129 - عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - «أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكِ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ

129. Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy pernah keluar darinya darah istihadhah, maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya darah haidh itu berwarna hitam yang sudah dikenal, maka apabila keluar darah itu berhentilah shalat, tetapi jika yang keluar adalah darah yang lain, maka berwudhu dan shalatlah.” (HR. Abu Daud dan An Nasa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, tetapi dianggap munkar oleh Abu Hatim)

[Hasan shahih: Abu Daud 286]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penjelasan Kalimat

pernah keluar darinya darah istihadhah, (telah disebutkan bahwa istihadhah adalah mengalirnya darah dari kemaluan (vagina) perempuan tidak pada waktunya. Berkenaan dengan ini telah disebutkan bahwa Fatimah datang kepada Nabi , lalu bertanya, ‘Aku seorang perempuan yang selalu keluar darah istihadhah, akibatnya aku tidak pernah suci, karena itu bolehkah aku meninggalkan shalat?) maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya darah haidh itu berwarna hitam yang sudah dikenal, (yakni punya kebiasaan dan bau khas, ada yang mengatakan dengan memfathahkan ra yaitu sudah dikenal oleh perempuan) maka apabila keluar darah itu berhentilah shalat, tetapi jika yang keluar adalah darah yang lain, (yaitu yang tidak memiliki ciri-ciri seperti di atas) maka berwudhu dan shalatlah.

Tafsir Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasa'i, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, tetapi dianggap hadits munkar oleh Abu Hatim. karena termasuk hadits riwayat Adi bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya, kakeknya itu tidak dikenal, dan Abu Daud telah menyatakan bahwa hadits ini lemah.

Hadits ini mengembalikan penilaian terhadap darah istihadhah kepada sifat darah, maka jika seperti sifat yang telah disebutkan berarti darah haidh, dan jika tidak maka darah istihadhah. Asy-Syafi'i berpendapat demikian terhadap perempuan yang baru pertama kali mengalami haidh.

Pada bab “hal-hal yang membatalkan wudhu’ telah dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah, “Yang demikian itu dari irq (peluh), maka apabila datang haidhmu, tinggalkanlah shalat, dan jika haidhmu telah berhenti cucilah darahmu.” Hal tersebut tidak menafikan hadits ini, karena sabdanya, “Sesungguhnya darah haidh itu hitam yang sudah dikenal” sebagai keterangan tentang waktu permulaan datangnya haidh dan masa berakhirnya.

Jika seorang wanita dapat mengetahui dan membedakan waktu haidhnya, baik dengan sifat darahnya atau dengan kebiasaan dan waktu haidhnya teratur, kemudian keluar darah istihadhahnya, maka waktu haidhnya sesuai kebiasaannya. Fatimah, dalam hadits ini kemungkinan waktu haidhnya teratur, maka sabda beliau, “jika datang masa haidhmu..” yaitu sesuai dengan kebiasaan. Atau bisa juga tidak teratur, maka yang dimaksud dengan datangnya haidh, dilihat dari sifat darah, dan tidak mustahil dua kemungkinan tersebut terjadi pada diri Fatimah dan wanita lainnya.

Bagi wanita yang keluar darah istihadhah, memiliki beberapa hukum yaitu:

1.      Boleh mencampurinya –hubungan badan- ketika keluar darah istihadhah menurut pendapat jumhur ulama, karena dia seperti orang suci, dalam kaitannya dengan kewajiban shalat, puasa dan lainnya, maka begitu juga dalam kaitannya dengan persetubuhan, karena sesungguhnya tidak diharamkan bercampur kecuali ada dalil, dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Ibnu Abbas berkata, “Perempuan yang keluar darah istihadhah boleh dicampuri oleh suaminya, jika dia telah shalat karena shalat lebih mulia.” Maksudnya apabila shalat saja boleh baginya ketika darah istihadhah keluar, padahal shalat seharusnya lebih disyaratkan bersuci maka boleh mencampurinya.

2.      Perempuan yang keluar darah istihadhah diperintahkan untuk betul-betul memperhatikan kesucian dari hadats dan najis, dia mesti mencuci kemaluannya sebelum berwudhu dan tayamum, harus menutup kemaluannya dengan kapas atau secarik kain untuk mencegah percikan najis atau untuk menguranginya. Apabila masih tidak tertahan juga keluarnya darah dengan cara itu, maka diperbanyak lagi kapas atau kain itu pada kemaluannya dengan mengikat dan membalutnya sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab induk. Hanya saja cara semacam itu tidak wajib baginya, hanya lebih utama untuk mengurangi najis sesuai dengan kemampuannya, lalu setelah itu dia berwudhu.

3.      Dia tidak wajib berwudhu sebelum masuknya waktu shalat, menurut pendapat jumhur, karena bersucinya itu adalah darurat. Makanya, dia tidak boleh mendahulukannya sebelum waktu yang dibutuhkan.

130 - وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُد «وَلْتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ الْمَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، غُسْلًا وَاحِدًا، وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلًا وَاحِدًا. وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلًا وَاحِدًا. وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ»
130. Dan dalam hadits Asma’ binti Umais RA, menurut riwayat Abu Daud, “Hendaklah dia duduk dalam suatu bak, apabila dia melihat warna kuning dipermukaan air, hendaklah dia mandi untuk shalat Zhuhur dan Ashar dengan sekali mandi, mandi untuk shalat Maghrib dan Isya dengan sekali mandi, mandi untuk shalat Shubuh dengan sekali mandi, dan berwudhu di antara waktu-waktu itu.”
[Shahih: Abu Daud 296]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Biografi Perawi

Asma' binti Umais adalah istri Ja'far, Ummu Abdillah bin Ja'far. Ia pernah hijrah bersama suaminya ke Habasyah dan melahirkan beberapa orang putra, di antaranya Abdullah. Kemudian setelah terbunuhnya Ja'far dia dinikahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan melahirkan putra yang bernama Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat, dia dinikahi oleh Ah bin Abu Thalib dan melahirkan putra yang bernama Yahya.

Penjelasan Kalimat

"Dan hendaklah ia duduk (di-athaf-kan (dihubungkan) dengan kalimat pada hadits sebelumnya, sebab penulis hanya mengambil sebagian saja dari hadits Asma’ akan tetapi dalam lafazh Abu Dawud dari Asma’ berbunyi seperti berikut: (سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ الشَّيْطَانِ لِتَجْلِسْ) "Maha suci Allah, ini dari setan, hendaklah kamu duduk..." dst. Tanpa ada penambahan huruf (wa). Yang demikian itu teks hadits dalam kitab Bulugh Al Maram) di dalam suatu bak (yakni bak yang digunakan untuk mencuci pakaian) apabila dia melihat warna kuning di permukaan air (di tempat yang dia duduk padanya, lalu mencurahkan air padanya, maka akan tampak warna kuning di permukaan air) hendaklah dia mandi untuk shalat Zhuhur dan Ashar dengan sekali mandi, mandi untuk shalat Maghrib dan Isya dengan sekali mandi, mandi untuk shalat Subuh dengan sekali mandi, dan barwudhu di antara waktu-waktu itu."

Tafsir  Hadits

Dalam hadits ini -dan hadits Hamnah berikutnya- terkandung perintah untuk mandi sehari semalam sebanyak tiga kali. Dalam hadits Hamnah dijelaskan bahwa maksudnya ialah apabila dia mengakhirkan shalat Zhuhur dan Maghrib, dan yang dipahami darinya adalah, apabila sudah jelas waktunya dia harus mandi pada setiap kali akan shalat fardhu.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, diriwayatkan dari sekelompok shahabat dan tabi'in bahwasanya perempuan itu harus mandi pada setiap kali akan shalat, sedang jumhur ulama berpendapat tidak wajib setiap akan shalat, dengan alasan bahwa riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk mandi setiap shalat itu lemah. Dan Al-Baihaqi telah menjelaskan kelemahannya [Al Kubra 1/354], bahkan ada yang mengatakan hadits itu mansukh (dibatalkan hukumnya) oleh hadits dari Fathimah binti Abi Hubaisy, bahwa dia hanya berwudhu untuk setiap kali waktu shalat.

Saya katakan, "Soal nasakh dan mansukh membutuhkan pengetahuan tentang hadits yang lebih terakhir keluar", kemudian Al-Mundziri mengatakan, "Hadits Asma' binti Umais itu hasan." Hadits Asma' dan hadits Fathimah dapat dikompromikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa mandi itu hukumnya sunnah berdasarkan qarinah bahwa beliau tidak memerintahkan Fatimah untuk mandi dan hanya menyuruhnya berwudhu, maka yang wajib adalah berwudhu, Asy-Syafi’i condong kepada pendapat ini.  

131 - وَعَنْ «حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: كُنْت أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً، فَأَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَسْتَفْتِيهِ، فَقَالَ: إنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ، فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ، أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ اغْتَسِلِي، فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ، أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ، وَصُومِي وَصَلِّي، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُك، وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كُلَّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ، فَإِنْ قَوِيت عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ، وَتُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ الصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ الْأَمْرَيْنِ إلَيَّ» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ الْبُخَارِيُّ

131. Dari Hamnah binti Jahsy , “Aku pernah keluar darah istihadhah yang banyak dan deras, lalu aku mendatangi Rasulullah meminta fatwa beliau, maka beliau bersabda, “Darah istihadhah itu hanyalah gangguan setan, hitunglah masa haidhmu enam atau tujuh hari lalu mandilah, apabila kamu sudah bersih, shalatlah 24 hari atau 23 hari, puasa dan shalatlah, karena cara yang demikian cukup bagimu, lakukanlah begitu setiap bulan seperti perempuan-perempuan yang haidh, apabila kamu kuat mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Ashar, kemudian kamu mandi ketika engkau bersih, lalu jamaklah shalat Zhuhur dan Ashar, lalu kamu akhirkan Maghrib dan segerakan Isya’, kemudian kami mandi dan menjamakkan antara kedua shalat, maka kerjakanlah. Lalu kamu mandi untuk shalat Shubuh dan kami melaksanakan shalat Shubuh. Beliau bersabda, “Yang demikian itu lebih aku sukai dari dua perkara tersebut.” (HR. Imam yang lima kecuali An Nasa'i dan dishahihkan oleh At Tirmidzi, sedang Al Bukhari menilainya hasan)
[Hasan: Abu Daud 287]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Hamnah binti Jahsy adalah saudara perempuan Zainab Ummul Mukminin, istri Thalhah bin Ubaidillah.

Penjelasan Kalimat

"Aku pernah keluar darah istihadhah yang banyak dan deras (dalam Sunan Abu Dawud ada keterangan banyaknya darah istihadhah, Hamnah berkata, "Darahnya mengalir deras sekali.") lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta fatwa beliau, maka beliau bersabda, "Darah istihadhah itu hanyalah gangguan setan (maknanya, bahwa setan telah mendapat jalan untuk membuat ragu-ragu dalam urusan agamanya, kesucian dan shalatnya, sehingga membuat dia lupa akan kebiasaannya dalam menentukan masa haidh dan masa sucinya, seakan-akan menjadi suatu permainan setan, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya yang mengatakan bahwa istihadhah itu dari urat, yang disebut dengan al-adzil, urat tempat mengalirnya darah istihadhah, karena mengandung makna bahwa setan yang menggerakkannya sehingga memancar keluar, dan yang lebih tepat; Bahwa pada hakikatnya darah itu adalah permainan setan, karena tidak salahnya kalau memahaminya seperti itu) hitunglah masa haidhmu enam atau tujuh hari lalu mandilah, apabila kamu sudah bersih, shalatlah 24 hari (jika biasanya masa haidhnya enam hari) atau 23 hari (Jika biasanya masa haidhnya tujuh hari) puasa dan shalatlah (terserah kamu, baik yang sunnah maupun yang fardhu) karena cara yang demikian itu cukup bagimu, lakukanlah seperti itu (pada bulan-bulan berikutnya. Pada lafazh Abu Dawud dikatakan, (فَافْعَلِي كُلَّ شَهْرٍ) "lakukan setiap bulan”) seperti perempuan-perempuan yang haidh." (Dalam Sunan Abu Dawud ada tambahan, ( وَكَمَا يَطْهُرْنَ مِيقَاتُ حَيْضِهِنَّ وَطُهْرِهِنَّ ) "Dan sebagaimana para perempuan itu bersuci diwaktu-waktu haidh dan suci mereka." Jadi dalam masalah ini disuruh untuk mengembalikan kepada umumnya kondisi perempuan lainnya) apabila kamu kuat mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Ashar (ini adalah lafazh Abu Dawud, dan sabdanya, "Dan kamu segerakan Ashar", maksudnya kamu akhirkan shalat Zhuhur, dengan shalat di akhir waktunya sebelum habis waktu Zhuhur, dan menyegerakan shalat Ashar dengan melaksanakannya di awal waktunya, dengan demikian dia melaksanakan semua shalat pada waktunya, seakan-akan dia menjamak antara dua shalatnya) kemudian kamu mandi ketika engkau bersih (lafazh ini tidak terdapat dalam Sunan Abu Dawud, tapi lafadznya begini, (فَتَغْسِلِينَ فَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ) "Kamu mandi dan menjamak dua shalat: Zhuhur dan Ashar", yakni dengan jamak shuri (seakan-akan menjamak shalat) sebagaimana yang sudah Anda ketahui) lalu  jamaklah shalat Zhuhur dan Ashar (ini bukan dan lafazh Abu Dawud sebagaimana telah Anda ketahui) kemudian kamu akhirkan Maghrib dan segerakan 'Isya" (dalam lafazh Abu Dawud, (وَتُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ) "Kamu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan "Isya"", alangkah bagusnya kalau penulis menghapus yang demikian itu, sebagaimana Anda ketahui) kemudian kamu mandi, dan menjamakkan antara kedua shalat, maka kerjakanlah. Lalu kamu mandi untuk shalat Subuh dan kamu melaksanakan shalat Shubuh', yang demikian itu lebih aku sukai dari dua perkara tersebut (zhahirnya, itu ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tapi Abu Dawud mengatakan, Amr bin Tsabit meriwayatkannya dari Ibnu Aqil, dia berkata, Hamnah berkata, "Yang demikian itu perkara yang paling aku sukai", dia tidak mengatakan itu ucapan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam).

Tafsir Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh yang lima kecuali An-Nasa'i, dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Bukhari. Al-Mundziri mengatakan dalam Mukhtashar Sunan Abu Dawud, Al-Khaththabi mengatakan, "Sebagian ulama tidak mau berpegang pada hadits ini, karena Ibnu Uqail yang menjadi perawinya dinilai tidak demikian." Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, "Hadits ini hanya diriwayatkan sendiri oleh Abdullah bin Muhammad bin Uqail, yang terdapat perbedaan pendapat tentang berhujjah dengan riwayatnya, ini akhir pembicaraanya."

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits ini hasan shahih." Ia juga mengatakan, aku bertanya kepada Muhammad, yakni Al-Bukhari tentang hadits ini, dia mengatakan, "Itu hadits hasan", Ahmad mengatakan, "Itu hadits hasan shahih."

Dengan demikian kita bisa mengetahui, bahwa pendapat yang mengatakan hadits di atas tidak shahih, adalah pendapat yang salah, karena para ulama menilai hadits tersebut shahih. Sudah Anda ketahui dari uraian kami yang berdasarkan lafazh dari riwayat Abu Dawud, bahwasanya apa yang dikutip oleh penyusun di sini bukanlah dari lafazh Abu Dawud, tapi dari salah satu dari perawi yang lima itu, oleh karena itu maka harus dibatasi ungkapannya yang mutlak itu dengan sabdanya, "Engkau segerakan shalat Isya"" sebagaimana sabda beliau, "Engkau segerakan shalat Ashar", karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi petunjuk kepadanya dengan cara demikian, untuk selalu memperhatikan pelaksanaan setiap shalat pada waktunya. Shalat ini yang dikerjakan di akhir waktunya (Zhuhur dan Maghrib), dan ini shalat yang mesti dikerjakan di awal waktunya (Ashar dan Isya).

Adapun sabdanya, "Enam atau tujuh hari", itu bukanlah berarti keraguan dari perawi, juga bukan memberi pengertian boleh memilih, tetapi untuk memberitahukan bahwa masa haidh perempuan antara dua hal itu, ada yang masa haidhnya enam hari, ada juga yang tujuh hari, maka kembali kepada orang yang sebaya dengannya, atau yang lebih dekat dengan tabiatnya.

Kemudian sabda beliau "apabila mampu", mengandung pengertian bahwa hal itu tidak wajib baginya, tapi hanya sunnah, karena yang wajib adalah berwudhu di setiap akan melaksanakan shalat, setelah mandi sehabis haidh, setelah berlalunya masa enam atau tujuh hari, itulah perintah pertama yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam di awal hadits,

 آمُرُك بِأَمْرَيْنِ أَيَّهُمَا فَعَلْت أَجْزَأَ عَنْك مِنْ الْآخَرِ، وَإِنْ قَوِيت عَلَيْهِمَا فَأَنْتَ أَعْلَمُ
"Aku menyuruhmu dengan dua perintah, yang apabila kamu kerjakan salah satunya maka kamu tidak perlu lagi mengerjakan perintah lainnya, dan jika kamu mampu melaksanakan keduanya kamu lebih tahu."

Kemudian beliau menyebutkan perintah yang pertama, agar dia memperkirakan masa haidhnya, enam atau tujuh hari, kemudian mandi dan shalat sebagaimana telah dijelaskan oleh penulis, dan sudah maklum bahwa dia mesti berwudhu untuk setiap shalat karena keluarnya darah terus menerus dapat membatalkan wudhu. Hal ini yang tidak dijelaskan dalam riwayat ini, tetapi disebutkannya dalam riwayat lain.

Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan perintah yang kedua, yaitu menjamak dua shalat dan mandi, sebagaimana telah Anda ketahui.

Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa tidak dibolehkan menjamak dua shalat pada salah satu waktunya karena ada halangan, sebab andaikata dibolehkan karena ada halangan, maka perempuan yang keluar darah istihadhah lebih dibolehkan, tetapi malah beliau menyuruh mereka untuk shalat pada waktunya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

132 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - «أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الدَّمَ، فَقَالَ: اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُك حَيْضَتُك، ثُمَّ اغْتَسِلِي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
- وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: " وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ "، وَهِيَ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ

132. Dari Aisyah RA, bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy pernah mengadu kepada Rasulullah tentang darah, beliau bersabda, “Berhentilah (dari shalat) selama haidh menghalangimu, kemudian mandilah.” Maka dia pun mandi setiap akan melaksanakan shalat.” (HR. Muslim)

[Muslim 334]
dalam riwayat Al Bukhari, “Dan berwudhulah pada setiap shalat.
[Al Bukhari 228]
Riwayat ini disebutkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang berbeda.
[Shahih: Abu Daud 298]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Ummu Habibah pernah menjadi istri Abdurrahman bin Auf. Anak perempuan Jahsy ada tiga orang, yaitu: Zainab Ummul Mukminin, Hamnah dan Ummu Habibah, dikatakan bahwa ketiganya biasa istihadhah. Al-Bukhari menyebutkan bahwa sebagian dari Ummahat Al-Mukminin ada yang keluar darah istihadhah, jika benar perkataan Al-Bukhari itu, maka di antara tiga orang itu adalah Zainab. Para ulama telah menghitung perempuan yang biasa keluar darah istihadhah pada masa hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallatn jumlahnya ada sepuluh orang.

Penjelasan Kalimat

"Pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang darah, maka beliau bersabda, "Berhentilah (dari shalat) selama haidh menghalangimu (yaitu sebelum mengalirnya darah terus menerus) kemudian mandilah (yaitu mandi sehabis masa haidh) maka diapun mandi setiap akan melaksanakan shalat (yaitu tanpa ada perintah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berbuat demikian)."

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain milik Al-Bukhari, "Dan berwudhulah pada setiap shalat." Riwayat ini adalah milik Abu Dawud dan yang lainnya dari jalur lain.

Tafsir Hadits

Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan bahwa perempuan yang keluar darah istihadhahnya dikembalikan kepada salah satu ciri-cirinya, yakni kebiasaan haidhnya. Ciri-ciri itu diketahui dan dapat dikenal lewat kebiasaan haidhnya sebelum keluar darah istihadhah, atau sifat darah yang berwarna hitam yang sudah dikenal, atau kebiasaan lamanya haidh bagi perempuan lainnya baik enam atau tujuh hari, atau mulai datang dan berakhirnya haidh. Semuanya telah jelas dalam hadits yang menjelaskan tentang darah istihadhah, bahwa jika hal itu terjadi berarti haidh telah mulai. Maksudnya, bisa dikenal berdasarkan dugaan kuat, bukan berdasarkan keyakinan pasti, baik dia memiliki kebiasaan atau tidak, sebagaimana yang dipahami dari hadits-hadits - yang menyebutkannya secara mudak, tidaklah yang dimaksudkan kecuali yang menimbulkan dugaan bahwa itu adalah haidh. Seandainya tanda-tanda itu banyak, maka akan semakin kuatlah dugaan itu.

Kemudian ketika timbul dugaan kuat akan habisnya masa haidh, maka wajib baginya mandi, kemudian berwudhu untuk setiap kali akan shalat, atau menjamak shalat dengan jamak shuri dengan sekali mandi. Sekarang timbul pertanyaan, apakah boleh melaksanakan jamak shuri dengan sekali wudhu? Masalah ini tidak ada nash-nya, hanya saja, cara semacam itu sudah maklum akan kebolehannya pada setiap orang.

Adapun masalah; apakah perempuan yang keluar darah istihadhahnya boleh melakukan shalat sunnah dengan wudhu shalat fardhu? Masalah ini juga juga didiamkan, dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini semua.


133 - وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَتْ: «كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا» . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد، وَاللَّفْظُ لَهُ.
133. Dari Ummu Athiyah RA, ia berkata, “Kami tidak menganggap sesuatu yang keruh dan berwarna kuning itu setelah suci sebagai haidh.” (HR. Al Bukhari dan Abu Daud dan lafazh hadits menurut Abu Daud)

[Al Bukhari 326, Abu Daud 307]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Ummi Athiyah, namanya adalah Nusaibah binti Ka'b. Ada yang mengatakan binti Al-Harits, beliau dari golongan Anshar. Ia ikut dalam bai'at Aqabah dan termasuk shahabiyah yang terkemuka. Ia turut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam peperangan, bertugas merawat yang sakit dan mengobati yang terluka.

Penjelasan Kalimat

"Kami tidak menganggap sesuatu yang keruh (yakni, yang membuat warna air keruh dan kotor) dan berwarna kuning (yaitu, air yang dilihat oleh perempuan kuning seperti nanah) setelah suci (yakni, setelah melihat gumpalan putih dan kering) sedikitpun (yakni, kami tidak menganggapnya haidh)."

Tafsir Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Abu Dawud dan lafazh tersebut miliknya.
Ucapan Ummu Athiyah "Kami pernah", menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan sama dengan hadits yang bersambung sanadnya hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena yang dimaksudkan adalah, kami pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dengan sepengetahuannya, maka menjadi taqrir (pengakuan) beliau. Ini menurut pendapat Al-Bukhari dan ulama hadits lainnya, karenanya ia bisa dijadikan hujjah.

Hadits tersebut menjadi dalil tidak adanya hukum pada darah yang tidak kental dan berwarna hitam yang sudah dikenal, maka tidak dianggap haidh setelah dia melihat gumpalan itu. Ada yang mengatakan, ia seperti benang putih yang keluar dari rahim setelah berhentinya darah haidh atau setelah keringnya, yaitu keluar apa yang menempel pada dinding rahim dalam keadaan kering.

Adapun yang dapat dipahami dari ucapannya, "Setelah suci", yakni, dengan salah satu dari dua perkara, bahwa sebelumnya yang kotor dan keruh itu dianggap sebagai sesuatu (haidh), mengenai masalah ini terdapat perbedaan di antara para ulama yang sangat terkenal dalam masalah-masalah furu'iyah.

134 - وَعَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، «أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاحَ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
134. Dari Anas , “bahwasanya orang-orang Yahudi apabila perempuan haidh, maka mereka tidak mau makan bersamanya, maka beliau SAW bersabda, “Lakukanlah segalanya kecuali nikah (bersetubuh).” (HR. Muslim)
[Muslim: 302]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Syarah Hadits

Hadits tersebut menjelaskan maksud ayat,
{قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ}
"Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh." (QS. Al-Baqarah: 222), bahwa yang diperintahkan untuk menjauhi wanita-wanita (yang sedang haidh) dan larangan mendekatmya adalah larangan mencampurinya. Yakni, jauhkan dirimu dari mencampurinya dan jangan mendekatinya untuk mencampurinya. Sedangkan perbuatan lainnya seperti makan bersama, duduk bersama, berbaring bersama, semuanya itu boleh.

Biasanya orang-orang Yahudi tidak mau tinggal serumah dengan istrinya yang sedang haidh, tidak mau bergaul dengannya dan tidak mau makan bersamanya, sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.

Adapun bersenang-senang dengan mereka, telah dibolehkan oleh hadits di atas dan hadits berikut ini:

 135- وَعَنْ «عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
135. Dari Aisyah berkata, Rasulullah menyuruhku mengikat kain, lalu beliau merapat denganku sedangkan aku sedang haidh. (Muttafaq alaih)
[Al Bukhari 300, Muslim 293]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Yaitu beliau menempelkan kulitnya ke kulitku di bagian tubuh di balik kain, hadits tersebut tidak secara tegas menjelaskan bahwa beliau bersenang-senang dengannya, melainkan hanya menempelkan kulit dengan kulit.

Bersenang-senang dengan yang terdapat di antara lutut dan pusar dibolehkan oleh sebagian ulama, alasannya adalah sabda beliau, Lakukanlah segalanya kecuali nikah (bercampur)", itu yang dapat dipahami dari hadits ini. Sedangkan yang lainnya mengatakan makruh, dan yang lainnya mengatakan haram, dan pendapat pertamalah yang lebih tepat berdasarkan hadits tersebut.

Adapun jika seseorang mencampuri istrinya ketika sedang haidh, sesunggguhnya ia telah berbuat dosa, tetapi tidak wajib baginya hukuman apa pun. Ada yang mengatakan wajib baginya bersedekah berdasarkan hadits beikut ini:

136 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ - قَالَ: يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ الْقَطَّانِ، وَرَجَّحَ غَيْرُهُمَا وَقْفُهُ.

136. Dari Ibnu Abbas tentang orang yang mencampuri istrinya yang sedang haidh, beliau SAW bersabda, “Dia harus bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Khamsah) Al Hakim dan Ibnu Al Qaththan menilai haditsnya shahih, sedangkan yang lainnya menilai mauquf pada Ibnu Abbas.
[Shahih: Abu Daud 264]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Hadits tentang masalah ini ada beberapa riwayat, dan ini salah satu di antaranya. Perawi-perawinya terdapat dalam Ash-Shahih, di samping itu riwayatnya mudhtharib (hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan yang kontradiksi). Asy-Syafi'i berkata, "Kalau hadits ini benar, niscaya akan aku jadikan sebagai hujjah." Penulis mengatakan, "Idhthirab (kegoncangan) dalam hadits tersebut baik sanad maupun matannya banyak sekali."

Orang yang mengatakan wajib bersedekah adalah Al-Hasan dan Sa'id, tetapi mereka mengatakan bahwa orang tersebut mesti memerdekakan budak berdasarkan analogi pada orang yang mencampuri istrinya pada siang hari Ramadhan. Yang lainnya mengatakan, dia mesti bersedekah satu dinar atau setengah dinar. Al-Khaththabi berkata, "Mayoritas ahli ilmu mengatakan tidak ada sesuatu pun baginya", karena mereka mengira bahwa hadits ini mursal atau mauquf.

Sedangkan Ibnu Abdi Al-Barr mengatakan, "Alasan orang yang mengatakan tidak wajib adalah karena idhthirab-nya. hadits ini, sedangkan hukum asal adalah terlepas dari kewajiban, karena itu tidak boleh dikatakan wajib bersedekah kepada orang yang miskin dan yang lainnya, kecuali dengan dalil yang tidak bisa dibantah dan tidak cacat, sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalilnya."

Saya katakan, "Orang yang menyatakan shahih, seperti Ibnu Al-Qaththan, sesungguhnya ia telah memperhatikan betul dalam mentashhihkannya, dan ia membantah adanya cacat pada hadits itu, pendapat ini diakui oleh Ibnu Daqiq Al-'Id dan diperkuatnya dalam kitab Al-Iimam, maka tidak ada halangan untuk mengamalkan hadits itu.

Sedangkan orang yang menganggapnya tidak shahih, seperti Asy-Syafi'i dan Ibnu Abd Al-Barr, mereka beralasan bahwa pada asalnya lepas dari tanggungan, maka tidak ada hujjah yang dapat menghilangkannya.

137 - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَلَيْسَ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.

137. Dari Abu Sa'id Al Khudri, “Rasulullah bersabda, “Bukankah wanita itu bila  haidh tidak boleh shalat dan puasa.” (Muttafaq alaih dalam hadits yang panjang)
[Al Bukhari 304, Muslim 298]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Lanjutan hadits tersebut adalah,
فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
'Yang demikian itu adalah kekurangan agamanya",
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar dengan lafazh,
«تَمْكُثُ اللَّيَالِيَ مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ دِينِهَا»
'Dia berhenti beberapa malam tidak shalat dan tidak berpuasa di bulan Ramadban, itulah yang dimaksud dengan kekurangan agamanya. [Muslim 79]

Tafsir Hadits

Itu adalah hadits yang memberikan pengertian penetapan beliau padanya untuk meninggalkan shalat dan puasa, keduanya tidak wajib baginya. Para ulama sudah sepakat bahwa wanita tidak wajib melaksanakan shalat dan puasa ketika masih haidh, dia hanya wajib meng-qadha puasa berdasarkan dalil lainnya.

Adapun tidak bolehnya wanita yang sedang haidh masuk masjid berdasarkan hadits,
«لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ»
"Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haidh dan junub", hadits ini telah dibahas sebelumnya. [Dhaif: sudah dijelaskan kedhaifannya]

Wanita yang haidh juga tidak boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan hadits dari Ibnu Umar secara marfu',
«وَلَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ»
“Wanita yang haidh dan junub tidak boleh membaca sedikitpun dari Al-Qur’an, meskipun mengenai hadits tersebut terdapat pembicaraan. [Dhaif: At Tirmidzi 131]

Demikian pula dia tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur'an, berdasarkan hadits Amr bin Hazm, yang sudah dijelaskan sebelumnya bersama penguatnya.

Hadits-hadits tersebut tidak kurang dari penetapan hukum makruh bagi setiap masalah tersebut, meskipun hukumnya tidak mencapai tingkat haram, karena hadits-hadits tersebut masih diperdebatkan sanadnya, sedangkan maksud-maksud lafazhnya tidak jelas mengharamkannya.

138 - وَعَنْ «عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْت، فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.

138. Dari Aisyah RA, ia berkata, “Ketika kami sudah tiba di Sarif, aku haidh, lalu Nabi SAW bersabda, kerjakanlah segala aktivitas yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, kecuali thawaf di Ka’bah sampai kamu suci.” (Muttafaq alaih, dalam hadits yang panjang)
[Al Bukhari 305, Muslim 1211]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat

"Ketika kami telah sampai (yaitu pada tahun haji Wada’ Aisyah melaksanakan Ihram bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam) di Sarif (nama satu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah) aku haidh, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kerjakanlah segala aktivitas yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, kecuali thawaf di Kabbah, sampai kamu suci"

Muttafaq Alaih, dalam hadits panjang, yaitu dalam hadits tentang sifat (praktek) haji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Tafsir Hadits

Dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan bahwa wanita haidh sah mengerjakan semua aktivitas haji, kecuali thawaf di baitullah dan itu sudah disepakati para ulama. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat tentang alasannya. Ada yang mengatakan karena syarat thawaf harus suci. Ada juga yang mengatakan karena wanita yang haidh dilarang memasuki masjid.

Adapun mengenai shalat sunnah Thawaf dua rakat, sudah diketahui, bahwa keduanya tidak sah melakukannya, karena keduanya berkaitan dengan thawaf dan kesucian.

139 - وَعَنْ «مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ -، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ، وَهِيَ حَائِضٌ؟ فَقَالَ: مَا فَوْقَ الْإِزَارِ» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَضَعَّفَهُ.

139. Dari Muadz bin Jabal , “Bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Apa yang halal bagi lelaki terhadap istrinya yang sedang haidh?’ beliau menjawab, “Segala yang di atas kain.” (HR. Abu Daud dan dia sendiri menilai hadits lemah)
[Dhaif: Abu Daud 213]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi

Mu'adz adalah Abu Abdurrahman Mu'adz bin Jabbal Al-Anshari Al-Khuzraji. Salah seorang yang mengikuti Baiah Al-Aqabah dari kaum Anshar. Beliau ikut serta dalam perang Badr dan peperangan lainnya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru, diserahi tugas untuk mengumpulkan zakat dari para pekerja di Yaman, beliau termasuk shahabat yang mulia dan alim. Beliau juga pernah diangkat oleh Umar untuk menjadi gubernur di Syam menggantikan Abu Ubaidah. Beliau meninggal dunia karena terserang wabah kolera pada tahun 18 H. Ada yang mengatakan tahun 17 H, dalam usia 38 tahun.

Ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,   "Apa yang halal bagi lelaki terhadap isterinya yang sedang haidh?" Beliau menjawab, "Segala yang di atas kain." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dia sendiri menilainya lemah, dia mengatakan, "Tidak kuat."

Tafsir Hadits

Hadits tersebut sebagai dalil diharamkannya berdempetan kulit tubuh pada tempat kain, yaitu tubuh antara pusar dan lutut. Hadits tersebut bertentangan dengan hadits, "lakukanlah segalanya kecuali nikah (bercampur)" telah dijelaskan sebelumnya, dan hadits tersebut lebih shahih dan lebih rajih dari hadits Mu'adz ini. Andai penulis menggabungkan kedua hadits tersebut maka lebih baik. Masalah ini sudah dibahas sebelumnya, dalam hadits dari Aisyah, dia berkata, "Beliau menyuruhku, lalu aku memakai kain."

140 - وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ، وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد. وَفِي لَفْظٍ لَهُ: وَلَمْ يَأْمُرْهَا النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِقَضَاءِ صَلَاةِ النِّفَاسِ. وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.

140. Dari Ummu Salamah RA, “Biasanya wanita-wanita yang nifas pada masa Rasulullah SAW duduk (tidak shalat) setelah nifasnya selama 40 hari. (HR. Khamsah, kecuali An Nasa'i, dan lafazh ini adalah milik Abu Daud).

[Hasan Shahih: At Tirmidzi 139, Abu Daud 311]
Dan di dalam lafazhnya, “Dan Rasulullah SAW tidak menyuruhnya meng-qadha’ shalat selama nifas.” Dishahihkan oleh Al Hakim.
[Hasan: Abu Daud 312]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits

Sekelompok ulama menilai hadits tersebut dha'if, An-Nawawi mengatakan, sekelompok ulama fiqh mengatakan hadits ini lemah dan tidak bisa diterima. Tapi hadits ini punya syahid yaitu hadits Ibnu Majah dari Anas, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَقَّتَ لِلنُّفَسَاءِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ»
"Beliau menetapkan waktu bagi para wanita yang nifas selama 40 hari, kecuali jika dia melihat suci sebelum itu.” [Dhaif sekali: Ibnu Majah 655]

Dan bagi Al-Hakim dari Utsman bin Abi Al-Ash,

«وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِلنِّسَاءِ فِي نِفَاسِهِنَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا»

"Rasulullah menetapkan masa bagi para wanita dalam nifasnya 40 hari.[1]

Hadits-hadits ini saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa darah yang keluar setelah melahirkan hukumnya berlanjut sampai 40 hari, selama itu perempuan yang nifas tidak boleh shalat dan puasa. Sekalipun hadits itu tidak menjelaskan demikian, tapi dapat dipahami dari dalil lainnya.

Hadits Anas memberikan pengertian bahwa wanita-wanita itu bila sudah melihat suci sebelum 40 hari, berarti dia telah suci, dan hal ini tidak ada batas minimalnya.
_____________
[1] Berkata Adz Dzahabi dalam At-Talkhish Al Mustadrak no 624: ‘Abu Bilal Al Asy’ari meriwayatkan secara sendirian dari Ibnu Syihab, jikan sanad darinya selamat, maka statusnya mursal shahih, karena Al Hasan tidak mendengar dari Utsman bin Abul Ash. (ebook editor)














0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top