Dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (7115)
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ ، عَنِ الْأَعْرَجِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ ، فَيَقُولُ : يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ “
Ismail menuturkan kepadaku, Malik menuturkan kepadaku, dari Abu Zinad, dari Al A’raj, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “tidaklah terjadi kiamat hingga ketika seseorang melewati kuburan orang lain ia akan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’
hadits ini juga dikeluarkan oleh Muslim (157), Ahmad (2/530), Malik (1/239), Ibnu Hibban (6707) dan yang lainnya.

Derajat hadits

Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah, dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim.

Faidah hadits

  1. Tidak terjadi kiamat hingga banyak orang yang menginginkan kematian. Alim-laf pada kalimat يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ adalah alif-lam istighraqiyyahyang menunjukkan keumuman. Sehingga pada waktu itu umumnya orang-orang terbesit keinginan untuk mati.
  2. Betapa dahsyatnya cobaan di akhir zaman sampai-sampai orang-orang lebih mengidamkan mati daripada hidup merasakan beratnya cobaan
  3. Keinginan untuk mati yang dimaksud dalam hadits ini adalah ingin mati karena berat dan pedihnya cobaan terkait perkara duniawi ketika itu. Bukan menginginkan mati karena khawatir agamanya rusak atau karena rindu ingin bertemu dengan Allah.
    Hal ini ditunjukkan oleh ziyadat (tambahan) pada riwayat lain dari hadits ini. Dalam riwayat Ahmad,
    لا تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَمُرَّ الرجلُ بِقبرِ الرجلِ ، فيقولُ : يا لَيْتَنِي مكانَهُ ، ما بهِ حُبُّ لِقَاءِ اللهِ عزَّ وجلَّ
    tidaklah terjadi kiamat hingga ketika seseorang melewati kuburan orang lain ia akan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’. ia mengatakan demikian bukan karena rindu ingin bertemu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla
    Dalam riwayat Muslim,
    والَّذي نفسي بيدِهِ لا تذهَبُ الدُّنيا حتَّى يمرَّ الرَّجلُ علَى القبرِ فيتمرَّغُ عليهِ ويقولُ يا ليتَني كنتُ مَكانَ صاحبِ هذا القبرِ . وليسَ بهِ الدِّينُ إلَّا البلاءُ
    Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah hancur dunia hingga hingga ketika seseorang melewati kuburan ia pun meratap dan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya penghuni kubur ini’. ia mengatakan demikian bukan karena agama, melainkan karena beratnya cobaan
    Dalam riwayat Ath Thabrani,
    وَيَقُولُ : يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ ، مَا بِهِ شَوْقٌ إِلَى اللَّهِ ، وَلا عَمِلَ صَالِحًا قَدَّمَهُ ، إِلَّا مِمَّا يَنْزِلُ بِهِ مِنَ الْبَلاءِ
    …seseorang itu berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’. ia mengatakan demikian bukan karena rindu ingin bertemu dengan Allah, bukan juga karena telah mengamalkan amalan shalih, namun karena ia merasakan pedihnya cobaan
  4. Syaikh Al Albani menjelaskan: “makna hadits ini, orang tersebut menginginkan mati bukan karena agama dan bukan karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan karena rindu kepada-Nya. Ia mengatakan demikian karena merasakan cobaan dan ujian yang berat dalam perkara dunia” (Silsilah Ash Shahihah, 2/121)
  5. Bolehnya menginginkan mati, jika karena perkara agama, yaitu karena khawatir agamanya rusak, atau telah mengamalkan amalan shalih lalu khawatir tidak istiqamah sehingga batal pahala amalannya tersebut, atau karena cinta dan rindu ingin bertemu dengan Allah. Syaikh Al Albani menyatakan: “dalam hadits ini juga ada isyarat bolehnya menginginkan mati karena agama. dan tidak bertentangan dengan hadits:
    لا يَتمنَّينَّ أحدُكمُ الموتَ مِن ضُرٍّ أصابَهُ
    janganlah salah seorang dari kalian menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya…
    karena hadits ini khusus tentang menginginkan mati terkait perkara duniawi sebagaimana zhahir-nya” (Silsilah Ash Shahihah, 2/121)
  6. Bolehnya menginginkan mati karena perkara agama, juga ditunjukkan oleh hadits larangan menginginkan mati itu sendiri. Karena di dalamnya terdapat doa kepada Allah agar mematikan orang yang berdoa jika itu baik bagi keselamatan agamanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
    لا يَتمنَّينَّ أحدُكمُ الموتَ مِن ضُرٍّ أصابَهُ ، فإن كانَ لا بدَّ فاعِلًا ، فليقُلْ اللَّهُمَّ أحيِني ما كانتِ الحياةُ خَيرًا لي ، وتوفَّني إذا كانتِ الوفاةُ خَيرًا لي
    janganlah kalian menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya. Jika memang ia benar-benar ingin melakukannya, maka katakanlah: ‘Ya Allah hidupkan aku jika memang hidup itu lebih baik untukku. dan matikanlah aku jika memang mati itu baik untukku’” (HR. Al Bukhari 5671).
  7. menginginkan mati karena perkara agama adalah hal yang dilakukan sejumlah ulama salaf. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “pendapat bolehnya menginginkan mati jika khawatir akan rusaknya agama dikuatkan oleh sejumlah salaf. An Nawawi berkata: ‘hal tersebut sama sekali tidak dibenci, bahkan melakukannya termasuk mencontoh akhlak para salaf, diantaranya Umar bin Khathab..'” (dinukil dari Silsilah Ash Shahihah, 2/121).
  8. Tercelanya menginginkan mati karena perkara dunia atau terkait cobaan yang bersifat duniawi. Semisal karena sakit, karena kurangnya harta, kurangnya makanan, karena wanita, karena masalah keluarga, karena sulitnya mencari pekerjaan, dan semisalnya.
  9. Rindu ingin bertemu Allah adalah ciri hamba yang dicintai Allah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
    من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ومن كره لقاء الله كره الله لقاءه
    Barangsiapa yang senang berjumpa dengan Allah, Allah pun senang berjumpa dengannya. Barangsiapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya” (HR. Bukhari 6142)
Rujukan utama: As Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Penulis: Yulian Purnama

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top