92 - وَعَنْهَا «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ إذَا خَرَجَ مِنْ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَك» . أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ. وَصَحَّحَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَالْحَاكِمُ.
92. Dan Darinya ia berkata, “Sesungguhnya Nabi apabila keluar dari kamar kecil (WC), beliau mengucapkan, “Aku memohon ampunan-Mu.” (HR. Imam yang lima dan dishahihkan oleh Abu Hatim dan Al Hakim)

[Hasan: Shahih Al Jami' 4707]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Lafazhخَرَجَ  (keluar) bermakna keluar dari suatu tempat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada lafazh دَخَلَ (masuk), akan tetapi maksudnya lebih umum dari hanya sekedar keluar dari kamar kecil, bahkan mencakup di padang sahara sekalipun.

Ada yang mengatakan bahwa permohonan ampun Rasulullah disebabkan karena beliau tidak mengucapkan bacaan dzikir kepada Allah selama buang air, karena beliau biasanya selalu mengingat Allah dalam setiap saat, meninggalkannya ketika buang air bagi Rasulullah dianggap suatu kelalaian, dan beliau menganggap hal itu dosa bagi dirinya, oleh karenanya beliau menutupinya segera dengan beristighfar.

Dikatakan juga, bahwa pengertiannya adalah permohonan taubat atas kelalaiannya mensyukuri nikmat Allah, yang telah Allah anugerahkan padanya. Allah telah memberinya makanan, menguatkan pencernaanya, kemudian memudahkan keluarnya kotoran dari perutnya. Menurut beliau rasa syukurnya masih kurang dibanding dengan nikmat yang diperoleh, maka ia menyelesaikannya dengan memohon ampunan dari-Nya, pendapat ini lebih cocok, sebab sesuai dengan hadits Anas ia berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا خَرَجَ مِنْ الْخَلَاءِ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَب عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي»

“Rasulullah apabila keluar dari kamar kecil (WC) beliau membaca, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan dariku dan telah melimpahkan kesehatan padaku.” Diriwayatkan Ibnu Majah

[Dhaif: Dhaif Ibnu Majah 57]

Ada keterangan tentang Rasulullah meratapi kesalahannya, yang demikian adalah bagian dari cara bersyukur beliau bahwa setelah keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَلَوْ شَاءَ حَبَسَهُ فِي

“Segala puji bagi Allah, yang telah menghilangkan gangguan dariku dan telah melimpahkan kesehatan padaku, dan seandainya Dia berkehendak niscaya Dia menahannya padaku.”

[Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 6/115 dan Al Ilal Al Mutanahiyah]

Dan Allah menyifatinya, bahwa beliau adalah hamba yang pandai bersyukur.
Saya katakan, “Bisa jadi permohonan ampunan beliau adalah karena kedua alasan di atas dan karena sebab yang tidak kita ketahui.” Meskipun ada yang berpendapat bahwa, “Sesungguhnya jika beliau  meninggalkan dzikir dengan lisannya dalam kondisi buang air, namun beliau tidak meninggalkannya dalam hatinya.”

Dalam masalah ini terdapat hadits dari Anas,
«كَانَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْسَنَ إلَيَّ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ»

bahwa beliau pernah membaca: “Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepadaku pada awal dan akhirnya.”

[Maudhu: Dhaif Al Jami 3479]

Juga hadits dari Ibnu Umar,
«كَانَ يَقُولُ إذَا خَرَجَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذَاقَنِي لَذَّتَهُ وَأَبْقَى فِي قُوَّتَهُ. وَأَذْهَبَ عَنِّي أَذَاهُ»

bahwa Rasulullah ketika keluar dari kamar kecil, beliau membaca: “Segala puji bagi Allah yang telah merasakan padaku kelezatannya, yang telah mengekalkan kekuatan-Nya padaku dan yang telah menghilangkan gangguannya dariku.”

[Dha’if: Dhaif Al Jami 4388]

Saya katakan, tidak mengapa mengucapkan semuanya, sebagai bukti syukur terhadap nikmat Allah, dalam masalah seperti ini tidak diisyaratkan harus hadits shahih

=======================

93 - وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «أَتَى النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْغَائِطَ، فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْت حَجَرَيْنِ، وَلَمْ أَجِدْ ثَالِثًا، فَأَتَيْته بِرَوْثَةٍ. فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: هَذَا رِجْسٌ - أَوْ رِكْسٌ» أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ. وَزَادَ أَحْمَدُ وَالدَّارَقُطْنِيّ " ائْتِنِي بِغَيْرِهَا "

93. Dari Ibnu Mas'ud , beliau berkata: “Nabi mendatangi tempat buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga buah batu, tapi aku hanya menemukan dua buah batu, aku tidak mendapatkan batu yang ketiga, maka aku bawakan kotoran binatang, lalu beliau mengambil dua batu itu dan membuang kotoran binatang seraya berkata, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis atau kotor’.” (HR. Al Bukhari)

[Shahih: Al Bukhari 156]

Ahmad dan Ad Daruquthni menambahkan, “Berikan aku selain kotoran itu.”

[Ahmad 1/450, dan Ad Daruquthni 1/55]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Adz Dzahabi berkata, “Abdullah bin Mas’ud adalah Al Imam Ar Rabbani, Abu Abdurrahman Abdullah bin Ummu Abdul Hudzli. Ia adalah shahabat dan pelayan Rasulullah , termasuk as sabiqun al awwalun (yang pertama masuk Islam), dan mengikuti perang Badr, juga termasuk seorang fuqaha yang cerdas dan shalih. Ia masuk Islam sejak dahulu dan menghafal langsung dari mulut Rasulullah sebanyak tujuh puluh surah. Rasulullah bersabda:

«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ»

Barangsiapa yang ingin membaca Al Qur'an dengan bagus sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah dia membacanya menurut bacaan Ibnu Ummu Abd (Ibnu Mas’ud)”

[Shahih: Shahih Ibnu Majah 114]

Ia memiliki banyak keutamaan, dan wafat di Madinah tahun 32 Hari, dalam usia sekitar 60 tahun.

Tafsir Hadits

Ibnu Khuzaimah menambahkan:
[كَانَتْ رَوْثَةُ حِمَارٍ]
bahwa kotoran tersebut adalah kotoran keledai.

[Shahih Ibnu Khuzaimah 1/39]

Hadits ini dijadikan dalil oleh Asy-Syafi'i, Ahmad dan ulama hadits lainnya. Mereka mensyaratkan bahwa batu yang digunakan untuk istinja tidak boleh kurang dari tiga biji, disamping harus memperhatikan kebersihannya. Apabila belum juga bersih dengan tiga batu, hendaklah ditambah sampai kotorannya bersih.

Disunnahkan jumlahnya ganjil –sebagaimana telah disebutkan sebelumnya- tapi hukumnya tidak wajib, berdasarkan hadits dari Abu Daud:

[وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ]

Barangsiapa yang tidak mampu (mengganjilkan) maka ia tidak berdosa,” ini telah dijelaskan sebelumnya.

Al Khaththabi berkata, “Kalau maksudnya hanyalah penyucian kotoran saja, maka tidak ada manfaat diisyaratkannya jumlah batu tersebut. Tetapi karena jumlah batu diisyaratkan secara lafazh dan secara maknawi diketahui demi kesucian, maka hal itu menunjukkan wajibnya kedua hal tersebut.”

===================

94 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى أَنْ يُسْتَنْجَى بِعَظْمٍ، أَوْ رَوْثٍ وَقَالَ: إنَّهُمَا لَا يُطَهِّرَانِ» . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ.

94. Dari Abu Hurairah , ia berkata, sesungguhnya Rasulullah melarang beristinja dengan tulang dan tahi binatang, beliau bersabda: “Keduanya tidak bisa menyucikan.” (HR. Ad Daruquthni dan dia menshahihkannya)

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan lafazh yang sama, sementara Al Bukhari (3647) meriwayatkannya dengan lafazh yang mirip dengannya. Ia menambahkan di dalam riwayatnya itu:

«أَنَّهُ قَالَ لَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ لَمَّا فَرَغَ مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثِ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ»

bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi setelah beliau selesai buang air, “Ada apa dengan tulang dan kotoran binatang?” beliau menjawab, “Itu termasuk makanan jin.”

Dan Al Baihaqi meriwayatkannya dalam hadits yang panjang.

Demikian yang dijelaskan dalam Asy-Syarh, lafazh hadits itu ada dalam Sunan Al Baihaqi sebagai berikut:

«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضُ بِهَا وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ، فَأَتَيْته بِأَحْجَارٍ فِي ثَوْبِي، فَوَضَعْتهَا إلَى جَنْبِهِ حَتَّى إذَا فَرَغَ، وَقَامَ تَبِعْته، فَقُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ: مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثِ؟ فَقَالَ: أَتَانِي وَفْدُ نَصِيبِينَ فَسَأَلُونِي الزَّادَ، فَدَعَوْت اللَّهَ لَهُمْ أَلَّا يَمُرُّوا بِرَوْثَةٍ وَلَا عَظْمٍ إلَّا وَجَدُوا عَلَيْهِ طَعَامًا»

“bahwasanya Nabi berkata kepada Abu Hurairah , “Carikan aku beberapa biji batu yang akan aku gunakan untuk beristinja, dan jangan bawakan aku tulang dan kotoran binatang.” Lalu aku bawakan beberapa batu yang aku masukkan dalam kainku dan aku letakkan di sampingnya, ketika beliau selesai buang air, aku ikuti beliau sambil bertanya kepada beliau, ‘Mengapa tidak boleh memakai tulang dan kotoran binatang?’ beliau menjawab, “Aku pernah didatangi delegasi jin, mereka menanyakan kepadaku tentang makanan mereka, lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar mereka tidak melewati kotoran binatang dan tulang kecuali mereka mendapatkannya sebagai makanan.[Al Kubra 1/107, 108]

Dalam masalah ini juga terdapat riwayat dari Az Zubair, Jabir, Sahl bin Hanif dan yang lainnya, dengan sanad-sanad yang semuanya terdapat komentar, namun demikian kesemuanya saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.

Di sini dijelaskan alasannya, bahwa keduanya tidak dapat mensucikan, dan keduanya adalah makanan jin. Sedangkan alasan untuk kotoran binatang adalah karena najis. Karena najisnya itulah sehingga tidak dapat dipakai untuk mensucikan, sedangkan tulang juga tidak dapat mensucikan karena dia adalah benda licin yang hampir tidak bisa dipegang, juga tidak bisa membersihkan najis atau tidak bisa mengeringkan yang basah.

«الْعَظْمَ وَالرَّوْثَةَ طَعَامُ الْجِنِّ، قَالَ لَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ: وَمَا يُغْنِي عَنْهُمْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إنَّهُمْ لَا يَجِدُونَ عَظْمًا إلَّا وَجَدُوا عَلَيْهِ لَحْمَهُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ يَوْمَ أُخِذَ، وَلَا وَجَدُوا رَوْثًا إلَّا وَجَدُوا فِيهِ حَبَّهُ الَّذِي كَانَ يَوْمَ أُكِلَ»

Tatkala Rasulullah mengemukakan alasan bahwa karena keduanya adalah makanan jin, Ibnu Mas’ud bertanya kepada beliau: “Apakah hal itu dapat memuaskan mereka Ya Rasulullah! “ beliau menjawab, “Mereka sesungguhnya tidak menemukan sepotong tulang, kecuali akan mendapatkan dagingnya pada hari mengambilnya dan tidak menemukan kotoran binatang melainkan mereka mendapatkan apa yang disukainya pada hari memakannya.” (HR. Al Hakim dalam Ad Dala’il).

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang menjelaskan bahwa kotoran binatang menjadi makanan binatang piaraan para jin.

Di dalam hadits itu terdapat dalil, bahwa istinja dengan menggunakan beberapa batu adalah cara bersuci yang tidak harus digunakan bersama dengan air, meskipun hal itu disukai (sunnah), karena beliau mengemukakan alasan bahwa, “Keduanya (tulang dan kotoran binatang) tidak dapat mensucikan”, itu artinya selain keduanya bisa mensucikan.

===============================

95 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «اسْتَنْزِهُوا مِنْ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ مِنْهُ» . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ

95. Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Bersucilah kamu dari kencing, karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur disebabkan air kencing.” (HR. Ad Daruquthni)

[Shahih: Al Irwa’ 280]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

Bersucilah kamu (maksudnya, bersucilah kalian, atau tuntutlah kesucian) dari kencing, karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur (artinya, kebanyakan orang yang disiksa padanya) disebabkan air kencing. (yakni dengan sebab bercampur dengannya dan tidak bersuci darinya)

Tafsir Hadits

Hadits tersebut adalah perintah untuk menjauhkan diri dari air seni, dan bahwa siksaan yang disebabkan karena tidak membersihkan diri darinya akan disegerakan dalam kubur. Telah ditegaskan dalam hadits Ash-Shahihain, bahwasanya Rasulullah melewati dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa, kemudian beliau memberitahukan bahwa siksa salah seorang dari keduanya adalah ‘karena tidak mensucikan diri dari kencing’1 atau ‘karena dia tidak menutupi diri dari kencingnya’2 yakni membuat tabir  yang dapat mencegahnya terkena air seni, atau, ‘karena dia tidak membersihkan dari air kencing3 atau ‘karena dia tidak hati-hati terhadap air seni’,4 semua lafazh tadi disebutkan dalam beberapa riwayat, dan semuanya memberikan pengertian keharaman tersentuh air seni dan tidak membersihkan diri darinya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah menghilangkan najis itu hukumnya wajib atau tidak? Imam Malik berkata, “Menghilangkan najis itu hukumnya tidak wajib”, sementara Asy-Syafi'i mengatakan hukumnya wajib, kecuali dimaafkan darinya.

Wajibnya menghilangkan najis, berdasarkan hadits yang menjelaskan siksa kubur bagi yang tidak membersihkan diri dari air seni. Suatu ancaman tentu saja berlaku bagi yang meninggalkan sesuatu yang wajib. Imam Malik mengemukakan alasan mengenai hadits tersebut, bahwa bileh jadi karena dia membiarkan air seninya mengenai badannya lalu dia shalat tanpa bersuci, karena wudhu tidak sah dengan adanya najis tersebut.

Tidak diragukan lagi, bahwa hadits-hadits yang memerintahkan membawa batu ke tempat buang air, dan perintah untuk bersuci, menunjukkan wajibnya menghilangkan najis, dan terdapat dalil najisnya air seni.

Hadits tersebut merupakan dalil najisnya air seni manusia, karena huruf alif dan lam yang terdapat di awal kata al baul dalam hadits tersebut sebagai pengganti dari mudaf ialaih yakni bauluhu (kencingnya), berdasarkan lafazh Al Bukhari tentang siksaan dua penghuni kubur dengan lafazh ‘dia tidak membersihkan diri dari kencingnya,5 karena barangsiapa yang menafsirkannya dengan semua kencing, dan memasukkan kencing unta di dalamnya, seperti penulis dalam kitab Fathul Bari, maka sunggu dia telah melakukan kesalahan, dan telah kami jelaskan letak kesalahannya dalam catatan kaki Fathul Bari.
_____________________
1. Shahih: Muslim 292
2. Shahih: Al Bukhari 216 dan Muslim 292
3. An Nasa'i 4/106
4. Al Baihaqi 1/104
5. Ini lafazh Muslim, sebagaimana telah dijelaskan.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top