PENDAHULUAN

Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran Islam, dan salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepadanya. Sebagimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an-Najm/53:3-4]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ

Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allâh [al-Hasyr/59:7]

Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dilihat dari sisi kodifikasinya maka ia telah dibukukan sejak zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi masih bersifat personal, adapun kodifikasi hadits yang bersifat umum dan resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa Tabiin, tepatnya pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul‘Aziz (w. 101 H). Sedangkan al-Qur’an telah dikodifikasikan secara resmi pada masa sahabat dengan perintah Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Radhiyallahu anhu.

Banyak opini yang menyebar dikalangan sebagian publik akademis bahwa hadits nabi selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang ditransfer dari masa ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan sebagaian Ulama hadits yang menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi hadits adalah Ibn Shihab al-Zuhri (w. 124 H) (setelah mendapat perintah dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz). Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang masa Khatib al-Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibukukan sejak abad pertama hijriyah. Penelitiannya tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Taqyîd al-‘Ilm” .[1]

Pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditulis, banyak data dan fakta yang membuktikan hal itu, diantaranya ;

1. Perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Tidak ada diantara para sahabat nabi yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr karena ia menulis (hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sedangkan aku tidak pernah menulisnya.”[2]

2. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintakan para sahabat untuk menuliskan hadits kepada seorang laki-laki dari negeri Yaman seraya berkata, “Tuliskanlah hadits untuk Abu Shah..”.[3]

3. Adanya penulisan hadits pada Suhuf (lembaran-lembaran), seperti;
a. Lembaran Abu Bakar al-Shiddiq Radhiyallahu anhu yang ada di dalamnya hadits-hadits tentang sedekah.
b. Lembaran Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu .
c. Lembaran ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Dan lain sebagainya.[4]

4. Adanya dorongan untuk menghapal hadits dan menguatkan hapalan tersebut dengan cara menulis hadits terlebih dahulu dan menghapalnya. Setelah mereka hapal dan kuat hapalannya maka tulisan tersebut mereka hapus dengan tujuan agar mereka tidak bergantung dengan tulisan tersebut.[5]

5. Adanya surat menyurat antara mereka dalam menyampaikan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya ; Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu menulis beberapa hadits dan mengirimkannya kepada ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu atas permintaan darinya.[6]

Kemudian datang generasi Tabi’in, pada priode ini hadits dikodifikasikan secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz[7] .

al-Zuhri berkata, “Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepadaku untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu setelah terkumpul aku menulisnya pada beberapa buku, dan beliau mengirimkannya kepada para pemimpin.[8] Pada masa ini pula banyak sahifah (lembaran) yang telah ditulis memuat hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:

a. Shahîfah Sa’id bin Jubair (w. 95 H) murid Ibn ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.

b. Shahîfah Bashir bin Nuhaik ia menulis dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .

c. Shahîfah Mujâhid bin Jabr murid Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.[9]

d. Shahîfah Muhammad bin Muslim bin Tadrus (w. 126 H) murid Jâbir bin ‘Abdillâh Dan lain sebagainya.[10]

Kemudian datang generasi Tabiut Tabi’in. Pada masa ini muncullah mushannafât (buku-buku hadits) yang ditulis oleh para Ulama waktu itu, seperti kitab (buku-buku) al-Muwattha’, Sunan, Musannaf, Jami’[11] dan buku-buku Ajza’.[12]

Pada priode berikutnya yaitu priode Taba’ul Atba’ sekitar abad ke III H, pada priode ini buku-buku hadits ditulis dan dibukukan dengan memiliki corak yang berbeda dengan priode sebelumnya, seperti:

1. Munculnya buku-buku Musnad, seperti Musnad Abu Dâwud al-Thayalisi (w. 204 H), Musnad al-Humaidi (w. 219 H), Musnad Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dan lain-lain.

2. Munculnya buku-buku Jawâmi’, seperti al-Jâmi’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (w. 256 H), al-Jâmi’ karya Imam al-Tirmidzi (w. 279 H) dan lain-lain.

3. Munculnya buku-buku Sunan, seperti al-Sunan karya Imam Abu Dâwud (w. 275 H), al-Sunan karya Imam Ibn Mâjah (w. 273 H) dan lain-lain.

4. Munculnya buku-buku Mukhtalif al-Hadits, seperti ikhtilaful hadits karya Imam Syafi’i (w. 204 H), Ta’wîl Mukhtaliful hadits karya Ibn Qutaibah (w. 276 H), dan lain-lain.[13]

Penulisan hadits tersebut terus berlangsung dari masa ke masa dengan corak yang berbeda-beda hingga pada abad ini.

Dari sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadits diatas dapat diketahui posisi shahîh al-Bukhari (al-Jami’ al-Shahih) karya Imam al-Bukhari. Kitab ini termasuk kitab hadits yang ditulis pada abad ke-3 H.

LATAR BELAKANG PENULISAN SHAHIH AL-BUKHARI
Tidak asing lagi bagi siapa saja yang menulis suatu karya ilmiyah baik sekripsi, tesis maupun desertasi, maka sudah pasti disana ada yang namanya latar belakang masalah. Bagian ini mengungkapkan latar belakang dan segala seluk beluk persoalan yang berkaitan dengan masalah, baik teoritis maupun gejala empiris, yang menjelaskan mengapa masalah itu perlu diteliti atau ditulis. Hal tersebut merupakan bagian dari metode para Ulama sejak dahulu dalam menulis suatu buku atau kitab.

Imam al-Bukhari dalam menulis kitabnya al-Jâmi’ al-Shahîh memiliki tiga hal yang melatar belakangi penulisan buku tersebut, yaitu :

1. Belum adanya kitab hadits yang khusus memuat hadits-hadits shahih dan mencakup berbagai bidang dan permasalahan. al-Hâfidz Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata, “Ketika beliau rahimahullah melihat buku-buku hadits yang ditulis sebelumnya telah memuat bermacam-macam hadits, ada yang shahîh, hasan dan banyak pula yang dhaîf, maka tidak dapat disamakan (atau dijadikan satu) antara hadits dhaîf dengan hadits shahîh, oleh sebab itu beliau rahimahullah tertarik untuk mengumpulkan hadits-hadits shahîh saja.[14]

2. Ada motivasi dari guru beliau rahimahullah yakni Ishak bin Rahuyah rahimahullah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dan keinginannya tersebut menjadi kuat setelah ia mendengar gurunya yang termasuk pakar dalam bidang hadits dan fikih yaitu Ishak bin Rahuyah rahimahullah, ia berkata, 'Andaikata engkau menulis satu buku hadits yang berisikan hadits-hadits shahîh (maka hal itu sangat baik)”. Kemudian Imam Bukhîri rahimahullah berkata, “Perkataan tersebut membekas dalam hatiku, kemudian aku mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam kitab tersebut”.[15]

3. Ada motivasi dari mimpi baiknya. Imam Bukhâri rahimahullah pernah bermimpi bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau rahimahullah berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku berdiri dihadapannya dan mengipasinya, kemudian aku menanyakan mimpi tersebut kepada orang yang ahli menta’bir mimpi, ia menjawab, “Kamu menolak kedustaan yang disandarkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal itulah yang menyebabkan aku menulis al-Jâmi’ al-Shahîh (Shahîh Bukhari).[16]

KRITERIA HADITS SHAHIH MENURUT IMAM AL-BUKHARI
Pada dasarnya kreteria hadits shahih ada dua macam.

Pertama : Kreteria yang muttafaq alaiha yaitu kreteria yang disepakati oleh para Ulama, baik Imam Bukhâri maupun yang lainnya.

Kedua : Keteria yang mukhtalafun fiha yaitu kreteria yang masih diperselisihkan oleh para Ulama.[17]

Kriteria hadits shahîh yang muttafaq ’alaiha ada lima macam, yaitu:

1. Ittishâlus Sanad (sanadnya bersambung). Artinya sebuah hadits dapat dimasukkan dalam kategori shahih jika sanadnya bersambung, yakni setiap perawi benar-benar meriwayatkanya langsung dari gurunya [18], dan gurunya langsung dari gurunya, demikianlah hingga bersambung kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. ‘Adalatur Ruwah (para perawinya adil). Maksudnya perawinya harus seorang Muslim, mukallaf, berakal, baligh, selamat dari kefasikan atau dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil, dan menjaga martabat atau muru’ah.[19] Menjaga muru’ah maksudnya menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak martabat dan menurunkan harga diri seseorang meskipun tidak berdosa secara syara’.

3. Tamâmudh Dhabth. Yaitu super kuat dalam menjaga hafalan dan perawatan naskah. Dhabth ini ada dua macam, yaitu Dhabthu Shadr, maksudnya adalah kuatnya hafalan terhadap hadits yang sudah didengarkan dari gurunya, ia ingat terhadap hapalannya itu kapan saja diperlukan. Dan Dhabtu Kitab, maksudnya adalah sangat berhati-hati dalam menjaga tulisan hadits yang dipelajari dari gurunya, setelah ia mentashihnya, baik dengan cara memperdengarkannya kepada sang guru atau teman seprofesinya, jika ada kesalahan dalam tulisannya, ia segera membetulkannya. Ia menjaganya sampai ia meriwayatkannya kepada muridnya.[20]

4. Ghairu Syadz. Yaitu perawinya tidak bertolak belakang dan bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang semisalnya yang jumlahnya lebih banyak atau lebih tsiqah darinya.[21]

5. Ghairu Mu’allal. Hadits shahîh harus selamat dari `illah qâdihah, yaitu suatu cacat yang tersembunyi dibalik hadits yang dapat merusak keshahîhan hadits tersebut, sekalipun secara dhahir tampaknya tidak ada masalah. [22]

Adapun kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha cukup banyak diantaranya :

• Perawi harus masyhur (terkenal) menurut al-Hâkim

• perawi harus lebih dari satu orang menurut mu’tazilah

• Perawi harus faqih menurut Imam Abu Hanifah

• Pada hadits mu’an’an Imam al-Bukhari mensyaratkan bahwa semua perawi harus bertemu dengan gurunya meskipun satu kali, artinya hadits mu’an’an tersebut masuk kategori hadits shahîh atau muttashil sanadnya, jika memenuhi kreteria-kreteria hadits shahih yang muttafaq alaiha ditambah dengan kreteria lain yaitu semua perawinya harus bertemu dengan gurunya meskipun satu kali, tidak cukup hanya hidup satu masa (mu’ashârah) dan Imkanul liqa’ (memungkinkan bertemu antara keduanya)

• Dan masih banyak lagi kreteria-kreteria lain yang mukhtalafun fiha.[23]

Akan tetapi kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha ini sudah mendapat jawaban dari para Ulama bahwasannya kreteria hadits shahîh yang muttafaq alaiha sudah mewakili kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha. Adapun kreteria yang disyaratkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menurut mereka bukanlah kreteria hadits yang hanya mendapatkan label shahîh akan tetapi merupakan kreteria hadits yang paling shahîh.[24]

Mengenai hadits mu’an’an, jumhur Ulama berpendapat bahwasannya hadits tersebut dapat dikatakan shahîh atau muttashil sanadnya, jika memiliki dua syarat. Pertama; perawi (mu’an’in[25] ) bukan seorang mudallis[26] . Kedua; antara perawi (mu’an’in) dan gurunya (mu’an’an ‘anhu) memungkinkan untuk bertemu dan hidup dalam satu masa (mu’asharah). Adapun Imam al-Bukhari tidak demikian, syarat beliau rahimahullah lebih ketat dibandingkan syarat jumhur, sebagaimana yang tersebut diatas beliau mensyaratkan liqa’ (bertemu antara perawi dan gurunya), oleh sebab itu shahîh al-Bukhari lebih unggul dibandingkan yang lainnya.[27]

Kemudian dalam hal perawi, Imam al-Bukhâri memilih perawi tingkat pertama dalam hal ke-dhabithan dan ke-itqanan (kesempurnaan) serta thûlul mulâzamah (lamanya belajar hadits kepada gurunya) yakni perawi yang sangat kuat hafalannya dan sangat lama ber-mulâzamah kepada gurunya (perawi semacam ini beliau jadikan sebagai inti kitabnya). Kemudian beliau t memilih tingkatan dibawahnya dalam hal itqan dan mulâzamah sebagai ittishâl dan ta’liq ( dan syawahid serta mutaba’ah). Adapun Imam Muslim rahimahullah, murid Imam al-Bukhari rahimahullah, beliau menjadikan tingkatan kedua ini sebagai inti kitabnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hâzimi[28] . Oleh sebab itu shahîh al-Bukhâri secara global lebih unggul dibandingkan shahîh Muslim .

PENUTUP
Sebagai penutup, penulis disini menyebutkan beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari uraian diatas, antara lain:

1. Shahîh al-Bukhâri adalah kitab hadits yang pertama kali memuat hadits-hadits shahîh saja, setelah itu muncul Shahîh Muslim. Dan keduanya tersebut merupakan kitab yang paling shahîh setelah al-Qur’an.

2. Shahîh al-Bukhâri lebih shahîh dibandingkan dengan Shahîh Muslim, karena Syarat Imam al-Bukhâri lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim.

3. Ketatnya syarat Imam al-Bukhâri tampak jelas pada ittishâlus sanad (persambungan sanad) dalam hadits Mu’an’an beliau mensyaratkan liqa’ antara perawi (mu’an’in) dan gurunya (mu’an’an ‘anhu), dan terlihat pula dalam memilih perawi hadits ia memilih perawi peringkat pertama dari sisi dhabth, itqan dan thulul mulazamah.

4. Syarat Imam al-Bukhari dalam shahîhnya jika dibandingkan dengan syarat para penulis kitab sunan, maka sudah jelas syarat Imam al-Bukhari jauh lebih ketat, karena ia hanya memasukkan hadits-hadits shahîh saja sebagai inti kitab, berbeda dengan para penulis sunan, mereka memasukkan bermacam-macam hadits dalam kitab-kitab mereka, ada yang shahîh, ada yang hasan dan ada pula yang dhaif maupun dhaif jiddan.

Ustadz Nur Kholis Bin Kurdian

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Tadwînus Sunnah, Nasy’atuh wa Tatawwuruh, Muhammad bin Matar al-Zahrani, (Madinah; Dar al-Khudairi, 1998), hlm. 74.
[2]. al-Jâmi’us Shahîh, Tahqiq Dr. Musthafa Dib al-Bugha, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), 1/54.
[3]. Ibid. 2/857.
[4]. Tadwînus Sunnah.., al-Zahrani, hlm. 90-91, bittasharruf yasir.
[5]. Taqyid al-‘Ilm, Ahmad bin ‘Ali al-Khatib al-Baghdadi, (t.tp: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1978 M), hlm. 58.
[6]. Lihat al-Musnad, Ahmad bin Hanbal al-Shaibani, 34/421 (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1420 H/1999 M)
[7]. Tadwînus Sunnah wa Manzilatuha, Abdulmun’im al-Sayyid Najm, (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1399 H), hlm. 42.
[8]. Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Yusuf bin Abdillah Ibn Abdil Barr, 1/331 (Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1414 H)
[9]. Tadwînus Sunnah …, al-Zahrani, hlm. 96.
[10]. Buhûts fi Târîkh al-Sunnah al-Musharrafah, Akram Dhiya’ al-‘Umary, (Madinah; Maktabat al-‘Ulum wa al-Hikam, 1994), hlm. 230.
[11]. Buhuts fi Tarikh…,al-‘Umary, hlm. 301.
[12]. Tadwînus Sunnah …, al-Zahrani, hlm. 103.
[13]. Tadwînus Sunnah …, al-Zahrani, hlm. 112. Dengan sedikit tambahan dari penulis.
[14]. Hadyus Sari, Muqaddimah Shahîh Al-Bukhari, Ahmad bin Ali Bin Hajar Al-‘Asqalani, 1/6 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H),
[15]. Ibid. Lihat Tadrîb al-Râwi Shar Taqrîb al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/92 (Riyadh: Dar Taibah, 1422 H). Lihat Tarikh Baghdad, Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, 2/326 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1422 H). Lihat Tarikh Dimasyq, Ali bin al-Hasan terkenal dengan sebutan Ibn ‘Asakir, 52/72 (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H). Lihat Tahdzîb al-Asma’ wa al-Lughat, Yahya bin Syaraf al-Nawawi, 1/74 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th). Lihat Tahdzîb al-Kamal, Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, 24/442 (Beirut: Muassasa al-Risalah, 1400 H). Lihat Siyar A’lam al-Nubalâ’, Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, 10/84 (Cairo: Dar al-Hadits, 1427 H).
[16]. Hadyus Sari ..,al-Asqalani, 1/7. Lihat Tahdzîb al-Asma’…, al-Nawawi, 1/74. Lihat Tadrîb al-Râwi .., al-Suyuthi, 1/92.
[17]. Lihat Tadrîb al-Râwi Syarh Taqrîb al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/61-69 (Riyadh: Dar Thaibah, 1422 H). Dengan diringkas oleh penulis.
[18]. al-Ta’lîqat al-Atsariyah ala al-Mandzûmah al-Baiquniyyah, Ali bin Hasan al-Halabi (Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428 H), hlm. 21
[19]. Dhawabth al-Jarh wa al-Ta’dîl, Abdul Aziz bin al-abdul Latif (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1426 H), hlm. 23.
[20]. Fathul Mughîts Syarh Alfiyatil Hadîts, Muhammad bin Abdurrahman al-Sakhawi, 1/28 (Mesir: Maktabatus Sunnah, 1424 H). Bittasharruf yasir minal katib.
[21]. al-Ta’lîqat al-Atsariyah ala al-Mandzûmah al-Baiquniyyah, Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 21
[22]. Ibid. Lihat Taisir Musthalah hadis, Mahmud al-Thahhan (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), hlm. 99.
[23]. Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/68-69 (Riyadh: Dar Thaibah, 1422 H). Dengan diringkas oleh penulis.
[24]. Ibid.
[25]. Perawi yang menggunakan عن dalam meriwayatkan hadits
[26]. Perawi yang melakukan tadlis
[27]. Lihat Taisir Musthalah hadis, Mahmud al-Thahhan (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), hlm. 87.
[28]. Lihat Syurûth al-Aimmah al-Khamsah, Muhammad bin Musa al-Hazimi (Beirut: Darul Hijrah, 1408 H), hlm. 57-58. Lihat Tadrib al-RawiSyarh Taqrib al-Nawawi, Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, 1/97 (Riyadh: Dar Thaibah, 1422 H).

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top