13 - وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ، وَاللَّفْظُ لَهُ.

13. Dari Abu Waqid Al Laitsi ia berkata, Rasulullah bersabda, 

Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup adalah bangkai.” 

(HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, ia menghasankannya, dan lafazh tersebut miliknya)

[Shahih: Shahih Al Jami' 5652]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Biografi Perawi

Menurut salah satu riwayat, nama Abu Waqid adalah Al Harits bin Auf. Dikatakan bahwa ia ikut perang Badar. Ada yang berpendapat bahwa dia termasuk orang yang masuk Islam pada penaklukan Makkah. Pendapat yang pertama lebih kuat. Meninggal tahun 68 atau 65 H di Makkah. Al Laitsi adalah nisbat kepada Al Laits dari Bani Amr dari Laits.

Penjelasan Kalimat

Apa saja yang dipotong dari hewan (dalam Al Qamus, (الْبَهِيمَةُ) adalah setiap hewan yang berkaki empat meskipun hidup di air atau setiap yang hidup dan tidak berakal. Dan (الْبَهِيمَةُ) adalah anak domba dan kambing, sepertinya yang dimaksud di sini adalah yang terakhir sebagaimana yang akan diterangkan). yang masih hidup (yakni hewan yang dipotong itu) adalah bangkai.”
Dikeluarkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi dan ia menghasankannya, yakni ia berkata, “Sesungguhnya hadits itu hasan.” Definisi hasan telah disebutkan pada definisi hadits shahih yang lalu.

Tafsir Hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dipotong dari tubuh hewan yang masih hidup adalah bangkai yang diharamkan. Latar belakang hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan (الْبَهِيمَةُ) adalah binatang berkaki empat. Yaitu makna yang pertama lantaran disebutnya unta padanya, bukan makna yang terakhir yang disebutkan oleh Al Qamus. Akan tetapi dikhususkan dengan apa yang dikecualikan berupa ikan meskipun berkaki empat. Atau yang dimaksudkan adalah makna yang pertengahan, yaitu setiap yang hidup dan tidak berakal lalu dikhususkan belalang dan ikan darinya, dan apa yang telah disebutkan yang tidak memiliki darah yang mengalir.

===============



Fawaid hadits:

1. Bagian tubuh hewan yang terputus dari hewan yg masih hidup adalah bangkai yang tidak halal di makan.

Dan ini adalah kesepakatan ulama sebagaimana yg dikatakan oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.

2. Dikecualikan darinya adalah tempat misik yang ada pada binatang kijang, karena suci berdsarkan sunnah dan ijma’ ulama.
==============================

Takhrijul Hadits.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (No.: 2858), At Tirmidziy (No.: 1480) dan Ahmad (5/218), semuanya dari jalan Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atho bin Yasar, dari Abi Waaqid (seperti di atas).
Dalam riwayat Tirmidziy dan Ahmad, Abu Waaqid menjelaskan: Bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka biasa memotong buntut-buntut kambing dan punuk-punuk onta (yang masih hidup), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti di atas.
Sanad hadits ini hasan, sebagaimana dihasankan at-tirmidzi; karena Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar seorang rawi yang benar akan tetapi terdapat kelemahan di dalam hafalannya yang menurut istilah Al Hafizh di “Taqrib”nya “Shaduqun yukhthi’u” (orang yang benar tetapi suka salah). Rawi yang seperti ini haditsnya tidak turun dari derajat hasan. Sedangkan hadits di atas apabila ditinjau dari jurusan matannya shahih karena telah ada syawaahid dari beberapa orang sahabat sebagaimana telah dijelaskan oleh Shan’aniy di Subulus Salam dan Al Albani di Shahih Jaami’ush Shaghir (No.: 5528).
Telah ada hadits ini dari jalan periwayatan Abdullah bin Ja’far dari Zaid bin Aslam seperti dikeluarkan imam al-Hakim 4/123-124) dan berkata: Shahihul isnad. Namun dibantah adz-Dzahabi, karena adz-Dzahabi memasukkan Abdullah bin Ja’far dalam perawi-perawi lemah, beliau nyatakan: (ضَعَّفُوْهُ) Mereka melemahkannya.
Hadits ini diriwayatkan oleh empat orang sahabat, mereka adalah Abu Waqid al-Laitsi, Abu Sa’id al-Khudri, Ibnu Umar dan Tamim ad-Daarie. Juga ibnu hajar dalam at-taqrieb menyatakan: Dha’if. Namun walaupun demikian ditambah dengan jalan pertama maka jalan periwayatan ini bisa menjadi kuat. Memang Abdurrahman bin Abdillah bin Dinaar lebih baik keadaannya dari Abdullah bin Ja’far anak dari Ali bin al-Madini. Sebab ibnu Dinar masih digunakan imam al-Bukhori dalam kitab Shahihnya.
Adapun jalan periwayatan dari Abu Sa’id al-Khudri dikeluarkan imam al-Haakim 4/239 dari jalan Abdulaziz bin Abdullah al-uwais dari Sulaiman bin Bilaal dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha bin Yasaar dari Abu Sa’id al-Khudri. Al-Haakim menyatakan: Hadits ini shahih atas syarat al-Bukhori dan Muslim. Imam adz-Dzahabi mendiamkannya dan Syeikh al-Albani memberikan komentar: al-Uwaisi tidak pernah digunakan imam Muslim dalam shahihnya, sehinga hadits hanya atas syarat al-Bukhori saja. Beliau perawi tsiqat sehingga sanadnya shahih.
Demikian juga imam ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Atsar 4/238 dari jalan Sulaiman bin Bilaal dari Zaid bi Aslam dari ‘Atha secara mursal. Juga Abdurrahman bin Mahdi –sebagaimana dalam al-Mustadrak  meriwayatkannya 4/138- dari Zaid bin Aslam dari Nabi secara mursal. Hal ini dikuatkan juga oleh Ma’mar seperti dalam Mushannaf Abduurazak 4/494 . Imam ad-daraquthni berkata dalam al-‘ilal 11/260 : al-mursal lebih benar.
Sedangkan hadits Ibnu Umar dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausaath dan ada perawi lemah namanya ‘Ashim bin Umar.
Juga hadits Tamiem diriwayatkan Ibnu Majah dan ath-Thabrani dan sanadnya lemah. (at-Taudhih 1/150).
Oleh karena itu syeikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih al-Jaami’ Ash-Shaghir no. 10589 dan shahih Sunan Abi dawud no. 2858. Walahu A’lam.
Pengertian Hadits
Hadit ini menjelaskan bahwa semua bagian tubuh hewan yang terpisah darinya dalam keadaan hewan tersebut hidup dihukumi bangkai, sehingga hukumnya adalah hukum bangkai. Apabila bangkai hewan tersebut haram maka haram hukumnya dan bila halal maka halal hukumnya. Contohnya ikan, apabila dipotong sebagian dagingnya sebelum mati maka hukum daging tersebut halal karena bangkai ikan halal.
 Fiqih Hadits:
  1. Yang dipotong dari binatang yang hidup masuk kedalam hukum bangkai dan hukumnya haram. Ini adalah kaedah penting yang ditetapkan para ulama dan disepakati oleh mereka. Syeikul Islam menyatakan: Ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. (lihat at-taudhih 1/151).
  2. Larangan memotong bagian tubuh hewan ternak, karena berisi penyiksaan dan karena akan menjadi bangkai.
  3. Larangan memakan bagian yang dipotong sebelum hewan mati, karena itu adalah bangkai.
  4. Keumuman hadits ini dikhususkan dengan hewan yang bangkainya suci dan rambut atau bulu, apabila dipotong tidak dengan akar atau pokoknya.
  5. Kebanyakan ulama seperti Abu dawud, at-tirmidzi dan lain-lainnya menyampaikan hadits ini pada kitab al-Ath’imah wash-Shaid. Nampaknya hadits ini dikeluarkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar untuk menjelaskan bahwa semua yang terpotong tersebut seandainya jatuh diair atau selainnya, maka hukumnya bagian yang terpisah tersebut adalah najis seperti bangkai yang najis lainnya. Dengan demikian, bila tercampur dengan air maka dilihat kembali airnya, bila berubah salah satu sifatnya atau lebih maka hukumnya air najis. wallahu a’lam.
*** Masaail Fikih***
Hukum Najisnya Bangkai.
Para ulama bersepakat (ijma’) tentang kenajisan bangkai, lemak dan darah dari semua hewan yang dimakan dagingnya. Apalagi hewan yang dilarang memakan dagingnya dan tidak ada perbedan diantara ulama tentang hal tersebut (ijma’ ini dinukil imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 2/562, ibnu Hazm dalam Maraatib al-Ijma’ hlm 23, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahidin 1/73 dan selain mereka.
Kemudian para ulama berselisih pada bagian tubuh yang keras dan kering seperti tulang, gigi, tanduk dan rambut dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama: Semua bagian dari bangkai adalah najis tanpa ada rincian kecuali rambut manusia. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 1/291) dan satu riwayat dari Ahmad bin Hambal (al-Inshaaf 1/92).
Mereka berdalil dengan beberapa dalil berikut:
  1. Firman Allah Ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, (Qs al-Maidah/5:3)
tulang termasuk bagian bangkai.
  1. asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm 1/23 : Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa beliau mendengar ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma melarang memakai minyak dari tulang gajah; karena itu adalah bangkai. imam asy-Syafi’i tidak menyebut perantara antara beliau dengan Abdullah bin Dinar dan ternyata beliau meriwayatkannya dari Ibrahim bin Muhammad bin Abi yahya dari Abdullah bin Dinaar, sebagaimana disampaikan al-baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 1/26 dan Ibrohim ini matruk (ditinggal hadits-haditsnya).
  2. Tulang juga mengalami kehidupan sehingga menjadi najis dengan kematian, Allah berfirman:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (Qs Yasin/36 : 78).
Juga karena dalilnya kehidupan adalah merasakan sesuatu dan merasakan sakit dan sakit pada tulang lebih daripada di daging. Gigi bisa merasa sakit dan merasakan dinginnya air dan panasnya. Semua yang bisa mati akan menjadi najis dengan kematian seperti juga daging.
Pendapat kedua: Semua tulang, bulu, rambut, gigi, tanduk dan sejenisnya adalah suci. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah (lihat Bada’i ash-Shana’i 1/63), Dawud azh-Zhahiri (lihat Ahkaam al-Qur`an karya al-Jashshash 1/70 dan riwayat dari Ahmad dan Malik. Pendapat ini dirojihkan Ibnu Taimiyah (lihat Majmu’ al-Fatawa 21/100) dan beliau nisbatkan kepada mayoritas ulama.
Dalil pendapat ini adalah:
1. firman Allah Ta’ala:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). (QS an-Nahl/ : 80).
Ini umum dalam segala keadaan baik diambil sebelum mati atau setelah mati.
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Maimunah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” أَلَا نَزَعْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ ؟ ” . قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ : ” إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا ” .
Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Tidakkah kalian lepas kulitnya, lalu kalian samak dan manfaatkan? mereka menjawab: Wahai Rasulullah, ini adalah bangkai. Beliau menjawab: Yang diharamkan adalah memakannya. (muttafaqun ‘alaihi).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membatasi pengharamannya pada memakannya bukan yang lainnya. Sudah jelas sunnah Nabi menjelaskan al-Qur`an sehingga larangan bangkai dalam al-Qur`an difahami haram untuk dimakan dengan petunjuk hadits ibnu Abbas ini.
3. Hukum asal pada sesuatu adalah suci. pendapat yang menyatakan najisnya harus memberikan dalil dan tidak ada dalil yang shahih pada yang berpendapat kenajisannya.
4. Analogi (qiyas) kepada rambut yang diambil dari hewan ketika masih hidup. Apabila rambut yang diambil dari hewan ketika masih hidup adalah suci maka rambut setelah hewannya mati adalah suci.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa 21/98: Para ulama sepakat menyatakan rambut dan bulu wol apabila dicukur dari hewan adalah suci. Seandainya rambut itu adalah bagian dari hewan tentulah tidak diperbolehkan mengambilnya ketika masih hidup.
5. Imam al-Bukhari menyampaikan pernyataan imam az-Zuhri tentang tulang hewan yang mati seperti gajah dan sebagainya: Aku mendapati orang-orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan menggunakannya untuk minyak tanpa memandangnya masalah. (ihat Fathul Baari 1/408).
Pendapat ketiga: memerinci. Mereka ini terbagi dalam tiga pendapat:
1. Membedakan antara rambut dan tulang. Tulang, tanduk, kuku dan sejenisnya adalah najis sedangkan rambut dan bulu, wol dan sejenisnya adalah suci. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Malikiyah dan riwayat dari Ahmad (lihat al-Fatawa al-kubra 1/263) . al-Qaadhi Abu Thayyib menceritakan bahwa ini adalah madzhab Umar bin Abdilaziz, al-hasan al-bashri, Ishaaq, al-Muzani dan ibnul Mundzir. (lihat al-Majmu’ 1/236 dan al-Ausaath 2/283).
2. Apabila hewannya suci ketika hidup walaupun tidak boleh dimakan dagingnya, maka rambutnya suci dan bila hewan yang najis maka rambutnya ikut kepada hukum hewan tersebut. Ini yang masyhur dari mazdzhab Hanabilah. (Majmu’ al-Fatawa 21/617).
3. Menjadi najis dengan kematian dan dapat disucikan dengan dicuci. (lihat at-tamhid 9/52 dan al-Majmu’ 1/236).
 Pendapat yang rojih adalah pendapat yang kedua karena kuatnya dalil mereka. Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top