saya melihat kalimat tersebut dalam mukadimah yang dinisbatkan kepada Imam Abi Laits. Tampaknya kalimat tersebut dimasukkan orang lain. Dan ini berarti telah menghilangkan sunnah nabawiyah."

Menurut saya, maksudnya adalah menghilangkan doa yang disunnahkan untuk dibaca setiap usai berwudhu, yaitu: Asyhadu an laa ilaaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluhu. Wahai Allah, jadikanlah diriku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah diriku termasuk golongan orang-orang yang suci (HR. Muslim, dan lain-lainnya.)

Hadits 69

"Mengusap leher waktu berwudhu dapat menyelamatkan dari belenggu pada hari kiamat kelak."

Ini hadits maudhu'. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab I/465, berkata, "Ini adalah hadits maudhu' dan bukan dari sabda Rasulullah saw.

Ibnu Hajar dalam kitab Talkhish al-Habir I/433, berkata, "Abu Muhammad al-Juwaini menyatakan bahwa para pakar hadits tidak meridhai dan tidak menerima sanadnya."

Menurut saya, semua hadits tentang keharusan membasuh leher saat berwudhu adalah munkar. Di samping lemahnya sanad dan kemajhulan perawinya, juga sangat jelas hal itu bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah saw. berwudhu, yang tidak satu pun di antaranya menyebutkan bahwa beliau mengusap lehernya tatkala berwudhu.

Hadits 70 

"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."

Ini hadits maudhu' yang telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.

Ada kemusykilan dalam riwayat ini. Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh. Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadits maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.

Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadits tersebut sebagai hadits maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadits itu.

Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim.

Menurut saya, hadits tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."

Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya.


Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top