KESENANGAN HATI TERLETAK DALAM SHALAT

<div style="text-align: justify;"> Dari Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam shalat.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> TAKHRIJ HADITS.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, III/128, 199, 285; An-Nasâ’I, VII/61-62 dan dalam Isyratun Nisâ‘, no. 1; Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadris Shalâh, no. 322, 323; Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 3482; Al-Hâkim, II/160; Al-Baihaqi, VII/ 78; Dan Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 5199</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 3124.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> SYARAH HADITS.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ada dua perkara yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat cinta kepadanya yaitu wanita dan wewangian.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Maksudnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kecintaan kepada wanita (istri) agar bertambah cobaan dan ujian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena wanita adalah fitnah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn1">[1]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Meskipun wanita adalah fitnah, tapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terfitnah dengan banyaknya istri, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan larangan-larangan-Nya, menunaikan amanah risalah kenabian. Yang demikian bagi Beliau supaya lebih banyak cobaannya dan lebih besar ganjarannya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai banyak istri di antara tujuannya adalah supaya mereka (para istri) menyampaikan kepada ummat Islam apa yang tidak diketahui oleh ummat seperti keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya bersama para istrinya, misalnya terkait mandi junub, haidh, ‘iddah, shalat-shalat sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah, dan lainnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang paling baik akhlaknya kepada para istrinya dan kepada keluarganya, agar ummat Islam meneladani akhlak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana Beliau bermu’amalah dengan wanita yang lemah dan berakhlak dengan akhlak yang mulia.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Adapun tentang wewangian, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai karena Malaikat mencintai aroma wewangian dan tidak suka kepada hal-hal yang baunya kurang enak. Oleh karena itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan bawang merah dan bawah putih ketika seseorang akan berangkat menunaikan shalat di Masjid, karena baunya mengganggu Malaikat dan kaum Muslimin. Wewangian juga menimbulkan kecintaan dan menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berkata, ‘Dalam hadits ini ada dua pendapat:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Pertama, diberikan kecintaan kepada wanita, agar bertambah cobaan dan beban Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Meskipun demikian Beliau tidak lalai disebabkan fitnah wanita, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan amanah risalah. Maka yang demikian lebih banyak cobaannya dan lebih besar ganjarannya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kedua, keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyendiri dan bergaul disaksikan oleh para istrinya, sehingga tuduhan terhadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau penyair, orang gila, dan tuduhan-tuduhan lainnya akan hilang.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Adapun pernyataan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalimat “دُنْيَاكُمْ” (dunia kalian) untuk menunjukkan bahwa hati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tergantung kepada dunia dan tidak mencintai dunia, kecuali sekedar apa-apa yang dapat membantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk taat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengantarkannya ke Surga-Nya.”<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn2">[2]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan dijadikan kesenangan hatiku ada dalam shalat<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn3">[3]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Qurratul ‘ain (kesenangan hati) yang disebutkan dalam hadits, lebih dari sekedar kecintaan, karena tidak semua hal yang dicintai menjadi kesenangan hati. Tetapi kesenangan hati terwujud pada yang kecintaannya yang paling tinggi, yaitu yang dicintai karena Dzat-Nya, dan yang berhak dicintai seperti itu yaitu Allâh Azza wa Jalla , yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Segala sesuatu selain Allâh Azza wa Jalla dicintai karena mengikuti kecintaan kepada-Nya. Sehingga selain-Nya hanya dicintai karena-Nya dan tidak dicintai bersama-Nya, karena mencintai (selain Allâh) bersama (dengan kecintaan kepada)-Nya adalah syirik dan cinta karena-Nya adalah tauhid.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Orang musyrik menjadikan tandingan-tandingan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka terhadap Allâh Azza wa Jalla , sedangkan orang yang bertauhid hanya cinta kepada siapa saja karena Allâh, membenci siapa saja karena Allâh, melakukan perbuatan yang dilakukan karena Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan hal-hal yang harus ditinggalkan hanya karena Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan poros agama ini terletak pada empat pondasi, yaitu (1) cinta dan (2) benci dan buah dari keduanya adalah (3) melakukan (perbuatan yang harus dilakukan) dan (4) meninggalkan (hal-hal yang harus dijauhi), serta memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu. Barangsiapa yang menyempurnakan semua ini karena Allâh, maka imannya telah sempurna imannya. Jika dari hal-hal itu ada yang kurang (keikhlasannya) karena Allâh, maka hal itu akan mengurangi kadar iman hamba tersebut.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kesimpulannya, qurratu ‘ain seseorang itu lebih tinggi dari sekedar apa yang dia cintai. Dan shalat merupakan qurratul ‘ain (kesenangan hati) di dunia ini bagi orang-orang yang cinta (kepada Allâh), karena di dalamnya dia bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla , yang tidak ada kesenangan, tidak ada ketentraman hati dan tidak ada ketenangan jiwa kecuali hanya kepada-Nya, dengan menikmati dzikir kepada-Nya, merendah dan tunduk kepada-Nya serta dekat dengan-Nya. Terlebih lagi pada keadaan sujud, di mana keadaan tersebut merupakan keadaan terdekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> يَا بِلَالُ ، أَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Wahai Bilal! Istirahatkanlah kami dengan shalat!<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn4">[4]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa istirahat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak dalam shalat, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa kesenangan hatinya terletak dalam shalat. Maka bandingkanlah dengan orang yang berkata, “Kita shalat kemudian kita istirahat dari shalat.”???!!</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Orang yang cinta kepada Allâh, istirahatnya dan kesenangan hatinya terdapat dalam shalat. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka dia tidak merasakan kenikmatan tersebut, bahkan shalat merupakan hal yang besar dan berat baginya. Kalau dia berdiri untuk shalat, seakan-akan ia berdiri di atas bara api sampai dia selesai dari shalat tersebut. Shalat yang paling disukai oleh orang semacam ini adalah shalat yang paling buru-buru dan paling cepat, karena tidak ada kesenangan hatinya dalam shalat dan tidak ada istirahat baginya dalam shalat.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Seorang hamba jika senang terhadap sesuatu dan hatinya serasa istirahat dengannya, maka yang paling berat baginya adalah berpisah dengan hal tersebut. Adapun orang yang dipaksakan, yang hatinya kosong dari Allâh Azza wa Jalla dan hari Akhirat serta terjangkiti penyakit cinta dunia, maka hal yang paling berat baginya adalah shalat, yang paling tidak dia sukai adalah shalat yang lama, padahal dia sedang memiliki waktu luang, sehat dan tidak disibukkan dengan perkara lain.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yang perlu diketahui adalah bahwa shalat yang bisa menjadi qurratul ‘ain (kesenangan hati) dan istirahatnya hati adalah shalat yang menghadirkan enam hal:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Pertama, Ikhlas</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu yang membawa dan mendorongnya untuk shalat adalah harapannya kepada Allâh, kecintaan kepada-Nya, keinginannya mencari ridha-Nya, mendekat kepada-Nya, mencari cinta-Nya dan karena melaksanakan perintah-Nya. Motivasinya bukan motivasi keduniaan sama sekali, bahkan dia mengerjakan shalat karena menghadap wajah Allâh Yang maha Tinggi, karena cinta kepada-Nya, takut akan adzab-Nya, dan berharap ampunan dan pahala-Nya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kedua, Kejujuran dan Ketulusan</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu memusatkan hatinya dalam shalat hanya untuk Allâh, mengerahkan usahanya untuk menghadap kepada Allâh dalam shalatnya, memusatkan hatinya (agar fokus) dalam shalat, dan melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya dan berusaha semaksimal mungkin agar sempurna, secara lahir maupun batin. Karena shalat memiliki dimensi lahir dan batin. Dimensi lahirnya adalah gerakan-gerakan shalat yang terlihat dan perkataan-perkataan yang terdengar, sedangkan batinnya adalah khusyu’, muraqabah (merasa diawasi oleh Allâh), memusatkan hatinya hanya untuk Allâh Azza wa Jalla , menghadap kepada Allâh dengan sepenuh hati, dengan tidak memalingkan hati kepada selain-Nya. Batin ini ibarat ruh shalat, sedangkan gerakan-gerakan shalat ibarat badannya. Jika shalat itu kosong dari ruh, maka shalat tersebut seperti badan yang tidak memiliki ruh. Apakah seorang hamba tidak malu untuk menghadap kepada Rabb-nya dengan mempersembahkan shalat semacam itu! Oleh karena itulah shalat (yang tidak memiliki ruh) itu seperti baju usang yang dilipat, kemudian dipukulkan ke muka pemiliknya, dan shalat itu berkata, “Semoga Allâh Azza wa Jalla menyia-nyiakanmu sebagaimana engkau menyia-nyiakanku!”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Adapun shalat yang sempurna secara lahir dan batinnya, maka dia akan naik dengan mempunyai cahaya dan bukti seperti cahaya matahari, sampai dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh pun meridhainya dan menerimanya, dan shalat itu berkata, “Semoga Allâh Azza wa Jalla menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku.”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ketiga, Mutaba’ah (mengikuti) dan Mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu seorang berusaha keras untuk mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Ia shalat sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, berpaling dari hal-hal baru yang dibuat oleh manusia dalam shalat, baik berupa penambahan, pengurangan, dan aturan-aturan yang bukan berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga dari Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak juga mengikuti pendapat orang-orang yang selalu memberikan keringanan (dalam shalat) yang hanya mencukupkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap wajib saja, padahal ada (Ulama) yang menyelisihinya dan mewajibkan apa yang mereka anggap tidak wajib, dan ada hadits-hadits yang shahih dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu akan tetapi mereka tidak menggubris sama sekali dan mereka justru berkata, “Kami taklid kepada madzhab fulan.” Maka alasan ini tidak akan menyelamatkannya di sisi Allâh Azza wa Jalla dan tidak bisa dijadikan sebagai udzur untuk meninggalkan sunnah yang telah dia ketahui, karena Allâh Azza wa Jalla hanya memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Beliau saja, tidak mengikuti selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikuti kalau dia memerintahkan dengan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Semua orang selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pendapatnya bisa diambil dan bisa juga ditinggalkan.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah bersumpah dengan diri-Nya yang mulia bahwa kita tidak dikatakan beriman sebelum kita menjadikan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penentu hukum dalam segala hal yang kita perselisihkan, kemudian kita tunduk dan pasrah terhadap hukum (yang datang) dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adapun hukum selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketundukan kita terhadap hukum tersebut, maka hal itu tidak akan bermanfaat bagi kita, tidak akan bisa menyelamatkan kita dari adzab Allâh Azza wa Jalla dan Dia tidak akan menerima jawaban kita tatkala kita mendengar seruan-Nya pada hari Kiamat kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allâh) menyeru mereka, dan berfirman, ‘Apakah jawabanmu terhadap para rasul?’” [Al-Qashash/28:65]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sungguh, Allâh Subhanahu wa Ta’ala pasti akan menanyakannya kepada kita dan menuntut jawaban dari kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Maka pasti akan Kami tanyakan kepada umat yang telah mendapat seruan (dari para rasul) dan Kami akan tanyai (pula) para rasul.” [Al-A’râf/7:6]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ بِيْ تُفْتَنُوْنَ وَعَنِّيْ تُسْأَلُوْنَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan mendapatkan fitnah (kubur) dan kalian akan ditanya tentang aku.<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn5">[5]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yakni pertanyaan di alam kubur. Barangsiapa yang sampai kepadanya sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia tinggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan orang lain, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan mengetahui (kesalahannya tersebut).</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Keempat, Ihsan</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu menghadirkan murâqabah (yaitu rasa selalu diawasi oleh Allâh), yaitu dimana seorang hamba beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seolah-olah dia melihat-Nya. Hal ini bisa muncul disebabkan kesempurnaan imannya kepada Allâh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sampai seolah-olah dia melihat Allâh di atas langit-Nya sedang istiwâ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya, berbicara dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, mengatur urusan makhluk-Nya, semua perkara turun dari sisi-Nya dan juga naik kepada-Nya, amalan-amalan hamba dan juga ruh-ruh mereka dihadapkan kepada-Nya ketika matinya. Dia menyaksikan semua itu dengan hatinya. Menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Qayyûm (Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya), al-Hayy (Maha Hidup), as-Samî’ (Maha Mendengar), al-Bashîr (Maha Melihat), al-‘Azîz (Maha Perkasa), al-Hakîm (Maha Bijaksana), memerintah dan melarang, mencintai dan membenci, ridha dan murka, berbuat menurut kehendak-Nya, dan menghukumi dengan apa yang diingini-Nya. Allâh Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada amalan hamba yang samar bagi-Nya, tidak juga perkataan dan batin mereka, bahkan Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat (dengan melihat kepada yang haram-pent) dan juga apa yang tersembunyi di dalam dada.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadirnya ihsan ini merupakan pokok (inti) bagi seluruh amalan hati, karena akan memunculkan sifat malu, mulia, pengagungan, rasa takut, cinta, tekad untuk bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , tawakkal (bergantung hanya kepada Allâh-pent), tunduk kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menghinakan diri di hadapan-Nya, memotong bisikan syaitan dan bisikan hati, serta mengumpulkan hati dan keinginannya hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Jadi kadar kedekatan seorang hamba kepada Allâh adalah sesuai dengan kadar ihsan yang dimilikinya dan berdasarkan ini pula, nilai shalat manusia berbeda-beda, sampai nilai keutamaan shalat antara dua orang bisa berbeda jauh sejauh langit dan bumi, padahal berdiri, ruku’, dan sujud keduanya sama.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kelima, Mengingat Karunia Allâh Atasnya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu mengakui bahwa semua karunia itu hanya milik Allâh Azza wa Jalla . Dia-lah yang menjadikan seorang hamba bisa berdiri untuk shalat, membuatnya mampu untuk mengerjakannya, dan memberikan taufik kepadanya untuk bisa menegakkan shalat dengan hati dan badannya dalam rangka berkhidmat kepada-Nya. Kalau bukan karena karunia Allâh Azza wa Jalla , maka tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut akan terwujud, sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum berkata di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَاللهِ لَـوْلَا اللهُ مَـا اهْتَـدَيْنَـا وَلَا تَصَـدَّقْنَـا وَلَا صَلَّيْنَـا</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Demi Allâh, kalau bukan karena Allâh, kami tidak akan mendapat petunjuk</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tidak juga kami bisa bersedekah dan tidak juga kami shalat</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا ۖ قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ ۖ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allâh yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” [Al-Hujurât/49:17]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Jadi, Allâh lah yang menjadikan seseorang menjadi Muslim dan menjadikan seorang bisa melaksanakan shalat, seperti perkataan al-Khalîl (Nabi Ibrâhîm) Alaihissallam.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ya Rabb kami ! Jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu … [Al-Baqarah/2:128]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan juga perkataan beliau Alaihissallam.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ya Rabbku! Jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat! Wahai Rabb kami! Perkenankanlah doaku.” [Ibrâhîm/14:40]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Karunia hanyalah milik Allâh semata dalam menjadikan seorang hamba melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan ini merupakan nikmat yang paling agung atas seorang hamba.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [An-Nahl/16:53]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tetapi Allâh menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. [Al-Hujurât/49:7]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Ini termasuk kesadaran terbesar dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Semakin besar tauhid seorang hamba, maka semakin sempurna kadar kesadarannya ini.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Di dalamnya terdapat beberapa faedah, di antaranya bisa menghalangi hati dari sifat ujub (bangga diri) dan merasa amalannya (sudah besar-red). Karena jika dia mempersaksikan dan menyadari bahwa Allâh Azza wa Jalla yang memberikan karunia kepadanya, memberinya taufik dan petunjuk, maka kesadarannya ini akan menyibukkan dirinya dari rasa bangga terhadap amalannya dan menilai amalannya besar, serta (mencegahnya) dari perbuatan meremehkan manusia. Sehingga sifat (tercela-red) itu bisa terangkat dari hatinya dan hatinya tidak lagi ujub, dan bisa terangkat dari ucapannya, sehingga dia tidak menyebut-nyebutnya dan tidak menyombongkan diri dengan (amalan)nya. Inilah ciri amalan yang diterima.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Di antara faedahnya adalah seorang hamba menyandarkan pujian kepada Pemiliknya dan Yang berhak mendapatkannya (yaitu Allâh Azza wa Jalla ). Dia tidak merasa dirinya pantas untuk dipuji, bahkan dia meyakini bahwa segala pujian hanya milik Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia meyakini bahwa segala nikmat adalah milik Allâh Azza wa Jalla , semua karunia adalah milik-Nya dan segala kebaikan berada di kedua tangan-Nya, dan ini termasuk kesempurnaan tauhid. Pijakannya dalam tauhid tidak akan kokoh kecuali dengan didasari ilmu dan persaksian ini. Jika dia sudah memiliki ilmu tentangnya dan ilmunya kokoh, maka hal itu akan menjadi sebuah kesadaran (masyhad) baginya. Dan apabila di dalam hatinya sudah terdapat kesadaran itu, maka akan membuahkan kecintaan, senang dengan (kedekatan kepada) Allâh, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan merasa nikmat dengan berdzikir (mengingat-Nya) dan taat kepada-Nya, yang (kenikmatan semacam ini) tidak akan tertandingi dengan kenikmatan dunia yang tertinggi sama sekali.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Seseorang tidak memiliki kebaikan sama sekali di dalam hidupnya, jika hatinya terhalang dari hal ini dan jika jalan menuju ke sana terhalangi. Bahkan keadaannya seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). [Al-Hijr/15:3]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Keenam, Senantiasa Merasa Kurang (dalam amalannya)</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Seorang hamba walalupun berusaha untuk melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan usaha yang maksimal dan dia mengerahkan segenap usahanya, maka dia tetap dikatakan orang yang kurang. Karena hak Allâh yang harus ditunaikannya lebih besar lagi, serta ketaatan, peribadahan, dan khidmah yang harus dipersembahkan lebih banyak dari itu, sedangkan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza wa Jalla menuntut adanya peribadahan yang sesuai.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Jika saja para pelayan dan budak raja-raja (di dunia) melayani mereka dengan penuh pemuliaan, pengagungan, penghormatan, pembesaran, rasa malu, segan, takut dan penuh kejujuran, dimana mereka memfokuskan jiwa dan raga mereka untuk sang raja, maka Rajanya para raja dan Rabb (pemilik) langit dan bumi lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu, bahkan berkali lipat dari itu.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Jika seorang hamba meyakini bahwa dirinya tidak mampu memenuhi hak Rabb-nya dalam ibadah kepada-Nya, dan tidak juga mendekati untuk memenuhinya, maka dia akan menyadari kekuranganya, dan tidak ada jalan lain kecuali istighfar (memohon ampun kepada Allâh) dan meminta udzur atas kekurangannya, sikap meremehkannya, dan ketidakmampuannya untuk menunaikan hak Allâh Azza wa Jalla sebagaimana mestinya. Dia menyadari bahwa dirinya lebih butuh terhadap ampunan dan maaf dari Allâh atas ibadahnya (yang kurang) dari pada meminta pahala. Karena jika dia benar-benar memenuhi hak Allâh Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, maka hal itu merupakan hal yang sewajarnya sebagai tuntutan dari penghambaan. Sebagaimana budak yang bekerja dan melayani tuannya, maka memang sewajarnya kalau dia melaksanakan kewajiban tersebut, karena tugas dia sebagai budak. Jika dia meminta upah atas kerja dan pelayanannya, maka orang lain akan menganggapnya sebagai orang bodoh dan pandir, padahal budak itu bukanlah hamba dan milik tuannya secara hakiki, karena pada hakikatnya budak itu (bahkan manusia semuanya-pent) adalah hamba Allâh dan milik-Nya dari segala segi.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Jadi, amalan dan khidmahnya memang sudah menjadi kewajibannya karena kedudukan dia sebagai seorang hamba Allâh, jika Allâh Azza wa Jalla memberikan pahala kepadanya, maka itu adalah murni pemberian, karunia dan kebaikan dari Allâh kepadanya, bukan merupakan hak hamba yang harus Allâh Azza wa Jalla berikan.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dari sini kita memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا، إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tidaklah seseorang di antara kalian dimasukkan ke dalam surga karena amalannya.” Mereka para Sahabat bertanya, “Dan tidak juga engkau, wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, tidak juga aku, kecuali Allâh meliputiku dengan karunia serta rahmat-Nya.” <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn6">[6]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata, “Pada hari kiamat akan dikeluarkan tiga catatan kepada seorang hamba:</div> <div style="text-align: justify;"> Catatan berisi kebaikan-kebaikannya</div> <div style="text-align: justify;"> Catatan berisi kejelekan-kejelekannya dan</div> <div style="text-align: justify;"> Catatan berisi nikmat-nikmat yang Allâh berikan kepadanya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Lalu Allâh Azza wa Jalla berkata kepada nikmat-nikmat-Nya, ‘Ambillah hakmu dari kebaikan-kebaikan hamba-Ku.’ Maka nikmat yang terkecil mengambil semua kebaikan-kebaikan hamba tersebut, kemudian nikmat itu berkata, ‘Demi Kemuliaan-Mu, aku belum memenuhi hakku.’ Maka jika Allâh ingin merahmati hamba-Nya, Dia berikan nikmat-nikmat-Nya kepada-Nya, Dia ampuni kesalahan-kesalahannya dan Dia melipatgandakan kebaikan-kebaikannya.”<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn7">[7]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Riwayat ini shahih dari Anas Radhiyallahu anhu, dan ini menunjukkan kesempurnaan ilmu para Sahabat terhadap Rabb mereka dan hak-hak-Nya yang wajib mereka tunaikan. Sebagaimana mereka juga orang yang paling tahu tentang Nabi mereka, tentang sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama yang Beliau bawa. Maka dalam riwayat ini terdapat ilmu dan pengetahuan yang tidak bisa dicapai kecuali oleh orang-orang yang mempunyai bashîrah (ilmu yakin) dan orang-orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla , nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan mengenal hak-Nya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dari sini kita bisa memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dan lainnya:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ، وَأَهْلَ أَرْضِهِ، لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Sungguh, kalau Allâh mengadzab penduduk langit-Nya dan penduduk bumi-Nya, sunguh Dia akan mengadzab mereka dan Dia tidak menzhalimi mereka sama sekali. Dan kalau Dia merahmati mereka, maka rahmat-Nya lebih baik bagi mereka dibandingkan amal-amal mereka.<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn8">[8]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> FAWA’ID.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan cobaan dan ujian lebih besar daripada kaum Muslimin.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kekuatan cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , sehingga tidak terpengaruh oleh kecintaan Beliau kepada para istri Beliau.</div> <div style="text-align: justify;"> Kecintaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para istrinya tidak melalaikan Beliau dari ketataan-ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , bahkan justru menambah kedekatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibolehkan menikahi lebih dari empat istri agar mereka dapat menjelaskan syari’at Islam yang berkaitan dengan masalah rumah tangga.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat mengagungkan perintah-perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya dalam bergaul kepada keluarganya, paling baik kepada para istrinya, lembah lembut dan kasih sayang kepada mereka.</div> <div style="text-align: justify;"> Kecintaan kepada istri dan menikmati kelezatan dunia itu, bukan hal yang tercela selama tidak melalaikan dari mengingat Allâh dan tidak melalaikan dari ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> Ummat Islam disunnahkan memakai parfum (wewangian) apabila keluar rumah. Terutama ketika beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seperti shalat lima waktu dan shalat Jum’at.</div> <div style="text-align: justify;"> Kaum wanita dilarang memakai parfum (wewangian) apabila keluar rumah, namun untuk suaminya di rumah, maka dia boleh memakai wewangian untuk menambah kecintaan suaminya. Tentang larangan memakai parfum bagi wanita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> أَيُّمَـا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْـحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Siapa pun wanita yang memakai wangi-wangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar tercium baunya, maka ia (seperti) wanita pelacur.<a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftn9">[9]</a></div> <div style="text-align: justify;"> Shalat adalah sebaik-baik amalan seorang hamba.</div> <div style="text-align: justify;"> Di dalam shalat terkandung kenikmatan dan kesejukan hati yang tidak didapat pada amalan lain.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kenikmatan dan kesejukan hati di dalam shalat saat munajat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan berdzikir kepada-Nya.</div> <div style="text-align: justify;"> Ketika seorang shalat maka wajib thuma`ninah (tenang) dan tidak terburu-buru.</div> <div style="text-align: justify;"> Seorang Muslim harus berusaha untuk khusyu’ dalam shalatnya dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .</div> <div style="text-align: justify;"> Shalat wajib dikerjakan untuk mengingat Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâhâ/20:14]</div> <div style="text-align: justify;"> Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, dan mengingat Allâh lebih besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Bacalah Kitab (al-Qur’ân) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan ketahuilah mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Ankabût/29:45]</div> <div style="text-align: justify;"> Apabila seseorang ingin mendapatkan kekhusyu’an, ketentraman, kelezatan, dan kenikmatan dalam shalatnya, maka wajib ia menghadirkan enam hal berikut:</div> <div style="text-align: justify;"> Ikhlas</div> <div style="text-align: justify;"> Kejujuran dan keikhlasan</div> <div style="text-align: justify;"> Mengikuti dan mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam</div> <div style="text-align: justify;"> Menghadirkan Ihsan</div> <div style="text-align: justify;"> Menghadirkan karunia Allâh Azza wa Jalla atasnya</div> <div style="text-align: justify;"> Senantiasa merasa kurang dalam amalannya</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> MARAAJI’.</div> <div style="text-align: justify;"> Kutubus sittah dan kitab-kitab hadits lainnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Syarah Sunan an-Nasa`i – Dzakiratul ‘Uqba fi Syarhil Mujtaba, Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Etiopi.</div> <div style="text-align: justify;"> Risâlatu Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwânihi, tahqiq: Abdullah bin Muhammad al-Mudiqar, cet. Daar Alamil Fawa`id.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]</div> <div style="text-align: justify;"> _______</div> <div style="text-align: justify;"> Footnote</div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref1">[1]</a> Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5096 dan Muslim, no. 2740 (97), dari Sahabat Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Muslim.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref2">[2]</a> Diringkas dengan sedikit tambahan dari Syarah Sunan an-Nasa`i – Dzakiratul ‘Uqba fi Syarhil Mujtaba (28/170-175), Syarah Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Etiopi.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref3">[3]</a> Syarah ini dinukil dari Risâlatu Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwânihi, hlm. 35-53), tahqiq: Abdullah bin Muhammad al-Mudiqar, cet. Daar Alamil Fawa`id.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref4">[4]</a> Shahih: HR. Ahmad, V/364 dan Abu Dawud, 4985, 4986. Lihat Shahih al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 7892</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref5">[5]</a> HR. Ahmad (VI/139-140), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam hadits yang panjang dan marfu’, di dalamnya terdapat:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> فَأَمَّا فِتْنَةُ الْقَبْرِ فَبِيْ تُفْتَنُوْنَ وَعَنِّيْ تُسْأَلُوْنَ…</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Adapun fitnah kubur, maka kalian akan mendapatkan fitnah dan akan ditanya tentang aku.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Al-Mundziri berkata, “Ahmad meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.” (At-Targhîb wat Tarhîb, IV/364-465). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 1361.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref6">[6]</a> Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5673, 6463; Muslim, no. 2816 (75); dan Ahmad, II/264, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ahmad dan Muslim.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref7">[7]</a> Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas z secara marfu’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Kasyful Astâr ‘an Zawâ`id al-Bazzâr, karya al-Haitsami, IV/ 160, no. 3444. Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ`id, X/648, “Di dalam sanadnya ada Shalih al-Mari, dia lemah.” Pentahqiq kitab Majma’uz Zawâ`id, X/647 berkata, “Di dalam sanadnya juga ada Dawud bin al-Mihbar, yang dituduh suka memalsukan hadits.”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref8">[8]</a> Shahih: HR. Abu Dawud, no. 4701; Ahmad, V/182, 185, 189; dan Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, no. 21396. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5244</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <a href="https://almanhaj.or.id/6737-kesenangan-hati-terletak-dalam-shalat.html#_ftnref9">[9]</a> Hasan: HR. Ahmad, IV/414, 418; An-Nasâ’i, VIII/153; Abu Dawud, no. 4173; At-Tirmidzi, no. 2786; dan Ibnu Hibban, no. 4407-at-Ta’lîqâtul Hisân dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu .</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <img height="200" src="http://www.assajidin.com/wp-content/uploads/2016/12/alhadid.jpg" width="200" /></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div>

KESENANGAN HATI TERLETAK DALAM SHALAT

Dari Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesen…

Read more »

KEWAJIBAN MENGENAL IMAM KAUM MUSLIMIN

<div style="text-align: justify;"> رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمامَ زَمانِهِ ماتَ مِيْتَةً جاهِلِيَّةً</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal imam (kaum Muslimin) di jamannya maka dia mati Jahiliyah.”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini adalah hadits palsu dan tidak asal-usulnya, meskipun sering dinukil oleh beberapa kelompok sesat, seperti Ahmadiyah, Syi’ah dan lain-lain, dengan tujuan untuk melariskan ‘dagangan’ bid’ah dan kesesatan mereka. Yaitu menjadikan imam yang mereka pilih dan tentukan sebagai imam pemimpin kaum Muslimin secara keseluruhan sehingga mereka wajib membai’at (berjanji setia) kepadanya.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini populer dan banyak dinukil oleh orang-orang Syi’ah di buku-buku mereka<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn1">[1]</a>, karena kandungan hadits ini jelas sangat mendukung keyakinan sesat mereka.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Bahkan salah seorang Ulama mereka yang bernama al-Kulaini meriwayatkan hadits palsu ini dengan sanadnya sampai kepada Abu ‘Abdillah al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn2">[2]</a>. Tentu saja semua ini palsu dan dusta atas nama cucu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma, sebagaimana kebiasaaan orang-orang Syiah yang selalu berdusta atas nama ahlul bait keturunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini ditegaskan oleh para Ulama Ahlus sunnah sebagai hadits palsu dan tidak ada asal-usulnya dalam kitab-kitab hadits yang ada di tangan para Ulama ahli hadits.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadits dengan lafazh (seperti) ini tidak dikenal (tidak ada asal-usulnya).”<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn3">[3]</a> Pernyataan Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam Mukhtasharu Minhâjis sunnah” (hlm. 28), dan cukuplah mereka berdua sebagai argumentasi dalam menilai hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini .<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn4">[4]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Syaikh al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits yang tidak ada asal-usulnya dengan lafazh seperti ini.<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn5">[5]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kemudian matan (isi/kandungan) hadits ini juga bertentangan dengan beberapa hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , misalnya:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits Pertama, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan (kepada penguasa kaum Muslimin di negerinya) maka dia akan bertemu Allâh pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada argumentasi baginya (untuk menyelamatkan dirinya), dan barangsiapa mati dalam keadaan di lehernya tidak ada bai’at (kepada penguasa kaum Muslimin di negerinya), maka dia mati dengan cara kematian Jahiliyah.<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn6">[6]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban berbai’at itu ditujukan kepada pemimpin dan penguasa kaum Muslimin di negeri mereka, dan bukan ditujukan kepada pemimpin masing-masing kelompok, karena jelas ini akan menimbulkan kekacauan disebabkan masing-masing kelompok akan mengklaim bahwa pemimpin mereka yang wajib dibai’at. Sebagaimana ancaman yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu mati dengan cara kematian Jahiliyah, ini berlaku bagi orang yang meninggalkan bai’at syar’i (yang sesuai dengan syariat Islam) ini, yaitu dengan melepaskan diri dari ketaatan kepada pemerintah kaum Muslimin dan memberontak kepada mereka.<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn7">[7]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits Kedua, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu ketika dia bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah dan keburukan yang akan muncul di akhir zaman, dia bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keburukan tersebut?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Hendaknya) kamu berpegang teguh dengan jama’ah kaum Muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya lagi, “Kalau mereka tidak mempunyai jama’ah dan imam (yang satu dan disepakati semua)? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kalau begitu tinggalkan semua kelompok-kelompok yang ada, walaupun (karena itu) kamu (harus) menggigit erat-erat akar pohon (sendiri) sampai datang kematianmu dan kamu dalam keadaan seperti itu.”<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn8">[8]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini menunjukkan bahwa akan datang suatu zaman yang waktu itu kaum Muslimin tidak memiliki jama’ah yang satu dan imam (pemimpin) yang satu<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn9">[9]</a>. Maka ketika itu terjadi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menjauhi semua kelompok yang mengaku bahwa merekalah jama’ah kaum Muslimin dan imam merekalah yang wajib dibai’at, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berepegang teguh dengan kebenaran meskipun kita sendirian sampai datang ajal menjemput. Dalam hal ini, Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu sendirian (yang berpegang teguh dengannya).”<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn10">[10]</a></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Dalam hadits ini (terdapat faidah) bahwa ketika kaum Muslimin tidak memiliki seorang imam (yang disepakati) sehingga mereka berpecah belah menjadi kelompok-kelompok, maka tidak boleh kita mengikuti satupun kelompok yang berpecah belah itu dan (wajib) untuk menjauhi semua kelompok itu jika kita sanggup melakukannya, dalam rangka menghindari terjerumus di dalam keburukan (fitnah)”<a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftn11">[11]</a>.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> KESIMPULANNYA.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini adalh hadits palsu dengan matan yang bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga hadits ini tertolak dari segi riwayah (sanad periwayatan) dan dirayah (kandungan dan isinya).</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Maka cukuplah kita berpegang teguh dengan hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintah kita untuk berpegang teguh dengan pemerintah kaum Muslimin yang ada di negeri kita dan tidak boleh berpaling dari ketaatan kepada mereka, apalagi sampai memberontak dan melawan mereka.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Tentu saja dengan tetap menasehati dan meluruskan kesalahan mereka dengan cara yang baik, lembut dan tidak terang-terangan di depan umum. Inilah aqidah yang benar dan ditetapkan oleh para ulama Ahlus sunnah di kitab-kitab tulisan mereka.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA</div> <div> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M.]<br />_______<br />Footnote<br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref1">[1]</a> Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 5/88<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref2">[2]</a> Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref3">[3]</a> Kitab Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, 1/110<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref4">[4]</a> Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref5">[5]</a> Kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref6">[6]</a> HSR Muslim, no. 1851<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref7">[7]</a> Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 8/132<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref8">[8]</a> HSR. Al-Bukhâri, 6/2595 dan Muslim, no. 1847<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref9">[9]</a> Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 13/35<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref10">[10]</a> Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igâtsatul Lahfân, 1/70<br /><br /><a href="https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html#_ftnref11">[11]</a> Dinukil oleh Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, 6/321</div> <div> <br /></div> <div> <img height="157" src="https://kawanrenunganhati.files.wordpress.com/2012/07/imam2.jpg" width="200" /><br /></div>

KEWAJIBAN MENGENAL IMAM KAUM MUSLIMIN

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمامَ زَمانِهِ ماتَ مِيْتَةً جاهِلِيَّةً Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 17

<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><span style="-webkit-transition: color 0.2s; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Barangsiapa berbuat dosa sambil tertawa, pastilah ia masuk neraka sambil menangis."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="-webkit-transition: color 0.2s; background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits di atas maudhu'</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">. Ia diriwayatkan oleh Abu Naim. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ayyub dari Muhammad bin Ziyad. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa ia (Umar bin Ayyub) telah dikecam oleh Ibnu Hibban.</span><br /> <span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><br /></span> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span><br /> <div style="text-align: justify;"> <div style="margin: 0px;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div> </div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 17

"Barangsiapa berbuat dosa sambil tertawa, pastilah ia masuk neraka sambil menangis."Hadits di atas maudhu'. Ia diriwayatkan oleh Abu Naim. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ayyub dari Muhammad bin Ziyad. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa ia (Umar bin Ayyub) telah dikecam oleh Ibnu Hibban. Sumber : Silsila…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 16

<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><span style="-webkit-transition: color 0.2s; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Ada dua golongan dari umatku, yang bila keduanya baik atau saleh, maka baiklah semua manusianya. Yaitu 'umara (penguasa) dan fuqaha (ulama)."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Dalam riwayat lain disebut umara dan ulama. </span><span style="-webkit-transition: color 0.2s; background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits tersebut maudhu'</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">. Ia telah diriwayatkan oleh Tamam dalam kitab al-Fawa'id I/238 dan Abu Naim dalam kitab al-Haliyyah IV/96, serta Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jami' Bayanil-'Ilmi I/184, dari sanad Muhammad bin Ziyad yang oleh Imam Ahmad dinyatakan sebagai pendusta dan pemalsu hadits.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Hadits tersebut juga diutarakan oleh al-Ghazali dalam Ihya I/6, seraya menyandarkan kepada Rasulullah saw. dan telah dinyatakan oleh al-Hafizh al-Iraqi bahwa sanadnya dha'if.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="-webkit-transition: color 0.2s; background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Perhatian:</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Tidak ada perbedaan antara pernyataan al-Hafizh tadi (bahwa hadits tersebut dha'if) dengan vonis saya bahwa hadits tersebut maudhu' sebab hadits maudhu' termasuk kategori hadits-hadits dha'if seperti yang masyhur dalam ilmu Mushthalah Hadits.</span><br /> <span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><br /></span> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span><br /> <div style="text-align: justify;"> <div style="margin: 0px;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div> </div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 16

"Ada dua golongan dari umatku, yang bila keduanya baik atau saleh, maka baiklah semua manusianya. Yaitu 'umara (penguasa) dan fuqaha (ulama)."Dalam riwayat lain disebut umara dan ulama. Hadits tersebut maudhu'. Ia telah diriwayatkan oleh Tamam dalam kitab al-Fawa'id I/238 dan Abu Naim dalam kitab al…

Read more »

KEUTAMAAN BERSUSAH PAYAH MENCARI REZEKI HALAL

<div style="text-align: justify;">  رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ تَعِبًا فِي طَلَبِ الْحَلَالِ</div> <div style="text-align: justify;"> Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allâh suka melihat hamba-Nya yang sedang bersusah payah dalam mencari (rezki) yang halal”.</div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini dinisbatkan oleh Imam al-‘Irâqi[1] dan as-Suyûthi[2] kepada Imam Abu Manshûr ad-Dailami dalam kitab susunannya, Musnadul Firdaus.</div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini adalah haditsmaudhû’ (palsu), dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Sahl al-‘Aththâr. Imam ad-Dâraquthni rahimahullah berkata tentangnya “Dia termasuk perawi yang memalsukan hadits”. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Para ulama Ahli Hadits menuduhnya sebagai pemalsu hadits”[3].</div> <div style="text-align: justify;"> Imam al-‘Irâqi rahimahullah mengisyaratkan kepalsuan hadits ini dengan berkata, “Dalam sanad hadits ini ada (perawi yang bernama) Muhammad bin Sahl al-‘Aththâr,(Imam) ad-Dâraquthni berkata, ‘Dia memalsukan hadits’”[4].</div> <div style="text-align: justify;"> Imam al-Munâwi rahimahullah membenarkan pernyataan Imam al-‘Iraqi di atas, bahkan beliau mengkritisi Imam Suyûthi rahimahullah yang mencantumkan hadits palsu ini dalam kitabnya al-Jâmi’ush Shaghîrdengan berkata, “Sudah sepantasnya penulis (Imam Suyûthi rahimahullah) menghapus (tidak mencantumkan) hadits ini (dalam kitab tersebut)”[5].</div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini juga dinyatakan sebagai hadits yang palsu oleh Imam asy-Syaukâni  rahimahullah dengan mencantumkannya dalam kitab beliau yang memuat hadits-hadits yang palsu[6].  Syaikh al-Albâni rahimahullah pun mencantumkannya dalam as-Silsilah adh-Dha’îfahnya[7].</div> <div style="text-align: justify;"> Derajat hadits ini yang palsu menjadikannya sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran untuk mengamalkan kandungannya.</div> <div style="text-align: justify;"> Apalagi isi hadits ini terkesan berlebihan memotivasi untuk mengejar urusan dunia, yang  dalam hal ini adalah mencari nafkah dengan bersusah payah mencarinya, dan  terkesan menomorduakan urusan akhirat. Padahal dalil-dalil dari al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memotivasi manusiauntuk tidak berlebihan dalam mengejar urusan dunia dan mengambil dari nikmat dunia dengan kadar secukupnya, serta lebih bersemangat dan berlomba-lomba mengejar keutamaan di sisi Allâh k di akhirat nanti.</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا</div> <div style="text-align: justify;"> Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (urusan) dunia. [al-Qashash/28:77].</div> <div style="text-align: justify;"> Dan dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهَى</div> <div style="text-align: justify;"> Sesuatu (harta dan perhiasan dunia) yang sedikit dan mencukupi lebih baik daripada yang banyak dan melalaikan (dari berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla)”[8].</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA</div> <div style="text-align: justify;"> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M.]</div> <div style="text-align: justify;"> _______</div> <div style="text-align: justify;"> Footnote</div> <div style="text-align: justify;"> [1] Dalam Takhrîju Ahâdîtsil IhyâIV/72- al-Maktabah asy-Syâmilah, edisi I.</div> <div style="text-align: justify;"> [2]Al-Jâmi’ush Shaghîr wa Ziyâdatuhu hlm. 364.</div> <div style="text-align: justify;"> [3] Lihat Mîzânul I’tidâl III/576.</div> <div style="text-align: justify;"> [4]Takhrîju Ahâdîtsil Ihyâ IV/72.</div> <div style="text-align: justify;"> [5]Faidhul Qadîr” II/293.</div> <div style="text-align: justify;"> [6]Al-Fawâidul Majmû’ah fil Ahâdîtsil Madhû’ah hlm. 145, no. 14.</div> <div style="text-align: justify;"> [7]Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah I/66, no. 10.</div> <div style="text-align: justify;"> [8] HR. Ahmad V/197, Ibnu Hibbân VIII/121 dan al-Hâkim II/482. Hadits ini dinilai shahîh oleh Imam Ibnu Hibbân, al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.Lihat ash-Shahîhah no.443</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <img height="200" src="http://irsofian.com/wp-content/uploads/2016/12/ir-sofian-akademi-jl-rezeki-yang-halal.png" width="150" /></div>

KEUTAMAAN BERSUSAH PAYAH MENCARI REZEKI HALAL

 رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ تَعِبًا فِي طَلَبِ الْحَلَالِ Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allâh suka melihat hamba-Nya yang s…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 15

<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><span style="-webkit-transition: color 0.2s; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">"Negeri Syam adalah tempat busur panah-Ku. Siapa saja yang ingin berlaku jahat padanya, Aku akan memanahnya dengan anak panah tersebut."</span></span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Hadits tersebut tidak ada sumbernya dalam kumpulan hadits </span><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><span style="-webkit-transition: color 0.2s; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; line-height: normal !important; transition: color 0.2s;">marfu'</span></span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">. Barangkali riwayat tersebut termasuk Israiliat.</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Dalam sanadnya terdapat al-Mas'udi yaitu nama Abdur Rahman bin Abdullah yang dikenal lemah atau dha'if.</span><br /> <span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><br /></span> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span><br /> <div style="text-align: justify;"> <div style="margin: 0px;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div> </div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 15

"Negeri Syam adalah tempat busur panah-Ku. Siapa saja yang ingin berlaku jahat padanya, Aku akan memanahnya dengan anak panah tersebut."Hadits tersebut tidak ada sumbernya dalam kumpulan hadits marfu'. Barangkali riwayat tersebut termasuk Israiliat.Dalam sanadnya terdapat al-Mas'udi yaitu nama Abdur…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 14

<br /> <div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "oswald"; font-size: 13px; text-align: justify;"><b>"Hati-hatilah (jauhilah) olehmu hijaunya kotoran ternak." Beliau ditanya, 'Apa makna hijaunya kotoran ternak?' Rasul menjawab, 'Yaitu wanita cantik yang tumbuh di lingkungan buruk.'"</b></span></div> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /> <span style="-webkit-transition: 0.2s; background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits tersebut lemah sekali.</span><span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"> Ia diriwayatkan oleh al-Qidha'i dalam musnad asy Syihab I/81 dari sanad al-Waqidi. Juga dimuat dalam Ihya II/38. Ad-Daru Quthni mengatakan, "Hadits ini tunggal dari al-Waqidi dan dia adalah dha'if."</span><br /> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Menurut saya, bahkan dia itu termasuk yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), sedangkan Imam Ahmad, Nasa'i, Ibnul Mudayni, dan lainnya menganggapnya dusta. Karena itu, janganlah terkecoh oleh sekelompok kaum fanatik yang dengan sengaja memuat riwayat tadi dalam kitab-kitab mereka.</span><br /> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Hal itu bertentangan dengan kaidah-kaidah yang lazim di kalangan para pakar hadits, misalnya al-Jarhul-Mubinu Muqqaddamun 'alat-Ta'dili (kecaman/kritik yang jelas dan rinci lebih diutamakan daripada pujian atau pengakuan baik).</span><br /> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><br /></span> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span><br /> <div style="text-align: justify;"> <div style="margin: 0px;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div> </div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 14

"Hati-hatilah (jauhilah) olehmu hijaunya kotoran ternak." Beliau ditanya, 'Apa makna hijaunya kotoran ternak?' Rasul menjawab, 'Yaitu wanita cantik yang tumbuh di lingkungan buruk.'" Hadits tersebut lemah sekali. Ia diriwayatkan oleh al-Qidha'i dalam musnad asy Syihab I/81 dari sanad al-Waqidi. Jug…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 13

<br /> <div style="text-align: center;"> <span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: Oswald; font-size: 13px; text-align: justify;">"Penduduk Syam adalah cambuk Allah di bumi-Nya. Allah akan membalas kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya dengan mereka. Haram bagi kaum munafik untuk mengungguli kaum mukmin dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kesedihan dan kesengsaraan."</span></div> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><span style="-webkit-transition: color 0.2s; background-color: white; font-family: Oswald !important; font-size: 13px !important; text-align: justify; transition: color 0.2s;">Hadits tersebut dha'if.</span><span style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"> Telah diriwayatkan oleb atb-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dari dua sanad, yaitu al-Walid bin Muslim dari Muhammad bin Ayyub. Memang sanadnya terlihat sahih. Barangkali karena itulah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dengan berdasarkan riwayat tersebut menjadikan "Keutamaan Negeri Syam" sebagai bab tersendiri dalam bukunya. Namun hakikatnya tidaklah demikian dikarenakan dua sebab :</span><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /><br /> <ol style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; margin: 0px 20px 20px 0px; padding-left: 40px; text-align: justify;"> <li>Riwayat 'an 'anah (yakni menggunakan lafazh 'an fulan 'an fulan penj.). Al-Walid adalah mudallas (mencampur aduk atau sengaja membuat kesalahan). Inilah yang dinyatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan.</li> <li>Sanadnya terhenti (mauquf), yaitu telah diriwayatkan dengan sanad yang mauquf oleh Haitsam bin Kharijah. Ia berkata, "Riwayat ini sanadnya terhenti sampai kepada Khuraim."</li> </ol> <div style="text-align: justify;"> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div> <div style="text-align: start;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif;"><span style="-webkit-transition: 0.2s; background-color: white; font-size: 13px; text-align: justify; transition: 0.2s;"></span><span style="background-color: white; color: #cc0000; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span><span style="-webkit-transition: 0.2s; background-color: white; font-size: 13px; text-align: justify; transition: 0.2s;"></span></span><br /></div> <div style="text-align: justify;"> <div style="margin: 0px;"> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" /></div> </div> </div>

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 13

"Penduduk Syam adalah cambuk Allah di bumi-Nya. Allah akan membalas kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya dengan mereka. Haram bagi kaum munafik untuk mengungguli kaum mukmin dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kesedihan dan kesengsaraan." Hadits tersebut dha'if. Telah d…

Read more »

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 12

<span style="background-color: white; color: #cc0000; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><span style="-webkit-transition: 0.2s; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; line-height: normal; transition: 0.2s;">"Allah SWT telah mewahyukan kepada dunia, 'Berkhidmatlah kepada siapa yang berkhidmat kepada-Ku, dan sengsarakanlah siapa yang berkhidmat kepadamu (yakni dunia).'"</span></span><br /> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /> <span style="-webkit-transition: 0.2s; background-color: white; font-family: "oswald important"; font-size: 13px; text-align: justify; transition: 0.2s;">Hadits tersebut maudhu'.</span><span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"> Hal itu diriwayatkan oleh al-Khatib dalam tarikh Baghdad VIII/44 dan juga oleh al-Hakim dalam kitab Ma'rifat Ulumul Hadits halaman 101.</span><br /> <br style="background-color: white; font-family: arial; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;" /> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;">Al-Khatib mengatakan, "Ini adalah riwayat tunggal yang hanya diriwayatkan oleh Husain bin Fudhail, sedang dia pemalsu."</span><br /> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"><br /></span> <div style="text-align: justify;"> <span style="font-family: "verdana" , sans-serif; font-size: small;">Sumber : Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' Muhammad Nashiruddin al-Albani</span></div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <span style="background-color: white; font-family: "arial"; font-size: 14px; line-height: 18.200000762939453px; text-align: justify;"></span> <img height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJsPSWsIRY4_bbVh-cxhNfnXFngN1RaJinJZPP4EAzGyFjeT9egoIqnJsh-c2f04ZEbv4aOHHd3ez2AWF-oLn4vyGTlSbgZQfdhOQDrllw8TtBVv-UC7SdirR4KYLPuMSFyXp77YOaxRc/s200/silsilah+maudhu.JPG" style="font-family: verdana, sans-serif; text-align: center;" width="128" />

Silsilah Hadist Dha'if dan Maudhu' No 12

"Allah SWT telah mewahyukan kepada dunia, 'Berkhidmatlah kepada siapa yang berkhidmat kepada-Ku, dan sengsarakanlah siapa yang berkhidmat kepadamu (yakni dunia).'" Hadits tersebut maudhu'. Hal itu diriwayatkan oleh al-Khatib dalam tarikh Baghdad VIII/44 dan juga oleh al-Hakim dalam kitab Ma'rifat Ul…

Read more »

EMPAT DOSA BESAR YANG DILAKNAT PELAKUNYA OLEH ALLÂH AZZA WA JALLA

<div style="text-align: center;"> حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاس غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِيْ بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا ، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ</div> <div style="text-align: center;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata:</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> TAKHRIJ HADITS</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :</div> <div style="text-align: justify;"> Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])</div> <div style="text-align: justify;"> Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17</div> <div style="text-align: justify;"> An-Nasa`i, VII/232</div> <div style="text-align: justify;"> Ahmad, I/108, 118, 152</div> <div style="text-align: justify;"> Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327</div> <div style="text-align: justify;"> Abu Ya’la, no. 602</div> <div style="text-align: justify;"> Al-Baihaqi, VI/99</div> <div style="text-align: justify;"> Al-Hakim, IV/153</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> KOSA KATA HADITS</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : dengan empat kata, maksudnya empat kalimat</div> <div style="text-align: justify;"> لَعَنَ اللهُ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla</div> <div style="text-align: justify;"> آوَى : menjaga, melindungi</div> <div style="text-align: justify;"> مُحْدِثًا : Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd</div> <div style="text-align: justify;"> مَنَار : Jamak dari مَنَارَة yang berarti tanda</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> SYARH (PENJELASAN) HADITS</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya terhadap empat kejahatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tersebut dari rahmat-Nya, yaitu:</div> <div style="text-align: justify;"> Pertama, bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , sesuatu yang tidak berhak mendapat peribadahan.</div> <div style="text-align: justify;"> Kedua, orang yang mendo’akan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut, misalnya seseorang melakukan kejelekan-kejelekan di atas terhadap orang tua orang lain lalu orang lain tersebut membalasnya dengan perbuatan jelek serupa, maka itu sama dengan melakukan perbuatan jelek terhadap orang tuanya sendiri.</div> <div style="text-align: justify;"> Ketiga, orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, misalnya dengan menghalang pelaksanaan hukum tersebut kepada orang itu, atau ia ridha terhadap kebid’ahan dalam agama dan mengakuinya.</div> <div style="text-align: justify;"> Keempat, orang yang mengubah tanda batas tanah yang memisahkan hak pemilik masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempatnya yang benar. Sehingga dengan sebab itu terjadilah pengambilan sebagian tanah orang lain secara zhalim. [2]</div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih binatang pada asalnya adalah ibadah yang diperintahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ</div> <div style="text-align: justify;"> Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allâh).” [Al-Kautsar/108:2]</div> <div style="text-align: justify;"> Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menggabungkan dua ibadah tersebut, yaitu shalat dan berkurban. Keduanya menunjukkan perbuatan taqarrub (yang mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla , kerendahan hati, butuh  kepada Allâh, berbaik sangka, kuatnya keyakinan, dan tenangnya hati kepada Allâh dan kepada janji-Nya.</div> <div style="text-align: justify;"> Dan ini berlawanan dengan keadaan para penyembah kubur dan orang yang seakan tidak butuh kepada Allâh Azza wa Jalla , yang mereka tidak shalat kepada-Nya dan tidak menyembelih kurban karena takut kefakiran. Karena inilah Allâh Azza wa Jalla menggabungkan kedua ibadah tersebut dalam firman-Nya:</div> <div style="text-align: justify;"> قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ</div> <div style="text-align: justify;"> Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).’” [Al-An’âm/6:162-163]</div> <div style="text-align: justify;"> Makna nusuk adalah penyembelihan untuk Allâh semata karena mengharapkan pahala dari-Nya. Keduanya (shalat dan menyembelih) merupakan ibadah yang paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dalam surat al-Kautsar, perintah tersebut didahului dengan huruf fa’, yang menunjukkan sebab, karena mengerjakan kedua ibadah tersebut merupakan sebab yang menuntun seseorang untuk bersyukur kepada Allâh atas apa yang Allâh Azza wa Jalla beri dari al-Kautsar.</div> <div style="text-align: justify;"> Ibadah fisik yang paling mulia adalah shalat dan ibadah harta yang paling mulia adalah menyembelih. Tidak terkumpul pada ibadah shalat dalam diri seseorang sebagaimana yang terkumpul pada ibadah lainnya, sebagaimana yang diketahui oleh para pemilik hati yang hidup. Dan tidak terkumpul pada diri seorang hamba dalam ibadah penyembelihan –jika diiringi dengan iman dan ikhlas- dari kuatnya keyakinan dan husnuz zhann (berbaik sangka) melainkan perkara yang menakjubkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang banyak melakukan shalat dan berkurban.”[3]</div> <div style="text-align: justify;"> Tetapi jika seseorang menyembelih binatang untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berhala, patung, pohon, batu, jin, dan selainnya, maka Allâh Azza wa Jalla melaknat orang tersebut. Setiap orang yang menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , maka orang tersebut dilaknat oleh Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan betapa dosa itu sangat besar, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak melaknat kecuali terhadap perkara dosa yang berbahaya. Ini menunjukkan besarnya dosa menyembelih untuk selain Allâh, bagaimanapun bentuk penyembelihan tersebut, baik sedikit atau banyak, dengan binatang yang besar atau kecil.</div> <div style="text-align: justify;"> Bentuk penyembelihan kepada selain Allâh yaitu seseorang menyebut nama selain nama Allâh saat menyembelih, atau dengan niat dan hati serta keyakinannya untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh dengan penyembelihan tersebut. Atau dengan sembelihan tersebut, dia ingin menolak bahaya dari sesuatu yang dia sembelih untuknya, seperti misalnya menyembelih untuk jin dengan maksud untuk menolak bahaya yang ditakutkan dari mereka atau karena takut kepada mereka, atau menyembelih untuk berhala agar mendapat manfaat dari berhala tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh. Jika sudah lama tidak datang hujan, mereka menyembelih kerbau atau hewan lainnya di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dimana mereka ingin hujan turun di tempat tersebut. Terkadang mereka diuji dengan turunnya hujan itu, jadi terkabulnya doa mereka merupakan ujian dan cobaan dari Allâh Azza wa Jalla , bukan menunjukkan bolehnya perbuatan mereka yang termasuk syirik dan mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> Barangsiapa melakukan hal tersebut, ia termasuk musyrik (orang yang berbuat syirik atau menyekutukan Allâh) yang terlaknat, baik ia melafazhkan dengan berkata ‘Sembelihan ini untuk kuburan fulan’ dan lafazh semisalnya atau ia hanya meniatkan dengan hatinya saja. Sembelihan ini haram, karena termasuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :</div> <div style="text-align: justify;"> إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ </div> <div style="text-align: justify;"> Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allâh [Al-Baqarah/2:173]</div> <div style="text-align: justify;"> Semua yang disembelih untuk selain Allâh mencakup apa-apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allâh, atau disembelih dengan nama Allâh tetapi diniatkan untuk berhala, jin, dan semisalnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Jadi, yang tercakup dalam penyembelihan untuk selain Allâh yaitu:</div> <div style="text-align: justify;"> Sesuatu yang disembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Walaupun dia menyebut bismillah, ini tetap haram sesuai ijma’ dan termasuk syirik, seperti menyembelih untuk berhala, penghuni kubur dan lainnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Sesuatu yang disembelih untuk dimakan dagingnya, tetapi dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla .</div> <div style="text-align: justify;"> Sesuatu yang disembelih ketika musim kemarau di tempat tertentu atau di kuburan tertentu agar hujan segera turun.</div> <div style="text-align: justify;"> Sesuatu yang disembelih ketika pertama kali memasuki rumah baru karena takut kepada jin.</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih sapi atau kurban untuk ditanam kepala binatang tersebut agar bangunan menjadi kokoh dan kuat.</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih binatang untuk menolak malapetaka, seperti menyembelih untuk Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan, atau yang lainnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Ini semua termasuk penyembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla dan merupakan perbuatan syirik besar (syirk akbar).</div> <div style="text-align: justify;"> Apa saja yang disembelih untuk selain Allâh, maka tidak boleh dimakan, karena termasuk dalam firman-Nya:</div> <div style="text-align: justify;"> وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ</div> <div style="text-align: justify;"> dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allâh</div> <div style="text-align: justify;"> Begitu pula sembelihan-sembelihan yang tidak dibaca Bismillah, maka tidak boleh dimakan.</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ</div> <div style="text-align: justify;"> Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allâh, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. [Al-An’âm/6:121]</div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh Azza wa Jalla menggandengkan hak orang tua dengan hak-Nya dalam firman-Nya:</div> <div style="text-align: justify;"> وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا</div> <div style="text-align: justify;"> Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ’/4:36]</div> <div style="text-align: justify;"> وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا</div> <div style="text-align: justify;"> Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [Al-Isrâ’/17:23-24]</div> <div style="text-align: justify;"> Hak orang tua selalu disebutkan setelah hak Allâh Azza wa Jalla , begitu juga larangan berbuat buruk kepada orang tua disebutkan setelah larangan berbuat buruk pada hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ  يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ</div> <div style="text-align: justify;"> Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tiga kali. Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan durhaka kepada kedua orang tua.” Awalnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga saksi palsu dan perkataan bohong.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”[4]</div> <div style="text-align: justify;"> Jadi tidak boleh seorang anak mencela orang tuanya dan ini merupakan dosa besar. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan laknat terhadap sesuatu menunjukkan bahwa hal itu merupakan dosa besar, baik mencela secara langsung atau menjadi penyebab orang tuanya dicela. Karena sebagian orang ada yang tidak mencela orang tuanya secara langsung, tetapi dengan suatu sebab seperti ia mencela orang tua temannya, yang kemudian temannya itu membalas mencela orang tuanya. Maka ia menjadi sebab dalam pencelaan orang tuanya sendiri.</div> <div style="text-align: justify;"> Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ:  نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ</div> <div style="text-align: justify;"> “Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana mungkin seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar. Ia mencaci ayah orang lain, lalu orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[5]</div> <div style="text-align: justify;"> Seorang Muslim tidak boleh menjadi pelaknat, pencela,  dan berakhlak buruk. Seorang Muslim wajib menjadi orang yang beradab dan berbicara dengan kata-kata yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :</div> <div style="text-align: justify;"> وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا</div> <div style="text-align: justify;"> … Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia … [Al-Baqarah/2:83]</div> <div style="text-align: justify;"> Jika kepada orang lain kita diperintahkan untuk berkata baik, apalagi kepada orang tua. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا</div> <div style="text-align: justify;"> … dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. [Al-Isrâ’/17: 23]</div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan</div> <div style="text-align: justify;"> Yaitu orang yang melindungi orang lain yang berbuat kejahatan dengan kedudukannya, kekuatannya, kekuasaannya atau dengan pasukannya, agar pelaku kejahatan itu tidak dikenai hukuman hadd. Apa yang dia lakukan ini juga termasuk dosa besar dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Abu as-Sa’adat rahimahullah (Ibnul Atsir, wafat th. 606 H) berkata tentang makna مُحْدِثًا, “Kata tersebut ada yang meriwayatkan dengan mengkasrahkan huruf Dal (مُحْدِثًا) dan ada juga yang memfathahkannya (مُحْدَثًا). Jika dikasrahkan, maka maknanya : pelaku, (jadi makna hadits di atas adalah-red) orang yang menolong pelaku kejahatan, melindunginya, menyelamatkannya dari lawannya, dan menghalanginya agar tidak diqishash.</div> <div style="text-align: justify;"> Sedangkan jika difathahkan huruf Dalnya, maknanya adalah objek, yaitu perkara bid’ah itu sendiri. Jadi makna (hadits di atas jika difathahkan yaitu-red) ridha dan sabar terhadapnya. Karena seseorang jika ridha terhadap suatu bid’ah dan mengakui pelakunya serta tidak mengingkarinya, maka ia telah melindunginya.”[6]</div> <div style="text-align: justify;"> Seorang Muslim tidak boleh melindungi, menolong atau membantu pelaku kejahatan atau pelaku bid’ah, karena hal ini termasuk dalam ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:</div> <div style="text-align: justify;"> وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ</div> <div style="text-align: justify;"> Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Mahakeras siksa-Nya   [Al-Mâ`idah/5:2]</div> <div style="text-align: justify;"> Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :</div> <div style="text-align: justify;"> لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ</div> <div style="text-align: justify;"> Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah</div> <div style="text-align: justify;"> Ada tiga pendapat para Ulama tentang maksud dengan tanda-tanda tanah:</div> <div style="text-align: justify;"> Pertama, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu garis tanda batas tanah. Mengubahnya yaitu dengan melebihkannya dari batas yang seharusnya. Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</div> <div style="text-align: justify;"> مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقٍّ، طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ</div> <div style="text-align: justify;"> Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) tanpa hak, maka akan dikalungkan padanya dari tujuh bumi pada hari Kiamat[7]</div> <div style="text-align: justify;"> Kedua, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda tanah haram yang diharamkan di sana membunuh hewan buruan, diharamkan menebang pohon dan rerumputannya, dan diharamkan mengambil barang temuan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla menjadikan daerah sekitar Ka’bah haram dari segala sisi. Ini merupakan kota yang tidak boleh dimasuki oleh orang musyrik dan tidak boleh berperang di dalamnya kecuali jika untuk membela diri. Jadi yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ di sini yaitu tanda-tanda yang dijadikan batas di sekitar tanah haram dari semua sisi, dari daerah Tan’im, Hudaibiyyah, ‘Arafah dan Namirah, serta dari Ji’ranah.</div> <div style="text-align: justify;"> Ketiga, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda yang ada di jalan umum yang kita kenal, seperti papan-papan penunjuk lalu lintas di jalan. Maka ini tidak boleh diubah karena dapat menyesatkan orang-orang.</div> <div style="text-align: justify;"> Dan yang paling kuat yaitu pendapat yang pertama. Wallâhu a’lam.[8]</div> <div style="text-align: justify;"> FAWAA-ID[9]</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .</div> <div style="text-align: justify;"> Tidak ada wasiat sama sekali untuk Ali Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.</div> <div style="text-align: justify;"> Ada dalil tentang dianjurkannya menulis</div> <div style="text-align: justify;"> Ali Radhiyallahu anhu marah kepada orang yang berkata bahwa beliau Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam</div> <div style="text-align: justify;"> Kalau ada orang yang berkata bahwa Ali adalah وَصِيّ (yang diberi wasiat) maka perkataan ini adalah dusta dan bohong.</div> <div style="text-align: justify;"> Orang-orang syi’ah adalah para pendusta dan pembohong, tidak boleh dipercaya seumur hidup.</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih binatang kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya adalah haram dengan keharaman yang sangat keras, baik yang disembelih itu unta, sapi, ayam, atau yang lainnya.</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla adalah syirik dan dosa besar yang paling besar.</div> <div style="text-align: justify;"> Sembelihan untuk berhala dan yang lain selain Allâh, maka tidak boleh dimakan.</div> <div style="text-align: justify;"> Menyembelih kurban adalah ibadah, wajib dipersembahkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata.</div> <div style="text-align: justify;"> Wajib berkata dengan perkataan yang baik dan mulia kepada kedua orang tua.</div> <div style="text-align: justify;"> Durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan haram.</div> <div style="text-align: justify;"> Durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar.</div> <div style="text-align: justify;"> Melaknat (mencaci-maki) kedua orang tua adalah perbuatan haram, baik secara langsung maupun karena menjadi sebab dilaknatnya kedua orang tua oleh orang lain, misalnya dia melaknat kedua orang tua orang lain kemudian orang lain tersebut balas melaknat kedua orang tuanya. Ini sama dengan melaknar kedua orang tua sendiri.</div> <div style="text-align: justify;"> Haramnya menolong dan melindungi para pelaku kejahatan.</div> <div style="text-align: justify;"> Haramnya meridhai atau setuju dengan kebid’ahan</div> <div style="text-align: justify;"> Haramnya mengubah patok tanah dengan tujuan untuk mengambil hak/tanah orang lain.</div> <div style="text-align: justify;"> Bolehnya melaknat orang-orang fasik (secara umum/tanpa menentukan individu tertentu) agar mereka jera dari kemaksiatan.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> MARAAJI’</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya</div> <div style="text-align: justify;"> Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Usamah bin ‘Athaya bin Utsman al-‘Utaybi.</div> <div style="text-align: justify;"> Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.</div> <div style="text-align: justify;"> Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.</div> <div style="text-align: justify;"> I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.</div> <div style="text-align: justify;"> Al-Jadîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz as-Sulaiman al-Qar’awi, tahqiq: Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله</div> <div style="text-align: justify;"> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. ]</div> <div style="text-align: justify;"> _______</div> <div style="text-align: justify;"> Footnote</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> [1]  Beliau adalah ‘Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin Abul Hasan al-Hasyimi Radhiyallahu anhu , anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Thalib. Dia orang yang pertama kali masuk Islam melalui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan anak kecil. Beliau Radhiyallahu anhu menikahi Fathimah binti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau salah seorang yang mengikuti Perang Badar, Bai’atur Ridhwan, dan Perang Uhud, termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk Surga, Khulafa-ur Rasyidin yang keempat. Beliau Radhiyallahu anhu dibunuh oleh ‘Abdurrahman bin Muljam al-Muradi al-Khariji dengan tipu muslihat di Muamirah, 17 Ramadhan, yang terkenal pada tahun 40 H. Kuburan beliau tidak diketahui, sebagai satu hikmah yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.</div> <div style="text-align: justify;"> [2] Al-Mulakhkhash fî Syarh Kitâbit Tauhîd, hlm. 97-98</div> <div style="text-align: justify;"> [3]  Majmû’ al-Fatâwâ, XVI/531</div> <div style="text-align: justify;"> [4]  Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 2654, 5976; Muslim, no. 87; Ahmad, V/36, 38; dan at-Tirmidzi, no. 1901, 2301, 3019.</div> <div style="text-align: justify;"> [5]  Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5973 dan Muslim, no. 90 (146)). Ini lafazh Muslim.</div> <div style="text-align: justify;"> [6]  An-Nihâyah fii Gharîbil Hadîts wal Atsar, I/351.</div> <div style="text-align: justify;"> [7]  HR. Muslim, no. 1611; Ahmad, II/387, 388, dan 432 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu</div> <div style="text-align: justify;"> [8]  Syarah ini diringkas dari I’ânatul Mustafîd dengan berbagai tambahan dari kitab lainnya.</div> <div style="text-align: justify;"> [9]  Al-Mulakhkhash, hlm. 98  dan al-Jadîd, hlm. 108.</div> <div style="text-align: justify;"> <br /></div> <div style="text-align: justify;"> <img height="120" src="http://sofyanruray.info/wp-content/uploads/2015/10/1445002874_5620fe7a44948_desainmu.com_-350x210.jpg" width="200" /></div>

EMPAT DOSA BESAR YANG DILAKNAT PELAKUNYA OLEH ALLÂH AZZA WA JALLA

حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ…

Read more »