Hadits:
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
Di setiap hari tasyriq boleh menyembelih
Hadits ini adalah dalil bolehnya menyembelih kurban pada hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Namun hadits ini diperselisihkan oleh para ulama derajatnya. Berikut ini kami ringkaskan penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albanirahimahullah dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (5/617-622) agar kita bisa memahami perselisihan yang ada dan apa kesimpulan derajat hadits ini.

Jalan-jalan hadits

Dikeluarkan dari beberapa jalan, dari 3 sahabat Nabi:
1. Dari Jubair bin Muth’im radhiallahu’anhu
Riwayat dari Jubair bin Muth’im radhiallahu’anhu memiliki 4 jalan:
Pertama, dikeluarkan imam Ahmad dalam Musnad-nya (4/82), Al Baihaqi (9/295),
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ بَطْنِ عُرَنَةَ ، وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ مُحَسِّرٍ ، وَكُلُّ فِجَاجِ مِنًى مَنْحَرٌ ، وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ “
“Abul Mughirah menuturkan kepadaku, Sa’id bin Abdil Aziz menuturkan kepadaku, Sulaiman bin Musa menuturkan kepadaku, dari Jubair bin Muth’im dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: ‘setiap tanah Arafah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Bathnu Uranah. Setiap tanah Muzdalifah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Muhassir. Setiap tanah di Mina adalah tempat menyembelih dan setiap hari tasyriq adalah boleh menyembelih‘”.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abul Yaman dari Sa’id bin Abdil Aziz dengan jalan yang sama.
Permasalahan terletak pada Sulaiman bin Musa. Tidak disebutkan dalam kitab-kitab tarajimbahwa ia mengambil hadits dari Jubair bin Muth’im, sehingga ada inqitha’ di sini. Al Albani mengatakan: “ada inqitha‘ (keterputusan sanad) antara Sulaiman bin Musa dan Jubair bin Muth’im”. Dan inqitha’ ini merupakan kelemahan yang ringan, bisa dikuatkan dengan jalan lain yang maushul.
Kedua, dikeluarkan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1008),
حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْقُشَيْرِيُّ فِي شَوَّالٍ سَنَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَمِائَتَيْنِ ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنَةَ ، وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ مُحَسِّرٍ ، فَكُلُّ فِجَاجِ مِنًى مَنْحَرٌ ، وَفِي كُلِّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبَحٌ “
“Abu Nashr At Tammar Abdul Malik bin Abdil Aziz Al Qusyairi menuturkan kepadaku pada bulan Syawal pada tahun 227H, Sa’id bin Abdul Aziz menuturkan kepadaku, dari Sulaiman bin Musa, dari Abdurrahman bin Abi Husain dari Jubair bin Muth’im dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: ‘setiap tanah Arafah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Uranah. Setiap tanah Muzdalifah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Muhassir. Setiap tanah di Mina adalah tempat menyembelih dan setiap hari tasyriq adalah boleh menyembelih‘”.
Jalan kedua ini menyelisihi jalan pertama karena pada jalan pertama Sulaiman bin Musa meriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, namun pada jalan kedua Sulaiman bin Musa meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Husain dari Jubair bin Muth’im. Sehingga Abu Nashr di sini walaupun tsiqah, ia menyelisihi periwayatan Abul Yaman dan Abul Mughirah (yang keduanya merupakan perawi Bukhari-Muslim) yang lebih tsiqah darinya. Sehingga riwayat ini syadz. Selain itu, Abdurrahman bin Abi Husain tidak diketahui jarh wa ta’dil-nya kecuali ia disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, sehingga ia berstatus majhul haal.
Ketiga, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (1/1/79) dan Ad Daruquthni dalamSunan-nya (544),
ثنا سُوَيْدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” كُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنَةَ ، وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ ، مَوْقِفٌ ، وَارْفَعُوا عَنْ بَطْنِ مُحَسِّرٍ ، وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ ، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ ، مَنْحَرٌ “
“Suwaid bin Abdil Aziz menuturkan kepadaku, dari Sa’id bin Abdil Aziz, dari Sulaiman bin Musa, dari Nafi’ bin Jubair dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘setiap tanah Arafah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Uranah. Setiap tanah Muzdalifah adalah tempat wukuf dan jangan berwukuf di Muhassir. Setiap hari tasyriq boleh menyembelih. Setiap tanah di Mekkah adalah tempat menyembelih‘”.
Permasalahnya terletak pada Suwaid bin Abdil Aziz. Imam Ahmad mengatakan: “matrukul hadits, para ulama mengingkari haditsnya”. Al Bazzar mengatakan: “ia tidak kuat hafalannya, tidak bisa menjadi hujjah jika bersendirian”. At Tirmidzi berkata: “ia sering salah dalam meriwayatkan hadits”. Ibnu Hajar berkata: “ia lemah”. Al Bukhari mengatakan: “ia banyak meriwayatkan hadits munkar”. Dan benarlah demikian, riwayat ini juga menyelisihi periwayatan Abul Yaman dan Abul Mughirah yang tsiqah, sedangkan Suwaid lemah, maka riwayat ini munkar.
Kemudian jika diperhatikan dari tiga jalan di atas, semuanya berporos pada Sa’id bin Abdil Aziz At Tanukhi. Dan terlihat di sini bahwa penyebab idhtirab (inkonsistensi) pada sanad terletak pada Sa’id bin Abdil Aziz. Al Albani mengatakan: “walaupun ia di-tsiqah-kan oleh imam Ahmad dan Al Auza’i, namun ia mengalami ikhtilath di akhir usianya dan nampaknya ia meriwayatkan hadits ini pada masa ketika dia sudah ikhtilath sehingga terjadi idhtirab  sebagaimana anda lihat”.
Keempat, dikeluarkan Ad Daruquthni dalam Sunan-nya,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ ، نَا أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى الْخَشَّابُ , نَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ , نَا أَبُو مُعَيْدٍ ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى , أَنَّ عَمْرَو بْنَ دِينَارٍ ، حَدَّثَهُ , عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ , أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ” كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ “
“Abu Bakr An Naisaburi menuturkan kepada kami, Ahmad bin Isa Al Khasyab mengabarkan kepada kami, ‘Amr bin Abi Salamah mengabarkan kepada kami, Abu Mu’aid mengabarkan kepada kami, dari Sulaiman bin Musa, bahwa ‘Amr bin Dinar menyampaikan hadits kepadanya, dari Jubair bin Muth’im, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Setiap hari tasyriq boleh menyembelih‘”.
Riwayat ini semua perawinya tsiqah kecuali Ahmad bin Isa Al Khasyab. Ibnu ‘Adi berkata: “ia meriwayatkan hadits-hadits munkar”. Ibnu Hajar dan Ad Daruquthni berkata: “hafalannya tidak kuat”. Maslamah Al Andalusi berkata: “kadzab, ia sering meriwayatkan hadits palsu”. Maka riwayat ini juga lemah dan tidak cukup untuk menjadi syahid.
2. Dari seorang laki-laki di kalangan sahabat Nabi
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra,
وَأَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ ، أنبا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ ، ثنا الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ ، ثنا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ ، أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ سَمَّاهُ نَافِعٌ فَنَسِيتُهُ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ غِفَارٍ : ” قُمْ فَأَذِّنْ أَنَّهُ لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلا مُؤْمِنٌ ، وَأَنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ أَيَّامُ مِنًى ” ، زَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى : وَذَبْحٍ ، يَقُولُ : أَيَّامُ ذَبْحٍ ، ابْنُ جُرَيْجٍ يَقُولُهُ
“Ali bin Ahmad bin ‘Abdan mengabarkan kepadaku, Ahmad bin Ubaid mengabarkan kepadaku, Al Harits bin Abi Usamah menuturkan kepadaku, Rauh bin Ubadah menuturkan kepadaku, dari Ibnu Juraij, ‘Amr bin Dinar mengabarkan kepadaku, bahwa Nafi’ bin Jubair bin Muth’imradhiallahu’anhu mengabarkan hadits padanya, dari seorang laki-laki di kalangan sahabat NabiShallalahu’alaihi Wasallam yang pernah ia ingat namanya namun ia lupa, bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘berdirilah dan kumandangkan bahwa tidak ada yang masuk surga kecuali orang mukmin, dan bahwasanya hari makan dan minum adalah ayyamu mina (hari tasyriq)‘. Sulaiman bin Musa menambahkan: ‘juga hari menyembelih‘. Ini dikatakan oleh Ibnu Juraij”.
Riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqah. Nama sahabat Nabi yang tidak diketahui ini tidak menjadi masalah, sebagaimana kaidah jahalatus shahabiy la tadhurr, perawi dari kalangan sahabat yang tidak diketahui kejelasannya tidak mencacati sanad. Karena para sahabat itu semuanya adil dan tsiqah. Namun masalahnya, yang marfu adalah tanpa tambahan “juga hari menyembelih”, adapun tambahan tersebut diriwayatkan secara mursal oleh Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa. Al Albani berkata: “ini adalah syahid yang kuat untuk jalan-jalan yang maushulyang sudah disebutkan”.
3. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu
Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil fid Dhu’afa,
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ يَحْيى، عنِ الزُّهْريّ، عنِ ابْنِ المُسَيَّب، عَن أَبِي سَعِيد الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وسَلَّم قَال: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ
“dari Mu’awiyah bin Yahya dari Az Zuhri dari Ibnu Musayyab, dari Abu Sa’id Al Khudri, dari NabiShallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: ‘setiap hari tasyriq boleh menyembelih‘”
Permasalahan terletak pada Mu’awiyah bin Yahya As Shadafi. Ibnu Hajar berkata: “dhaif, haditsnya di Syam lebih bagus daripada haditsnya di Ray”. Adz Dzahabi mengatakan: “dhaif”. Imam Ahmad berkata: “aku meninggalkannya”. Namun Al Albani berkata: “hadits ini termasuk haditsnya di Syam”. Sehingga riwayat ini lemah, namun ringan lemahnya menurut Syaikh Al Albani.

Derajat hadits

Jika kita perhatikan dari semua jalan yang ada, tidak ada yang lepas dari kelemahan. Semua periwayatan dari Jubair bin Muth’im yang terdapat perawi Sa’id bin Abdil Aziz At Tanukhi terjadiidhtirab (inkonsistensi), sedangkan yang tidak idhtirab sanad-nya sangat lemah sehingga tidak bisa menjadi syahid. Di sisi lain terdapat jalan yang shahih namun mursal. Jalan yang mursal ini justru bisa menjadi illah (cacat) jika lebih baik kualitasnya dari pada yang maushul. Di sinilah para ulama berbeda pendapat apakah, jalan-jalan yang ada ini bisa saling menguatkan ataukah tidak.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berpandangan, dengan jalan-jalan yang ada hadits ini minimalnya berstatus hasan. Beliau berkata: “yang tepat menurutku, hadits ini tidak kurang dari derajat hasan dengan penguat-penguat yang disebutkan sebelumnya. Lebih lagi, banyak para sahabat Nabi yang berpendapat demikian (sesuai dengan isi hadits ini) sebagaimana terdapat dalam Syarah Shahih Muslim An Nawawi dan Al Majmu’. Demikian juga diantara ulama yang berpandangan jalan-jalan hadits ini bisa saling menguatkan adalam Ibnul Qayyim dalam AlHadyun Nabawi dan Asy Syaukani dalam Nailul Authar“. Melihat beberapa jalan yang kelemahannya ringan ditambah jalan yang shahih mursal, maka insya Allah inilah yang lebih rajih.Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top