Setan itu menyusup pada manusia melalui aliran darahnya. Jika aliran darah ini bisa dipersempit, maka maksiat dan syahwat semakin bisa dikekang. Di antara jalan untuk mengekang syahwat tersebut adalah dengan berpuasa.
 عَنْ صَفِيَّةَ ابْنَةِ حُيَىٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مُعْتَكِفًا ، فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلاً فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ ، فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِى لِيَقْلِبَنِى . وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِى دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، فَمَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَسْرَعَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا سُوءًا – أَوْ قَالَ – شَيْئًا »
Dari Shofiyah binti Huyay, ia berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku mendatangi beliau. Aku mengunjunginya di malam hari. Aku pun bercakap-cakap dengannya. Kemudian aku ingin pulang dan beliau berdiri lalu mengantarku. Kala itu rumah Shofiyah di tempat Usamah bin Zaid. Tiba-tiba ada dua orang Anshar lewat. Ketika keduanya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mempercepat langkah kakinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Pelan-pelanlah, sesungguhnya wanita itu adalah Shofiyah binti Huyay.” Keduanya berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan akhlak mulia dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu lemah lembut pada umatnya. Juga menunjukkan bagaimana perhatian beliau terhadap apa yang maslahat bagi umatnya.
2- Bentuk kasih sayang beliau pada umatnya adalah kekhawatiran beliau jika setan sampai mencelakakan hati-hati mereka.
3- Berprasangka buruk (suuzhon) pada para nabi adalah kufur. Hal ini disepakati oleh para ulama (ijma’).
4- Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang istri mengunjungi suaminya yang sedang beri’tikaf di masjid sebagaimana yang dilakukan Shofiyah binti Huyay pada suaminya, Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kunjungan ini bisa dilakukan di siang atau di malam hari. Dan sama sekali kunjungan tersebut tidak merusak ibadah i’tikaf. Namun hal ini tidak dilakukan sering-sering karena dikhawatirkan kunjungan tersebut bisa mengantarkan pada batalnya i’tikaf seperti jima’ (hubungan intim).
5- Hadits ini juga menunjukkan keharusan menjaga diri dari berprasangka jelek pada orang lain. Hendaknya yang mesti dikedepankan terhadap saudara muslim adalah memberikan ia uzur, bukan mengedepankan sangkaan buruk.
6- Jika seseorang melakukan suatu hal yang bisa dikira orang lain sebagai suatu kemungkaran, maka hendaklah ia beri penjelasan agar orang lain terhindar dari sikap suuzhon (berprasangka jelek).
7- Setiap orang mesti mempersiapkan dirinya dari makar setan. Karena setan itu menyusup pada diri manusia melalui aliran darahnya. Yang dimaksud setan bisa menyusup pada aliran darah -kata Al Qodhi ‘Iyadh- dimaknakan secara tekstual, artinya setan bisa menyusup seperti itu kehendak Allah. Yaitu Allah menjadikan setan punya kekuatan dan kemampuan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darahnya seperti itu.
8- Bolehnya mengucapkan tasbih (subhanallah) karena takjub (merasa heran) atau mengagungkan sesuatu. Seperti terdapat pula pada firman Allah,
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami)” (QS. An Nur: 16).
9- Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya seorang suami yang beri’tikaf berjalan bersama istrinya asal tidak sampai keluar masjid. Dan hadits tersebut tidak menerangkan bahwa Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar dari tempat i’tikafnya yaitu masjidnya.

Referensi:
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H, 14: 140-141.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top