صَلَّيْنَا الْـمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْنَا : لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ : فَجَلَسْنَا، فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: (( مَازِلْتُمْ هَاهُنَا؟ )) قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّـهِ ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْـمَغْرِبَ. ثُمَّ قُلْنَا : نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: ((أَحْسَنْتُمْ ، أَوْ أَصَبْتُمْ)) ، قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّماءِ. وَكَانَ كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ. فَقَالَ: ((اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ)).

Kami shalat Maghrib bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami berkata, ‘Seandainya kita duduk-duduk sampai shalat ‘Isya bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .' Lalu kami duduk sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bertanya, ‘Kalian masih disini ?’ Kami menjawab, ‘Wahai Rasûlullâh, kami telah shalat bersamamu, kemudian kami berkata, kita akan tetap duduk sampai shalat ‘Isya bersamamu.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian bagus atau kalian benar.’ Berkata (shahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu Abu Musa al-Asy’ari), ‘’Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka.'

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2531; Ahmad (IV/398-399); 'Abdu bin Humaid dalam musnadnya (no. 538); Abu Bakar al-Khallaal dalam kitab as-Sunnah (no. 772); al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3861); Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (no. 32964) secara ringkas dari shahabat Abu Musa al-Asy’ari.

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini ash-hâbu artinya para Shahabat. Shahabat adalah orang yang bertemu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Muslim.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Pendapat paling benar yang aku pegang ialah bahwa Shahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal dalam keadaan Muslim. Masuk dalam pengertian ini setiap orang (beriman) yang bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik waktu perjumpaan itu lama maupun sebentar, baik yang meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun yang tidak, yang ikut berperang bersama beliau maupun tidak, yang pernah melihat beliau walau hanya sekali meskipun tidak ikut duduk bersama beliau, dan yang tidak pernah melihat beliau karena suatu penghalang seperti orang yang buta.”[1]

Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa para shahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan Islam meskipun dia pernah murtad dan kembali masuk Islam, seperti asy’ats bin Qais, menurut pendapat yang kuat.[2]

Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Siapa saja dari kalangan kaum Muslimin yang pernah menyertai dan melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia terhitung sebagai shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) berkata, “Shahabat ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau meski hanya satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara langsung, dan tidak termasuk kaum munafik yang telah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik…”[4]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” [al-Baqarah/2:143]

al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit yang terkenal dengan al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah (wafat th. 463 H) membuat pasal khusus di dalam kitabnya “Pujian Allâh dan Rasul-Nya tentang Keadilan Para Shahabat dan Tidak Perlu Ditanyakan Lagi Tentang Mereka. Sesungguhnya yang Wajib Adalah Menanyakan (Memeriksa) Perawi Hadits Sesudah Mereka” kemudian beliau menjelaskan, “...Wajib memperhatikan keadaan para perawi selain shahabat yang meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keadilan para shahabat telah shahih dan telah diketahui melalui pujian Allâh terhadap mereka dan Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kesucian mereka serta Allâh telah memilih mereka berdasarkan nash (dalil) dari al-Qur'ân.” Kemudian beliau rahimahullah membawakan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allâh…“ [Ali ‘Imrân/3:110]

Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan “kamu adalah umat yang terbaik” adalah para shahabat Radhiyallahu anhum . Dan kaum Muslimin sepeninggal mereka akan dikatakan sebaik-baik umat pula apabila mereka mengikuti para shahabat Radhiyallahu anhum .

Selanjutnya beliau mengatakan, “Ayat ini meskipun umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu para Shahabat.”[5]

Dari ayat ini, para ulama Ahli Hadits mengambil kesimpulan bahwa :

اَلصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ

Para Shahabat semuanya adalah adil.[6]

Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil dan tidak ada yang menyalahi (kesepakatan ini), kecuali sedikit dari ahlul bid’ah.”[7]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sisi pengambilan dalil dari hadits (yang ada di awal pembahasan) ini ialah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kedudukan para shahabat bagi orang setelah mereka seperti kedudukan beliau bagi para shahabatnya, dan juga seperti keberadaan bintang bagi langit. Dan telah diketahui bahwa permisalan ini memberikan arti wajibnya umat ini mengambil petunjuk mereka, sebagaimana para shahabat yang telah mengambil petunjuk Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk (jalan/arah) dari bintang. Juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah umat menjadi pelindung umat serta membentengi mereka dari berbagai kejelekan dan sebab-sebab kejelekan[8].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para shahabat adalah hujjah bagi kita dalam memahami Islam. Para Shahabat bagaikan bintang di langit. Dalam al-Qur'ân, bintang memiliki tiga fungsi:

1. Sebagai hiasan langit,
2. Pelempar setan,
3. Petunjuk arah.

Maka para shahabat adalah sebagai:
1. Hiasan bagi umat ini,
2. Pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid’ah,
3. Petunjuk untuk meluruskan pemahaman.

Maka shahabat adalah sebagai pengintai bagi orang-orang jahil yang mentakwil sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , ajaran orang yang bathil, menolak orang-orang yang menyeleweng dan yang melampui batas. Shahabat adalah sebagai mercusuar, apabila kaum Muslimin ingin selamat, maka para shahabat harus dijadikan sebagai rujukan dalam memahami agama Islam ini (atau dengan kata lain kita wajib beragama menurut cara beragama para shahabat Radhiyallahu anhum).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedudukan para shahabat dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para Shahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.

Jelaslah perumpamaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman shahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menjelaskan al-Qur'ân, sedangkan para shahabatnya g adalah penyampai dan penjelas bagi umat. Demikianlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ma’shum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para shahabatnya adil, yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.

Dan demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar setan ketika mencuri kabar sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

ا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ ﴿٦﴾ وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ﴿٧﴾ لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَىٰ وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ ﴿٨﴾ دُحُورًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ ﴿٩﴾ إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan bintang-bintang. Dan Kami telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka, mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan mereka akan mendapat adzab yang kekal, kecuali (setan) yang mencuri (pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala.” [ash-Shâffât/37:6-10]

Dan firman-Nya :

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ

Dan sungguh, Kami menghiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan...” [al-Mulk/67:5]

Demikian juga para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan takwil orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian al-Qur'ân dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok.

Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk.” [an-Nahl/16:16]

Dan firman-Nya :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut...” [al-An’âm/6:97]

Demikian pula para Shahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syubhat dan syahwat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.

Dengan pemahaman para shahabat, kita membentengi al-Kitab dan as-Sunnah dari kebid’ahan setan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan takwilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga pemahaman para shahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah, tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka, dan ini mustahil [9].

Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat banyak ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an-Nisâ'/4:115]

Dan firman-Nya :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allâh, dan Allâh menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]

HUKUM ORANG YANG MENCACI MAKI PARA SHAHABAT
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ

Janganlah kamu mencaci-maki Shahabatku, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, jika seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka infaq hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[10]

Hal ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَـةُ اللهِ، وَالْـمَلَائِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

Barangsiapa mencaci-maki para Shahabatku, maka ia akan terkena laknat Allâh, Malaikat, dan manusia seluruhnya.[11]

Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah (wafat th. 264 H) mengatakan :

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيْقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَنَا حَقٌّ، وَالْقُرْآنُ حَقٌّ، وَإِنَّـمَـا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَإِنَّـمَـا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرِحُوْا شُهُوْدَنَا؛ لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْـجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَـى، وَهُمْ زَنَادِقَةُ

Apabila engkau melihat seseorang mencaci-maki salah seorang shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa ia zindiq. Karena menurut (‘aqidah) kita bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq dan al-Qur'ân itu haq, dan hanya para shahabatlah yang menyampaikan al-Qur'ân ini kepada kita. Mereka hendak mencela saksi-saksi kita (para shahabat) agar dapat membatalkan al-Qur'ân dan as-Sunnah, padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, dan mereka adalah orang-orang zindiq (munafik).[12]

FAWA-ID [13] :
1. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya.

2. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah.

3. Mengikuti manhaj Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat QS. an-Nisâ'/4:115)

4. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.

5. Para shahabat merupakan hujjah bagi ummat Islam dalam memahami agama Islam, karena itu wajib mengikuti pemahaman para shahabat Radhiyallahu anhum .

6. Wajib bagi umat Islam mengikuti cara beragamanya para Shahabat Radhiyallahu anhum.

7. Wajibnya bagi umat Islam mengambil petunjuk para shahabat, sebagaimana mereka yang mengambil petunjuk Nabi mereka shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk dari bintang.

8. Para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan takwil orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang menyimpang.

9. Mengikuti pemahaman salaufus shalih adalah pembeda antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang selamat dan golongan-golongan yang sesat.

10. Mereka yang menyelisihi manhaj para shahabat pasti akan tersesat dalam beragama, manhaj dan aqidah mereka.

11. Para shahabat sebagai pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid’ah.

12. Para shahabat merupakan petunjuk untuk meluruskan pemahaman.

13. Mencintai para Shahabat adalah iman dan membencinya adalah kemunafikan.

14. Dilarang keras mencaci-maki para shahabat.

15. Orang yang mencaci-maki para shahabat akan mendapat laknat Allâh, malaikat, dan seluruh manusia.

16. Hukum mencaci-maki para Shahabat adalah dosa besar dan berhak mendapat hukum dari Ulil Amri.

17. Orang yang mencaci-maki para shahabat adalah zindiq (munafik).

Wallaahu a’lam.

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Ishâbah fî Tamyîzish Shahâbah (I/7).
[2]. Lihat an-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar fii Taudhîhi Nukhbatil Fikr (hlm. 149-150).
[3]. Fathul Bâri (VII/3).
[4]. Al-Ihkâm fii Ushûlil Ahkâm (V/89).
[5]. al-Kifâyah fii Ma’rifati Ushûli ‘Ilmir Riwâyah (I/180) tahqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Mushthafa Alu Bahbah ad-Dimyati.
[6]. Lihat Irsyâdul Fuhûl ilaa Tahqîqil Haqqi min ‘Ilmil Ushûl (I/228) karya Imam asy-Syaukani tahqiq Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il.
[7]. Al-Ishâbah fii Tamyiizish Shahâbah (I/9).
[8]. I’lâmul Muwaqqi’iin (V/575-576).
[9]. Lihat Limâdza Ikhtartu al-Manhajas Salafi (hlm. 94-95)
[10]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud (no. 4658), at-Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 988), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudry z .. Lihat Fat-hul Bâri (VII/34-36).
[11]. Hasan: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (XII/111 no. 12709), dari Shahabat Ibnu ‘Abbas c . Lihat Shahih al-Jâmi’ush Shaghiir wa Ziyâdatuhu (no. 6285) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2340).
[12]. Al-Kifâyah fii Ma’rifati ‘Ilmir Riwâyah (II/188, no. 104).
[13]. Silakan merujuk buku penulis “Mulia dengan Manhaj Salaf”, penerbit Pustaka At-Taqwa-Bogor.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top