Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa/permintaannya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim[2/342])
Hadits yang mulia ini mengandung pelajaran, di antaranya:
  1. Kasih sayang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat besar kepada umatnya dan besarnya perhatian beliau demi kebaikan mereka. Oleh sebab itu beliau sengaja mengakhirkan doanya -yang mustajab- itu bagi kepentingan umatnya pada saat-saat yang paling mereka perlukan (lihat Syarh Muslim [2/342])
  2. Semua orang yang meninggal dalam keadaan tidak musyrik (atau kafir) maka tidak akan dihukum kekal di dalam neraka meskipun dia bergelimang dosa-dosa besar dan belum bertaubat darinya (lihat Syarh Muslim [2/342]). Adapun apabila seorang mukmin mati dalam keadaan sebelumnya bergelimang dengan dosa besar lalu bertaubat dari dosa-dosanya sebelum mati, maka ia akan langsung masuk surga (lihat ucapan Imam Bukhari dalam Kitab al-Libas setelah membawakan hadits ini, Shahih Bukhari, hal. 1216)
  3. Pentingnya taubat. Terlebih lagi di saat-saat menjelang kematian, sebelum nyawa berada di tenggorokan. Karena yang menjadi patokan hukum akherat kelak adalah kondisi terakhir orang tersebut di alam dunia, apakah dia meninggal di atas iman ataukah tidak. Sementara kematian itu adalah rahasia Allah yang kita tidak tahu kapan datangnya. Oleh sebab itu kita tertuntut untuk bertaubat dengan segera dan tidak menunda-nundanya. Selama kita masih menjumpai siang dan malam di alam dunia ini, maka kesempatan taubat masih terbuka selebar-lebarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat para pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat para pelaku dosa di malam hari, sampai akhirnya adalah ketika matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, lihat Syarh Muslim[9/26])
  4. Kewajiban mengimani adanya hari kebangkitan sesudah kematian dan dibalasnya amal-amal manusia kelak di akherat. Sehingga kehidupan di alam dunia ini adalah bentuk ujian dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang bersyukur -dengan bertauhid dan mengikuti rasul-Nya- dan siapakah yang justru kufur dan berpaling dari petunjuk-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian dalam keadaan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun: 115). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja.”(QS. al-Qiyamah: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “-Allah- Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
  5. Kewajiban mengimani keberadaan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan tugas-tugas mereka, di antaranya adalah Jibril ‘alaihis salam yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul/utusan dari kalangan manusia, maka Jibril adalah rasul dari kalangan malaikat. Oleh sebab itulah -wallahu a’lam- Imam Bukhari rahimahullahmencantumkan hadits ini di dalam Kitab Bad’u al-Wahyi dengan judul bab : Penyebutan mengenai malaikat (lihat Shahih Bukhari, hal. 674 dan 677)
  6. Keutamaan doa, bahkan intisari dari ibadah adalah doa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku mereka pasti masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. al-Mu’min: 60)
  7. Keutamaan tauhid dan keutamaan mempelajarinya, karena dengan tauhid yang bersih dari kesyirikan seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan dimasukkan ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82). Abu Dzar radhiyallahu’anhumeriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jibril ‘alaihis salam datang menemuiku lalu meyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa barangsiapa di antara umatmu yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka pasti masuk surga. Aku -Nabi- berkata: ‘Meskipun dia berzina dan mencuri?’ Dia -Jibril- menjawab, ‘Meskipun dia berzina dan mencuri.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/166])
  8. Orang yang meninggal di atas kekafiran/kemusyrikan maka amal-amalnya di dunia tidak bermanfaat baginya di akherat (tidak bisa membuatnya masuk surga). Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an adalah orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, ‘Wahai Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.’.”(HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [2/352])
  9. Wajibnya mengimani adanya syafa’at di akherat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu tidak berguna syafa’at kecuali bagi orang yang diberi ijin oleh ar-Rahman dan ucapannya diridhai oleh-Nya.” (QS. Thaha: 109). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan mereka tidak akan memberikan syafa’at kecuali bagi orang-orang yang diridhai-Nya.” (QS. al-Anbiya’: 28). Syafa’at yang ditetapkan ini akan diberikan setelah terpenuhi 2 syarat: [1] Ijin Allah bagi orang yang memberikan syafa’at, dan [2] keridhaan Allah terhadap orang yang akan diberi syafa’at, sedangkan Allah tidak ridha kecuali kepada orang yang bertauhid (lihat Fath al-Majid, hal. 196). Maka ini artinya orang musyrik -contohnya; orang yang berdoa kepada selain Allah- tidak berhak mendapatkan syafa’at… Camkanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku! Sehingga hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya hakekat syafa’at itu adalah milik Allah, bukan milik orang yang diberi ijin memberi syafa’at. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semata, syafa’at itu seluruhnya.” (QS. az-Zumar: 44)
  10. Bahaya syirik, karena orang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak akan mendapatkan syafa’at, dan tidak akan bisa masuk surga -na’udzu billahi min suu’il khatimah-. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah: 72)
  11. Ketekunan beribadah tidak ada manfaatnya apabila tercampur dengan kesyirikan. Oleh sebab itu Allah mengiringkan perintah untuk beribadah dengan larangan berbuat syirik (silahkan baca QS. an-Nisaa’: 36)
  12. Bantahan bagi sekte Khawarij dan sebagian Mu’tazilah yang meniadakan syafa’at bagi pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang beriman. Mereka -Khawarij dan Mu’tazilah- berdalil dengan ayat (yang artinya), “Maka tidak berguna bagi mereka syafa’at orang-orang yang memberikan syafa’at.” (QS. al-Muddatstsir: 48) dan ayat-ayat serupa lainnya. Maka al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah telah membantah mereka dengan mengatakan, “Ayat-ayat ini berlaku bagi orang-orang kafir.” (lihat Syarh Muslim [2/311]). Lihatlah -wahai para pemuda- bagaimana para ulama berbicara dengan ilmu, menyimpulkan hukum secara tepat -dengan memadukan berbagai ayat yang ada dalam satu persoalan- dan tidak serampangan dalam bersikap

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top