عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ﴾.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anh berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” 

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini sahih diriwayatkan oleh:
1. al-Bukhari dalam Sahîh-nya Bab Wujûb al-‘Umrah wa Fadhluha (no. 1773) dari jalur Malik bin Anas.[1] 

2. Muslim dalam Sahih-nya pada Bab Fadhl al-Hajj wa al-‘Umrah (no. 437) dari jalur Malik bin Anas.[2] 

3. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya pada Bab Maa Dzukir fi Fadhl al-‘Umrah (no. 933) dari jalur Sufyan al-Tsauri.[3] 

4. al-Nasa’i dalam Sunan-nya pada Bab Fadhl al-Hajj al-Mabrûr (no. 2622) dari jalur Suhail bin Abi Saleh,[4] dan pada Bab Fadhl al-‘Umrah (no. 2629) dari jalur Malik bin Anas.[5] 

5. Ibn Majah dalam Sunan-nya pada Bab Fadhl al-Hajj wa al-‘Umrah (no. 2888) dari jalur Malik bin Anas.[6] 

Mereka semuanya dari Sumaiy dari Abu Hurairah radhiyallahu’anh marfu’an.

MAKNA MUFRADAT
كَفَّارَةٌ (Kaffarah) artinya penebus dosa 

الحَجُّ المَبْرُورُ (al-Hajj al-Mabrur) artinya Haji yang tidak tercampuri dengan dosa,[7] karena al-Mabrur dari kata al-Birr yang artinya ketaatan. Dan ada yang mengartikan sebagai haji yang diterima.[8] 

KEUTAMAAN UMRAH
Dalam hadits di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan umrah dan haji. Yaitu umrah dapat menebus dosa antara dua umrah. Penebus dosa semacam ini digolongkan oleh para Ulama dalam kategori amal shaleh atau ketaatan. Akan tetapi amal shaleh tersebut menurut Jumhur ahlus sunnah hanya dapat menebus dosa kecil saja, itupun dengan syarat menjauhi dosa-dosa besar.[9] Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadis, diantaranya :

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu, dan Jum’at satu ke Jum’at lainnya, dan Ramadhan satu ke Ramadhan lainnya adalah penebus dosa antara kesemuanya itu selagi seseorang menjauhi dosa-dosa besar.[10] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا، إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ»

Tidaklah seorang Muslim kedatangan waktu shalat fardhu kemudian ia membaguskan wudhunya, membaguskan khusyuknya dan rukuknya kecuali hal itu sebagai penebus dosa yang telah ia lakukan sebelumnya selagi ia tidak melakukan dosa besar, dan penebusan dosa itu berlangsung sepanjang zaman.[11] 

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Semua dosa itu dapat diampuni dengan sebab amal shaleh kecuali dosa besar karena dosa besar itu hanya dapat ditebus dengan taubat.

Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata, “Ampunan yang disebutkan dalam hadis ini adalah selagi yang bersangkutan tidak melakukan dosa besar dan ini adalah pendapat ahlus sunnah, dan dosa besar itu hanya dapat ditebus dengan taubat atau rahmat dan keutamaan dari Allâh ta'ala.[12] 

Kemudian ada satu pertanyaan, “Jika seseorang tidak memiliki dosa kecil, karena dosa-dosa kecilnya telah tertebus dengan amal saleh lainnya seperti shalat lima waktu, Jum’at, puasa Arafah dan lain-lain, dosa apakah yang akan ditebus oleh umrah tersebut ?” 

Jawabannya adalah, “Jika seseorang tidak memiliki dosa kecil dan dosa besar, maka umrah satu ke umrah lainnya tersebut dicatat sebagai amal shaleh yang dengannya derajat seorang hamba menjadi tinggi. Dan jika ia tidak memiliki dosa kecil akan tetapi memiliki dosa besar maka diharapkan semoga dapat meringankannya.”

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh as-Suyuthi rahimahullah pada salah satu faidah yang beliau rahimahullah nukil dari Imam Nawawi rahimahullah bahwasannya jika ada yang mengatakan, “Jika wudhu itu penebus dosa maka dosa apa yang akan ditebus oleh shalat ? Dan jika shalat itu penebus dosa maka dosa apa yang akan ditebus oleh puasa Arafah, puasa ‘Asyura’ dan ucapan amin seorang Makmum yang bertepatan dengan ucapan amin Para Malaikat ? yang mana semua itu adalah penebus dosa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi. Maka jawabannya adalah sebagaimana jawaban para Ulama yaitu semua amal shaleh itu adalah penebus dosa kecil jika dosa itu ada pada diri seorang hamba, dan jika pada dirinya tidak terdapat dosa besar atau kecil, maka semua amal shaleh itu ditulis sebagai kebaikan yang dengannya derajat seorang hamba ditinggikan, dan jika pada dirinya tidak ada dosa kecil, akan tetapi terdapat dosa besar maka kami berharap dapat memperingannya.[13] 

Kemudian apakah wujud penebusan dosa tersebut berupa penambahan berat timbangan kebaikan nanti pada hari kiamat atau penghapusan dosa ? 

Jawabannya adalah penebusan dosa tersebut berupa penghapusan dosa, sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits lain bahwa amal kebaikan itu dapat menghapus dosa seorang hamba. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Dan iringilah perbutan jelek dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik tersebut akan menghapusnya.[14] 

Seorang hamba ketika meninggalkan dunia ini dalam keadaan berbeda-beda, ada yang tidak memiliki dosa sama sekali, karena ia telah diberi taufik oleh Allâh Azza wa Jalla untuk melakukan amal shaleh dan bertaubat kepada-Nya dari semua dosa-dosa besarnya, ada pula yang membawa amal shaleh dan membawa dosa besar selain syirik. Jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki pengampunan maka dosa besar seorang hamba akan diampuni-Nya, dan jika tidak, maka Allâh Azza wa Jalla akan melakukan timbangan amal untuk menentukan salah satu dari keduanya mana yang berat. 

Oleh karena itu hendaknya seorang Muslim senantiasa waspada ! Jika ia terjatuh kedalam kubangan dosa kecil maka hendaknya ia segera melakukan amal shaleh agar dosa akibat perbuatannya itu terhapus dengan amal shaleh yang dilakukannya. Sedangkan, jika ia terjatuh pada kubangan dosa besar maka hendaknya ia segera bertaubat sebelum ia lupa dan sebelum datang kematian menghampirinya. 

KEUTAMAAN HAJI MABRUR
Dalam hadits di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan keutamaan haji mabrûr yakni haji yang tidak tercampuri dengan dosa. Balasan bagi orang yang hajinya mabrûr tiada lain kecuali surga. Imam Nawawi rahimahullah menambahkan bahwa balasan bagi orang yang hajinya mabrur itu tidak hanya diampuni dosa-dosanya akan tetapi juga dimasukkan ke dalam surga.[15] 

Ada suatu pertanyaan, “Apakah kriteria haji mabrûr itu ? 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan empat kriteria haji mabrûr, yaitu :

1. Ikhlâs karena Allâh Azza wa Jalla, bukan karena riyâ’ seperti ingin mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, dan juga bukan karena sum’ah seperti menceritakan bahwa ia sudah pernah berhaji dengan tujuan agar dipanggil Pak haji atau Bu hajah.

2. Mutâba’ah mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam manasiknya,[16] sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ

Hendaknya engkau ambil dariku tuntunan manasik kalian.[17]

3. Dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram seperti riba, hasil dari perjudian atau hasil dari merampas hak orang lain,[18] atau hasil korupsi dan lain sebagainya, sebagaimana sabda Nabi:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون: 51] وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ "

Wahai manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik pula. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. maka, Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (al-Mu'minûn/23:51). Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ (al-Baqarah/2:172). Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang bepergian dalam waktu lama; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”.[19] 

4. Terbebas dari perbuatan rafats (jima’ atau perkataan dan perbuatan yang mengarah ke sana), dan fusuq (kefasikan), serta jidal (berdebat bukan dalam rangka menegakkan kebenaran).[20] Hal ini sebagaimana penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis belia Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala tanpa berbuat keji dan kefasikan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya”.[21] 

Ulama yang lain menyebutkan bahwa tanda haji mabrur adalah amal perbuatan seseorang setelah menunaikan ibadah haji lebih baik dibandingkan sebelumnya.[22] 


FAWAID DARI HADITS
1. Amal shaleh dapat menebus dosa kecil, dan diantara amalan shaleh itu adalah umrah dan haji.

2. Balasan haji mabrûr selain bisa menebus dosa juga bisa menyebabkan masuk surga.

3. Harta yang halal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan haji mabrûr.

4. Amal shaleh dapat mengangkat derajat seseorang di sisi Allâh Azza wa Jalla .

5. Ikhlas dan mutâba’ah merupakan syarat dasar diterimanya amal shaleh. 

6. Taubat merupakan penebus dosa kecil dan besar.

7. Bagi seorang hamba jika ia terjatuh dalam dosa kecil maka hendaknya ia segera melakukan amal shaleh sebagai kaffarah-nya, dan jika ia terjatuh dalam dosa besar maka hendaknya ia lekas-lekas bertaubat sebelum ia lupa atas dosa tersebut dan sebelum ajal menjemput nyawa. 

8. Seorang Muslim dalam melakukan amal shaleh hendaknya diniatkan untuk menebus dosa, kemudian diniatkan untuk mendapatkan pahala dan ridha Allâh Azza wa Jalla .

9. Wujud dari penebusan dosa bagi seorang hamba adalah terhapusnya dosa hamba yang bersangkutan.

10. Dosa besar selain kesyirikan itu tergantung pada kehendak Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jika Dia menghendaki pengampunan maka diampuni dosa tersebut, dan jika tidak, maka dilakukan hisab.

Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

MARAJI’
• Sahîh al-Bukhâri. Muhammad bin Isma’il. Beirut: Dar Tauq al-Najah, 1422 H. 
• Sahîh Muslim. Muslim bin Hajjaj. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tanpa tahun.
• Sunan al-Tirmidzi. Muhammad bin ‘Isa. Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halabi, 1395 H.
• Sunan al-Nasâ’i. Ahmad bin Syu’aib. Halab: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1406 H.
• Sunan Ibn Mâjah. Muhammad bin Yazid. Tanpa tempat: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun), hal. 964. 
• Kitab al-‘Ain. al-Khalil bin Ahmad al-Bashri. Tanpa tempat: Dar Maktabat al-Hilal, tanpa tahun.
• al-Muhkam wa al-Muhith al-A’dzam. Ibn Sidah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1421 H.
• al-Nihâyâh fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Ibn al-Atsir. Beirut: Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1399 H.
• Tafsîr Gharîb Maa fi al-Shahihain al-Bukhari wa Muslim. Muhammad bin Futuh al-Humaidi. Mesir: Maktabat al-Sunnah, 1415 H. 
• Lawami’ al-Anwâr al-Bahiyyah. Muhammad bin Ahmad al-Sifarini. Damaskus: Muassasat al-Khafiqain wa Maktabatiha, 1402 H.
• al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin Hajjaj. Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1392 H.
• al-Dibaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj. Abdurrahman al-Suyuthi. Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1416 H. 
• Syarh Riyâdh al-Shâlihin. Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin. Riyadh: Dar al-Wathan, 1426 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M.]

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top