عَنِ  أَبِـيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : (( لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ )). حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ ، رَوَيْنَاهُ فِيْ كِتَابِ (الحُجَّة) بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Dari Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’”
Imam Nawawi rahimahullah berkata Hadits hasan shahîh yang kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah[1] dengan sanad shahih
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no.104; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no.15;

Hadits ini didha’ifkan (dilemahkan) oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fii Takhrîjis Sunnah, no.15  dan Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât, I/131, no. 166.
Aal-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Menganggap hadits ini shahîh merupakan anggapan yang jauh (dari kebenaran) karena beberapa alasan :
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad al-Marwazi rahimahullah. Kendati Nu’aim bin Hammad  ini dianggap sebagai perawi terpercaya oleh sejumlah imam dan haditsnya diriwayatkan imam Bukhâri, karena para ulama hadits berbaik sangka kepadanya disebabkannya keteguhannya diatas sunnah dan ketegasannya dalam menentang para pengekor hawa nafsu (ahlul bid’ah). Karenanya, para Ulama hadits mengatakan bahwa Nu’aim keliru dan meragu pada sebagian hadits. Mereka menemukan beberapa haditsnya yang mungkar, maka mereka memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if.
Shalih bin Muhammad al-Hâfizh rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in rahimahullah yang pernah ditanya tentang Nu’aim kemudian beliau rahimahullah menjawab, “Ia tidak ada apa-apanya, namun ia pengikut sunnah.”
Shâlih berkata, “Nu’aim bin Hammad al-Marwazi menceritakan hadits dari hafalannya dan mempunyai banyak hadits mungkar yang belum disetujui.” Abu Dâwud rahimahullah berkata, “Nu’aim mempunyai dua puluh hadits yang tidak ada asalnya.”
An-Nasa-i rahimahullah berkata, “Ia perawi dha’if.” Di lain waktu beliau rahimahullah mengatakan, “Ia bukan perawi terpercaya.” Imam an-Nasâ’i juga pernah berkata, “Ia banyak meriwayatkan beberapa hadits seorang diri dari para imam terkenal, sehingga ia masuk dalam kategori perawi yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Abu Zur’ah ad-Dimasyqi rahimahullah berkata, “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits  tersebut dianggap mauquf  oleh para ulama.” Maksudnya, ia menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’. Abu Arubah al-Harrani rahimahullah berkata, “Masalah orang ini tidak jelas.” Abu Sa’id bin Yunus rahimahullah berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari para perawi terpercaya.” Ulama lain berkata bahwa Nu’aim bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.[2]
Sanad Nu’aim bin Hammad al-Marwazi diperdebatkan. Hadits tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi dari Hisyam. Hadits tersebut juga diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami, Hisyam dan lain-lain, berkata kepada kami. Menurut riwayat tersebut, guru ats-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami berkata kepada kami, Hisyam dan lain-lain berkata kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits tersebut dari guru yang tidak diketahui namanya dan gurunya meriwayatkannya dari perawi yang tidak dikenal. Jadi, ketidakjelasan perawi semakin bertambah dalam sanad hadits ini.
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi ‘Uqbah bin Aus as-Sadusi al-Bashri. Ada yang mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah t meriwayatkan haditsnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dan ada yang mengatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu. Jadi, ada kerancuan dalam sanadnya. Ia dianggap sebagai perawi terpercaya oleh al-‘Ijli, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban rahimahullah. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin kendati mulia meriwayatkan hadis darinya.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Ia Majhul (tidak diketahui identitasnya).” Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya, “Para ulama menduga bahwa ‘Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari ‘Abdullah bin ‘Amr, namun ia mengatakan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Jika demikian, riwayat ‘Uqbah bin Aus dari ‘Abdullah bin ‘Amr terputus. Wallaahu a’lam.[3]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini:
“Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberinya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan lihat kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykaat kepada yang beliau sebutkan membuat sebuah opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini daripada Imam an-Nawawi dan al-Baghawi. Dan kenyataannya tidak seperti itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al-Qasim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.”[4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkannya dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari penilaian Imam an-Nawawi ini dengan mengatakan, “Hadits ini tidak shahih.”
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menganjurkan agar kaum Muslimin membaca syarah Ibnu Rajab dan komentarnya terhadap derajat hadits ini dalam kitab al-Arba’iin. Sebab Ibnu Rajab rahimahullah termasuk pakar hadits. Apabila ia menilai  beberapa hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi rahimahullah itu cacat, maka kita akan mengetahui alasan beliau rahimahullah melemahkannya.
Jadi kesimpulannya, HADITS INI DHA’IF (LEMAH).
Akan tetapi makna hadits ini benar, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[5]
Hadits shahih yang semakna dengan hadits di atas yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Tidak beriman (dengan sempuna) salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia[6]
SYARAH HADITS
Makna hadits di muka yaitu seseorang tidak akan bisa meraih keimanan yang sempurna kecuali kalau kesukaannya sudah sejalan dengan syari’at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Artinya, ia suka atau mencintai semua perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenci semua larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kandungan makna seperti ini disebutkan dibanyak tempat dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Rabb-mu, mereka tidak (disebut) beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4: 65]
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka [al-Ahzâb/33: 36]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengecam orang-orang yang membenci apa yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan mencintai apa yang Allâh Azza wa Jalla benci. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Yang demikian itu karena mereka membenci al-Qur’ân yang diturunkan Allâh, maka Allâh menghapus segala amal mereka [Muhammad/47: 9]
Juga firman-Nya.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allâh dan membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allâh menghapus segala amal mereka.” [Muhammad/47:28]
Jadi, setiap mukmin wajib mencintai apa yang dicintai Allâh. Kecintaan ini menuntut mereka untuk melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allâh Azza wa Jalla . Jika cintanya bertambah, maka ia akan terdorong untuk mengerjakan yang sunnah. Seorang mukmin juga harus membenci apa yang dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala , minimal dengan kebencian yang bisa menahannya dari segala yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika rasa benci ini bertambah hingga mampu mengerem dirinya dari segala yang makruh, maka itu merupakan nilai lebih yang harus disyukuri.
Ketika menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia bersanding dengan cinta kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga mengaitkan cinta kepada Nabi-Nya dengan cinta kepada-Nya serta mengancam orang-orang yang mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air daripada cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya serta rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allâh dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allâh memberikan keputusan-Nya…’” [at-Taubah/9:24]
Begitu juga ketika ‘Umar Radhiyallahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasûlullâh, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak wahai ‘Umar, sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Demi Allâh, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sekarang wahai ‘Umar”[7]
Jadi, mengedepankan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada cinta kepada diri, anak, keluarga, harta, dan lainnya merupakan sebuah kewajiban. Dan cinta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempurna kecuali dengan mentaati perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allâh Maha pengampun, Maha penyayang.” [Ali ‘Imrân/3:31]
Tanda mengedepankan cinta kepada Rasul ialah apabila terjadi pertentangan antara perintah Rasul dengan sesuatu yang dia cintai, kemudian dia lebih memilih taat kepada Rasul. Ini merupakan bukti dari pengakuan cintanya kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya, jika ia lebih mengedepankan kesenangan dunia yang ia cintai daripada mentaati Rasul, maka ia belum menunaikan kewajiban iman yang dibebankan kepadanya.”[8]
al-Hasan rahimahullah ketika menjelaskan ayat 31 dari surat Ali ‘Imrân, beliau berkata, “Para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya kami sangat mencintai Rabb kami.’ Allâh ingin menjadikan bukti cinta kepada-Nya kemudian menurunkan ayat tersebut.”[9]
Dalam Shahîh Bukhari dan Shahîh Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ.
Tiga perkara, apabila ada pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman; (1) Allâh dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, (2) ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allâh, dan (3) ia benci kembali kepada kekafiran setelah Allâh menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.[10]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya manusia akan merasakan manisnya iman apabila hatinya bersih dari penyakit. Apabila hati bersih dari nafsu yang menyesatkan dan syahwat yang diharamkan, maka saat itu, hati akan merasakan manisnya iman. Sebaliknya, bila hati sakit atau kotor, maka ia tidak merasakan manisnya iman, bahkan ia merasa nyaman dengan maksiat dan hawa nafsu yang akan menyeretnya ke lembah kebinasaan.”[11]
Barangsiapa mencintai Allâh dan Rasul-Nya dengan tulus dari lubuk hati, mestinya dia mencintai semua yang dicintai Allâh dan Rasul-Nya serta membenci apa saja yang dibenci Allâh dan Rasul-Nya. Cinta ini juga menyebabkan dia ridha terhadap semua yang diridhai Allâh dan Rasul-Nya serta murka kepada semua yang dimurkai Allâh dan Rasul-Nya lalu rasa cinta dan rasa benci ini diwujudkan dengan amalan fisik. Jika amalan fisiknya bertentangan dengan itu semua, misalnya ia mengerjakan sebagian yang dibenci Allâh dan Rasul-Nya, atau meninggalkan sesuatu yang dicintai Allâh dan Rasul-Nya padahal  itu wajib dan ia mampu mengerjakannya, maka itu menunjukkan cintanya kurang sempurna. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan kembali menyempurnakan cinta yang wajib.
Abu Ya’qub an-Nahrajuri t berkata, “Siapa saja yang mengaku mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , namun tidak menyesuaikan diri dengan Allâh dan perintah-Nya, maka pengakuannya tidak benar. Setiap orang (yang mengaku) cinta Allâh namun tidak takut kepada-Nya berarti dia tertipu.”[12]
Salah seorang dari generasi salaf berkata,

Engkau bermaksiat kepada Allâh, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya?
Aku bersumpah ini buruk dalam bandingan
Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat kepada-Nya
Karena sesungguhnya pecinta itu taat kepada yang ia cintai

Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allâh dan Rasul-Nya. Allâh menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ 
 Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun…” [al-Qashash/28: 50]
Begitu juga bid’ah-bid’ah, ia terjadi karena cinta kepada hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada syariat. Oleh karena itu, para pelaku bid’ah dinamakan juga pengekor hawa nafsu.
Begitu juga mencintai figur-figur (tokoh-tokoh tertentu). Seharusnya kecintaan kepada figur itu diselaraskan dengan syari’at yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, orang mukmin wajib mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mencintai yang dicintai Allâh, misalnya para malaikat, para rasul, para nabi, orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang shalih secara umum. Oleh karena itu, di antara indikasi seseorang sudah merasakan manisnya iman ialah ia tidak mencintai orang lain kecuali karena Allâh, tidak menjadikan musuh-musuh Allâh sebagai teman dekat (tidak berwala kepada mereka) dan semua orang yang dibenci Allâh. Dengan demikian, dia hanya taat kepada Allâh semata. Disebutkan dalam hadits,
مَنْ أَحَبَّ للهِ، وَأَبْغَضَ للهِ، وَأَعْطَى للهِ، وَمَنَعَ للهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ
Barangsiapa cinta karena Allâh, marah karena-Nya, memberi karena-Nya serta mencegah karena-Nya, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya.[13]
Sebaliknya, barangsiapa mencintai, membenci, memberi atau tidak memberi dengan dilandasi hawa nafsu, berarti keimanannya yang wajib masih kurang. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat dan kembali mengikuti syari’at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lebih mendahulukan cinta Allâh dan Rasul-Nya, serta keridhaan Allâh dan Rasul-Nya daripada cinta hawa nafsunya dan seluruh keinginannya. Hawa nafsu maksudnya adalah kebathilan, cinta hawa nafsunya artinya cinta atau cendrung kepada kebathilan. Seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
…Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh… [Shâd/38:26]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ﴿٤٠﴾فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surga-lah tempat tinggal(nya). [an-Nâzi’ât/79:40-41]
Hawa nafsu terkadang juga diartikan cinta dan kecenderungan secara umum, termasuk kecenderungan kepada kebenaran dan kebalikannya.[14]
FAIDAH HADITS
  1. Peringatan kepada manusia agar tidak menjadikan akal, kebiasaan dan hawa nafsu sebagai hukum yang melebihi syari’at yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  2. Wajib bagi manusia untuk berdalil terlebih dahulu sebelum menghukumi.
  3. Manusia tidak dikatakan beriman dengan keimanan yang sempurna hingga kecintaannya selaras dengan syari’at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  4. Wajib berhukum dengan syariat Islam dalam segala hal.
  5. Kecintaan seorang terhadap apa yang Allâh dan Rasul-Nya cintai merupakan indikasi sempurnanya iman.
  6. Membenci syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menafikan iman, dan itu bisa berpengaruh pada asas keimanan atau pada kesempurnannya.
  7. Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ini merupakan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
  8. Wajib mengedepankan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada perkataan yang lain.
  9. Mencintai apa-apa yang Allâh dan Rasul-Nya benci, hukumnya haram
  10. Wajib mendahulukan dalil naqli (al-Qur’an dan hadits) daripada dalil akal apabila keduanya bertentangan.
  11. Tidak ada hak pilih bagi seseorang pada sesuatu yang telah diputuskan oleh Allâh dan Rasul-Nya.
  12. Setiap Muslim wajib mendahulukan cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya daripada cinta terhadap anak, orang tua, harta, tanah air, dan lainnya.
MARAAJI
  1. Al-Qur’ânul Karîm dan terjemahnya.
  2. Tafsîr ath-Thabari.
  3. Al-Istîâb fi Bayânil Asbâ
  4. Shahîh al-Bukhâ
  5. Shahîh Muslim.
  6. Sunan at-Tirmidzi.
  7. Sunan Abu Dâ
  8. Sunan an-Nasâ‘i.
  9. Sunan Ibnu Mâjah
  10. Musnad Imam Ahmad.
  11. Al-Mu’jamul Kabîr lit Thabarani.
  12. Hilyatul Auliyâ`.
  13. Fat-hul Bâri fi Syarhi Shahîhil Bukhâri, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. III, Daar Ibnil Jauzi 1425 H.
  14. Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykâ
  15. Tahdzîbut Tahdzî
  16. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam.
  17. Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh al-‘Utsaimin.
  18. Al-Fawâ‘id al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyyah, ‘Abdurrahman bin Nâshir al-Barrak.
  19. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011M. Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi rahimahullah adalah Kitabul Hujjah ‘ala Tarikil Mahajjah. Kitab tersebut berisi ushuluddin (prinsip-prinsip agama) menurut kaidah-kaidah ahli hadits dan sunnah. Penulisnya yaitu Syaikh Abul Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i az-Zahid rahimahullah (wafat th. 490 H)
[2]  Lihat Tahdzîbut Tahdzîb (X/409-413).
[3]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/394-395).
[4]  Lihat Hidâyatur Ruwât (I/131).
[5]  Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah karya Syaikh al-‘Utsaimin, hlm. 426-427.
[6]  HR. Bukhâri, no.15 dan Muslim, no. 44 (70), dari sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[7]  HR. al-Bukhari (no. 6632) dan Ahmad (IV/233).
[8]  Fat-hul Bâri fi Syarhi Shahîhil Bukhâri, karya Ibnu Rajab al-Hanbali (I/43-44), tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. III, Daar Ibnil Jauzi 1425 H.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsiirnya (III/231, no. 6840, 6841), akan tetapi sanadnya dha’if (lemah). Lihat al-Istî’âb fi Bayânil Asbâb (I/243).
[10]  HR. al-Bukhari, no. 16, Muslim, no. 43 (67), at-Tirmidzi, no. 2624, an-Nasâ’i (VIII/96), dan Ibnu Mâjah, no. 4033, dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[11]  Fat-hul Bâri fi Syarhi Shahîhil Bukhâri (I/45).
[12]  Hilyatul Auliyâ` (X/380-381, no. 15518).
[13]  HR. Abu Dâwud, no. 4681 dan al-Baghawi, no. 3469.
[14]  Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/395-399).

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top