عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   :(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)). حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهَ هَكَذَا.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya’.” [Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu]
TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh: At-Tirmidzi, no. 2317. Ibnu Majah, no. 3976. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132. Ibnu Hibban, no. 229 – at-Ta’lîqâtul Hisân. Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallah anhu .

Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229.
SYARAH HADITS

Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr bin Shalah Radhiyallahu anhu menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid Radhiyallahu anhu, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits: (1) sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam,’ (2) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya,’ (3) sabda beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah,’ dan (4) sabda beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]

Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya.
Makna (يَعْنِيْهِ) “ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَتَعْجَزْ…
… Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu, dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah bersikap lemah….”[2]
Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.
Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.[3]
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsan, maka ketika beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allah melihatnya. Maka, barang,siapa beribadah kepada Allah dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatan-Nya kepada Allah dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allah kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.
Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ ؛ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ.
Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Barang siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya, dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan busuknya badan. Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia, dan barang siapa melakukan hal itu, sungguh, ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu[4]
Salah seorang yang arif mengatakan “jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5] Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allah Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tidak ada satu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qâf/50:18].
Firman Allah Ta’ala:
أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ ۚ بَلَىٰ وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ
Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka. [az-Zukhruf/43:80].
Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya ia bicara ngawur, sia-sia, tidak ada bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?” Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat. Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka, melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.[6]
Allah Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allah Ta’ala berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. [an-Nisâ`/4:114].
Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut as-Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. [Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahriimil-Ghibah wal-‘Amri bi Hifzhil-Lisân].
Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.
Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipatgandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipatgandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang.
Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ ؛ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا، حَتَّى يَلْقَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ.
Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dia kerjakan ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, dan setiap kesalahan yang dilakukannya ditulis dengan kesalahan yang sama hingga dia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla[7]
Satu kebaikan dilipatgandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipatgandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ كَتَبَ اللهُ لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا وَمُحِيَتْ عَنْهُ كُلُّ سَيِّئَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا ؛ ثُمَّ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا.
Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya, Allah menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan. Setelah itu yang terjadi ialah qisash; satu kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat, dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama kecuali jika Allah memaafkannya[9]
Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad menegaskan hal ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَمَّا مَنْ أَحْسَنَ مِنْكُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ فَلاَ يُؤَاخَذُ مِنْهَا، وَمَنْ أَسَاءَ ؛ أُخِذَ بِعَمَلِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَفِي اْلإِسْلاَمِ.
Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya, dia tidak akan disiksa karenanya. Namun barang siapa berbuat tidak baik, dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.[10]
Sahabat ‘Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu , ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku ingin memberikan syarat!”
Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”
Aku menjawab, “Agar Allah mengampuniku,” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?”
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”. [11]
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]
Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipatgandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.
FAWÂ`ID HADITS
  1. Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… [an-Nahl/16:90].
  1. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
  2. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
  3. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
  4. Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
  5. Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
  6. Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
  7. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
  8. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
  9. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
  10. Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
  11. Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
  12. Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya. Wallahu a’lam.
MARAJI`:
  1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
  2. Al-Mu’jamul Kabîr.
  3. Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Khuwaini.
  4. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  5. Hilyatul-Auliyâ`.
  6. Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
  7. Kutûbus Sab’ah.
  8. Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
  9. Qawâ`id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
  10. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
  11. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-‘Utsaimîn.
  12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
  13. Tafsîr Ibni Katsir.
  14. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2009M. ]
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
_______
Footnote
[1] Jâmi’ul ‘Ulâm wal-Hikam (I/288).
[2] ShahîhHR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah rahimahullah.
[3] HR Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhuma .
[4] Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu . Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi’ush-Shagîr (no. 935).
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/290).
[6] ShahîhHR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Îmân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hakim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214).
[7] ShahîhHR Muslim (no. 129).
[8] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/295).
[9] ShahîhHR al-Bukhâri secara mu’allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ`i (VIII/105-106).
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120).
[11] Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205).
[12] ShahîhHR Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123)

Related image

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top