89 - وَعَنْ سَلْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -
قَالَ: لَقَدْ «نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ
بِالْيَمِينِ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ
نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
89. Dari Salman , beliau berkata, “Rasulullah melarang
kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan kecil, beristinja dengan tangan
kanan, berisitinja dengan batu yang kurang dari tiga buah, dan beristinja dengan
kotoran (hewan) dan tulang. (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim
262]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Salman adalah Abu Abdullah Salman Al Farisi, versi lain
mengatakan, Salman Al Khair pelayan Rasulullah . berasal dari Persia, dan
pergi mengembara mencari agama yang benar. Ia sempat menjadi Nashrani dan
membaca bermacam-macam kitab suci. Beliau memiliki biografi yang panjang dan
sangat berharga. Ia kemudian mengembara sampai pada akhirnya bertemu dengan
Rasulullah . ia menyatakan keislamannya dengan sangat bagus dan menjadi tokoh
penting dalam Islam.
Rasulullah pernah menyatakan tentang dirinya, beliau
bersabda,
«سَلْمَانُ مِنَّا أَهْلُ
الْبَيْتِ»
“Salman termasuk keluarga kami.” [Dhaif Jiddan: Dhaif Al Jami 3272]
Umar mengangkatnya menjadi wali (gubernur) di Mada’in, ia
termasuk orang yang dianugerahi umur yang panjang.
Ada yang mengatakan dia hidup sampai 250 tahun, dan yang lain
mengatakan 350 tahun. Beliau hanya senang makan dari hasil jerih payahnya
sendiri, dan menyedekahkan semua pemberian yang dia terima. Beliau meninggal
dunia di Madinah pada tahun 50 Hari, ada yang mengatakan pada tahun 32 H.
Penjelasan Kalimat
Rasulullah melarang kami menghadap kiblat
ketika buang air besar dan kecil, (maksudnya adalah menghadapkan kemaluan
kami ke kiblat ketika sedang buang air besar dan kecil) beristinja dengan tangan kanan, (ini bukan larangan menyentuh
kemaluan ketika sedang buang air kecil, seperti yang telah lalu) berisitinja dengan batu yang kurang dari tiga buah, (istinja
adalah menghilangkan kotoran –yang keluar dari perut- dengan air atau batu)
dan beristinja dengan kotoran (yaitu kotoran hewan) dan tulang
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan larangan menghadap kiblat, yaitu
Ka’bah, sebagaimana ditafsirkan oleh hadits Abu Ayyub, ‘Kami menemukan
kakus-kakus dibangun menghadap ke arah Ka’bah, lalu kami berpaling dan memohon
ampun kepada Allah’, sebagaimana yang akan disebutkan.
Juga ada hadits yang melarang membelakanginya, sebagaimana
dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim secara marfu:
«إذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلَا
يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهَا»
“apabila salah seorang kalian duduk (untuk buang air) maka
janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan membelakanginya.” [Shahih: Muslim 265], dan hadits-hadits lainnya.
Para ulama berbeda pendapat, apakah larangan ini menunjukkan
haram atau tidak? Ada 5 pendapat:
pertama; Larangan itu untuk menjaga kesucian saja,
tidak ada perbedaan di tempat terbuka atau di dalam bangunan, maka hukumnya
makruh. Hadits yang melarang itu ditafsirkan demikian berdasarkan qarinah:
Hadits Jabir:
«رَأَيْته قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ»
“Aku melihat beliau, setahun sebelum wafatnya, menghadap ke
arah Kiblat (ketika buang air).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan lain-lain) [Hasan: Abu Daud 13]
Hadits Ibnu Umar:
«رَأَى النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلًا لِبَيْتِ الْمَقْدِسِ
مُسْتَدْبِرًا لِلْكَعْبَةِ»
“Ia melihat Rasulullah SAW ketika buang air menghadap Baitul
Maqdis dan membelakangi Ka’bah.” (Muttafaq alaih) [Shahih: Al
Bukhari 147, Muslim 266]
Hadits Aisyah :
«فَحَوِّلُوا مَقْعَدَتِي إلَى
الْقِبْلَةِ»
“Ubahlah tempat dudukku (untuk buang air) ke arah
Kiblat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad hasan) [Dhaif: Ibnu Majah 324]
Pada awalnya hadits ini menyebutkan: diceritakan kepada
Rasulullah , bahwa ada sekelompok kaum yang tidak suka menghadap Kiblat
–dengan kemaluannya- Rasulullah bersabda:
أَرَاهُمْ قَدْ
فَعَلُوا، اسْتَقْبِلُوا بِمَقْعَدَتِي الْقِبْلَةَ
“Aku melihat mereka menghadap tempat dudukku –dalam kamar
kecil- ke arah kiblat.” Ini lafazh Ibnu Majah menurut Adz Dzahabi dalam
kitab Al-Mizan mengenai biografi Khalid bin Abu Ash Shalt, ‘Hadits ini
mungkar.
kedua; hukumnya haram menghadap atau membelakangi
Kiblat, sesuai zhahirnya beberapa hadits tentang larangan tersebut. Sedangkan
hadits-hadits sebagai qarinah yang menunjukkan penyucian, dapat ditafsirkan
bahwa hal itu terjadi lantaran ada udzur, dan itu hanya cerita shahabat yang
tidak berlaku umum.
ketiga; bahwa buang air dengan menghadap atau
membelakangi Kiblat hukumnya mubah, dengan alasan bahwa hadits-hadits yang
menunjukkan larangan itu dinasakh oleh hadits-hadits yang menunjukkan
kebolehannya, karena di dalamnya disebutkan taqyid (pembatasan), ‘setahun
sebelum beliau wafat’ atau yang semacamnya dan hal itu diperkuat oleh keterangan
dalam Asy Syarh.
keempat; Menghadap dan membelakangi Kiblat kalau di
tempat terbuka hukumnya haram, tetapi dalam bangunan hukumnya boleh karena
hadits-hadits yang membolehkan adalah ketika di dalam bangunan, maka hadits
tersebut dipahami bahwa larangan itu ketika di tempat terbuka. Sedangkan
hadits-hadits yang menunjukkan larangan bersifat umum. Setelah dikhususkan
dengan kebolehan di dalam bangunan dan hadits-hadits yang menceritakan perbuatan
beliau –yang sudah dijelaskan sebelumnya- maka keharaman itu hanya berlaku di
tempat terbuka.
Ibnu Umar berkata, “Hal tersebut hanya dilarang di tempat
terbuka, maka apabila antara kamu dengan arah Kiblat ada sesuatu yang dapat
menghalangimu, maka tidak apa-apa.”(HR. Abu Daud dan lainnya) [Hasan: Abu Daud 11]
Pendapat ini tidak jauh (dari kebenaran), karena adanya
beberapa hadits yang melarang dalam hal ini, disamping terdapat beberapa hadits
yang membolehkannya.
Kelima; menghadap ke arah kiblat hukumnya haram, tapi
membelakanginya boleh, baik di tempat terbuka atau dalam bangunan. Pendapat ini
tidak dapat diterima karena adanya hadits yang menunjukkan larangan pada kedua
tempat tersebut.
Inilah lima pendapat yang terdapat dalam masalah ini dan yang
paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang keempat.
Telah dikemukakan alasan dari Asy Sya’bi, sebab adanya
larangan menghadap dan membelakangi Kiblat di tempat terbuka, ‘Karena di padang
sahara itu tidak sepi dari malaikat dan manusia, ataupun bangsa jin yang sedang
shalat, yang terkadang auratnya bisa kelihatan oleh mereka.’ (HR. Al Baihaqi)
[Al Kubro 1/93]
Asy Sya’bi pernah ditanya tentang perbedaan antara dua
hadits, yakni hadits dari Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa dia melihat
Rasulullah (ketika buang air) membelakangi Kiblat, dan hadits dari Abu
Hurairah yang melarang perbuatan tersebut? Ia menjawab, “Keduanya betul,
larangan dalam hadits Abu Hurairah itu untuk tempat terbuka, karena ada hamba
Allah baik malaikat maupun jin yang sedang melaksanakan shalat,
maka janganlah salah seorang menghadap kepada mereka atau membelakanginya ketika
buang air besar dan kecil. Adapun mengenai jambanmu, maka sama dengan rumah yang
sengaja dibangun dan tidak memiliki kiblat.”
Ini khusus untuk Ka’bah saja, dan Baitul Maqdis disamakan
dengan Ka’bah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَتَيْنِ بِغَائِطٍ أَوْ
بَوْلٍ»
“Rasulullah melarang menghadap dua kiblat ketika buang
air besar dan kecil” [Dhaif: Abu Daud 10]
Hadits ini lemah dan tidak dapat mengubah hukum asal.
Pendapat yang lemah dari itu adalah yang mengatakan makruh menghadap matahari
dan bulan, sebagaimana akan dijelaskan pada hadits kedua belas.
Adapun beristinja dengan tangan kanan, telah dibasah
sebelumnya. Dan sabdanya, “Dan beliau melarang kami beristinja kurang dari tiga
buah batu”, menunjukkan bahwa beristinja kurang dari tiga batu tidak sah. Adapun
mengenai cara menggunakan tiga batu telah dijelaskan dalam hadits Ibnu
Abbas:
«حَجَرَانِ لِلصَّفْحَتَيْنِ وَحَجَرٌ
لِلْمَسْرُبَةِ»
“Dua batu digunakan untuk sebelah menyebelah pinggir dubur
dan satu batu untuk lubang dubur” yaitu tempat keluarnya kotoran dari dubur
[Dhaif: Adh Dhaifah 969, ebook editor]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum beristinja dengan
menggunakan batu:
Menurut Al Hadawiyah; hukumnya tidak wajib, kecuali bagi
orang yang bertayamum atau orang yang khawatir kena benda yang basah, dan najis
tidak bisa hilang dengan air, sedangkan pada kondisi lain hukumnya sunnah dan
tidak wajib. Istinja yang wajib dengan air hanyalah untuk melaksanakan
shalat.
Menurut mazhab Asy-Syafi'i, boleh memilih antara air dan
batu, bila dia menggunakan salah satunya itu sudah sah dan bila menggunakan
batu, maka harus dengan tiga kali gosokan, sekalipun bendanya sudah hilang
sebelum sampai gosokan ketiga.
Ada ulama berpendapat, bila sudah bersih sebelum digosok
dengan tiga batu, maka sudah sah dan jika belum bersih dengan tiga batu, maka
harus ditambah dan disunnahkan dengan jumlah ganjil. Wajib tiga batu di qubul
dan dubur, sehingga berjumlah enam batu, cara semacam ini telah disebutkan dalam
hadits.
Saya katakan, ‘Hadits tentang permintaan Nabi kepada Ibnu
Mas’ud dan Abu Hurairah serta shahabat lainnya hanyalah tiga batu. Terdapat
penjelasan tentang cara menggunakannya pada dubur, dan tidak ada penjelasan
penggunaannya pada qubul. Seandainya enam batu yang dimaksudkan, Nabi pasti
memintanya sewaktu beliau akan buang air, walaupun hanya pada beberapa waktu
saja, bila batu itu memiliki enam sudut, maka sah untuk dipakai beristinja.”
Batu bisa diganti dengan alat lainnya, asal bisa membersihkan
najis sama fungsinya dengan batu. Pendapat ini berbeda dengan Az Zhahiriyah,
mereka mengatakan wajib beristinja dengan batu, karena mereka berpegang pada
text hadits. Dapat dijawab bahwa karena batu yang lebih umum sebab bisa
didapatkan dengan mudah. Hal itu juga bisa dipahami dari adanya larangan
beristinja dengan kotoran binatang ataupun tulang.
Seandainya diwajibkan hanya dengan batu, beliau pasti
melarang btij dengan yang lainnya, demikian pula beliau melarang menggunakan
arang, berdasarkan hadits riwayat Abu Daud:
«مُرْ أُمَّتَك أَنْ لَا يَسْتَنْجُوا بِرَوْثَةٍ
أَوْ حُمَمَةٍ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لَنَا فِيهَا
رِزْقًا»
“perintahkan umatmu untuk tidak beristinja dengan kotoran
binatang dan arang, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan itu sebagai
sumber rejeki kami”, maka beliau melarang yang demikian itu. [Shahih: Abu Daud 39]
Pada hadits lain, beliau melarang menggunakan tulang, dengan
alasan tulang merupakan makanan jin, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari
hadits Ibnu Mas'ud, dalam hadits itu beliau bersabda kepada jin ketika mereka
bertanya kepada beliau tentang makanan:
لَكُمْ كُلُّ
عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَوْفَرُ مَا يَكُونُ لَحْمًا، وَكُلُّ
بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ
“Untuk kamu segala tulang dari binatang yang disembelih
dengan nama Allah itu lebih banyak daripada yang masih berdaging, dan setiap
kotoran hewan menjadi makanan ternakmu.” [Shahih: Muslim
450]
Hal itu tidaklah menafikan alasan dilarangnya menggunakan
kotoran hewan karena najis, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas'ud
ketika Nabi memintanya mencarikan tiga buah batu, lalu ia membawakan dua
buah batu dan kotoran hewan, lalu Rasulullah bersabda:
إنَّهَا
رِكْسٌ
“Sesungguhnya tahi binatang itu kotoran.” [Shahih: Al Bukhari 155], sebab terkadang sebuah masalah
memiliki banyak alasan. Maka tidaklah salah mengatakan bahwa karena kotoran
hewan itu kotor dan sebagaimana makanan hewan piaraan jin.