23 - وَعَنْهُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ:
«لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - أَبَا طَلْحَةَ، فَنَادَى إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ
عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، فَإِنَّهَا رِجْسٌ» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
23. Dan darinya (Anas bin Malik) ia berkata, “Pada waktu
terjadi perang Khaibar, Rasulullah menyuruh Abu Thalhah menyerukan,
‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri
(piaraan), karena sesungguhnya dia itu najis.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 2991, Muslim
1802]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits Anas dalam Shahih Al Bukhari,
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ
فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَفْنَيْت الْحُمُرَ،
فَأَمَرَ مُنَادِيًا يُنَادِي: إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ، فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ
وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِالْحُمُرِ»
“Bahwa seseorang mendatangi Rasulullah lalu berkata,
‘Keledai telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya dan berkata, ‘Keledai
telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya lagi lalu berkata, ‘Keledai telah
musna’. Maka Rasulullah memerintahkan seseorang agar menyerukan,
‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri
(piaraan) karena sesungguhnya dia najis.’ Maka panci-pancipun dibalikkan dalam
keadaan sedang mendidih dengan daging’.”
[Shahih: Al Bukhari
4199]
Larangan dari daging keledai negeri (piaraan) ditegaskan
dalam hadits dari Ali , Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abi Aufa, al
Barra, Abu Tsalabah, Abu Hurairah , Irbadh bin Sariyah, Khalid bin Al Walid,
Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Miqdam bin Ma’dikarib dan Ibnu
Abbas, semuanya ditegaskan dalam buku-buku induk Islam. Dan telah disebutkan
para perawinya dalam Asy Syarh.
Hadits tersebut menunjukkan haramnya daging keledai negeri
(piaraan). Keharamannya adalah pendapat jumhur shahabat, tabiin dan para ulama
setelah mereka berdasarkan dalil-dalil di atas.
Sedang Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai piaraan
tidak haram, disebutkan dalam Shahih Al Bukhari hadits darinya:
لَا أَدْرِي
أَنَهَى عَنْهَا مِنْ أَجْلِ أَنَّهَا كَانَتْ حَمُولَةَ النَّاسِ أَوْ
حُرِّمَتْ؟
‘Aku tidak tahu apakah ia dilarang karena digunakan untuk
mengangkut beban manusia ataukah diharamkan?’
[Shahih: Al Bukhari
4198]
Tidak diragukan lagi kelemahan pendapat ini, karena asal
setiap larangan adalah menunjukkan keharaman meskipun kita tidak mengetahui
Illatnya.
Ibnu Abbas berdalil dengan firman Allah SWT:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ
إِلَيَّ مُحَرَّمًا
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan (QS. Al-An'am [6]: 145),
Karena dia membacanya sebagai jawaban atas orang yang
bertanya kepadanya tentang keharamannya, dan berdasarkan hadits Abu Daud, bahwa
Ghalib bin Abjar datang kepada Rasulullah lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah , kami telah ditimpa paceklik, aku tidak memiliki harta untuk memberi makan
keluargaku kecuali samin dan keledai, dan sesungguhnya engkau telah mengharamkan
daging keledai negeri (piaraan), maka beliau menjawab:
أَطْعِمْ أَهْلَكَ
مِنْ سَمِينِ حُمُرِك فَإِنَّمَا حَرَّمْتهَا مِنْ أَجْلِ جَوَّالِ
الْقَرْيَةِ
“Berilah makan keluargamu dari samin dan keledaimu, karena
sesungguhnya aku mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di
kampung.”
[Isnadnya Dhaif: Dhaif Abu Daud
3809]
Maksudnya yang memakan al Jullah, yaitu kotoran.
Pendapat tersebut dapat dijawab bahwa ayat di atas
dikhususkan keumumannya oleh hadits-hadits shahih yang telah lalu, dan bahwa
hadits Abu Daud mudhtharib banyak diperdebatkan. Dalam As-Sunan [Al Kubro
9/332 -ed], setelah menyebutkan haditsnya, Al Baihaqi berkata, “Sanadnya
diperdebatkan.” Ia berkata, “Hadits yang sepertinya tidak bertentangan dengan
hadits-hadits shahih dan jika shahih dapat mengandung makna memakannya ketika
darurat, sebagaimana yang ditunjukkan perkataannya, ‘kami telah ditimpa
paceklik’, yaitu penderitaan.
Saya katakan, “Adapun alasan bahwa hal itu diperbolehkan
ketika darurat, maka tidak sesuai dengan penjelasan sabda beliau, ‘aku
mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di kampung’,
karena sesungguhnya beliau membolehkan makan daging
keledai, dan jika tidak makan kotoran maka hukumnya halal secara mutlak,
sehingga tidak sempurna beralasan dengan darurat.
Penulis menyebutkan kedua hadits ini dalam bab najis,
pengulangannya menunjukkan bahwa pengharaman sesuatu lazimnya karena najis, ini
adalah pendapat mayoritas. Terjadi perbedaan pendapat padanya. Sedangkan yang
benar adalah bahwa pada dasarnya semua benda itu suci dan pengharaman tidaklah
selamanya karena najis, sebab ganja itu haram tetapi suci zatnya. Demikian pula
segala macam bentuk yang memabukkan dan racun mematikan, tidak ada dalil
mengenai kenajisannya.
Adapun najis, selamanya disertai dengan keharaman, maka
setiap najis haram dan tidak demikian sebaliknya. Hal itu karena hukum pada
setiap najis adalah larangan menyentuhnya dalam kondisi bagaimanapun, dan hukum
mengenai kenajisan zat bendanya merupakan hukum atas keharamannya. Berbeda
dengan hukum yang haram, sebab diharamkan memakai sutera dan emas sedangkan
keduanya suci sebagai ketetapan syariat dan ijma.
Jika hal ini telah Anda ketahui, maka pengharaman arak dan
keledai negeri (piaraan) yang telah disebutkan oleh nash-nash tidak berarti
bahwa itu najis, tetapi harus ada dalil lain atasnya, jika tidak, maka kita
tetap pada hukum asal yang telah disepakati yaitu suci, maka siapa yang
mengklaim selainnya, hendaklah ia mendatangkan dalil.
Demikian pula kami katakan, “Tidak perlu penulis menyebutkan
hadits Amru bin Kharijah untuk dijadikan dalil atas sucinya air liur hewan
kendaraan.” Adapun mengenai bangkai, maka seandainya tidak diriwayatkan hadits,
’Menyamak kulit menjadikannya suci’ dan hadits ’Kulit apa saja yang
disamak maka sungguh ia telah suci’ niscaya kami berpendapat bahwa ia suci,
karena yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah keharaman memakannya, akan tetapi
kami menghukuminya najis karena tidak ada dalil selain dalil keharamannya.
=============
Kandungan hadits :
. Najis keledai jinak terletak pada daging, darah, air kencing dan kotorannya.
. Adapun keringat, air liur dan tubuhnya, para ulama perbedaan pendapat tentang hal ini dan akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya.
. Diharamkan daging keledai jinak dan meminum susunya, karena ia merupakan kotoran, dan yang dimaksud dengan arrijsu adalah kotoran yang najis.
. Disebutkannya keledai adalah dalil akan suci dan diperbolehkannya keledai liar. Karena keledai liar adalah hewan buruan yang suci dan halal.
. Illat bahwa keledai jinak adalah kotor merupakan dalil bahwa segala benda yang najis miliki hukum yang haram, karena di dalamnya tersimpan hal yang membahayakan secara medis, kotor dan najis.
===========
Fawaid hadits:
1. Najisnya keledai dan ini mencakup darah, daging, kencing dan kotorannya.
2. Adapun badan, air liur dan keringatnya terjadi perselisihan, yang shahih adalah suci, karena Nabi mengendarai keledai, dan pasti terkena badan dan keringatnya serta air liurnya, dan ini sulit untuk dihindari, kaidah mengatakan: kesulitan mendatangkan kemudahan. Dan ini adalah pendapat imam Malik, Asy Syafi’I dan riwayat dari imam Ahmad.
3.Haramnya memakan daging n susu keledai.
4. Setiap yg najis haram untuk dimakan.
0 comments:
Post a Comment