عن أنس بن مالك  قال: قال رسول الله : « كادَ الفَقْرُ أنْ يَكُوْنَ كُفْرًا »
Dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah  bersabda: “Hampir-hampir kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab “Syu’abul iman” (no. 6612), Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam “Hilyatul auliyaa’” (3/53 dan 109), al-Qudha-‘i dalam “Musnadusy Syihab” (no. 586), al-‘Uqaili dalam “adh-Dhu’afaa’” (no. 1979) dan Ibnu ‘Adi dalam “al-Kamil” (7/236), semuanya dari berbagai jalur, dari Yazid bin Aban ar-Raqa-syi, dari Anas bin Malik , dari Rasulullah .
Hadits ini adalah hadits yang lemah, karena dalam sanadnya ada Yazid bin Aban ar-Raqa-syi, dia dinyatakan lemah oleh para ulama Ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, an-Nasa-i, ad-Daraquthni[1], adz-Dzahabi[2] dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani[3].
Hadits ini dihukumi lemah, karena lemahnya perawi di atas, oleh Imam Ibnul Jauzi[4], al-‘Iraqi[5] dan as-Sakhawi[6].
Adapun Syaikh al-Albani, beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, karena dalam sanad yang beliau nukil ada rawi yang suka memalsukan hadits[7]. Di tempat lain, beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah[8].
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, dari Anas bin Malik , dari Rasulullah , dengan redaksi yang senada. Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (4/225, no. 4044).
Tapi hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Amr bin ‘Utsman al-Kilabi, Imam adz-Dzahabi[9] dan Ibnu Hajar[10] menyatakannya sebagai rawi yang lemah, bahkan Imam al-Haitsami mengatakan bahwa dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang fatal)[11]. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam al-‘Iraqi[12] dan al-Haitsami[13].
Hadits ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Umar bin al-Khattab , dari Rasulullah . Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “ad-Du’a’” (hal. 319-320, no. 1048)n dan al-‘Uqaili dalam “adh-Dhu’afaa’” (no. 1978).
Hadits ini juga lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ma’mar bin Zaidah, dia rawi yang lemah dan riwayat haditsnya tidak didukung dengan riwayat lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-‘Uqaili dan dengan sebab inilah beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah[14].
Hadits ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib  dan Ibnu ‘Abbas , tapi kedua hadits ini sangat lemah dan palsu[15].
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang lemah dari semua jalur periwayatannya[16], bahkan sebagiannya sangat lemah dan palsu, sebagaimana penjelasan di atas.
Karena hadits ini lemah maka tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah  dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (argumentasi) untuk menetapkan bahwa kemiskinan harta itu tercela dan mudah membawa seorang manusia kepada kekafiran.
Syaikh al-Qari berkata tentang hadits ini: “Hadits ini sangat lemah, kalaupun dianggap shahih, maka maknanya dibawa kepada arti kemiskinan hati (hati yang tidak qana’ah/tidak pernah puas dengan pemberian Allah ), yang ini akan melahirkan (sifat selalu) berkeluh kesah dan takut (hidup miskin), dan ini akan menimbulkan (sifat) tidak ridha dengan ketentuan takdir Allah dan menolak pembagian (rezki dari Allah ) Yang maha menguasai langit dan bumi. Oleh karena itu, Rasulullah  bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[17].
Bahkan banyak hadits shahih dari Rasulullah  yang menyebutkan keutamaan orang miskin dan tidak punya harta dengan syarat dia bersabar dalam kemiskinannya dan selalu bersangka baik kepada allah , sebagaimana banyak hadits shahih yang menyebutkan keutamaan orang kaya dan memiliki banyak harta dengan syarat dia bersyukur dan menggunakan hartanya di jalan Allah .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (ulama) jaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama: orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Sebagian dari para ulama dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih utama), sementara ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua (orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahamad.
Adapun para Sahabat dan Tabi’in , maka tidak ada satupun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut dibanding yang lain.
Sekelompok ulama lainnya berkata: “Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka yang paling kuat iman dan takwanya itulah yang paling utama, kalau iman dan takwa keduanya sama maka keutamaan keduanya pun sama.
Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari al-Qur-an dan hadits Nabi  menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allah  dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allah  berfirman:
{إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا}
“Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya” (QS an-Nisaa’: 135).
Di antara para Nabi  dan para Sahabat  yang terdahulu dan pertama (masuk Islam) ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi Allah ) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).
Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad , dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar  dan ‘Umar .
Akan tetapi terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”[18].
Pendapat inilah yang dipilih oleh dua murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah[19] dan Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi[20].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 28 Dzulhijjah 1434H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] Semuanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Tahdziibut tahdziib” (32/67-69).
[2] Kitab “al-Kaasyif” (2/380).
[3] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 599).
[4] Kitab “al’Ilalul mutanaahiyah” (2/804).
[5] “Takhiirju ahaadiitsil Ihya’” (no. 3152).
[6] Kitab “al-Maqaashidul hasanah” (hal. 497).
[7] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (4/377, no. 1905).
[8] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (9/77, no. 4080).
[9] Kitab “al-Kaasyif” (2/83).
[10] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 424).
[11] Kitab “Majma’uz zawaa-id” (8/149).
[12] “Takhiirju ahaadiitsil Ihya’” (no. 3152).
[13] Kitab “Majma’uz zawaa-id” (8/149).
[14] Kitab “adh-Dhu’afaa’” (no. 1978).
[15] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (9/78).
[16] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/542).
4 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[18] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 149-150).
[19] Dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 146 dan 149).
[20] Dalam kitab “al-Aadaabusy syar’iyyah” (3/468-469).

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top