71 - وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ
الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ» . رَوَاهُ مَالِكٌ مُرْسَلًا، وَوَصَلَهُ النَّسَائِيّ
وَابْنُ حِبَّانَ، وَهُوَ مَعْلُولٌ.
71. Dari Abdullah bin Abu Bakar RA bahwa dalam surat yang
ditulis oleh Rasulullah SAW kepada Amr bin Hazm, “Agar tidak ada yang
menyentuh Al Qur'an kecuali bagi yang suci.” (HR. Malik secara mursal, dan
dianggap bersambung oleh An Nasa'i dan Ibnu Hibban, tetapi hadits ini
ma’lul)
[Shahih dengan banyak jalur periwayatan,
lihat Al Irwa 1/158]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abdullah bin Abu Bakar adalah putra Abu Bakar Ash Shiddiq,
satu ibu dengan Asma’. Masuk Islam sejak awal datangnya Islam, ikut serta
bersama Rasulullah SAW ke Thaif. Ia terkena panah pada peristiwa itu dan
beberapa tahun kemudian ia meninggal dunia akibat luka panah tersebut, tepatnya
pada bulan Syawal tahun 11 Hari dan dishalatkan oleh ayahnya.
Amr bin Hazm adalah Amr bin Hazm bin Zaid Al Khazraji An
Najjari, dijuluki oleh Abu Adh Dhahhak. Peperangan yang pertama kali diikutinya
adalah perang Khandaq, lalu ia ditugaskan oleh Rasulullah SAW di Najran ketika
masih berusia 17 tahun, untuk mengajar agama dan Al Qur'an penduduk Najran dan
mengambil shadaqah dari mereka.
Rasulullah SAW menulis surat untuknya yang di dalamnya
terdapat tuntunan fara’idh (pembagian harta warisan), amalan-amalan sunnah,
shadaqah dan diyat. Amr bin Hazm meninggal dunia pada khilafah Umar di
Madinah.
Tafsir Hadits
Hadits ini ma’lul, yaitu hadits yang diketahui adanya
keraguan padanya dengan qarinah dan mengumpulkan jalan-jalannya, lalu disebut
mua’alal dan ma’lul, dan yang lebih baik adalah disebut al
Mu’Al Allamah, dari kata a’allahu. Sedang illat adalah
sebab-sebab tersembunyi lagi samar yang terjadi pada hadits, lalu mempengaruhi
dan menodainya. Inilah jenis ilmu hadits yang paling samar dan paling rumit,
tidak ada yang dapat mengetahuinya melainkan orang yang dikarunia oleh Allah
pemahaman yang tajam, hafalan yang luas, pengetahuan yang sempurna dengan
tingkatan-tingkatan rawi serta ilmu yang kuat tentang sanad dan matan.
Penulis mengatakan, “Hadits ini ma’lul” karena termasuk
riwayat Sulaiman bin Daud, disepakati bahwa haditsnya matruk (tidak dipakai),
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm, tetapi dalam hal itu ia keliru karena
dia mengira bahwa yang dimaksud adalah Sulaiman bin Daud Al Yamani, sementara
tidak demikian, tetapi ia adalah Sulaiman bin Daud Al Khaulani. Dia adalah
perawi yang tsiqah, dipuji oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Utsman bin Sa’id serta
termasuk kelompok para Hafizh. Hanya Al Yamani yang disepakati kelemahannya.
Kitab Amr bin Hazm mendapati sambutan dan diterima khalayak.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Mirip dengan mutawatir karena disambut dan diterima
oleh banyak orang.” Ya’qub bin Sufyan berkata, “Saya tidak mengetahui kitab yang
lebih shahih dari kitab ini, karena para shahabat Rasulullah SAW dan tabiin
merujuk kepadanya dan meninggalkan pendapat mereka.” Al Hakim berkata, “Umar bin
Abdul Aziz dan Imam pada masanya, yaitu Az Zuhri menyaksikan keshahihan kitab
ini.”
Dalam bab ini ada hadits dari Hakim bin Hizam:
«لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلَّا
طَاهِرٌ»
“Tidak boleh menyentuh Al Qur'an kecuali yang
suci.”
Meskipun dalam sanadnya terdapat komentar, tetapi disebutkan
oleh al Haitsami dalam Majma Az Zawa’id dari hadits Ibnu Umar, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh menyentuh Al Qur'an kecuali yang
suci.”[Shahih: Shahih Al Jami' 7780]
Al Haitsami berkata: para perawi tsiqah, dan ia menyebutkan
dua syahidnya.
Akan tetapi maksud dari suci di sini perlu dikaji, karena
merupakan lafazh yang mengandung banyak makna; bisa diartikan suci dari hadats
besar, suci dari hadats kecil, orang mukmin, dan orang yang tidak ada najis di
badannya. Harus ada qarinah khusus untuk memahaminya atas maka tertentu.
Adapun firman Allah SWT:
{لا يَمَسُّهُ إِلا
الْمُطَهَّرُونَ}
“tidak menyentuh kecuali orang-orang yang
disucikan.” (QS Al Waqi’ah: 79), yang jelas bahwa dhamir (kata
ganti) tersebut kembali kepada Al Qur'an yang terpelihara yang telah disebutkan
pada ayat sebelumnya, dan yang dimaksud dengan al mutahharun adalah para
malaikat.
=======================
72 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَذْكُرُ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَعَلَّقَهُ
الْبُخَارِيُّ.
72. Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW dahulu menyebut Asma Allah
pada setiap kondisinya. (HR. Muslim dan Al Bukhari secara mu’allaq)
[Shahih: Muslim 373, Fathul Bari
2/634]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits tersebut ditetapkan sebagai hukum dasar, yaitu
menyebut asma Allah pada setiap kondisi, dan yang nampak bahwa yang dimaksud
adalah dzikir secara umum. Termasuk tilawah Al Qur'an walaupun dalam
keadaan junub, akan tetapi dikhususkan oleh hadits Ali RA yang terdapat pada bab
mandi, “Rasulullah SAW membacakan Al Qur'an kepada kami selama beliau tidak
junub”, dan hadits-hadits lainnya yang semakna akan disebutkan. Demikian pula
dikhususkan ketika dalam kondisi buang air besar, kencing dan jima’, atau yang
dimaksud dengan ‘setiap kondisinya’ adalah sebagian besarnya, sebagaimana firman
Allah SWT:
{يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ}
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan terbaring.” (QS. Ali Imran [3]: 191)
Maksud penulis menyebutkan hadits ini, agar tidak
disalahpahami bahwa hal-hal yang membatalkan wudhu dapat menghalangi dari
berdzikir kepada Allah SWT.
========================
73 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
احْتَجَمَ وَصَلَّى، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» . أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ
وَلَيَّنَهُ.
73. Dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW berbekam
lalu shalat dan tidak berwudhu. (HR. Ad Daruquthni dan ia menganggap lemah)
[Dhaif: Sunan Ad Daruquthni 1/151,
152]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
Hadits tersebut ditetapkan sebagai hukum dasar, bahwa
keluarnya darah selain dari dua lubang (dubur dan qubul) tidak membatalkan
wudhu. Dalam bab ini banyak hadits yang menunjukkan bahwa tidak membatalkan
wudhu, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Abu Aufa.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Menurut Al Hadawiyah, dapat membatalkan wudhu, dengan syarat
mengalir dan menetes, atau sebesar gandum mengalir pada satu waktu dari satu
tempat sampai ke tempat yang mungkin dibersihkan.
Zaid bin Ali, Asy-Syafi'i, Malik, an Nashir dan sekelompok
shahabat dan tabi’in berkata, “sesungguhnya keluarnya darah dari badan selain
dari dua jalan (dubur dan qubul) tidak membatalkan wudhu, berdasarkan hadits
Anas ini, dan atsar yang menguatkannya dari yang telah kami sebutkan, dan
berdasarkan sabda Nabi SAW:
«لَا وُضُوءَ إلَّا مِنْ صَوْتٍ أَوْ
رِيحٍ»
“Tidak ada wudhu kecuali dari suara dan angin.”
Dikeluarkan oleh Ahmad dan At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. [Shahih: At Tirmidzi 74]
Ahmad dan At Thabrani dengan lafazh:
«لَا وُضُوءَ إلَّا مِنْ رِيحٍ أَوْ
سَمَاعٍ»
“Tidak ada wudhu kecuali dari angin dan pendengaran.”
[1]
Dan bahwa pada dasarnya adalah tidak batal hingga ada yang
menghilangkan hukum asal tersebut, dan tidak ada dalil atas hal itu.
______________
[1] shahih: Shahih Al Jami' 7571, penerbit
darus sunnah mencantumkannya At Tirmidzi 7571, kemungkinan kesalahan cetak.
Ebook editor]
========================================
74 - وَعَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ،
فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ» رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَالطَّبَرَانِيُّ - وَزَادَ «وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ»
74. Dari Mua’wiyah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Mata itu adalah pengikat dubur, maka jika kedua mata telah tidur, lepaslah
ikatan itu.” (HR. Ahmad dan At Thabrani, ia menambahkan, “maka
barangsiapa tidur hendaklah ia berwudhu)
[Shahih: Shahih Al Jami' 4148]*
* Penerbit Darus Sunnah mencantumkannya At
Tirmidzi 4148, ini keliru dan kemungkinan salah cetak –ebook editor
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Muawiyah adalah putera Abu Sufyan shakhr bin Harb. Ia dan
ayahnya termasuk orang yang masuk Islam pada waktu penaklukan Makkah, dan
termasuk muallaf. Umar mengangkatnya sebagai gubernur Syam sepeninggal Yazid bin
Abu Sufyan, ia tetap di sini sebagai gubernur hingga 40 tahun sampai meninggal
dunia pada tahun 60 H. Bulan Rajab di Damaskus, dalam usia 78 tahun.
Penjelasan Kalimat
Mata (maksudnya kedua mata
setiap orang) itu adalah pengikat (Al Wika’ adalah
yang digunakan mengikat dan semacamnya) dubur, maka jika
kedua mata telah tidur, lepaslah ikatan itu (yakni terurai).”
Ia (At Thabrani) menambahkan, “maka barangsiapa tidur
hendaklah ia berwudhu.” Tambahan tersebut menurut Abu Daud dari hadits Ali
RA, yaitu:
=======================
0 comments:
Post a Comment