حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"

Takhrij Ringkas Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh: Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, dengan lafazh yang berbeda-beda) dan Muslim dalam kitab Shahih-nya hadits no. 1907. Dan lafazh hadits yang tersebut di atas dicantumkan oleh An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihindan kitab Arba’in dan Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam.

Penjelasan:

1- Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ash-haabus Sunan, dan selain mereka. Dan telah menyendiri periwayatan hadits ini dari Umar; Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi. Dan menyendiri periwayatannya juga dari Alqamah; Muhammad bin Ibrahim At-Taimi. Dan menyendiri periwayatannya juga dari Muhammad; Yahya bin Said Al-Anshari. Kemudian banyak para periwayat hadits ini yang mengambilnya dari Yahya. Maka hadits ini termasuk hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari. Dan hadits ini merupakan pembuka dalam Shahih Al-Bukhari. Demikian juga di akhir Shahih Al-Bukhari, yaitu hadits Abu Hurairah; “Dua kata yang dicintai Allah…”. Maka hadits ini pun termasuk hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari.

2- An-Nawawi membuka kitab hadits Arba’in-nya dengan hadits ini. Dan sebagian besar ulama membuka kitab-kitab mereka juga dengan hadits ini. Di antara mereka Imam Al-Bukhari, beliau membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini. Abdul Ghani Al-Maqdisi, beliau membuka kitab Umdatul Ahkam-nya dengan hadits ini. Al-Baghawi, beliau membuka kedua kitabnya;Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah dengan hadits ini. As-Suyuthi, beliau membuka kitabnya yang bernama Al-Jami’ush Shaghir dengan hadits ini. An-Nawawi pun memberi judul pasal di permulaan kitabnya yang bernama Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/35), “Pasal tentang ikhlas dan memurnikan niat (untuk Allah) dalam segala amalan yang tampak dan yang tersembunyi”. Kemudian beliau membawakan tiga ayat dari Al-Qur’an, kemudian hadits innamal a’maalu bin niyyat. Lalu beliau berkata, “Ini hadits shahih, disepakati atas keshahihan dan keagungannya. Hadits ini merupakan salah satu kaidah-kaidah keimanan. Dan merupakan awal penguat keimanan dan rukunnya. Asy-Syafi’i rahimahullah telah berkata, “Hadits ini masuk ke dalam tujuh puluh bab dalam fiqih“. Beliau berkata pula, “Hadits ini sepertiga ilmu”. Demikian pula hal ini dikatakan oleh para ulama lainnya.

Hadits ini pun merupakan adalah satu hadits yang berporos padanya agama Islam. Dan para ulama berselisih dalam jumlah hadits yang merupakan poros agama Islam. Di antara mereka ada yang mengatakan tiga buah hadits. Ada yang mengatakan empat. Ada pula yang mengatakan dua. Dan ada yang mengatakan satu saja. Dan saya (Imam An-Nawawi) telah mengumpulkan seluruhnya dalam juz arba’in, mencapai empat puluh hadits, tidak dapat seorang pun yang beragama merasa cukup dari mengetahui hadits-hadits ini. Karena seluruhnya shahih dan terkumpul padanya kaidah-kaidah Islam, baik dalam masalah prinsip-prinsip agama, cabang-cabangnya, zuhud, etika-etika Islam, ajaran akhlak-akhlak yang baik, dan lain-lainnya.

Dan saya memulai dengan hadits ini karena ingin mencontoh para Imam kita dan para pendahulu salaf kita dari kalangan para ulama radhiallahu ‘anhum. Dan kenyataannya pun hadits ini telah dimulai oleh imam ahli hadits -tanpa diingkari lagi- Abu Abdillah Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Dan sebagian ulama menukilkan bahwa para ulama salaf menyukai dan menganggap baik untuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Sebagai peringatan bagi penuntut ilmu agar meluruskan kembali niatnya hanya untuk mengharap wajah Allah Ta’ala semata dalam segala perbuatannya yang tampak dan yang tersembunyi.

Dan telah diriwayatkan kepada kami dari Imam Abu Said Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah, beliau berkata, “Jika aku menulis sebuah kitab, niscaya akan saya jadikan hadits ini pada permulaan setiap bab. Dan kami pun telah diriwayatkan dari beliau juga, bahwa beliau berkata, “Barangsiapa ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan hadits ini. Dan Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Al-Khaththab Al-Khaththabi Asy-Syafi’i, seorang Imamrahimahullah, ia berkata dalam kitabnya yang bernama Al-Ma’alim, “Dahulu, orang-orang pendahulu dari guru-guru kami menyukai memulai segala sesuatu dengan hadits ini, dan memulainya dalam perkara-perkara agama, karena semua perkara agama membutuhkan hadits ini”.

Ibnu Rajab, dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/61) berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan Al-Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”.

3- Ibnu Rajab berkata, “Hadits ini salah satu hadits yang Islam berporos padanya. Diriwayatkan dari Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata, ‘Hadits ini merupakan sepertiga ilmu, dan masuk ke dalam tujuh puluh bab dalam fiqih’. Dan Imam Ahmad berkata, ‘Pokok-pokok Islam terdapat pada tiga hadits; hadits Umar (al-A’malu bin Niyyat), hadits ‘Aisyah (Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru dalam urusan kami ini maka ia tertolak), dan hadits An-Nu’man bin Basyir (Yang halal itu jelas, dan haram itu jelas)’.” Beliau juga berkata (1/71) dalam menjelaskan maksud perkataan Imam Ahmad, “Hal itu, karena agama ini seluruhnya mengandung pelaksanaan perintah-perintah dan larangan dari hal-hal yang haram (dilarang) serta (anjuran untuk) tidak melakukan perkara-perkara yang syubuhat (samar-samar, belum jelas hukumnya). Dan semua ini terkandung dalam hadits An-Nu’man bin Basyir.

Dan hal di atas, tidaklah tepenuhi (syarat-syaratnya) melainkan dengan dua perkara; pertama, amalan itu zhahirnya harus sesuai dengan sunnah. Dan inilah yang terkandung dalam hadits ‘Aisyah (Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru dalam urusan kami ini maka ia tertolak). Kedua, amalan tersebut secara batin harus diperuntukkan karena wajah Allah. Inilah yang terkandung dalam hadits Umar (al-A’malu bin Niyyat)”. Dan Ibnu Rajab pun membawakan penukilan-penukilan (1/61-63) dari sebagian para ulama tentang hadits-hadits yang berporos padanya agama Islam. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah dua hadits. Ada yang mengatakan empat. Ada pula yang mengatakan lima.

Dan hadits-hadits yang beliau sebutkan dari mereka -selain tiga hadits yang telah disebutkan di atas- adalah hadits; “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya…“, dan hadits “Salah satu kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya“, dan hadits “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik, dan Ia tidak menerima kecuali apa-apa yang baik…“, dan hadits “Tidak sempurna keimanan seorang di antara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri“, dan hadits “Tidak boleh memadharratkan dan tidak boleh saling membahayakan“, dan hadits “Jika aku memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian!“, dan hadits “Berbuat zuhudlah di dunia ini, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan berbuat zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka mereka akan mencintaimu“, dan hadits “Agama adalah nasihat“.

4- Sabdanya, “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” “Hanyasanya perbuatan-perbuatan itu dengan niat“. “Innama” merupakan kata yang berfungsi sebagai pembatas. Adapun “al” dalam kata “al-a’maal“, maka para ulama ada yang mengatakan bahwa fungsinya sebagai pengkhusus, sehingga amalan-amalan yang dimaksud adalah qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah) saja.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia berfungsi sebagai pengumum, sehingga amal-amal di sini mencakup segala macam amal dan perbuatan. Maka segala amalan yang merupakan qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah), pelakunya akan diberi pahala (oleh Allah).

Dan jika amal perbuatan tersebut merupakan adat istiadat dan kebiasaan semata, seperti makan, minum, dan tidur, maka jika pelakunya meniatkan hal-hal tersebut sebagai penguat dirinya untuk taat kepada Allah, ia akan diberi pahala (oleh Allah). Adapun “al” dalam kata “an-niyat” merupakan pengganti dari dhamir (kata ganti) “ha“. Maksudnya; amalan-amalan itu dengan niatnya. Dan sesuatu yang berkaitan dengan al-jaar wal majruur terbuang dalam kalimat ini, yang taqdir-nya (perkiraannya) adalah “dianggap sah”. Jadi, maknanya; hanyasanya amalan-amalan itu dianggap sah dengan niatnya. Dan niat artinya secara bahasa adalah maksud (hati).

Dan ia berfungsi sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lainnya, dan sebagai pembeda antara ibadah yang wajib dan yang sunnah, juga pembeda antara ibadah dan adat kebiasaan, seperti; pembeda antara mandi karena junub dan mandi untuk menyegarkan dan membersihkan tubuh. 5- Sabdanya “وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى” “…dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan“. Berkaitan dengan sabdanya ini, Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/65) berkata, “Hadits ini merupakan kabar bahwa seseorang tidak memperoleh sesuatu pun dari amal dan perbuatannya melainkan dengan apa yang ia niatkan. Jika ia berniat kebaikan, maka ia akan memperoleh kebaikan (pahala).

Dan jika ia berniat buruk, maka ia pun akan memperoleh keburukan (dosa). Dan ini bukan semata-mata pengulangan tanpa maksud dan makna dari kalimat yang pertama. Karena kalimat yang pertama menunjukkan bahwa baik dan buruknya perbuatan seseorang bergantung pada niat yang membuatnya melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kalimat yang ke dua, ia menunjukkan bahwa besar dan kecilnya pahala dan ganjaran yang akan ia peroleh bergantung dari kadar kualitas niat baik amalan (ibadah)nya tersebut, dan besar dan kecilnya dosa dan adzab yang akan ia peroleh bergantung dari kadar niat buruk amalan (maksiat)nya tersebut.

Dan jika ia berniat melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan) dan tidak lebih dari itu, maka hasil amalannya pun mubah saja. Maka ia tidak mendapatakan pahala ataupun dosa. Dari sini, dapat kita pahami bahwa amalan (perbuatan) itu, baik, buruk, danmubah-nya bergantung kepada niat yang mendorongnya melakukan amalan (perbuatan) tersebut. Demikian pula dengan pahala dan dosanya bergantung kepada niat yang menjadikan amalannya tersebut baik, rusak atau mubah”.

6- Sabdanya “Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya“. Hijrah diambil dari kata hajr yang artinya meninggalkan. Hijrah dapat berupa meninggalkan negeri yang menakutkan kepada negeri yang aman. Seperti; (yang pernah terjadi di zaman Rasulullah) berhijrah dari Mekkah ke Habasyah. Dan dapat juga berupa meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam. Seperti; (yang juga pernah terjadi di zaman Rasulullah) berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Dan kini tiada lagi hijrah ke Madinah setelah ditaklukannya kota Mekkah (pada tahun ke 8 hijriyah). Adapun berhijrah dari negeri syirik (kafir) ke negeri Islam terus berlangsung hingga hari kiamat. Sabdanya “Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya“.

Di sini, pensyaratan dan balasan berbentuk sama. Namun pada asalnya berbeda. Maknanya adalah; barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya secara niat dan maksud, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya balasan dan pahalanya. Maka dari sini, dapat kita pahami perbedaan antara keduanya. Ibnu Rajab berkata (1/72), “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyebutkan bahwa amalan-amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya, dan bahwa balasan pelaku amalan tersebut bergantung pada baik dan buruk niatnya, dan kedua kalimat ini merupakan kaidah menyeluruh yang tidak keluar darinya sesuatu pun, maka Nabi pun menyebutkan contoh dari sekian contoh amal perbuatan yang bentuknya satu, namun hasilnya dapat berbeda berdasarkan baik dan buruk niatnya.

Seolah-olah beliau (Nabi) berkata bahwa seluruh amal apapun dapat diaplikasikan seperti contoh dalam hadits ini”. Beliau berkata pula (1/73), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabari bahwa hijrah ini berbeda-beda (balasannya) berdasarkan niat dan maksudnya. Maka barangsiapa yang berhijrah ke negeri Islam karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan karena ingin mempelajari agama Islam dan ingin menampakkan agamanya disebabkan ia tidak dapat menampakkannya di negeri kesyirikan, maka orang ini adalah orang yang benar-benar berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan cukuplah ia mendapatkan kemuliaan dan kedudukan dengan sebab apa yang telah ia niatkan dalam hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Karena makna inilah nabi mencukupkan jawaban pensyaratannya dengan mengulang lafazhnya saja. Karena hasil dari apa yang ia niatkan dengan hijrahnya tersebut merupakan puncak dari apa yang ia inginkan di dunia dan akhirat.

Dan barangsiapa yang dari negeri kesyirikan ke negeri Islam untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita di negeri Islam tersebut, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia inginkan itu. Maka orang yang pertama adalah pedagang, dan orang yang kedua adalah pelamar wanita. Dan kedua-duanya bukanlah muhajir (orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya).

Dan dalam sabdanya “…kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya” terdapat penghinaan terhadap apa-apa yang ia inginkan dari perkara dunia, dengan sebab beliau (Nabi) tidak menyebutkan lafazhnya sama sekali. Dan juga, hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya bentuknya adalah satu dan tidak berbilang, oleh karenanya Nabi hanya mengulangi lafazh pensyaratannya saja. Berbeda dengan hijrah kepada perkara-perkara dunia, ia banyak dan tidak terbatas (bentuknya). Sehingga manusia mungkin saja berhijrah untuk memperoleh keinginan dunia yang bersifat mubah, dan bahkan haram.

Dan masing-masing dari tujuan-tujuan hijrah kepada perkara-perkara dunia tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu nabi hanya bersabda, “…maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya“, apapun bentuknya”.

7- Ibnu Rajab berkata (1/74-75), “Telah dikenal bahwa kisah Muhajir Ummu Qais (orang yang berhijrah karena ingin menikahi Ummu Qais) merupakan sebab munculnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya…”. Hal ini banyak disebutkan oleh para ulama belakangan ini dalam kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak pernah melihat asal-usul hal ini dengan sanad yang shahih, Wallahu A’lam“.

8- Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazhkannya adalah bid’ah. Maka tidak boleh melafazhkan niat pada setiap ibadah apapun, kecuali pada ibadah haji dan umrah, maka seseorang dibolehkan menyebutkan dalam talbiyahnya apa yang ia niatkan, berupa qiran, ifrad atau tamattu’. Ia boleh berkata, “Labbaika umratan wa hajjan“. Atau “Labbaika hajjan“. Atau “Labbaika umratan“. Karena memang hal ini ditunjukkan oleh sunnah (hadits) dan tidak pada ibadah yang lainnya.

9- Pelajaran dan faidah hadits:

a. Sesungguhnya tidak ada amal (perbuatan) kecuali dengan niat.
amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan suatu         amalan tanpa niat

b. Sesungguhnya setiap amal (perbuatan) itu dianggap sah dengan niat-niatnya.
setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.

c. Sesungguhnya balasan untuk si pelaku amalan (perbuatan) berdasarkan niatnya.
Seseorang diberi pahala, berdosa, atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan

Niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.
 
d.Hendaknya seorang alim (ulama) memberikan perumpamaan sebagai penjelasan dan penerangan.

e. Keutamaan hijrah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Dan telah terdapat dalam Shahih Muslim (121) dari ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

«أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ؟ وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا؟ وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ؟».

Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya? Dan hijrah juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya? Dan ibadah haji juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya?

Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliau pun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. Seorang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini.

  1. Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan.
  2. Secara syar’i, hijrah ada tiga macam:i. Hijrah terhadap tempat, seperti hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam.
    ii. Hijrah terhadap amal, seperti hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan.
    iii. Hijrah terhadap pelaku perbuatan, seperti meninggalkan teman yang buruk lalu mendekati dan bergaul dengan teman yang baik lagi shaleh.
  3. Berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam hukumnya wajib bagi yang mampu dan tidak bisa leluasa melaksanakan agamanya. Untuk yang selain itu hukumnya sunnah saja.
  4. Berhijrah dari negeri kafir dan maksiat ke negeri Islam sama dengan bertobat dari kekufuran dan kemaksiatan menuju keimanan dan ketaatan.
f. Seseorang itu mendapatkan pahala, atau dosa, atau tidak mendapatkan apapun sesuai dengan niatnya.

g. Amalan-amalan bergantung pada wasilah yang mengantarkan kepadanya. Mungkin saja sesuatu itu pada asalnya hukumnyamubah, namun ia dapat berubah menjadai sebuah ketaatan (ibadah) jika seseorang berniat kebaikan dengannya. Seperti makan dan minum, jika seseorang meniatkan dengannya sebagai penguat dirinya untuk beribadah.

h. Sesungguhnya sebuah amalan (perbuatan) dapat menjadi pahala bagi pelakunya, dan dapat pula menjadi penghalang dari pahala tersebut.

PENJELASAN ULAMA

Ibnu Rajab berkata, “Niat menurut para ulama mengandung dua maksud, yaitu:

Pertama, sebagai pembeda antara satu ibadah dengan yang lain, seperti membedakan antara shalat zhuhur dengan shalat ashar, puasa Ramadan dengan puasa yang lain; atau pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti membedakan antara mandi junub (mandi wajib) dengan mandi untuk sekedar mendinginkan atau membersihkan badan atau yang semisalnya. Niat semacam ini banyak dibicarakan oleh para ahli fikih dalam kitab-kitab mereka.

Kedua, untuk membedakan tujuan dalam beramal, apakah yang dituju adalah Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya atau semata-mata hanya untuk selain-Nya, atau untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya. Niat semacam ini dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika membicarakan masalah ikhlas dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Para ulama salaf juga banyak membicarakan masalah ini.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/28-29).

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya).”

Ibnu Rajab berkata, “Perkataan ini menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan hasil dari amalannya melainkan apa yang telah diniatkannya; jika dia meniatkan untuk kebaikan niscaya akan memperoleh kebaikan, dan jika meniatkan untuk kejelekan niscaya akan memperoleh kejelekan pula. Dan kalimat ini bukan semata-mata pengulangan dari kalimat pertama, (yakniinnamal a’maalu binniyat), karena kalimat pertama menunjukkan bahwa baik dan buruknya amalan tergantung pada niat yang melakukannya, sedangkan kalimat kedua menunjukkan bahwa pelakunya mendapat pahala amalan kalau niatnya baik dan akan mendapatkan siksa kalau niatnya jelek. Niat bisa saja dalam hal yang mubah di mana amalannya pun mubah sehingga seseorang tidak memperoleh pahala maupun siksa. Jadi, amalan seseorang dianggap baik, buruk, atau mubah tergantung pada niatnya; apakah baik, jelek, atau mubah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/27-28).

KAEDAH FIQH

Kaidah ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masalah hati dan niat, mengapa demikian? Karena hati adalah kunci utama amalan kita, dan niat adalah ruh penggerak jasad kita. Kita hanya akan mendapat pahala ketika kita niatkan amalan itu karena Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:


عن سعد بن أبي وقاص قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن يؤجر في كل شيء،[1] حتى في اللقمة يرفعها إلى في امرأته. (رواه أحمد وغيره وقال الأرناؤوط إسناده حسن)ـ


Seorang mukmin bisa mendapat pahala dari segala sesuatu (dengan niat yg baik), hingga suapan yang ia masukkan ke mulut istrinya. (HR. Ahmad dan yang lainnya, dihasankan oleh Al-Arna’uth)


Dengan niat yang baik, amalan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang agung. Tidak asing bagi kita, kenapa sahabat Abu Bakar mengungguli sahabat-sahabat yang lainnya? Seorang tabi’in, Bakr ibnu Abdillah al-Muzaniy mengatakan:

إن أبا بكر رضي الله عنه لم يفضل الناس بكثرة صلاة، إنما فضلكم بشيء كان في قلبه (صحيح موقوف على بكر بن عبد الله المزني)ـ

Sungguh! tidaklah Abu Bakar itu mengungguli orang-orang dengan banyaknya amalan sholatnya, tapi beliau mengungguli kalian itu dengan apa yang ada di hatinya.

Sebaliknya karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti debu yang beterbangan. sebagaimana firman Alloh swt:

وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا
(Ingatlah pada hari kiamat nanti) akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.

Terlalu banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan betapa pentingnya kita memperhatikan hati dan niat kita, sebagai misal saja:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين (وكل آية في قرن العبادة أو الدعاء بالإخلاص فإنها دليل على هذه القاعدة)ـ

Alloh berfirman: “Mereka tidak diperintah, melainkan untuk menyembah Alloh dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama-Nya” (Al-Bayyinah:5)… (Semua ayat yang menggabungkan ibadah atau doa dengan ikhlas, bisa menjadi dalil untuk kaidah ini).

وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله لا ينظر إلى أجسادكم، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم” (رواه مسلم)ـ
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “sesungguhnya Alloh tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian” (HR. Muslim)

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ (رواه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وصححه الألباني)ـ

Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Dunia ini, hanya untuk empat orang:

(1) Hamba yang Alloh beri harta dan ilmu, lalu dengannya ia bertakwa pada Tuhannya, menyambung tali silaturahim, dan menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling tinggi.

(2) Hamba yang Alloh beri Ilmu tanpa harta, akan tetapi ia baik niatnya, ia berkata: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku beramal seperti amal baiknya si fulan (yang kaya)’, maka orang seperti ini dapat pahala sebagaimana niatnya, sehingga kedua orang ini pahalanya sama.

(3) Hamba yang Alloh beri harta tanpa ilmu, lalu ia sembrono dalam menggunakan hartanya tanpa dasar ilmu, sehingga ia tidak bertakwa pada tuhannya dalam menggunakannya, tidak menyambung tali silaturrohim, dan tidak menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling buruk (bawah).

(4) dan Hamba yang tidak diberi harta dan ilmu, (serta buruk niatnya), ia mengatakan: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku akan gunakan sebagaiman si fulan menggunakannya’, maka orang seperti ini menuai dosa karena niatnya, sehingga kedua orang ini dosanya sama”.

(HR. Tirmidzi, ia mengatakan: Hasan Shohih, dishohihkan pula oleh Albani).Ini merupakan kaidah yang sangat agung, ia masuk dalam separoh syariat Islam, mengapa demikian? Karena syariat Islam terbagi menjadi dua: Syariat yang mengatur amalan lahiriyah, dan syariat yang mengatur amalan batiniyah, dan kaidah ini sebagai pengatur amalan batiniyah, yaitu niat.

Para Ulama salaf mengetahui benar hal ini, oleh karenanya mereka sangat serius dalam memperbaiki niatnya. Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:

  • Yahya ibnu Katsir: (تعلّموا النية، فإنه أبلغُ من العمل) pelajarilah masalah niat, karena itu lebih penting daripada amalan.
  • Zabid al-Yami: (إني لأُحِبُّ أن تكون لي نيةٌ في كل شيءٍ حتى في الطعام والشراب) sungguh aku senang, untuk meniatkan segala sesuatunya (untuk ibadah), meskipun dalam hal makan dan minum.
  • Dawud at-Tho’i: (رأيت الخيرَ كلَّه، إنما يجمعُه حسنُ النية) aku melihat, segala kebaikan hanya terkumpul dalam niat yang baik.
  • Sufyan at-Tsauriy: (ما عالَجْتُ شيئاً أشدَّ عليّ من نيّتِي، لأنها تتقلَّبُ عليّ) tidak ada yang lebih berat bagiku melebihi beratnya mengobati niatku, karena ia selalu berubah-rubah dalam diriku.
  • Yusuf bin Asbath: (تخليصُ النية من فسادها أشدُّ على العالِمين من طول الاجتهاد) membersihkan niat dari kotoran, lebih berat daripada istiqomah dalam amal ibadah.
  • Muthorrif ibnu Abdillah: (صلاحُ القلبِ بصلاحِ العمل, وصلاحُ العمل بصلاح النية) hati yang baik adalah karena amal yang baik, dan amal yang baik adalah karena niat yang baik.
  • Abdulloh bin Mubarok: (رُبَّ عملٍ صغيرٍ تُعَظِّمه النية, ورُبَّ عملٍ كبيرٍ تُصَغِّرُه النية) betapa banyak amalan yang sepele menjadi besar karena niatnya, sebaliknya betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niatnya.
  • Ibnu ’Ajlan: (لا يصلح العملُ إلا بثلاث: التقوى لِلّه, والنيةُ الحسنة, والإصابةُ) Amal tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga syarat: takwa, niat yang baik dan benar dalam melakukannya.
  • Fudhoil bin ’Iyadh: (إنما يريد الله منك نيتك وإرادتك) Sesungguhnya yang Alloh inginkan darimu adalah niat dan tujuanmu.
  • Beliau juga mengatakan:
(إن العملَ إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقْبَل, وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا، لم يُقْبَل حتى يكون خالصا 

صوابا)

Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan).

Begitulah para salafus sholeh, mereka tidak berkata dan bertindak kecuali setelah menghadirkan niat yang baik, sehingga menjadi berkah ucapan, perbuatan dan umur mereka. Mereka menjadi teladan dalam amalannya, karena mereka lebih dulu menjadi teladan dalam memperbaiki niatnya. Sungguh mereka tidak asal-asalan dalam beramal, tapi amal mereka muncul dari hati yang bersih, suci, dipenuhi iman, takwa dan rasa takut pada Alloh ta’ala, dan tentunya amal mereka itu muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kitab dan sunnah.
Itulah yang membuat mereka beda dengan kita, padahal puasa merek

a sepintas sama seperti puasa kita, begitu pula sholatnya, sama seperti sholat kita, hanya saja niat dan tujuan yang jelas jauh berbeda.

Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan masalah niat ini, Pahala niat sangat agung, begitu bahanyanya sangat besar. Amal kita ibarat jasad, sedangkan niat adalah nyawanya, dan tiada guna jasad tanpa ada nyawa. Amal kita juga ibarat pohon, sedangkan niat adalah akarnya, dan pohon tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akar yang kokoh.

Itulah sebabnya kita merasa berat dalam melakukan ibadah, mengapa? Karena kita tidak menghadirkan niat yang tulus dalam beribadah. Wallohul musta’an.

Nash-nash diatas, secara tidak langsung, juga menunjukkan pentingnya kita mempelajari kaidah pertama ini: “segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.

Dari manakah para ulama menyimpulkan kaidah ini?

Dari banyak nash-nash syar’i, baik dari Alqur’an maupun Sunnah… Dan nash yang paling mirip dengan bunyi kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur, yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khottob ـ: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات)ـ semua amalan itu tergantung niatnya.

Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa Lafal hadits ini lebih baik dan lebih mengena dibandingkan lafal kaidah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnus Subkiy dalam kitabnya al-Asybah wan Nadho’ir (1/54).
Apa arti kaidah ini?

(الأمور) adalah bentuk jamak (plural) dari kata (الأمر) dan makna kata tersebut dalam bahasa arab banyak, diantaranya: perintah, keadaan, sesuatu, perbuatan. Dan yang dimaksud (الأمر) dalam lafal kaidah ini adalah: (الفعل والعمل)[2] yaitu perbuatan, dan ia mencakup perbuatan lisan dan anggota badan lainnya.

(مقاصد) adalah bentuk plural (jamak) dari kata (مقصد) yang berarti (النية),[3] dan definisi niat adalah: dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya.

Dari keterangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa arti dari kaidah ini, dilihat dari susunan katanya adalah: Semua amalan itu tergantung niatnya, dan makna ini sama persis dengan makna lafal hadits (الأعمال بالنيات). Karena maknanya sama, maka penggunaan lafal nabawi (الأعمال بالنيات), lebih utama ketimbang menggunakan lafal non nabawi, seperti (الأمور بمقاصدها), wallohu a’lam.

Maksud kaidah ini adalah, bahwa semua amalan seseorang, (baik ucapan maupun perbuatan, baik amalan duniawi maupun ukhrowi), akan berbeda hasil dan hukumnya, sesuai dengan maksud dan tujuan orang yang melakukannya.

Pembahasan masalah niat:

Niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya… oleh karenanya bila seorang memulai ihromnya dengan melafalkan “Labbaikallohumma hajja” tanpa terbetik niat masuk ihrom haji di hatinya, maka ihrom hajinya tidak sah… Sebaliknya jika ia telah niat dalam hatinya tanpa melafalkan talbiyah, maka niat ihromnya sudah sah… Apabila ada perselisihan antara hati dan lisan… Hatinya ingin niat haji, tapi yang terucap “Labbaikallohu umroh”, maka yang dianggap sah adalah niat yang di hati… karena niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya…

Ada dua fungsi dalam niat: (a) Untuk membedakan antara amalan ukhrowi (ibadah) dengan amalan duniawi (adat)… misalnya: Antara mandi junub, dengan mandi untuk menyegarkan badan… Perakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, yang mandi junub jadi amalan ibadah (berpahala), sedang mandi untuk menyegarkan badan tidak jadi ibadah… (b) Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya… misalnya: Sholat Qobliyah Subuh dengan Sholat Subuh, prakteknya sama persis (bagi mereka yang tidak qunut)… yang membedakan hanyalah niatnya, hingga yang satu jadi ibadah sunat, sedang yang lain jadi ibadah wajib…. Begitu pula puasa nadzar hari senin dengan puasa sunat hari senin… prakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, puasa nadzar jadi ibadah wajib, dan yang lainnya jadi ibadah sunat… dst…

Syarat niat ada 6: (a) Islam, oleh karenanya niat ibadah tidak akan sah dari orang non muslim… (b)Ikhlas, oleh karenanya ibadah tidak akan berpahala jika niatnya riya’… (c) Tamyiz, sehingga niat anak kecil yang belum tamyiz (bisa membedakan mana yang baik dan buruk) tidak sah, oleh karenanya hajinya anak kecil harus dengan niat orang yang membawanya… (d) Tahu amalannya, karena bagaimana niat kita sempurna tanpa tahu amalan yang akan kita kerjakan… (e)Waktu niat. Hendaknya niat sebisa mungkin dilakukan berdekatan dengan awal amalan, lebih dekat awal amalan lebih baik. Oleh karenanya tidak sah niat puasa romadhon pada bulan sya’ban, tidak sah niat sholat dhuhur sebelum masuk waktunya, dst… (f) Tidak adanya sesuatu yang menafikanya, seperti: ragu-ragu, atau memotongnya, atau mencampurnya dengan hal lain yang bisa membatalkannya.

Penerapan kaidah ini:

Sebagaimana kita tahu, kaidah ini berlaku pada semua bab fikih, mulai dari bab ibadat, mu’amalat, jinayat, dst… Dan karena fungsi utama mempelajari kaidah fikih adalah untuk memudahkan kita menemukan hukum suatu kasus, maka kami akan paparkan banyak contoh di bawah ini dalam bentuk soal-jawab:

  1. Soal: Jika ada dua orang yang hijrah dari negara kafir ke negara islam, apa keduanya mendapat pahala? Jawab: Dengan berdasar kaidah niat ini, kita katakan: Jika niatnya ikhlas karena Alloh maka baginya pahala yang agung di sisi-Nya, Tetapi jika hijrahnya karena dorongan harta atau cinta wanita, maka hijrahnya menjadi tanpa pahala. Sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Sesungguhnya semua amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan meraih apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya (sebagaimana niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena niat duniawi atau cinta wanita yang akan dinikahi, maka hijrahnya juga untuk tujuan itu (sebagaimana niatnya)” (HR. Bukhori Muslim)
  2. Soal: Pejuang perang, penuntut ilmu syar’i, dan seorang dermawan, apa mereka dijamin masuk surga? Jawab: Dengan kaidah ini, kita katakan: Jika mereka niatnya ikhlas, maka ketiganya dijanjikan pahala yang sangat agung oleh Alloh ta’ala. Tetapi, jika niatnya tidak ikhlas, misalnya, perangnya karena ingin dijuluki pahlawan pemberani… belajar ilmu syar’i-nya karena ingin dijuluki Kyai… Seringnya menyumbang karena ingin berjuluk Dermawan dan pemberi… maka mereka menjadi orang yang paling awal masuk neraka. Sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama diadili adalah: (a) orang yang gugur di medang perang, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk perang (dengan ikhlas) karena-Mu hingga aku syahid”. Alloh katakan: “Kamu bohong, sebenarnya kamu perang agar dijuluki pemberani, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (b) Orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Alqur’an, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk belajar, mengajar dan membaca Alqur’an (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar dijuluki Sang Alim, dan kamu membaca Alqur’an agar dijuluki Sang Qori’, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (c) Orang yang Alloh luaskan hartanya,ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku tidak tinggalkan satu pun jalan sedekah, kecuali aku sedekahkan harta itu (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu lakukan itu agar dijuluki Sang Dermawan, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (HR. Muslim)… Lihatlah, betapa bahayanya niat, amalan yang sangat mulia pun bisa menjadi bumerang bagi pelakunya… Karena semua amal tergantung niatnya…
  3. Soal: Bolehkah kita mengamankan barang temuan, yang didapat di tanah suci mekah dan madinah? Jawab: Kita tahu Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang kita mengambil barang temuan dari tanah suci mekah dan madinah, kecuali bagi mereka yang berniat mengumumkan dan menyampaikannya kepada si empunya (HR. Bukhori Muslim), dan ia tidak akan memilikinya selamanya… Jadi jika niatnya untuk dimiliki, maka ia tidak boleh mengambilnya, tapi jika niatnya untuk disampaikan ke pemiliknya, maka ia boleh mengambilnya meski barang itu tidak akan menjadi miliknya selamanya… Lihatlah bagaimana pengaruh niat, amalan yang sekilas sama, hukumnya bisa beda… karena “Semua amalan tergantung niatnya”.
  4. Soal: Hasil buruan hewan yang terlatih, apa semuanya halal dimakan? Jawab: Jika hewan itu berburu dengan sendirinya, tanpa perintah dari pemiliknya, maka hasil buruannya haram dimakan, Sedang jika hewan itu berburu karena perintah pemiliknya maka hasil buruannya menjadi halal… Jadi halal dan haram hasil buruan itu tergantung ada tidaknya niat dari pemiliknya… Karena semua amalan tergantung niatnya…
  5. Soal: Dua orang yang junub (hadats besar), kemudian mandi, yang satu niatnya untuk mendinginkan badan, yang lain niatnya untuk menghilangkan hadats besar, bagaimana hukumnya? Jawab: Kita katakan “Semua amalan tergantung niatnya”, maka orang pertama masih tetap junub, sedang orang kedua sudah suci dari junub.
  6. Soal: Dua orang tidak makan dan tidak minum dari Subuh sampai Maghrib, tapi yang satu niatnya hanya diet, sedang yang lain niatnya puasa karena Alloh, bagaimana hukumnya? Jawab: Karena niat yang berbeda, maka orang pertama tidak dapat pahala puasa, sedang orang kedua mendapatkannya.
  7. Soal: Bagaimana hukum lelaki melihat wanita dengan niat dinikahi? Jawab: Memang Rosul -shollallohu alaihi wasallam-memerintahkan kita untuk melihat wanita yang mau kita nikahi (HR. Muslim), akan tetapi itu tergantung niatnya… Jika niatnya hanya karena senang cuci mata, dan tidak sungguh-sungguh ingin menikah, maka amalannya menjadi haram. Sebaliknya apabila ia melakukannya karena niat yang kuat untuk menikah, maka amalannya sesuai sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Karena semua amalan itu tergantung niatnya…
  8. Soal: Bagaimana hukum orang meng-haji-kan atau meng-umroh-kan orang lain, dan mengambil upah untuk itu? Jawab:Banyak dalil yang membolehkan mewakili orang lain dalam Ibadah Haji maupun Umroh… Adapun mengambil upah untuk itu, maka solusinya adalah kaidah ini: “Semua amal tergantung niatnya”, jika niatnya dalam mewakili hanya untuk mengambil untung harta, maka ia hanya menuai untung harta itu saja tanpa pahala akhirat, Alloh berfirman (yang artinya): “Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia… mereka tidak akan dirugikan di dunianya. (Tapi) mereka tidak memiliki bagian di akhirat kecuali Neraka” (Hud:15-16). Sebaliknya jika dalam mengambil upah itu dengan niat untuk bekal hajinya, maka ia dapat dua-duanya, pahala akhirat dan manfaat dunia…
  9. Soal: Orang yang mabuk hingga hilang akalnya, bagaimana hukum akadnya, talaknya dan pengakuannya? Jawab: InsyaAllohPendapat yang benar adalah yang mengatakan akadnya orang itu tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap. Mengapa? Karena perkataannya sia-sia, karena ia tidak memiliki niat yang benar, sebagaimana orang gila… Pendapat inilah yang sesuai dengan nash-nash syar’i, perkataan para sahabat, dan dasar-dasar Islam… Alloh berfirman (yang artinya) “Janganlah kalian mendekati sholat saat kalian mabuk, hingga kalian sadar dengan ucapan kalian” (An-Nisa:43), ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mabuk biasanya tidak tahu apa yang diucapkannya, itu berarti ucapan yang keluar bukan berasal dari hati, padahal syariat tidak menghukum seseorang kecuali karena amalan yang bersumber dari hati, sebagaimana firmannya: “Alloh menghukum kalian, karena niat yang terkandung dalam hati kalian” (Al-Baqoroh:225)… Intinya “Semua amalan tergantung niatnya” dan karena orang yang mabuk sampai hilang akalnya tidak memiliki niat yang benar, maka amalannya tidak dianggap… oleh karenanya akadnya menjadi tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap… wallohu a’lam.
  10. Soal: Apa hukumnya: orang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu/lupa/dipaksa?  (Tidak apa-apa, dan puasanya sah)… Apa hukumnya orang yang melakukan pantangan Ihrom ketika haji atau umroh karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, haji atau umrohnya sah, tidak usah bayar dam)… Apa hukumnya orang yang bicara dalam sholat karena tidak tahu/lupa? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukumnya orang yang mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa? (tidak murtad, dan ia tidak berdosa)… Apa hukum orang yang shalat dengan najis karena tidak tahu? (sholatnya sah, meskipun lebih baik mengulanginya jika belum keluar waktunya)… Apa hukum orang yang menoleh dalam sholat karena kaget? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukum orang yang mentalak istri karena diancam/dipaksa? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang salah ucap, maksud hati ingin mengatakan: Aku bermaksud “meleraikanmu” tapi yang terucap “menceraikanmu”? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang lupa sholat, hingga keluar waktunya? (Tidak berdosa, dan harus shalat ketika ingat)… Dan masih banyak sekali kasus-kasus lainnya… Intinya Syariat Islam menggugurkan hukuman bagi mereka melakukan sesuatu tanpa sengaja, karena “Semua amalan itu tergantung niatnya”…
  11. Soal: Bagaimana hukum seorang mujtahid, jika salah dalam ijtihadnya? Jawab: Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-“Jika seorang penentu hukum berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, sedang bila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala” (HR. Bukhori Muslim)… Mengapa demikian? Karena sang mujtahid tidak bermaksud memilih yang salah, ia berniat mencari yang benar sesuai dengan dalil yang sampai pada dia, tapi tak disengaja ia jatuh dalam kesalahan… Sebagaimana kaidah “Semua amalan tergantung pada niatnya”, maka kesalahan itu tidak berakibat dosa, karena ia tidak berniat melakukan kesalahan… Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah: Ketika seorang mujtahid tidak berdosa dalam melakukan kesalahan berdasarkan ijtihadnya, bukan berarti kita boleh menirunya dan melakukan kesalahan yang sama… Karena, ke-tidak-berdosa-an mereka adalah didasari oleh ijtihadnya mereka, dan penilaian mereka bahwa itu yang benar… Adapun orang yang tahu, bahwa ternyata pendapat mereka lemah dan salah, maka ia tidak boleh menirunya, dan berdosa jika ia melakukannya, karena dengan begitu, ia berarti melakukan kesalahan yang telah ia sadari… Intinya “Semua amalan tergantung pada niatnya”… Wallohu a’lam…
  12. Soal: Bagaimana dengan orang yang bernadzar menziarahi masjid madinah. Jawab: Jika ia bermaksud menziarahi masjid nabawi untuk beribadah di dalamnya, maka itu termasuk nadzar taat yang wajib tunaikan, meski harus safar jauh, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Barangsiapa nadzar untuk melakukan ketaatan kepada Alloh, maka hendaklah ia tunaikan! sedang barangsiapa yang nadzar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya!” (HR. Bukhori)…Adapun bila maksud utama dari nadzar itu untuk menziarahi makam Nabi -shollallohu alaihi wasallam- maka itu menjadi nadzar maksiat jika harus safar jauh, mengapa? Karena makam tidak boleh dijadikan tujuan untuk safar jauh, sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Janganlah mengadakan safar, kecuali ke tiga masjid: Masjidil Harom, Masjidku ini (yakni Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho” (HR. Bukhori Muslim)… Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al-Qadli Husain, Al-Qadhi ‘Iyadh (Fathul Bari, syarah hadits no: 1189) dan Al-Muhaqqiq Ash-Shon’ani (Subulus Salam 2/283) dan sekelompok ulama lainnya… Lihatlah bagaimana hukum bisa berbalik 180 derajat hanya karena perbedaan niat… begitulah, karena “setiap amalan tergantung niatnya”…
  13. Soal: Apa hukum melihat wanita, sekejap tanpa sengaja? Jawab: Karena “semua amal tergantung pada niatnya”, maka pandangan itu tidak menyebabkan dosa, karena ia tidak sengaja dan tak ada niat melakukannya, tapi wajib baginya segera memalingkan pandangannya… Jika tidak, dan meneruskan pandangannya dengan sengaja, maka ia berdosa karenanya… karena timbulnya niat dalam hatinya untuk melakukan dosa itu… karena itu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika ditanya tentang hal ini, beliau mengatakan: “Palingkanlah pandanganmu!” (HR. Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Tirmidzy, Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Albani).
  14. Soal: Apa hukum talak yang dijatuhkan seseorang yang sedang sangat marah sekali, hingga pada taraf tidak sadar dengan apa yang diucapkannya? Jawab: Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tidak sadar dengan ucapannya, dan orang seperti ini semua ucapannya tidak dianggap, karena tanpa dasar niat dalam hatinya, sehingga talaknya tidak jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”… Berbeda jika ketika marah, ia masih sadar dan tahu apa yang diucapkannya, lalu mentalak istrinya, maka dalam kasus kedua ini, talaknya jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”…
  15. Soal: Apa hukum menggundul kepala? Jawab: Menggundul bisa berbeda-beda hukumnya, (a)Ia bisa jadi amal ibadah, seperti ketika haji, umroh, anak kecil di hari nasikahnya, dan orang kafir ketika masuk Islam (al-Mughni 1/274)… (b)Bisa jadi amalan syirik, seperti menggundul dengan niat merendah dan tunduk kepada selain Alloh, sebagaimana diperaktekkan para pengikut fanatik para guru tarekat sufi, mereka mengatakan: “Aku menggundul kepalaku untuk si fulan dan kamu menggundul kepalamu untuk si fulan” (Zadul Ma’ad 4/159)… (c)Bisa jadi bid’ah, seperti menggundul ketika taubat (Majmu’ Fatawa 21/117)… (d)Bisa jadi harom, seperti: Menggundul karena ditinggal mati kerabat atau orang tercinta, atau karena meniru mode orang kafir atau fasiq yang terkenal dengan model plontosnya… (e)Bisa jadi dibolehkan tanpa pahala, misalnya karena adanya kebutuhan duniawi… Intinya hukum menggundul ini tergantung niatnya, karena menggundul itu merupakan amalan, dan “Semua amal itu tergantung pada niatnya”.
  16. Soal: Apa hukum mencela (men-jarh) seseorang? Jawab: itu tergantung niatnya: Jika niatnya ikhlas untuk menasehati, proporsional, tidak bermaksud menghina, merendahkan, dan hanya membatasi sisi yang perlu saja, maka itu menjadi amalan ibadah sebagaimana diterapkan oleh para imam ahli jarh watta’dil… Apabila tidak demikian maka amalan itu menjadi haram… karena setiap amalan tergantung niatnya…
  17. Soal: Bisakah makan dan minum berpahala? Jawab: Memang, pada asalnya makan dan minum -yang waktu kita setiap hari tersita untuknya- itu bukan amal ibadah, tapi dengan menerapkan kaidah ini, amalan ini bisa menjagi ibadah yang berpahala… Misalnya dengan meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh ta’ala, karena badan tidak akan kuat ibadah kecuali dengan makan dan minum… Maka niatkanlah makan dan minum dengan niat baik ini, dan terapkanlah Adab Islami di dalamnya, seperti: Memulai dengan basmalah, makan dengan tangan kanan, memakan yang paling dekat dulu, membagi jatah volume perut menjadi tiga (yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga udara), dst… Jika anda melakukannya dengan niat itu, tentunya waktu yang tersita untuk makan dan minum menjadi penuh dengan ibadah yang berpahala, bahkan dengan niat yang baik setiap gerakan anda (mulai dari menurunkan tangan untuk mengambil makanan, mengangkatnya kembali untuk memasukkannya ke mulut, memamahnya, menelannya, dst) menjadi ibadah…  Mengapa? Karena niat yang baik dapat merubah amal duniawi menjadi ibadah yang berpahala… Sungguh, adakah orang yang tidak sanggup melakukannya?!… Hanya dengan niat yang sederhana dan ringan, amal dunia berubah menjadi ibadah dan berpahala… Itu semua kembali kepada kaidah “Setiap amalan itu tergantung niatnya”…
  18. Soal: Bisakah kita tidur sambil ibadah? Jawab: Hukum asalnya, tidur adalah amalan mubah yang tanpa pahala dan dosa, padahal ia lumayan banyak menyita waktu kita… Alangkah baiknya jika kita bisa menjadikannya ibadah yang berpahala, sehingga kita bisa mengeruk banyak keuntungan akhirat dengannya… Ingatlah kaidah “Semua amalan tergantung niatnya”… Dengan niat yang baik, tidur kita menjadi ibadah, seperti meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh jalla wa’ala, karena badan akan kehilangan kekuatannya tanpa tidur… dan hendaklah ia menerapkan Adab Islami di dalamnya, seperti wudhu sebelum tidur, membaca doa tidur yang dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tidur dengan posisi miring pada tubuh bagian kanan, dst… Jika kita melakukannya dengan niat yang baik, maka tidur kita, menjadi ibadah yang berpahala… Itulah sebabnya mengapa amal duniawi orang yang selalu ingat Alloh menjadi ibadah, sedang amal orang yang lalai menjadi kosong tanpa pahala…
  19. Soal: Bisakah rutinitas kerja dan mengais rizki menjadi amal ibadah? Jawab: Kerja, mungkin kegiatan paling banyak menyita waktu kita dalam hidup ini, padahal ia termasuk amal duniawi yang mubahshollallohu alaihi wasallam-), menjadikan banyak orang tahu agamanya, membantu para siswa memenuhi kebutuhan pribadinya, dan niat-niat baik lainnya… Dengan niat yang baik itu, maka langkah kakinya, naik kendaraannya, menetapnya di tempat kerja, pulangnya, dan setiap cobaan yang dialaminya menjadi tabungan pahala… Lihatlah bagaimana keuntungan besar yang disebabkan niat ini, padahal ia hanyalah amal hati yang ringan dan tanpa biaya… sayangnya kebanyakan orang lupa dengan hal ini, karena setan melupakannya… semoga Alloh melindungi kita semua dari gangguannya… 
    (tanpa pahala dan dosa)… Orang yang berakal, tentunya tidak ingin waktu panjang itu terbuang tanpa pahala… Kuncinya adalah niat yang baik… Misalnya: Kerja dengan niat ibadah pada Alloh ta’ala, mencari rizki yang halal sehingga menghindarkannya dari minta-minta, dan membantunya dalam menunaikan kewajiban menafkahi anak istri… dengan meniatkannya memudahkan urusan orang lain dan menasehatinya… jika ia guru, maka meniatkannya untuk menyebarkan kebaikan, mengajarkan sunnah (tuntunan Nabi -
  20. Soal: Apakah membeli suatu kebutuhan, seperti: mobil, pakaian, rumah, makanan, minuman, alat rumah tangga, dll, bisa berpahala? Jawab: Sertailah dengan niat yang baik, insyaAlloh setiap amalan anda akan berpahala… Soal: Membeli dan Memakai jam tangan, bisa berpahala? Jawab: Tentu… dengan niat yang baik, ia menjadi berpahala, misalnya: Ketika membeli atau memakainya ia niatkan untuk: menertibkan waktu ibadahnya, mengingatkan janji yang dibuatnya, dan niat baik lainnya… Karena amal duniawi akan berpahala jika disertai dengan niat yang baik… karena semua amalan tergantung niatnya…
  21. Soal: Refreshing, tamasya ke tempat rekreasi, dan sejenisnya, apa bisa berpahala? Jawab: Karena amal tersebut bukan ibadah (dalam ilmu fikih, semua amalan yang bukan ibadah disebut adat) dan mubah, maka ia tidak berpahala kecuali dengan niat yang baik… tentunya dengan catatan amalan itu tidak menjerumuskan kita pada hal yang harom… Niat yang baik dalam hal ini, misalnya: Menghibur diri dan menghilangkan kepenatan, hingga pikirannya segar dan giat kembali dalam ibadahnya… karena sebagaimana kita tahu, pikiran dan hati kadang lelah, penat dan bosan dengan rutinitas yang kita lakukan, meski bentuknya ibadah, hingga butuh waktu istirahat, refreshing, dan hiburan yang halal untuk menghilangkannya… Inilah metode yang benar… Alhamdulillah, Islam bukanlah agama yang memberatkan, membosankan dan mengekang… Islam agama yang seimbang dan proporsional… maka janganlah anda serius terus menerus, sebaliknya jangan pula mencari hiburan tanpa batasan, tapi keduanya harus ada, jadikanlah hiburan itu seperti garam dalam masakan… dan ketika sedang refreshing, niatkanlah untuk menghibur diri agar kuat menjalankan taat kepada Alloh ta’ala…
  22. Soal: Apa hukuman orang yang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan? Jawab: Hukumnya berbeda-beda tergantung niatnya: (a)Jika ia melakukannya dengan tanpa sengaja, maka dihukumi Qotlul Khoto’ (membunuh tanpa sengaja), Hukumannya: membayar diyatnya, dan tidak boleh diqishosh… (b)Jika ia melakukannya dengan sengaja tapi alatnya tidak mematikan, maka dihukumi Qotlu Syibhil ’Amd (membunuh semi sengaja), hukumannya: Membayar diyatnya yang lebih tinggi dari diyat qotlul khoto’, dan tidak boleh diqishosh… (c)Dan jika ia melakukannya dengan sengaja dan alatnya mematikan, maka dihukumi Qotlul ’Amd, maka ada tiga pilihan bagi wali korban: Qishosh, membayar diyat sesuai permintaan wali korban, dan memaafkannya sama sekali… Perbedaan hukum ini disebabkan oleh niat… karena semua amal tergantung niatnya…
  23. Soal: Apa hukuman bagi orang mencuri harta orang yang berhutang kepadanya? Jawab: Itu tergantung niatnya: Jika niatnya untuk melunasi hutangnya, maka tidak boleh diterapkan hukum potong tangan terhadapnya, berbeda jika niatnya memang murni untuk mencuri, maka ia dihukumi sesuai dengan niatnya… karena perbuatannya tergantung pada niatnya…
  24. Tapi perlu diingat, bahwa NIAT BAIK tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan… Tidak boleh mencuri, meski niatnya untuk menafkahi keluarga… Tidak boleh membuang bom sembarangan, meski niatnya untuk jihad fisabilillah… Tidak boleh korupsi, meski niatnya untuk disedekahkan atau bantu sanak famili… Tidak boleh memalsu hadits, meski niatnya untuk menggiatkan ibadah… Tidak boleh mengaku nabi, meski niatnya untuk menyebarkan kebaikan dan memajukan Umat Islam… Tidak boleh melakukan bid’ah, meski tujuannya untuk ibadah… Tidak boleh syirik, meski niatnya menarik hati umat… tidak boleh sombong, meski niatnya tahadduts binni’mah… tidak boleh ghibah, meski redaksinya “kasihan ya si fulan, ia telah begini dan begitu”… tidak boleh melihat wajah wanita yang bukan mahromnya, meski niatnya menikmati ciptaan Alloh… tidak boleh mauludan, meski niatnya mahabbah nabi… tidak boleh mengadakan acara tujuh hari setelah kematian, meski niatnya untuk berbuat baik pada si mayit… tidak boleh membangun kuburan, meski niatnya menghormati ahli kuburnya… dan seterusnya dan seterusnya…
  25. Ada juga amalan yang otomatis menjadi berpahala tanpa harus niat… Yaitu, setiap amalan yang memberi manfaat baik kepada orang lain, seperti: Membantu orang lain dalam kebaikan, menyelamatkan orang lain, menjima’ istri, menafkahi keluarga, menanam tanaman atau pohon jika dimakan burung atau hewan lainnya, dll… Tapi, peran niat tetap ada dalam amal-amal ini, yakni memperbanyak dan memperbesar pahalanya… wallohu a’lam… Hal ini selaras dengan sabda Beliau -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada kemaluan kalian, ada sedekah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang bisa menuai pahala?!. Beliau menjawab: “Bukankah ia akan berdosa jika menaruhnya pada hal yang harom?! Begitu pula sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika menaruhnya pada hal yang halal” (HR. Muslim)… Begitu pula sabdanya: “ Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung / manusia / binatang ternak, kecuali yang demikian itu sebagai sedekah darinya” (HR. Bukhori Muslim)…


[1] Dalam redaksi lain (في كل أمره), ini menunjukkan bahwa diantara makna kata (الأمر) adalah (الشيء), sebagaimana dijelaskan oleh pengarang kitab Dusturul Ulama’ (1/128), wallohu a’lam.

[2] Durorul hukkam fi syarhi majallatil ahkam (1/4)

[3] Al-qowa’idul Fiqhiyyatul Kubro wa ma tafarro’a minha (43)

========================================================================

“Semua perkara itu tergantung pada tujuannya.”


I. Asal Kaedah

Kaedah dengan lafadl diatas lebih saya utamakan untuk dijadikan sebagai sebuah kaedah daripada lafadl yang sangat masyhur yaitu :

الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

Hal ini minimalnya disebabkan oleh dua hal,


yaitu :

1. Lafadl diatas adalah lafadl syar’i, dan bagaimanapun juga sebuah lafadl yang terdapat dalam al Kitab dan as Sunnah itu lebih dikedepankan serta diutamakan daripada lainnya.

Sebagai sebuah contoh adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin bahwa menggunakan lafadl tamtsil itu lebih bagus daripada lafadl tasybih 1, hal ini dikarenakan lafadl yang terdapat dalam al Qur’an adalah tamtsil, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tiada sesuatupun yang serupa dengan Alloh.” (QS. Asy Syuro : 11) (Lihat Syarah Qowaid Mutsla hal : 66)

Oleh karena itu para ulama’ faroidl saat mengungkapkan adanya orang yang meninggal dunia dengan lafadl : “إِذَا هَلَكَ هَالِكٌ “ yang secara leterlek bahasa Indonesia berarti : Apabila ada orang yang binasa, dan mereka tidak menggunakan bahasa yang kedengarannya lebih halus misalkan : “ إِذَا تُوُفِّيَ رَجُلٌ “ yang artinya adalah : “Apabila ada seseorang yang wafat.” Hal ini disebabkan karena bahasa al Qur’an menggunakan ungkapan yang pertama, sebagaimana firman Nya :

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

“Jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut setengah dari harta yang ditinggalkannya.” (QS. An Nisa’ : 176)

2. Lafadl tersebut diatas adalah apa yang diungkapkan oleh Rosululloh, sedangkan beliau adalah seseorang yang diberikan oleh Alloh Jawami’ul kalim yaitu sebuah ucapan yang pendek lafadlnya namun mengandung makna yang sangat banyak. Sebagaimana sabdanya Rosululloh :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ : فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ : أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ ….”

Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rosululloh bersabda : “Saya diberi keutamaan diatas para nabi dengan enam perkara, yaitu : Saya diberi jawami’ul kalim,…” (HR. Muslim 523)

Oleh karena itulah maka Imam As Subki berkata saat menerangkan kaedah : “الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “ : “Dan yang lebih bagus daripada lafadl ini adalah ucapan seseorang yang diberi jawami’ul kalim yaitu : “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “ (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh As Subki 1/54)

II. Urgensi kaedah ini

Kaedah ini adalah sebuah kaedah yang sangat penting, masuk didalamnya semua permasalahan agama.
Imam Ibnu Rojab saat menerangkan hadits Umar diatas berkata:

“Dua kalimat ini adalah dua kalimat yang mencakup semua hal, dan merupakan sebuah kaedah yang universal, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya.” (Lihat Jami’ Ulum wal Hikam hal : 12) 

Cukuplah untuk mengetahui pentingnya kaedah ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Asy Syathibi : 

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat 2, dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.” (Lihat Al Muwafaqot 2/323) 
Imam Al Khothobi saat menerangkan hadits Umar diatas pun berkata: 

“Hadits ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung didalamnya. Maknanya adalah bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam agama ini tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan mana yang sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.” (I’lamul Hadits oleh Imam Al Khothobi 1/112)

III. Beberapa masalah yang berhubungan dengan niat

A. Pengertian niat

Secara bahasa, niat adalah bentuk mashdar dari akar kata نَوَى يَنْوِيْ yang maknanya adalahbermaksud atau bertekad untuk melakukan sesuatu. (Lihat Lisanul Arob Ibnu Ibnu Mandhur bab نوى)

Sedangkan secara istilah, makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Alloh dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu. (Lihat Asybah wan Nadzo’ir oleh Ibnu Nujaim hlm : 29)

B. Tempat niat

Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama’ bahwa tempatnya niat adalah didalam hati.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata :

“Tempat niat itu di hati, bukan di lisan berdasarkan kesepakatan para ulama’.” 
“Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.” (Majmu’ Rosa’il Kubro 1/243) 

Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Demikianlah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata :

“Seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya berbeda dengan apa yang dia niatkan dalam hatinya, maka yang dianggap adalah yang dia niatkan bukan yang dia ucapkan, dan seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya namun tidak ada niat dalam hatinya maka niat tersebut tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.”

Untuk sedikit meluaskan masalah ini silahkan lihat:
Zadul Ma’ad 1/196,
Ighotsatul Lahfan 1/134,
Syarhul Mumti’ 1/159, dan lainnya

C. Fungsi niat

Fungsi niat ada dua :

Pertama : Membedakan antara adat dengan ibadah

Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat. Misalnya :

Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.

Contoh lain berwudlu, yang hakekatnya membasuh dan mengusap anggota badan tertentu dengan cara tertentu. Perbuatan semacam ini bisa dilakukan seseorang karena akan menjalankan sholat, namun bisa juga dilakukan oleh seseorang hanya karena ingin mendinginkan badan. Maka yang pertama menjadi ibadah dan yang keduanya hanyalah adat belaka dan bukan ibadah.

Kedua :Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya

Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil misal tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.

Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau mungkin puasa kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat.

D. Macam-macam niat
Niat ada dua macam :
1. Niat amal
  • Yang dimaksud dengan niat amal adalah bahwasannya dalam mengerjakan sebuah amal perbuatan harus diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari ibadah tersebut. Yang atas dasar inilah, maka tidak akan sah sebuah jenis cara bersuci, sholat, zakat dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya niat, seseorang harus meniatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah itu terdapat berbagai jenis dan macamnya, maka harus menentukan  macam dan jenis apa ibadah tersebut. Sebagai sebuah contoh adalah sholat, maka seseorang harus menentukan dengan niatnya apakah dia sholat wajib ataukah sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus ditentukan apakah itu sholat dhuhur ataukah ashar dan seterusnya.
  • Niat inilah yang juga membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai sebuah contoh bahwasannya mandi itu bisa cuma berfungsi untuk membersihkan badan saja, namun bisa juga untuk menghilangkan hadats besar, itu semua tergantung pada niatnya.
  • Fungsi niat amal ini untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah ataukah tidak.
2. Niat ma’mul lahu (untuk siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?)
  • Dan inilah yang kita sebut dengan ikhlas, yaitu harus meniatkan semua amal perbuatan itu hanya untuk Alloh Ta’ala saja bukan lainnya. Alloh berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah : 5)
  • Dan niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Alloh ataukah tidak. (Lihat Bahjah Qulubil Abror oleh Syaikh Abdur Rohman As Sa’di hal : 6,7)
IV. Contoh penerapan kaedah
Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i, namun cukuplah sebagai sebuah gambaran, saya sebutkan beberapa contoh penerapannya, yaitu :
  1. Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
  2. Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda), maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124)
  3. Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Alloh, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah. (Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
  4. Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal
  5. Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai  itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
  6. Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.

Faedah :

Sebagian orang ada yang menyalahgunakan kaedah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang atas dasar ini mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan perayaan maulid nabi misalnya, akan mendapatkan pahala karena niatnya untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rosululloh, juga orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala kalau dia berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan masih banyak gambaran salah lainnya dari kaedah ini.

Untuk menjawab hal ini cukup, saya katakan beberapa point berikut :
  1. Wajib bagi seorang muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan hanya mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun hendaklah dia melihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia hukumi.
  2. Berdalil dengan kaedah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan fatal, karena kaedah ini cuma untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah amal, yaitu masalah ikhlash kepada Alloh Ta’ala dalam semua amal perbuatan yang dilakukannya. Dan masih ada satu pokok lagi yang harus dipenuhi, yaitu mengikuti sunnah Rosululloh dalam apa yang dia kerjakan.  Berdasarkan sabda Rosululloh :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari Aisyah berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka amal perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim : 1718)
  • Kaedah diatas adalah timbangan amalan bathin sedangkan hadits Aisyah adalah timbangan amal perbuatan dhohir. (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali bin Hasan hal : 59 dan Bahjah Qulubil Abror hal : 10)
Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim : “Sebagian ulama’ salaf berkata :
“Tidak ada satupun amal perbuatan kecuali akan dipertanyakan dua hal, yaitu (1) kenapadan untuk siapa engkau lakukan amal perbuatan ini, serta (2) bagaimana engkau melakukannya ?” (Lihat Mawaridul Aman min Muntaqo Ighitsatyul Lahfan hal : 35)
  • Pertanyaan kenapa, adalah untuk menanyakan masalah niat.
  • Sedangkan pertanyaan bagaimana, adalah untuk menanyakan sesuai dan tidaknya amal perbuatan tersebut dengan sunnah Rosululloh.
V. Pengecualian dari kaedah ini
Ada beberapa permasalahan fiqhiyah yang keluar dari kaedah diatas, diantaranya adalah :
  1. Kalau ada seseorang yang membunuh orang yang dia akan mewarisi hartanya dengan niat supaya bisa cepat mendapatkan harta warisan, maka dia tidak bisa mendapatkannya, sebagai hukuman atas perbuatannya.
  2. Kalau ada seorang suami yang menceraikan istrinya saat sakit menjelang kematian dengan niat agar istrinya tersebut tidak mewarisi hartanya, maka si istri tetap mewarisinya.
  3. Dan beberapa masalah lain yang mirip dengan ini.
Maka masalah ini tidak dilihat niatnya, bahkan dihukumi dengan kebalikan dari niatnya yang jelek tersebut.

==================================================================

Beberapa faedah tentang niat

  1. Mengikhlaskan amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala yang paling baik.
  2. Syarat diterimanya amal ada dua; ikhlas1 dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits di atas, sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits berikut:
    مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)
  1. Dari hadits di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal dibutuhkan batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang ikhlas, dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Amal yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar menjadi kecil karena niat.
  3. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
  4. Amal dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena AllahSubhaanahu wa Ta’aala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,
    الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
    Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)
    Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah, dan benar adalah di atas Sunnah.”
  1. Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat. Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah.
  1. Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
  2. Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau shalatnya.
  3. Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
  4. Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur(negeri yang tampak semarak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam, hukumnya ada dua:
  1. Wajib, yaitu apabila seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
  2. Sunat, yaitu apabila seseorang bisa menegakkan agamanya.Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,
    لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
    Hijrah tidaklah terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7469)Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu:
  3. Berpindah dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
  4. Berpindah dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
  5. Meninggalkan apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
    Orang muslim (yang paling utama) adalah seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
  1. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan ketenteraman batin dan dada yang lapang.
  2. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan, Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.” Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan minum.” Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap makanan.”
  1. Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam dengan ayat berikut:
    مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
  1. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”. Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’ pula.”
  1. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan. Misalnya,
  1. Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
  2. Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
  3. Menunaikan ibadah haji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
  1. Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia?Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang). Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,
    لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين
    Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
    Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
    إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)
    .
    Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji).” (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya shahih.”)
    Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
    يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ* (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)
    Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
    Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
    Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
  1. Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”

1 comments:

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top