68 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ
أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ، أَوْ قَلْسٌ، أَوْ مَذْيٌ فَلْيَتَوَضَّأْ، ثُمَّ
لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ، وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ» . أَخْرَجَهُ ابْنُ
مَاجَهْ، وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
68. Dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa muntah, atau keluar sesuatu dari hidungnya (mimisan), atau
keluar dari leher, atau keluar madzi, maka hendaklah ia berwudhu kemudian
meneruskan shalatnya, jika dalam keadaaan tersebut dia tidak berbicara.”
(HR. Ibnu Majah dan didha'ifkan Ahmad dan yang lainnya)
[Dhaif: Dhaif Al Jami
5426]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Barangsiapa muntah, atau keluar sesuatu
dari hidungnya (mimisan), atau keluar dari leher, atau keluar
madzi, (yaitu siapa yang mengalami hal-hal tersebut dalam
shalatnya maka hendaklah ia berpaling darinya) maka hendaklah
ia berwudhu kemudian meneruskan shalatnya, jika dalam keadaaan tersebut
(yaitu ketika dalam keadaan berpaling dan berwudhu tersebut) dia tidak berbicara.”
Tafsir Hadits
Hadits ini mursal bukan marfu sebagaimana yang dikatakan oleh
Ahmad dan Al Baihaqi, dan orang yang mengatakan bahwa hadits mursal dapat
dijadikan hujjah akan berpendapat bahwa yang disebutkan dalam hadits di atas
termasuk hal-hal yang membatalkan wudhu.
Al Hadawiyah dan Al Hanafiyah berpendapat bahwa wudhu batal
disebabkan karena muntah. Al Hadawiyah mensyaratkan bahwa muntah tersebut dari
lambung, sebab tidak dinamai muntah kalau tidak dari lambung, dan sekali muntah
sepenuh mulut, lantaran ada riwayat yang membatasi apa yang disebutkan secara
mutlak di sini, yaitu: “muntah yang memenuhi mulut”, sebagaimana hadits
Ammar, meskipun ada yang mendha'ifkannya.
Menurut Zaid bin Ali, muntah membatalkan wudhu secara mutlak,
berdasarkan kemutlakan hadits tersebut, dan sepertinya menurut dia hadits Ammar
tidak kuat.
Sekelompok Ahlul Bait dan Asy-Syafi'i serta Malik berpendapat
bahwa muntah tidak membatalkan wudhu, karena hadits Aisyah ini tidak benar
kalau hadits marfu, pada dasarnya tidak membatalkan, dan tidak boleh keluar
darinya melainkan dengan dalil yang kuat.
Adapun mengenai mimisan, para ulama berbeda pendapat; apakah
membatalkan wudhu juga. Bagi yang berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu,
mereka berhujjah dengan hadits ini, dan yang berpendapat tidak membatalkan
berdasarkan kepada hukum asalnya, dan tidak marfunya hadits ini.
Adapun darah yang keluar dari badan selain dari kedua lubang,
maka akan datang komentarnya pada hadits Anas, bahwa Rasulullah berbekam
lalu shalat dan tidak berwudhu.
Adapun al Qalas yaitu sesuatu yang keluar dari leher
memenuhi mulut atau yang lainnya tetapi bukan muntah, maka jika keluar kembali
maka itu berarti muntah, sehingga mayoritas berpendapat bahwa ua tidak termasuk
hal yang membatalkan wudhu, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal
tersebut, maka tidak boleh keluar dari asalnya.
Adapun madzi dapat membatalkan wudhu menurut ijma ulama.
Mengenai kandungan hadits tersebut, yang membolehkan
seseorang meneruskan shalatnya setelah selesai munta atau lainnya, dan
mengulangi kembali wudhunya tanpa sedikit pun berbicara, maka ulama berbeda
pendapat:
pertama; pendapat Zaid bin Ali, Al Hanafiyah, Malik
dan pendapat lama (qaul qadim) Asy-Syafi'i bahwa ia meneruskan shalat, dan
shalatnya tidak batal, dengan syarat ia tidak melakukan hal yang membatalkan
shalat, sebagaimana disyaratkan hadits tersebut dengan sabdanya, ‘tidak
berbicara’.
kedua; pendapat Al Hadawiyah dan An Nashir serta
Asy-Syafi'i dalam pendapat terakhirnya, bahwa sesungguhnya hadits itu
membatalkan shalat, berdasarkan hadits yang akan disebutkan pada hadits Thalq
bin Ali, “Jika salah seorang di antara kalian kentut dalam shalat, hendaklah
ia berpaling dan berwudhu, serta mengulangi shalatnya.” (HR. Abu Daud) akan
datang penjelasannya.
==============
Kandungan hadits :
. Zhahir hadits menunjukan, siapa yang muntah, mengeluarkan darah mimisan, mengeluarkan muntah yang memenuhi mulut atau kurang dari itu, atau mengeluarkan madzi saat tengah melakukan shalat maka ia wajib meninggalkan shalatnya untuk berwudhu kemudian meneruskannya kembali. Shalatnya sendiri tidak batal.
. Agar shalatnya tidak batal, ia tidak boleh berbicara saat meninggalkan shalat dan saat berwudhu. Secara implisit, jika ia berbicara maka shalatnya batal dan tidak dapat meneruskannya lagi. Sebaliknya, ia wajib mengulangi shalatnya.
. Pendapat yang memperbolehkan meneruskan shalat ini merupakan pendapat ulama Hanafiyyah, Malik, Zaidiyyah, As-Syafi’i dalam satu pendapatnya. Sementara mayoritas ulama mengatakan shalatnya batal jika ada yang membatalkan wudhunya. Ia tidak lagi diperbolehkan meneruskan shalatnya.
. Hadits ini lemah menurut Asy-Syafi’i, Ahmad, Ad-Daruquthni dan lain-lainnya. Demikian jika tidak ada dalil lain yang menentangnya. Lalu bagaimana kedudukan hadits tersebut jika ditemukan dalil-dalil shahih lain yang menentangnya ? Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Thalq yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,
إذا قام احدكم في الصّلاة فلينصرف وليتوضّأ، وليعد الصلاة.
” Jika salah seorang diantara kalian muntah ditengah shalatnya maka tinggalkan shalatnya dan berwudhulah, dan ulangilah shalatnya ” [ at-Tirmidzi mengatakan hadits ini shahih.
. Alasan syadz nya hadits diatas adalah diperbolehkannya meneruskan shalat dalam kondisi tersebut. Hal-hal yang membatalkan wudhu yang disebutkan dalam hadits diatas merupakan objek perdebatan dikalangan ulama, kecuali madzi.
==================
69 - وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: إنْ شِئْت قَالَ:
أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ» أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ.
69. Dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah , “Apakah saya harus berwudhu dari daging
kambing?” Beliau menjawab, “Terserah Anda”, ia bertanya lagi, “Apakah
saya wajib berwudhu dari daging unta?” beliau menjawab, “Ya.” (HR.
Muslim)
[Shahih: Muslim
360]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Jabir bin Samurah Ra, adalah Abu Abdullah dan Abu Khalid
Jabir bin Samurah Al Amiri. Tinggal di Kufah dan meninggal di sana pada tahun 74
Hari, ada yang mengatakan tahun 66 H.
Penjelasan Kalimat
Apakah saya harus berwudhu dari daging
kambing?” (karena memakannya?) Beliau menjawab,
“Terserah Anda”, ia bertanya lagi, “Apakah saya wajib berwudhu dari
daging unta?” beliau menjawab, “Ya.”
Tafsir Hadits
Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi,
Ibnu Majah dan yang lainnya dari hadits Barra’ bin Azib, ia berkata,
Rasulullah bersabda:
«تَوَضَّئُوا مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ وَلَا
تَوَضَّئُوا مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ»
“Berwudhulah kalian dari (memakan) daging unta dan
janganlah berwudhu dari daging kambing.” [Shahih: At
Tirmidzi 81]
Ibnu Khuzaimah berkata, “Saya tidak melihat perbedaan di
antara para ulama, bahwa khabar ini shahih dari segi periwayatan, lantaran
ketsiqahan perawinya.”
Kedua hadits tersebut adalah dalil bahwa daging unta
membatalkan wudhu, dan bagi siapa yang memakannya maka wudhunya batal. Pendapat
serupa dikemukakan oleh Ahmad, Ishaq bin Al Mundzir dan Ibnu Khuzaimah, serta
dipilih oleh Al Baihaqi, dan ia menceritakannya dari pada perawi hadits secara
mutlak, dan diceritakan dari Asy-Syafi'i bahwa ia berkata, “Jika hadits mengenai
daging unta derajatnya shahih, maka saya akan mengatakannya.” Al Baihaqi
berkata, “Sesungguhnya hadits Jabir dan hadits Al Barra’ keduanya shahih dalam
masalah ini.”
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh sejumlah shahabat,
tabiin dan Al Hadawiyah, dan diriwayatkan dari Asy-Syafi'i dan Abu Hanifah.
Mereka berkata, kedua hadits tersebut dinasakh dengan hadits:
«إنَّهُ كَانَ آخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْهُ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَدَمَ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ
النَّارُ»
“Dua perkara yang terakhir dari Rasulullah adalah tidak
berwudhu (karena makan sesuatu) yang dipanaskan oleh api (dimasak).” Dikeluarkan
oleh Imam yang empat dan Ibnu Hibban dari hadits Jabir. [shahih:
Abu Daud 192]
An Nawawi berkata, “klaim nasakh adalah batil, karena yang
terakhir umum dan yang pertama khusus, sedang yang khusus lebih didahulukan
daripada yang umum.”
Ucapannya ini berdasarkan kaidah yang mendahulukan perkara
khusus dari yang umum secara mutlak, baik yang umum itu terlebih dahulu maupun
ketika datang kemudian, ini adalah masalah khilafiyah di kalangan para ulama
ushul fikih. Atau yang dimaksud dengan berwudhu adalah bersuci, yaitu mencuci
tangan lantaran berbau busuk, sebagaimana yang disebutkan mengenai wajibnya
wudhu karena menyentuh susu, “karena ia memiliki lemak.” Hadits yang
diriwayatkan mengenai susu adalah berkumur-kumur setelah meminumnya.
Sebagian berpendapat, bahwa hadits mengenai berwudhu setelah
makan daging unta adalah perintah sunnah dan bukan wajib, tetapi ini
bertentangan dengan zhahirnya perintah tersebut.
Az Zarkasyi berkata, “Perintah berwudhu setelah makan daging
unta disebabkan kami ia diciptakan dari jin. Oleh karena itu, diperintahkan
mengucapkan basmalah ketika mengendarainya, begitupula diperintahkan berwudhu
karena memakannya, sebagaimana diperintahkan wudhu ketika marah, agar kemarahan
dapat hilang.”
Saya katakan, “Tidak diriwayatkan bahwa unta diciptakan dari
setan, dan bahwa di atas punuk setiap unta terdapat setan.”
Adapun daging kambing, tidak wajib berwudhu setelah
memakannya menurut kesepakatan para ulama. Akan tetapi disebutkan dalam Syarh
As Sunnah wajibnya berwudhu (karena makan sesuatu) yang telah dipanaskan api
(dimasak), dari Umar bin Abdul Aziz, karena ia berwudhu dari makan yang
memabukkan.”
Saya katakan lagi, bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil
tentang memperbaharui wudhu, sebab makan daging kambing hukumnya tidak
membatalkan wudhu, tetapi boleh berwudhu lagi, dan ini adalah memperbaharui
wudhu.
==============
Kandungan hadits :
. Diperbolehkannya wudhu setelah memakan daging kambing, bukan diwajibkan. Karena memakannya tidak membatalkan wudhu.
. Memakan daging unta membatalkan wudhu. Dengan begitu memakannya mewajibkan wudhu saat hendak shalat atau ibadah lainnya yang memerlukan kesucian.
. Pendapat masyhur dari Imam Ahmad mengatakan : “yang membatalkan wudhu adalah memakan dagingnya saja, karena kata lahm dikhususkan untuk daging saja, tidak bagian tubuh onta lainnya. Mereka berpendapat bahwa hati, perut, punuk dan anggota tubuh yang lainnya tidak termasuk dalam cakupan teks.”
Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan : “yang benar adalah seluruh bagian tubuh unta seperti perut dan hati termasuk unta, baik secara hukum, kata dan arti. Pemisahan antara bagian-bagian tubuhnya tidak didukung oleh dalil dan ‘illat. Namun susu dan minyaknya tidak termasuk, karena bukan daging dan tidak tercakup oleh kata daging.”
. Dalam syariat Islam, tidak hewan yang hukum bagian-bagian tubuhnya berbeda-beda. Sebagian halal dan sebagian lagi haram. Yang ada adalah hewan tersebut haram seluruhnya [ seperti babi ] atau halal seluruhnya [ seperti hewan ternak ].
. Dalil wajib wudhu karena memakan daging onta berasal dari dua hadits shohih yang keduanya ada dalam shohih muslim, yaitu hadits Jabir bin Samurah dan hadits al Barra bin Azib. Namun para ulama berusaha mencari hikmah di balik hukum tersebut.
Jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah karena onta mempunyai kekuatan syaithaniyyah [ setan ] sebagaimana disinggung oleh Rasulullah dalam sabdanya.
===========================
70 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ
غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ. وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ» أَخْرَجَهُ
أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَقَالَ أَحْمَدُ: لَا
يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ.
70. Dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi bersabda,
“Barangsiapa memandikan mayat maka hendaklah ia mandi, dan barangsiapa yang
membawanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad, An Nasa'i, At Tirmidzi
dan ia menshahihkannya. Ahmad berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang shahih dalam
bab ini)
[Shahih: At Tirmidzi 993, Shahih Al Jami'
5918]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Ahmad berkata tentang hadits ini bahwa tidak ada sesuatu pun
yang shahih dalam bab ini, hal itu dikarenakan Ahmad mengeluarkannya dari jalur
periwayatan yang terdapat kelemahan. Akan tetapi oleh At Tirmidzi dihasankan dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban [3/435], karena diriwayatkan
dari jalan yang tidak terdapat kelemahan. Al Mawardi menyebutkan bahwa sebagian
perawi hadits tersebut menyebutkan 120 jalan.
Ahmad berkata, “Hadits tersebut mansukh dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda:
«لَيْسَ عَلَيْكُمْ فِي غَسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ
إذَا غَسَّلْتُمُوهُ، إنَّ مَيِّتَكُمْ يَمُوتُ طَاهِرًا وَلَيْسَ بِنَجِسٍ،
فَحَسْبُكُمْ أَنْ تَغْسِلُوا أَيْدِيَكُمْ»
“Tidak wajib bagi kalian mandi ketika memandikan mayat
kalian, sesungguhnya mayat kalian meninggal dunia dalam keadaan suci dan bukan
najis, maka cukuplah bagi kalian mencuci tangan kalian.” [Sunan Al Baihaqi 3/398], akan tetapi didha'ifkan oleh Al
Baihaqi dan disusul oleh penulis. Al Baihaqi berkata, “Hadits ini dhaif,
kemungkinannya ada pada Abu Syaibah.” Penulis menuturkan, “Abu Syaibah adalah
Ibrahim bin Abu Bakar bin Abu Syaibah. Dijadikan hujjah oleh An Nasa'i dan
dianggap tsiqah oleh kebanyakan orang, para perawi yang ada di atasnya dijadikan
hujjah oleh Al Bukhari –hingga penuturannya-, ‘Dengan demikian maka hadits
tersebut hasan.’
Untuk mengkompromikan antara hadits tersebut dengan perintah
yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah , ia berkata, “Sesungguhnya perintah
tersebut adalah sunnah.”
Saya katakan, ‘Qarinahnya adalah hadits Ibnu Abbas ini, dan
hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad:
«كُنَّا نُغَسِّلُ الْمَيِّتَ فَمِنَّا مَنْ
يَغْتَسِلْ وَمِنَّا مَنْ لَا يَغْتَسِلْ»
“Kami pernah memandikan mayat, maka di antara kami ada yang
mandi dan di antara kami ada yang tidak mandi.” [Tarikh Baghdad
5/423, At Talkhis Al Khabir 1/138]
Penulis berkata, “Isnadnya shahih, inilah metode terbaik
dalam memadukan di antara hadits-hadits tersebut.”
Adapun sabda beliau, “dan siapa memanggul jenazah
hendaklah ia berwudhu.” Saya tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa
wajib berwudhu bagi yang memanggulnya dan tidak sunnah.
Saya katakan, “Akan tetapi karena adanya hadits maka tidak
mengapa mengamalkannya, dan wudhu dalam hal ini ditafsirkan dengan mencuci
tangan, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas, dan sebagai sunnah
sebagaimana yang dijelaskan oleh sabda beliau, ‘Sesungguhnya mayat kalian
meninggal dalam keadaan suci’, karena menyentuh yang suci tidak mewajibkan
cuci tangan, maka mencuci tangan setelah memanggul mayat adalah sunnah
ta’abuddi. Maksudnya membawanya secara langsung dengan qarinah redaksi
hadits, dan berdasarkan sabdanya ‘meninggal dalam keadaan suci’, karena
tidak sesuai dengan hal itu kecuali bagi yang membawanya langsung.
=======================
Kandungan hadits :
. Secara zhahir, hadits ini menunjukan bahwa diwajibkan mandi bagi orang yang memandikan mayit, baik memandikan seluruhnya atau sebagian tubuhnya saja.
. Secara umum, hadits ini menggenalisir seluruh mayit, baik muda maupun tua, laki-laki mapun wanita, muslim maupun kafir, baik memandikannya dengan menggunakan penghalang atau tanpa penghalang.
. Para ahli fiqih mengatakan orang yang memandikan adalah orang yang menyentuh langsung mayit, meskipun hanya satu kali. Orang yang bertugas menuangkan air atau orang yang mentayamumkannya tidak termasuk orang yang memandikan mayit.
. Penggabungan tersebut juga diperkuat oleh kaidah yang disebutkan oleh Ibn Muflih dalam kitab al furru, yaitu suatu hadits dhoif jika redaksinya menunjukan kewajiban atau menunjukan keharaman maka ia ditempatkan sebagai perintah sunnah atau larangan makruh. Sikap ini diambil sebagai tindakan hati-hati. Umat muslim tidak menjadikannya sebagai hukum wajib atau haram.
0 comments:
Post a Comment