Pusat Kajian Hadits

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 66-70

<span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 66 </span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Domba berumur satu tahun boleh dijadikan kurban."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini dha'if. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/275, Baihaqi dan Imam Ahmad dari sanad Muhammad bin Abu Yahya, dari ibunya, dari Ummu Bilal binti Hilal, dari ayahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sanad tersebut sangat lemah karena Ummu Muhammad dan Ummu Bilal adalah majhul (asing) Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Hazem dalam al-Muhalla VII/365.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pernyataan Ibnu Hazem tersebut ditanggapi oleh ad-Dumairi dengan menyatakan, "Ibnu Hazem benar dalam mendha'ifkan Ummu Muhammad. Namun dalam menilai dha'if terhadap Ummu Bilal ia salah, sebab Ummu Bilal dikenal di kalangan sahabat seperti disebutkan oleh Ibnu Mundih dan Abu Naim serta Ibnu Abdil Bar."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, yang benar adalah Ibnu Hazem, sebab Ummu Bilal tidak dikenal kecuali dalam riwayat ini. Di samping itu, tidak ada kejelasan bahwa dia telah bergaul dengan sahabat. Jadi dalam sanadnya ada kemajhulan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ringkasnya, hadits riwayat di atas tidak sahih. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Nasa'i dan Hakim serta Imam Ahmad dari sanad Ashim, dari ayahnya, dari sanad Jabir bin Abdilah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, adalah sahih. Karena itu, hendaknya kita mengamalkan hadits yang lebih sahih dalam bab ini.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 67</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Barangsiapa pada shalat fajar membaca surat Alam Nasyrah dan Alam Tara Kaifa, maka ia tidak akan terkena penyakit opthalmia (radang mata)."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Hadits di atas tidak ada sumbernya. As-Sakhawi berkata bahwa itu hadits palsu dan tidak ada sumbernya sama sekali, baik yang dimaksud di sini adalah shalat subuh maupun shalat sunnah sebelum subuh. Riwayat ini jelas bertentangan dengan sunnah yang terbukti kesahihannya bahwa Rasulullah saw. dalam shalat sunnah sebelum fajar membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas. Sedang dalam shalat (fardu) subuh beliau membaca lebih dari enam puluh ayat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang berkeinginan lebih luas mengetahui bagaimana shalat Rasulullah saw. hendaknya merujuk buku kami yang sengaja kami susun dari kumpulan hadits-hadits sahih dengan judul Sifat Shalat Rasulullah.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 68 </span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Hendaknya surat Innaa anzalnaahu dibaca setiap usai berwudhu."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Menurut as-Sakhawi riwayat ini tidak ada sumbernya. Kemudian ia berkata, "Saya melihat kalimat tersebut dalam mukadimah yang dinisbatkan kepada Imam Abi Laits. Tampaknya kalimat tersebut dimasukkan orang lain. Dan ini berarti telah menghilangkan sunnah nabawiyah."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, maksudnya adalah menghilangkan doa yang disunnahkan untuk dibaca setiap usai berwudhu, yaitu: Asyhadu an laa ilaaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluhu. Wahai Allah, jadikanlah diriku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah diriku termasuk golongan orang-orang yang suci (HR. Muslim, dan lain-lainnya.)</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 69</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Mengusap leher waktu berwudhu dapat menyelamatkan dari belenggu pada hari kiamat kelak."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Ini hadits maudhu'. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab I/465, berkata, "Ini adalah hadits maudhu' dan bukan dari sabda Rasulullah saw.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Hajar dalam kitab Talkhish al-Habir I/433, berkata, "Abu Muhammad al-Juwaini menyatakan bahwa para pakar hadits tidak meridhai dan tidak menerima sanadnya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, semua hadits tentang keharusan membasuh leher saat berwudhu adalah munkar. Di samping lemahnya sanad dan kemajhulan perawinya, juga sangat jelas hal itu bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah saw. berwudhu, yang tidak satu pun di antaranya menyebutkan bahwa beliau mengusap lehernya tatkala berwudhu.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 70 </span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Ini hadits maudhu' yang telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada kemusykilan dalam riwayat ini. Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh. Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadits maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadits tersebut sebagai hadits maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadits itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, hadits tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div>
</div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 66-70

Hadits 66 "Domba berumur satu tahun boleh dijadikan kurban." Hadits ini dha'if. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/275, Baihaqi dan Imam Ahmad dari sanad Muhammad bin Abu Yahya, dari ibunya, dari Ummu Bilal binti Hilal, dari ayahnya. Sanad tersebut sangat lemah karena Ummu Muhammad dan Ummu Bilal a…

Jul 31, 2017

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 61-65

<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 61</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Sesungguhnya para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang. Dari yang mana saja kalian mengambil pendapatnya, berarti telah mendapat petunjuk."</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Hazem dari sanad Abi Syihab al-Hanath dari Hamzah al-Jazri. Kemudian Ibnu Abdil Bar berkata, "Sanad hadits ini tidak sahih dan tidak ada satu pun perawinya yang meriwayatkan dari Nafi' yang dapat dijadikan hujjah."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hamzah ini adalah Ibnu Abi Hamzah yang oleh Daru Quthni dinyatakan ditinggalkan riwayatnya. Kemudian Ibnul Adi menyatakan bahwa semua riwayatnya adalah maudhu'. Ibnu Hibban berkata, "Ia selalu menyalahi perawi-perawi tsiqah (kuat; dipercaya) seolah-olah ia sengaja meriwayatkan hadits-hadits maudhu'. Karena itu, tidak sah meriwayatkan darinya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Hazem dalam al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam berkata, "Telah nyata bahwa riwayat ini tidak benar, bahkan tidak ragu lagi merupakan riwayat palsu sebab Allah telah menyatakan mengenai sifat nabi-Nya bahwa apa yang diucapkannya bukan menurut hawa nafsunya, tetapi firman yang diwahyukan kepadanya (an-Najm: 3-4)."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila telah terbukti bahwa segala yang diucapkannya adalah syariat yang hak, berarti semuanya dari Allah. Karenanya, tidak akan bertentangan dengan apa yang difirmankan-Nya dalam surat an-Nisa': 82.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Allah telah melarang keras berselisih seperti dalam firman-Nya, "Walaa tanaa za'u." (al-Anfal: 46). Karena itu, merupakan sesuatu yang mustahil bila Rasululah saw. memerintahkan mengikuti setiap yang dilakukan dan diucapkan oleh setiap sahabat, padahal di antaranya ada yang menghalalkan sesuatu sedang yang lain mengha-ramkannya. Bila itu dibenarkan, berarti menjual khamr itu halal karena mengikuti Samurah bin Jundub, sementara sahabat yang lain menyatakan haram.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih lanjut Ibnu Hazem menyatakan, "Sebenarnya apa yang wajib bagi kita hanyalah mengikuti apa yang ada dalam Al-Qur'an yang telah disyariatkan bagi kita dan apa yang datang dengan sahih dari Rasulullah saw. yang Allah perintahkan untuk menjelaskan perihal agama atau syariat." Ia mengakhiri pernyataannya dengan berkata bahwa hadits tersebut adalah kabar dusta, maudhu' yang tak ada kesahihannya sama sekali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 62 </span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Ahli Baitku adalah bagaikan bintang-bintang. Dari yang mana saja kalian minta bimbingan, kalian akan mendapat petunjuk."</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu', bahkan dalam lembaran Ahmad bin Nabith dinyatakan dusta. Saya telah mendapatkan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Naim al-Ashbahan, dari Abu Hasan Ahmad bin al-Qasim, dari Ahmad bin Ishaq bin Ibrahim. Adz-Dzahabi menyatakan bahwa riwayat Ahmad bin Ishaq tidak dapat dijadikan hujjah karena ia pendusta. Pernyataan ini dikuatkan oleh al-Hafizh dalam kitab al-Lisan. Di samping itu, Ahmad bin al-Qasim itu lemah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 63</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Sesungguhnya hujan es bukanlah makanan dan bukan pula minum."</span></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini munkar. Telah diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar II/347, oleh Abu Ya'la dalam musnadnya II/ 191, oleh Ibnu Asakir II/313, serta oleh as-Salafi dalam kitab ath-Thuyuriyyat dari sanad All bin Zaid bin Jid'an dari Anas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Riwayat tersebut sanadnya lemah karena Ali bin Zaid bin Zid'an memang lemah. Demikian pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab at-Taqrib. Syu'bah bin al-Hajjaj berkata, "Ali bin Zaid memberitahukan kepada kami dan ia itu melakukan kesalahan, sambil menyambungkan sanad hadits ini yang hakikatnya adalah sanad yang mauquf (terhenti sampai sahabat)." Inilah kelemahan riwayat ini yakni karena perawi kuat meriwayatkannya hanya sampai pada Anas bin Malik r.a. saja yaitu dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya II1/279, dan juga Ibnu Asakir 11/3 13.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun sanad mauquf yang diriwayatkan oleh perawi kuat, adalah dari Syu'bah, dari Qatadah dan Humaid, dari Anas bin Malik, ia berkata : "Suatu ketika pada bulan puasa turunlah hujan salju. Kemudian Abu Talhah yang sedang berpuasa mengambil butiran salju tersebut dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kami katakan padanya, 'Engkau memakan salju padahal engkau tengah berpuasa.' Maka ia pun menjawab: 'Sesungguhnya ini adalah berkah.'"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sanad riwayat ini adalah sahih menurut kriteria persyaratan sahihan, dan oleh Ibnu Hazem ditetapkan kesahihannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini mauquf dan tidak ada sebutan nama Nabi. Menurut Alhafizh, sanadnya lemah. As-Suyuthi mencantumkannya dalam buntut hadits-hadits maudhu dan berkata kalau hadits ini benar, maka orang yang makan butiran salju tidak batal puasanya. Hal ini tidak bisa dibenarkan oleh kaum muslimin masa kini. Said Ibnul Musayyab tidak menyukai hadits ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 64</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Sebagus-bagus binatang kurban adalah domba yang muda."</span></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini dha'if. Telah diriwayatkan oleh Tirmidzi II/555, oleh Baihaqi IX/271, dan oleh Imam Ahmad II/444 dari sanad Usman bin Waqid, dari Kadam bin Abdur Rahman dari Abi Kabasi. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini gharib (asing). Maksudnya, dha'if.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kelemahan hadits tersebut juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathhul Bari X/12 dengan berkata bahwa hadits tersebut lemah sanadnya. Bahkan oleh Ibnu Hazem dalam al-Muhalla VII/365 dinyatakan bahwa Utsman bin Waqid dan Kadam bin Abdur Rahman adalah majhul.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;">Imam Bukhari berkata bahwa selain Utsman bin Waqid ada yang meriwayatkan hadits senada secara mauquf sanadnya sampai kepada Abu Harairah r.a. Lafazhnya menyatakan (artinya),</span><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;"> "Telah datang Jibril kepadaku pada hari raya Qurban. Maka kutanyakan kepadanya, 'Bagaimana engkau lihat peribadatan kami?' Jibril menjawab, 'Sungguh sangat menggembirakan Ahlus-Sama' (para malaikat, penj.). Dan ketahuilah wahai Muhammad, bahwasanya domba jantan itu lebih baik daripada unta betina ataupun lembu. Kalau saja diketahui Allah ada yang lebih baik daripadanya (domba jantan lagi muda) pastilah Ibrahim akan berkurban dengannya.'"</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Kemudian ia menyatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Ibrahim al-Hunaini. Menurut Imam Baihaqi, orang ini meriwayatkan secara tunggal dan dha'if. Bahkan oleh para pakar hadits telah disepakati lemahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 65 </span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Domba berumur satu tahun boleh dijadikan kurban."</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini dha'if. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/275, Baihaqi dan Imam Ahmad dari sanad Muhammad bin Abu Yahya, dari ibunya, dari Ummu Bilal binti Hilal, dari ayahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sanad tersebut sangat lemah karena Ummu Muhammad dan Ummu Bilal adalah majhul (asing) Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Hazem dalam al-Muhalla VII/365.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pernyataan Ibnu Hazem tersebut ditanggapi oleh ad-Dumairi dengan menyatakan, "Ibnu Hazem benar dalam mendha'ifkan Ummu Muhammad. Namun dalam menilai dha'if terhadap Ummu Bilal ia salah, sebab Ummu Bilal dikenal di kalangan sahabat seperti disebutkan oleh Ibnu Mundih dan Abu Naim serta Ibnu Abdil Bar."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, yang benar adalah Ibnu Hazem, sebab Ummu Bilal tidak dikenal kecuali dalam riwayat ini. Di samping itu, tidak ada kejelasan bahwa dia telah bergaul dengan sahabat. Jadi dalam sanadnya ada kemajhulan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ringkasnya, hadits riwayat di atas tidak sahih. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Nasa'i dan Hakim serta Imam Ahmad dari sanad Ashim, dari ayahnya, dari sanad Jabir bin Abdilah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, adalah sahih. Karena itu, hendaknya kita mengamalkan hadits yang lebih sahih dalam bab ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div>
</div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 61-65

Hadits 61 "Sesungguhnya para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang. Dari yang mana saja kalian mengambil pendapatnya, berarti telah mendapat petunjuk." Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Hazem dari sanad Abi Syihab al-Hanath dari Hamzah al-Jazri. Kemudian Ibnu…

Jul 18, 2017

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0058-60

<div class="sub-body">
<div class="inner">
<div class="MsoNormal s17" dir="rtl">
<b><span class="s18" lang="AR-SA">58 - وَعَنْ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - 
مَوْقُوفًا - وَعَنْ أَنَسٍ - مَرْفُوعًا - «إذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ وَلَبِسَ 
خُفَّيْهِ فَلْيَمْسَحْ عَلَيْهِمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا، وَلَا يَخْلَعْهُمَا إنْ 
شَاءَ إلَّا مِنْ الْجَنَابَةِ» أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ 
وَصَحَّحَهُ.</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
58. Dari Umar secara mauquf – dan dari Anas secara 
marfu’- : “<i>Apabila salah seorang dari kalian berwudhu dan ia memungkinkan 
kedua sepatunya (khuf), maka hendaklah ia mengusap keduanya dan ia shalat 
dengannya, dan janganlah ia melepaskan keduanya jika ia menghendaki kecuali 
janabah</i>.” (HR. Ad Daruquthni dan Al Hakim dan ia menshahihkannya)</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>[Shahih: Shahih Al Jami' 
447]<o:p></o:p></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal s4" dir="rtl">
<b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal s8">
<span dir="rtl"></span><b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Penjelasan Kalimat</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i>Apabila salah seorang dari kalian berwudhu 
dan ia memungkinkan kedua sepatunya (khuf), maka hendaklah ia mengusap keduanya 
</i>(membatasi memakainya dengan setelah wudhu adalah dalil bahwa yang 
dimaksudkan dengan <i>thahiratain</i> (keduanya suci), dalam Mughirah – dan yang 
semakna dengannya- adalah bersuci dari hadats kecil) <i>dan ia 
shalat dengannya, dan janganlah ia melepaskan keduanya jika ia menghendaki 
</i>(beliau membatasinya dengan, jika ia kehendaki untuk menolak apa yang 
dipahami dari zhahirnya satu perintah yaitu menunjukkan wajib, dan zhahirnya 
larangan adalah hr) <i>kecuali janabah</i><span class="s21"> </span>(karena Anda telah mengetahui bahwa wajib melepaskannya)</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Tafsir Hadits</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hadits tersebut di atas  menerangkan 
disyariatkannya bersuci, dan memutlakannya dari penentuan waktu, tetapi ia 
terikat dengannya, sebagaimana yang dijelaskan hadits Shafwan dari hadits Ali .</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
================<br />
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="1⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/31-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Disyariatkan bersuci dalam mengusap khuff, kedua kaki telah suci secara sempurna, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="2⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/32-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Mengusap khuff merupakan rukhshah. Ini artinya mengusap khuff adalah mubah, tidak wajib.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="3⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/33-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Hadits diatas tidak menerangkan lama waktu diperbolehkan untuk mengusap khuff. Meskipun begitu masalah waktu ini sudah dijelaskan dalam hadits-hadits sebelumnya.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="4⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/34-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Mengusap kedua khuff hanya diperbolehkan saat berhadats kecil. Saat terjadi hadats besar maka khuff tidak boleh disuap. Sebaliknya harus dilepas, lalu kedua kaki dibasuh dengan air.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="5⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/35-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Hadits diatas juga memperbolehkan melakukan shalat dengan menggunakan khuff atau sejenisnya.</div>
==========<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Derajat hadits.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Hadits ini dianggap syadz oleh sebagian ulama, karena bersendirian padanya Asad, namun Asad ini di mutaba’ah oleh Abdul Ghoffar dan Asad sendiri tsiqah, jadi hadits ini shahih .</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Fawaid hadits:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">1. Disyari’atkannya memakai khuff sebagaimana telah dijelaskan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">2. Wajibnya mencabut khuff ketika janabat, dan semua hadats besar.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">3. Kata: “semaunya” menunjukkan boleh lebih dari tiga hari tiga malam bagi musafir. Namun kemutlakan hadits ini diikat dengan hadits lain yang memberikan waktu bagi musafir tiga hari tiga malam, dan bagi muqim sehari semalam</span>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
==============</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="sub-body">
<div class="inner">
<div class="MsoNormal s17" dir="rtl">
<span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>59 - وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ: «أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ 
أَيَّامٍ</span></b><span dir="ltr"></span><b><span class="s18" dir="ltr" lang="AR-SA"><span dir="ltr"></span> </span></b><b><span class="s18" lang="AR-SA">وَلَيَالِيُهُنَّ، وَلِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً، إذَا تَطَهَّرَ 
فَلَبِسَ خُفَّيْهِ: أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا» . أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، 
وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
59. Dari Abu Bakrah dari Nabi , ‘Bahwa beliau 
membolehkan bagi musafir tiga hari tiga malam, dan bagi muqim satu hari satu 
malam, jika ia telah bersuci lalu memakai sepatunya, untuk mengusap atas 
keduanya.’ (HR. Ad Daruquthni dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah). </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>[Hasan: Ad Daruquthni 1/194 dan Ibnu Majah 
556]</b><span class="s24" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal s4" dir="rtl">
<b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal s8">
<span dir="rtl"></span><b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>[سبل السلام]</span></b><b><span class="s48"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Biografi Perawi</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Abu Bakrah, namanya adalah Nufa’i bin Masruh, sebagaimana 
yang terdapat dalam <i>Jami Al Ushul</i>, dan ada yang mengatakan Ibnu Al 
Harits.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Abu Bakrah berkata, “Aku adalah pelayan Rasulullah ”, ia 
menolak dinisbatkan, ia turun dari benteng Tha’if ketika ia mengepung Rasulullah bersama sekelompok pemuda Tha’if, lalu ia masuk Islam dan dimerdekakan oleh 
Rasulullah , ia termasuk di antara shahabat yang paling utama.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ibnu Abdil Barr berkata, “Ia seperti mata pedang dalam 
ibadah, meninggal dunia di Bashrah pada tahun 51 atau 52 H, dan putra-putranya 
memiliki kemuliaan di Bashrah, baik ilmu maupun kedudukan, dan ia memiliki 
pengikut yang sangat banyak.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Penjelasan Kalimat</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span class="s21">Bahwa beliau membolehkan bagi musafir tiga 
hari tiga malam, </span>(yaitu mengusap atas kedua sepatu) <span class="s21">dan 
bagi muqim satu hari satu malam, jika ia telah bersuci </span>(yakni setiap yang 
mukim maupun musafir, yaitu jika ia telah bersuci dari hadats kecil) 
 <span class="s21">lalu memakai sepatunya</span>, ( <i>fa</i>, tidak 
mesti berarti menunjukkan harus berurutan tetapi hanya sebatas <i>athaf</i>, 
karena sudah maklum bahwa tidak termasuk syarat dalam mengusap sepatu) <span class="s21">untuk mengusap atas keduanya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span class="s21"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Tafsir Hadits<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hadits tersebut seperti hadits Ali dalam menerangkan 
jangka waktu bagi musafir dan mukim, dan seperti hadits Umar dan Anas mengenai 
disyariatkannya bersuci, dan di dalamnya terdapat penjelasan bahwa mengusap atas 
sepatu adalah <i>rukhsah</i> (keringanan), karena shahabat menamainya seperti 
itu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
=======================<br />
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="📋" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/1f4cb.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" /> Kandungan hadits :</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="1⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/31-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Masa mengusap khuff yang diberikan kepada musafir adalah tiga hari tiga malam, sedangkan masa mengusap khuff untuk yang mukim adalah satu hari satu malam.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="2⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/32-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Mengusap khuff dapat dilakukan jika sebelumnya telah melakukan wudhu dengan cara membasuh kaki dan mengenakannya setelah itu.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="3⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/33-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Perbedaan hukum antara musafir dan mukim adalah dikarenakan musafir sangat memerlukan waktu yang lebih lama mengingat beban perjalanan jauh dan udara dingin yang dihadapinya. Berbeda dengan yang mukim yang tidak mempunyai kendala tersebut.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="4⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/34-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Mengusap kedua khuff atau sejenisnya merupakan rukhshah dari Allah untuk memberikan kemudahan kepada hamba Nya. Pemberi rukhsah adalah rasulullah yang kemudian menyampaikannya kepada manusia dari Allah.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em;">
<img alt="5⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/35-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Rukhshah dan kemudahan untuk diberikan setiap kali ada kebutuhan yang sangat. Ini adalah kaidah pokok ajaran Islam.</div>
================<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Fawaid hadits.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">1. Mengusap dua khuff adalah rukhsah (keringanan) yang Allah berikan kepada hambaNya. Dan Allah suka untuk didatangi keringanannya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">2. Setiap kali ada kebutuhan dan kesulitan, biasanya keringanan semakin terbuka. Dan kesulitan yang dimaksud adalah yang melebihi kemampuan hamba.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">3. Wajibnya mengusap adalah bila ia memakai khuff setelah bersuci.</span></div>
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
=====================<br />
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="sub-body">
<div class="inner">
<div class="MsoNormal s17" dir="rtl">
<span dir="rtl"></span><b><span class="s18" lang="AR-SA"><span dir="rtl"></span>60 - وَعَنْ «أُبَيِّ بْنِ عُمَارَةَ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى 
الْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَيَوْمَيْنِ؟ 
قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَا شِئْت» 
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد، وَقَالَ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ.</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
60. Dari Ubai bin Imarah RA bahwa ia berkata, “Wahai 
Rasulullah, apakah boleh aku mengusap atas sepatu?” Beliau menjawab, 
‘<i>Ya’</i>, ia bertanya lagi, ‘Satu hari’? beliau menjawab, ‘<i>Ya’</i>, ia 
melanjutkan, ‘dua hari?’ beliau menjawab, ‘<i>Ya’</i>, ia bertanya lagi ‘tiga 
hari?’, Beliau menjawab, ‘<i>Ya, terserah engkau’</i>. (HR. Abu Daud dan ia 
berkata tidak kuat)</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>[Dhaif: Dhaif Abu Daud 
158]</b><span class="s51" dir="rtl" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal s4" dir="rtl">
<b><span class="s47" lang="AR-SA">ـــــــــــــــــــــــــــــ</span></b><b><span class="s6" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal s8">
<b><span class="s48" dir="rtl" lang="AR-SA">[سبل 
السلام]</span></b><span class="s20"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Biografi Perawi</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ubai bin Imarah berasal dari Madinah dan tinggal di Mesir. Ia 
adalah seorang shahabat, dalam sanad haditsnya terdapat <i>idhthirab</i>. Yang 
dimaksudkan adalah hadits ini, dan seperti tersebut juga dikatakan oleh Ibnu 
Abdil Barr dalam <i>Al Isti’ab</i>.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Tafsir Hadits</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan ia berkata, “Tidak 
kuat.” Al Hafidz Al Mundziri berkata dalam <i>Mukhtashar As Sunan</i> dengan 
maknanya, yaitu dengan makna yang dikatakan oleh Abu Daud dan Al Bukhari. Imam 
Ahmad berkata, “Para perawinya tidak diketahui.” Dan Ad Daruquthni berkata isnad 
ini tidak kuat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ibnu Hibban berkata, “Saya tidak berpegang atas isnad 
<i>khabar</i>nya.” Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak kuat, dan tidak memiliki 
sanad yang dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Jauzi berlebihan dan memasukkannya ke 
dalam hadits-hadits <i>maudhu</i>.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
Hadits tersebut adalah dalil tidak adanya pembatasan waktu 
mengusap baik ketika berada di tempat maupun ketika sedang dalam perjalanan. 
Pendapat ini diriwayatkan dari Malik dan pendapat lama Imam Asy-Syafi'i, akan 
tetapi hadits tersebut tidak bertentangan dengan makna hadits-hadits yang 
terdahulu dan tidak berlawanan dengannya, dan seandainya kuat, maka 
kemutlakannya dibatasi hadits-hadits terdahulu itu, sebagaimana hadits ini 
dibatasi dengan disyariatkannya bersuci sebagaimana yang telah dijelaskannya.</div>
<br />
==============<br />
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em; text-align: start;">
<img alt="💎" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/1f48e.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" /> Kandungan Hadits :</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em; text-align: start;">
<img alt="1⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/31-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Hadits ini menunjukan tidak ada batas waktu untuk mengusap khuff. Seseorang yang berwudhu dapat mengusap khuff nya kapan saja, baik selama satu hari, dua hari, tiga hari dan beberapa haripun dia inginkan.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em; text-align: start;">
<img alt="2⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/32-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Pemahaman hadits ini tetap dibatasi dengan hadits-hadits lain yang menerangkan adanya pembatasan waktu mengusap, yaitu selama satu hari satu malam untuk yang mukim, dan tiga hari tiga malam untuk musafir.</div>
<div style="background-color: white; box-sizing: inherit; color: #404040; font-family: Ubuntu, Tahoma, Arial; font-size: 17px; margin-bottom: 1.5em; text-align: start;">
<img alt="3⃣" class="emoji" draggable="false" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.3/svg/33-20e3.svg" style="background: none !important; border: none !important; box-shadow: none !important; box-sizing: inherit; display: inline !important; height: 1em !important; margin: 0px 0.07em !important; max-width: 100%; padding: 0px !important; vertical-align: -0.1em !important; width: 1em !important;" />. Biar bagaimanapun hadits ini dha’.if. untuk itu, tidak dapat menandingi hadits-hadits yang menjelaskan adanya pembatasan waktu dan tidak bisa digunakan sebagai dalil.</div>
=========<br />
<span style="color: blue;"><br /></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Derajat hadits:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab at talkhish: “di dla’ifkan oleh Bukhari, beliau berkata: “Tidak sah”.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Abu Dawud berkata: “Sanadnya masih diperselisihkan, tidak kuat”.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Ahmad berkata: “Perawi-perawinya tidak ma’ruf”.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Ibnu Hibban berkata: “Aku tidak bersandar kepada sanad hadits ini”.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Ad Daroquthni berkata: “Tidak tsabit”.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Dan imam An Nawawi menyebutkan kesepakatan ulama. Akan kedla’ifan hadits ini. (Taudlihul ahkam 1/312).</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Fawaid hadits:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue;">Hadits ini lemah dan bertentangan dengan hadits hadits shahih yang memberikan batasan untuk muqim sehari semalam, dan untuk musafir tiga hari tiga malam.</span></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKAAEuN8oxIyq6pazjCGT2Iw73is4ZBAY4XQtGTyZgQ2ai9iZO6fM0cjCpMiy_BCyQ7CvVdNodQv6dJSoyUAUpMIT4pQpmgAQjqA_8uPaJqMwqKsDEM63QTnmUEG86hregF3uwWJlb9yQ/s200/subulussalam.jpg" style="text-align: center;" width="200" /></div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>

Subulus Salam Syarah Bulughul Maram No.0058-60

58 - وَعَنْ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - مَوْقُوفًا - وَعَنْ أَنَسٍ - مَرْفُوعًا - «إذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ وَلَبِسَ خُفَّيْهِ فَلْيَمْسَحْ عَلَيْهِمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا، وَلَا يَخْلَعْهُمَا إنْ شَاءَ إلَّا مِنْ الْجَنَابَةِ» أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ. 58. D…

Jul 17, 2017

Menyambut Ramadhan Dengan Puasa Sunnah

<div style="text-align: justify;">
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةِ رضي الله عنه قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ , أَوْ يَوْمَيْنِ إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan berpuasa satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka (tidak mengapa) ia berpuasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
HADITS INI DIRIWAYATKAN:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam al-Bukhâri, no. 1914; Muslim, no. 1082; Abu Daud, no. 2335; At-Tirmidzi, no. 685; An-Nasa’i 4/149, 154; Ibnu Majah, no. 1650; Al-Baghawi, no. 1718; Ibnul Jârûd 378; Al-Baihaqi, 4/207; Ahmad 2/234, 237, 408, 438; Ibnu Hibbân, no. 3586, 3592; Abdur Razzâq, no. 7315; Ibnu Abi Syaibah, 3/23; Ad-Dârimi 2/4.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PENJELASAN HADITS:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengatakan: Ramadhan tanpa menyebut kata (bulan diawalnya), tanpa ada kemakruhan. Dan inilah yang shahih, baik ketika ada qarînah (indikator) yang menunjukkannya ataupun tidak ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu dimakruhkan, kecuali bila diucapkan bergandengan dengan kata bulan. Ada hadits yang menunjukkan hal itu, akan tetapi hadits tersebut dha’if.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan, bila ada qarinah yang menunjukkan bulan, maka itu tidak dimakruhkan. Kalau tidak ada qarînah, maka dimakruhkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Dalam hadits ini terdapat penegasan larangan untuk memulai satu atau dua hari sebelum Ramadhan dengan berpuasa sunnah yang bukan menjadi kebiasaannya. Yaitu ketika itu dilakukan dalam rangka kehati-hatian terhadap masuknya bulan Ramadhan. Konsekuensi dari hal ini adalah boleh berpuasa 3 atau 4 atau 5 hari sebelum masuk Ramadhan. Ini adalah yang menjadi konsekuensi ucapan al-Bandaniji dan Ibnu ash-Shabbagh dari kalangan Ulama Syâfi’iyyah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengenai puasa sunnah menjelang Ramadhan, para Ulama syafi’iyah terbagi dalam empat  pendapat:</div>
<div style="text-align: justify;">
Pendapat yang disebut di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Bila telah menginjak pertengahan bulan Sya’ban , diharamkan berpuasa. Pendapat inilah yang diputuskan oleh para ahli tahqiq dari kalangan Ulama syafi’iyah. Ini berdasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانَ فَلَا تَصُومُوا</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila Sya’ban telah berada di pertengahan, maka janganlah kalian berpuasa!.”<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftn2">[2]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini diriwayatkan para penyusun Kitab Sunan yang empat dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ulama yang berpendapat seperti ini memberikan jawaban terhadap hadits Abu Hurairah yang disebutkan di awal. Yaitu bahwa ucapan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(jangan kalian dahului) dengan satu hari atau dua hari” itu tidak menunjukkan makna pilihan (yaitu memilih dengan tidak mendahului satu hari atau dua hari). Akan tetapi itu hanyalah untuk menjelaskan adanya larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sebelumnya. Karena biasanya itulah yang  dilakukan dan yang terjadi pada orang yang bermaksud menyambut bulan Ramadhan. Rentang waktu larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah sejak pertengahan Sya’ban, seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terakhir tadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hal itu boleh, tidak dimakruhkan. Ini yang diputuskan oleh al-Mutawalli. Ia berkata mengenai hadits yang dibawakan di atas (yaitu mengenai hadits pertengahan Sya’ban), bahwa hadits tersebut tidaklah valid menurut pandangan para ahli.<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftn3">[3]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
Dimakruhkan karâhah tanzîh (dilarang syara’, namun bukan keharusan. Yang melakukannya tidak disiksa karenanya). Ini dipilih ar-Rauyâni.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Sebagian Ulama menyebutkan bahwa hikmah larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa adalah untuk menjaga stamina dan kekuatan dalam berpuasa Ramadhan. Namun ini tidak tepat. Karena bila hal itu menyebabkan lemah dalam berpuasa dalam Ramadhan, maka berpuasa selama bulan Sya’ban lebih-lebih membuat lemah (untuk puasa Ramadhan). Padahal telah terjadi ijma’ dibolehkannya berpuasa pada bulan Sya’ban keseluruhannya, bahkan hal tersebut sunnah. Para penyusun Kitab Sunan yang empat telah meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa, “Tidak pernah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh dari suatu tahun kecuali Sya’ban, di mana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambungnya dengan Ramadhan.”<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftn4">[4]</a> At-Tirmidzi berkata, “(Hadits ini) hasan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Mâziri membawa pengertian larangan tersebut pada orang yang berpuasa dalam rangka pengagungan dan sambutan terhadap bulan Ramadhan. Artinya itu dilarang, agar suatu ibadah tidak ditambahi sesuatu yang bukan bagian dari ibadah tersebut. Adapun bila berpuasa pada hari syakk (hari yang diragukan antara Sya’ban dan Ramadhan) sebagai puasa sunnah belaka, maka ada perselisihan di dalamnya. Seperti yang akan disebutkan nanti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Sebagian Ulama menyebutkan: bahwa zahir hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di awal pembahasan ini bertentangan dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertanya kepada seseorang:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
هَلْ صُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ شَيْئًا</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah engkau ada berpuasa sesuatupun pada akhir Sya’ban?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia menjawab, “Tidak.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila engkau telah berbuka (yakni usai melaksanakan puasa Ramadhan), maka berpuasalah satu hari.”<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftn5">[5]</a> Dalam riwayat lain: “dua hari.” Ini diriwayatkan Al-Bukhâri dan Muslim dari hadits Imran bin al-Hushain Radhiyallahu anhu .</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang dimaksud dengan surar Sya’ban adalah akhirnya. Karena hilal (bulan sabit) akan menyembunyikan diri pada satu atau dua malam terakhir.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun dua hadits ini bisa dikompromikan, bahwa orang tersebut telah mewajibkan dirinya untuk berpuasa akhir bulan karena ia telah bernadzar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memenuhinya. Atau bisa juga karena berpuasa akhir bulan sudah menjadi kebiasaannya, lalu ia tinggalkan dalam rangka menyambut Ramadhan, karena ada larangan mendahuluinya (dengan puasa); dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin orang tersebut mengqadha’ nya, karena itu sudah menjadi kebiasaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian Ulama lain berkata: Bahkan ucapan Nabi, “Apakah engkau berpuasa pada akhir Sya’ban?” adalah pertanyaan dalam rangka mengingkari dan melarang. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya. Sehingga tidak ada kontradiksi antara keduanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau yang dimaksudkan dengan surar Sya’ban adalah awal bulan, seperti yang disebutkan sebagian Ulama, bahwa surar asy-syahr adalah awalnya, maka tidak ada kontradiksi diantara dua hadits tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*  Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kaum rafidhah, yang memandang perlunya mendahulukan puasa daripada melihat hilal Ramadhan. Karena Ramadhan adalah nama untuk sebutan untuk (rentang waktu) yang berada di antara dua hilal. Maka bila seseorang berpuasa satu hari sebelumnya, berarti ia telah mendahului Ramadhan (dengan berpuasa).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*  Di dalam hadits tersebut terdapat penjelasan makna hadits:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berpuasalah saat kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah saat kalian melihatnya!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Di dalam hadits ini tidak terdapat larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, bagi orang yang punya kebiasaan berpuasa di akhir-akhir bulan di luar Sya’ban. Sama saja, apakah kebiasaannya itu karena nadzar atau murni sebagai puasa sunnah. Hal itu masuk dalam  cakupan kemutlakan hadits tersebut. Dan di antara bentuk nadzar adalah kala seseorang berkata, “Aku bernadzar kepada Allâh untuk berpuasa pada hari datangnya si fulan.” Lalu kebetulan si fulan datang bertepatan dengan akhir Sya’ban sebelum Ramadhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Termasuk dari yang dilarang adalah berpuasa pada hari syakk (hari yang meragukan), yaitu hari yang mana orang-orang masih memperbincangkan tentang apakah hilal benar-benar sudah terlihat atau belum?  Atau telah ada orang yang bersaksi bahwa dia telah melihat hilal, namun dia masih anak-anak atau budak atau orang yang fasik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para Ulama salaf telah berselisih pendpat tentang orang yang berpuasa sunnah (pada hari itu) dengan tanpa sebab.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan yang paling sah menurut Ulama kalangan Syafi’iyah adalah puasa sunnah tersebut terlarang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan dalam madzhab Malikiyah terdapat tiga pendapat:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
(Pendapat) yang ketiga dari pendapat-pendapat Malikiyyah adalah bagi orang yang punya kebiasaan menyambung puasa, ia boleh berpuasa pada saat itu, tapi tidak bagi yang lainnya. Dan menurut mereka, boleh berpuasa pada saat itu bagi orang yang telah bernadzar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan Ahmad dan sekelompok Ulama, mereka mewajibkan untuk berpuasa pada saat itu sebagai puasa Ramadhan, dengan syarat saat itu ada mendung (yang menghalangi terlihatnya hilal).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M.]</div>
<div style="text-align: justify;">
______</div>
<div style="text-align: justify;">
Footnote</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftnref1">[1]</a> Pembahasan ini diringkas oleh redaksi dari kitab al-I’lam bi Fawa’id Umdatil Ahkâm, 5/158-170</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftnref2">[2]</a> At-Tirmidzi, no. 738; Abu Daud, no. 2337 dalam kitab Shaum Bab Dimakruhkannya Hal Tersebut; Ibnu Mâjah, no. 1651; Ad-Darimi, 2/17; Ahmad, 2/442; Ibnu Hibbân, 3589; Al-Baihaqi, 4/209, Abdur Razzâq 7325</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftnref3">[3]</a> Sebagian ulama ada yang melemahkan hadits ini, karena ‘Ala menyendiri dalam meriwayatkannya. Namun sebagian ulama lain, menilainya Shahih, tidak ada yang menodai keshahihannya. Imam Muslim juga mengeluarkan beberapa riwayat hadits dalam Shahihnya dari ‘Ala, dari ayahnya Abu Hurairah. Syaikh Al-Bani menilainya Shahih dalam Shahih al-Jami’ash-Shaghir wa Ziyadatuh no. 397 (red)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftnref4">[4]</a> HR. An-Nasa’i 4/150, At-Turmudzi 736 dalam Ash-shiyâm bab mengenai orang yang menyambung Sya’ban dengan Ramadhan, juga Ad-Darimi 2/17.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/7018-menyambut-ramadhan-dengan-puasa-sunnah.html#_ftnref5">[5]</a> Teks hadits yang dibawakan di atas, sesuai dengan salah satu riwayat Abu Daud. Dan sebagian riwayat ada tambahan: atau dua hari. Ini diriwayatkan al-Bukhâri, no.1983; Muslim, no. 1161; Abu Daud, no. 2231; Al-Baihaqi 4/210; Ad-Darimi 2/18; Ibnu Hibbân, no. 3587; Ahmad 4/428, 432, 439.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<img height="164" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAlAKQa1F6x5w3StOPa4OB0NWyW_tnMfRAzESYgmX_8XKtUovf9MwrX2LZahkuEx9teVHQGo8Z6jYFS_PFgGbbO7XrSCJ0At_611RCBQp2DvOaEyyVTGJu8RYbWcEyY6TP2ycEkj6kxdu-/s200/ramadhan-yang-dirindukan-tiba.jpg" width="200" /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>

Menyambut Ramadhan Dengan Puasa Sunnah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةِ رضي الله عنه قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ , أَوْ يَوْمَيْنِ إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sal…

Jul 11, 2017

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 56-60

<span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 56</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Kalau saja bukan karena wanita, pastilah Allah akan disembah dengan sungguh-sungguh."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu'. Riwayatnya mempunyai dua sanad.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Muhammad bin Imran al-Hamazani. Ibnu Adi menyatakan hadits ini munkar.Semua riwayat Abdur Rahim bin Zaid al-Ami tidak diterima para perawi tsiqah. Bahkan Imam Bukhari mengatakan bahwa ahli hadits sepakat meninggalkan seluruh riwayatnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Bisyir bin Husain. Orangi ni pendusta dan ditinggalkan riwayatnya. Bahkan oleh Ibnu Iraq dalam kitab asy-Syari'ah II/204 dinyatakan sebagai pendusta dan pemalsu hadits. Karena itu, semua riwayatnya tidaklah sah untuk dijadikan sebagai Penguat.</div>
<br />
<span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 57</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Perselisihan di antara umatku adalah rahmat."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, "Hadits tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang sahih, dha'if ataupun maudhu'. Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati Syeikh Zakaria al-Anshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situi a mengatakan, " Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti." Ibnu Hazem dalam al-Ahkam fi Ushulil-Ahkam, V/64 menyatakan, "Ini bukan hadits."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslimin yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya, hanya dua alternatif yakni bersepakat atau berselisih,yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan). Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhabyang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut mazhab lain.Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanyapun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih padahal,itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma,dan qiyas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, "Bila hadits itu shahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku betentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, ikutilah Qur'an dan Sunnah serta campakanlah ijtihad dan pendapatku." Itulah mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepadasumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat.Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an serta mencamkan firman Allah dalam suratan-Nisa' ayat 82, yang artinya:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"... Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (anNisa': 82)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian,bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? La haula wala quwwata illa billah!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam --khususnya dewasa ini -- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ringkasnya, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..." (al-Anfal: 46)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi ayat Qur'an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Barangkali muncul pertanyaan: para sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat, padahal mereka adalah seutama-utamanya manusia. Lalu apakah rnereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat yang baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah ditiadakan dosa atas mereka karena kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat kebenaran baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah ditujukan bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan Qur'an dan sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada si Fulan dan si Fulan, bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak pada fanatisme sempit ala jahiliah demi menyuburkan firqah. Mereka sengaja menolak Al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah. Kecaman dan ancaman tadi khusus untuk mereka yang bila isi Qur'an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semua itu bila Anda mengharap keselamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Lihat al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam, V/67-68).</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 58</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Sahabat-sahabatku bagaikan bintang-bintang. Yang mana saja kalian jadikan panutan, kalian akan mendapat petunjuk."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jami'ul 'Ilmi II/91, dan oleh Ibnu Hazem dalam kitab al-Ahkam VI/82, dari sanad Salam bin Sulaim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Abdil Bar berkata, "Sanad ini tidak dapat dijadikan hujjah. Al-Harits bin Ghushain itu majhul." Sedang Ibnu Hazem berkata, "Riwayat ini gugur, sebab Abu Sufyan sangat lemah. Al-Harits bin Ghushain itu adalah Abu Wahab ats-Tsaqafi. Dan Salam bin Su'aim telah meriwayatkan hadits-hadits maudhu'. Inilah salah satunya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semua peneliti hadits menyatakan Salam bin Sulaim atau Ibnu Sulaiman itu dhai'f. Pernyataan itu telah menjadi kesepakatan para pakar hadits. Oleh Ibnu Hibban ia dinyatakan sebagai pendusta, karena telah meriwayatkan hadits maudhu'.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 59</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Apa pun yang diperoleh dari Kitabullah, yang utama adalah pengamalannya. Tidak ada alasan bagi kalian untuk meninggalkannya. Bila tidak ada dalam Kitabullah, sunnahku berlaku. Bila dalam sunnahku tidak ada, hendaknya kalian mengamalkan apa yang dikatakan para sahabatku. Sesungguhnya sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Yang mana saja dari mereka kalian ikuti, pasti kalian akan terbimbing. Dan perselisihan antara sahabat-sahabatku adalah rahmat bagi kalian."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu'. Ia telah diriwayatkan oleh al-Khatib dalam kitab al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah, juga oleh Abul Abbas al-Asham dengan nomor hadits 142, juga Ibnu Asakir dari sanad Sulaiman bin Abi Karimah, dari Zubair.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, hadits ini sanadnya lemah sekali. Abi Hatim menyatakan, Sulaiman bin Abi Karimah sangat lemah. Sedangkan Zuwaibir adalah Ibnu Said al-Uzdi, seorang di antara para perawi yang ditinggalkan riwayatnya oleh para pakar hadits. Kemudian Dhahak yaitu Ibnu Muzahim al-Hilali belum pernah bertemu dengan Ibnu Abbas.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; font-variant-numeric: normal !important; line-height: normal !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits 60</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; font-stretch: normal !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Aku tanyakan kepada Tuhanku tentang perselisihan para sahabatku sepeninggalku, maka Ia mewahyukan padaku, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya kedudukan para sahabatmu di sisiku bagaikan bintang-bintang di langit, sebagian lebih terang sinarnya dari yang lain. Siapa saja yang mengambil teladan dari apa yang mereka perselisihkan, maka di sisi-Ku berarti mengikuti petunjuk."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" /><div style="text-align: justify;">
Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam kitab al-Ibanah, juga oleh Khatib Nizamul Mulk dalam kitab al Amali II/I3, Ibnu Asakir I/303, dari sanad Naim bin Hamad dari Abdur Rahim bin Zaid al-Ami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sanad hadits tersebut maudhu'. Naim bin Hamad itu dha'if. Al-Hafizh berkata, "Ia banyak melakukan kesalahan, sedangkan Abdur Rahim al-Ami adalah pendusta."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnul Jauzi dalam kitab al-Ilal berkata, "Riwayat tersebut tidak sahih sebab Naim itu tercela. Sedangkan Abdur Rahim oleh Ibnu Muin dinyatakan sebagai pendusta."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 56-60

Hadits 56"Kalau saja bukan karena wanita, pastilah Allah akan disembah dengan sungguh-sungguh." Hadits ini maudhu'. Riwayatnya mempunyai dua sanad. Dari Muhammad bin Imran al-Hamazani. Ibnu Adi menyatakan hadits ini munkar.Semua riwayat Abdur Rahim bin Zaid al-Ami tidak diterima para perawi tsiqah. …

Jul 10, 2017

Keutamaan Shalat Setelah Memakai Siwak

<div style="text-align: justify;">
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها  قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَفْضُلُ الصَّلاَةُ الَّتِي يُسْتَاكُ لَهَا عَلَى الصَّلاَةِ الَّتِي لاَ يُسْتَاكُ لَهَا سَبْعِينَ ضِعْفًا</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang dikerjakan setelah bersiwak (membersihkan gigi) lebih utama tujuh puluh kali lipat daripada shalat yang dikerjakan tanpa bersiwak.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/272), Ibnu Khuzaimah (1/71), al-Hâkim (1/244) dan al-Baihaqi (1/38), dengan sanad mereka dari jalur Muhammad bin Ishâq, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini adalah hadits yang lemah, karena semua sanadnya bertemu pada Muhammad bin Ishâq. Dia adalah rawi yang selalu melakukan tadlîs (menyamarkan atau menyembunyikan rawi di atasnya). Dalam riwayat ini Muhammad bin Ishâq tidak menegaskan bahwa dia benar-benar mendengar hadits ini dari Imam az-Zuhri, tapi dia mengatakan: az-Zuhri menyebutkan dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma …<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn1">[1]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku mengecualikan (dalam artian tidak memastikan) keshahihan hadits ini karena sungguh aku khawatir Muhammad bin Ishaq tidak mendengar hadits ini dari Muhammad bin Muslim (az-Zuhri), tetapi dia mentadlîsnya (menyembunyikan rawi di atasnya) dari az-Zuhri.”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn2">[2]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Hadits ini dikhawatirkan termasuk hadits-hadits yang ditadlîs oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar dan dia tidak mendengar hadits ini dari az-Zuhri”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn3">[3]</a>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam an-Nawawi juga menyatakan kelemahan hadits ini dengan alasan yang sama. Beliau rahimahullah juga membenarkan Imam al-Baihaqi rahimahullah dan para Ulama lain yang menilai semua jalur periwayatan hadits ini lemah.<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn4">[4]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam Ibnul Qayyim, al-‘Iraqi dan Syaikh al-Albani.<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn5">[5]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain dari Mu’awiyah bin Yahya, dari dari az-Zuhri dengan sanad seperti di atas dan lafazhnya semakna. Dikeluarkan oleh Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad (8/182), Ibnu Hibban dalam al-Majrûhîn (3/5) dan Ibnu ‘Adi (6/399).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, riwayat ini juga sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mu’awiyah bin Yahya ash-Shadafi. Dia dinyatakan lemah riwayatnya oleh para Ulama Ahli hadits, bahkan sebagian dari mereka menyatakan bahwa kelemahannya sangat parah.<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn6">[6]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Riwayat ini diisyaratkan kelemahannya oleh Imam Ibnu Hibban dalam al-Majrûhîn (3/5), Imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil (6/400) dan Imam al-Baihaqi (1/38).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Juga diriwayatkan dari jalur lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi (1/38). Akan tetapi hadits ini juga sangat lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama al-Wâqidi, yaitu Muhammad bin ‘Umar bin Wâqid al-Aslami. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya, “Dia ditinggalkan (riwayatnya karena kelemahannya yng sangat parah)”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn7">[7]</a>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Riwayat ini juga dinyatakn lemah oleh Imam al-Baihaqi (1/38).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian juga diriwayatkan dari jalur lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi (1/38). Akan tetapi jalur ini juga lemah karena ada dua rawinya yang lemah, yaitu Faraj bin Fadhalah dan Hammad bin Qirath, bahkan rawi yang kedua dinyatakan sangat lemah oleh Imam Ibnu Hibban.<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn8">[8]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa Shahabat lain Radhiyallahu anhum, tetapi semuanya lemah dan tertolak. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dan Jâbir Radhiyallahu anhuma, tetapi semua sanadnya berpenyakit (lemah dan tertolak)”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn9">[9]</a>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam Yahya bin Ma’in berkata, “Hadits ini tidak memiliki satu sanadpun yang shahih dan hadits ini batil.”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn10">[10]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di atas juga telah kami sebutkan bahwa Imam al-Baihaqi dan an-Nawawi menilai semua jalur periwayatan hadits ini lemah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemudian dari segi makna, hadits ini juga jelas salah dan sangat berlebihan, karena memakai siwak meskipun memang dianjurkan dalam Islam, terutama sebelum melaksanakan shalat, akan tetapi, tidak benar jika dikatakan bahwa keutamaannya sebanding dengan tujuh puluh kali shalat tanpa bersiwak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh karena itu, hendaknya dalam masalah ini, kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits shahih dari Rasûlullâh n tentang keutamaan bersiwak dan terutama, bersiwak sebelum melaksanakan shalat, sehingga kita tidak butuh dengan hadits lemah di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits-hadits shahih tersebut, di antaranya: Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bersiwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan keridhaan Allâh”<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn11">[11]</a>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seandainya aku tidak khawatir akan menyusahkankan umatku, maka aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan melaksanakan shalat<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftn12">[12]</a>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M.]</div>
<div style="text-align: justify;">
_______</div>
<div style="text-align: justify;">
Footnote</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref1">[1]</a> Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab al-Manâr al-Munîf, hlm. 9-10</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref2">[2]</a> Kitab Shahîh Ibni Khuzaimah, (1/71).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref3">[3]</a> Kitab as-Sunan al-Kubra (1/38).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref4">[4]</a> Lihat kitab al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab (1/331).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref5">[5]</a> Lihat: al-Manâr al-Munîf, hlm. 10;  Takhrîiju ahâdîtsil ihyâ’ (1/78) dan Misykâtul Mashâbîh (1/84).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref6">[6]</a> Lihat: kitab al-Kâsyif (/277) dan Tahdzîbut Tahdzîb (10/197).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref7">[7]</a> Kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 498</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref8">[8]</a> Lihat kitab Lisânul Mîzân, 2/352 dan Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 444</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref9">[9]</a> Kitab Talkhîshul Habîr, 1/68</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref10">[10]</a> Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Talkhîshul Habîr , 1/68</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref11">[11]</a> HR Ahmad (6/47 dan 124) dan an-Nasa-i (1/10), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://almanhaj.or.id/6992-hadits-lemah-tentang-keutamaan-shalat-setelah-memakai-siwak.html#_ftnref12">[12]</a> HSR. Al-Bukhâri (1/303) dan Muslim (no 252).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<img height="151" src="http://www.the-orient-shop.ch/img/cms/Picture/Wohnen%20und%20Leben/Miswak1.png" width="200" /></div>

Keutamaan Shalat Setelah Memakai Siwak

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَفْضُلُ الصَّلاَةُ الَّتِي يُسْتَاكُ لَهَا عَلَى الصَّلاَةِ الَّتِي لاَ يُسْتَاكُ لَهَا سَبْعِينَ ضِعْفًا Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …

Jul 06, 2017

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 51-55

<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 51</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang mukmin, fakir tidak suka meminta-minta, dan banyak anaknya."</span></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ini hadits dha'if. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/529 dan al-Uqaili dalam ash-Shafa halaman 361 bahwa dalam sanadnya terdapat al-Qasim bin Mahran al-Uqaili. Ia mengatakan, "Terbukti tidak benar bahwa hadits itu diriwayatkan dari Imran bin Hushain tetapi dari Musa bin Ubaidah, yakni orang yang tidak diterima riwayatnya atau matruk."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, hadits tersebut mempunyai empat cacat. Dua diantaranya dinyatakan al-Uqaili yakni tentang terputusnya sanad dan lemahnya Ibnu Ubaidah. Adapun yang ketiga yaitu majhulnya Ibnu Mahran seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib. Dan keempat, Hamad bin Isa yaitu al-Wasithi juga lemah, seperti yang dinyatakan Ibnu Hajar.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 52</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Bila di antara kalian ada yang mendapati binatang tunggangannya membandel, atau keburukan akhlak istrinya atau salah seorang dari anggota keluarganya, maka berazanlah pada telinga mereka."</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Ini hadis dha'if. Telah diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin II/195, seraya memastikan menisbatkannya kepada Rasulullah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Iraqi berkata, "Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah.'</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 53</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Hendaklah kalian berpegang pada agama wanita-wanita tua."</span></span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini tidak ada sumbernya. Demikianlah yang dinyatakan dalam kitab al-Maqashid dan juga oleh ash-Shaghani alam Ahadits al-Maudhu'at halaman 7.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 54</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Bila di akhir zaman nanti terjadi perbedaan hawa nafsu, maka hendaklah kalian berpegang pada agama orang-orang badui dan kaum wanita."</span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ini adalah hadits maudhu'. Ibnu Thahir menyatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Ibnu Bilimani seorang yang termasuk deretan perawi hadits yang tertuduh (pendusta).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sanad Ibnu Hibban, oleh Ibnul Jauzi dimasukkan ke dalam deretan hadits-hadits maudhu'. Tampak di situ adanya aib lain yaitu orang yang meriwayatkan dari al-Bilimani bernama Muhammad bin Harits. Orang ini dha'if. Bahkan oleh Ibnu Adi dikatakan bahwa seluruh perawinya sangat lemah.</div>
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits 55</span><br />
<br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; text-align: justify;" />
<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; text-align: justify;"><span style="font-family: "oswald important"; font-size: 13px; font-stretch: normal; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Berjalan cepat menghilangkan kecermelangan seorang mukmin."</span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini munkar sekali. Sanadnya dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun sanad dari Abu Hurairah mempunyai tiga kelemahan:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnul Ashma'i salah seorang perawim ajhul. Ini ditegaskan oleh al-Khatib.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Muhammad bin Ya'qub al-Farji tidak diketahui biografinya dalam deretan perawi hadits. Tidak ada saksi atas jarh (kecaman) dan ta'dil (pengakuan baik)-nya. Yang demikian termasuk kriteria kelemahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Abu Ma'syar yang dikenal dengan nama Najih bin Abdur Rahman oleh para pakar hadits divonis lemah (dha'if).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun sanad dari Ibnu Umar di dalamnya ada seorang perawi bernama Umar bin Shahban yang lemah sekali. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan sebagai hadits munkar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun sanad dari Anas bin-Malik, dari seluruh perawi tidak ada yang dikenal sebagai perawi kuat. Bahkan di dalamnya ada perawi yang bernama Aban yang oleh Imam Ahmad riwayatnya dinyatakan matruk (ditinggalkan). Bahkan Syu'bah telah mengecamnya dengan kecaman yang pedas sekali seraya mengataka, "Zina lebih baik daripada meriwayatkan hadits Aban." Allahu Akbar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut saya, rasanya tidak layak menyatakan sesuatu dengan ucapan semacam itu kecuali pada orang yang sangat dikenal penipu dan pemalsu hadits. Karena Syu'bah mengucapkan pernyataan itu sambil bersumpah, boleh jadi Aban ini sangat dikenal melakukan pemalsuan hadits dengan sengaja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ihwal sanad dari Ibnu Abbas telah dinyatakan oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Jami' bahwa dirinya tidak menemukan sanadnya yang bersambung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari yang dikemukakan di atas tampaklah dengan jelas bahwa semua sanad hadits tersebut mengambang dan tidak dapat dijadikan hujjah dengan alasan satu sama lain saling menguatkan. Dengan demikian, vonis dha'if adalah yang terbaik. Ini dari segi sanadnya. Adapun dari segi maknanya, cukup satu alasan yaitu bahwa setelah diteliti hadits tersebut adalah ucapan az-Zuhri, jadi bukan sabda Rasulullah. yang justru menyalahi dan bertentangan dengan hadis sahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau senang berjalan cepat. Begitu juga Umar bin Khattab.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="text-align: justify;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div>
</div>
</div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 51-55

Hadits 51 "Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang mukmin, fakir tidak suka meminta-minta, dan banyak anaknya." Ini hadits dha'if. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/529 dan al-Uqaili dalam ash-Shafa halaman 361 bahwa dalam sanadnya terdapat al-Qasim bin Mahran al-Uqaili. Ia mengatakan, "Terbu…