25 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -،
قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَغْسِلُ
الْمَنِيَّ، ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ. وَأَنَا
أَنْظُرُ إلَى أَثَرِ الْغَسْلِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: «لَقَدْ
كُنْت أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ» . وَفِي لَفْظٍ لَهُ: «لَقَدْ كُنْت أَحُكُّهُ
يَابِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ» .
25. Dari Aisyah ia berkata, Rasulullah mencuci mani
kemudian keluar shalat dengan menggunakan kain itu, dan aku melihat bekas cucian
padanya. (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 230, Muslim
289]
Dan riwayat Muslim, ‘Aku pernah menggosok dari kain
Rasulullah lalu beliau shalat padanya.’
[Shahih: Muslim
288]
Lafazh lain: ‘aku pernah mengeruknya dalam keadaan kering
dengan kuku saya dari kain beliau.’
[Shahih: Muslim 290]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Aisyah Ummul Mukminin binti Abu Bakar Ash Shiddiq, ibunya
adalah Rauman binti Amir. Nabi melamarnya di Makkah dan menikahinya pada
bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian, ketika itu ia berumur 6 tahun. Beliau
melaksanakan pesta pernikahan dengannya di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua
Hijriyah, ada yang mengatakan selain itu. Beliau hidup bersamanya selama 9
tahun, Rasulullah meninggal dunia ketika ia berumur 18 tahun, beliau tidak
menikah dengan gadis selain dirinya. Ia minta kepada Rasulullah agar
diberikan kuniyah (julukan) maka beliau bersabda kepadanya, ‘Engkau dijuluki
dengan putra saudara perempuanmu Abdullah bin Zubair.’ Ia seorang yang
pandao dalam masalah fikih, mendalam pengetahuannya, fasih dalam berbicara,
memiliki keutamaan, banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah dan
mengetahui hari-hari besar Arab dan sya’ir-sya’irnya.
Sekelompok shahabat dan tabiin meriwayatkan hadits darinya.
Ada sepuluh ayat dalam surat An Nur yang turun membahas kesuciannya, Rasulullah
SAW wafat di rumahnya dan dikuburkan padanya. Ia meninggal dunia di Madinah pada
tahun 57 H dan ada yang mengatakan tahun 58 H, pada malam 17 Ramadhan dan
dimakamkan di Baqi’. Abu Hurairah menshalatkannya ketika menjabat sebagai
Khalifah Marwan di Madinah.
Tafsir Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dan
dikeluarkan oleh Al Bukhari dari hadits Aisyah dengan lafazh yang
berbeda-beda, dan bahwa ia mencuci mani dari kain beliau , dan dalam lafazh
lainnya:
وَأَثَرُ
الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ
‘Dan bekas cucian pada kainnya terdapat percikan air.’
Lafazh lain:
فَيَخْرُجُ إلَى
الصَّلَاةِ وَإِنَّ بُقَعَ الْمَاءِ فِي ثَوْبِهِ
‘Maka beliau keluar untuk mengerjakan shalat, sedang percikan
air ada pada kainnya.’
Lafazh lain:
وَأَثَرُ
الْغَسْلِ فِيهِ بُقَعُ الْمَاءِ
‘Dan pada bekas cucian itu terdapat percikan-percikan
air.’
Lafazh lain:
ثُمَّ أَرَاهُ
فِيهِ بُقْعَةً أَوْ بُقَعًا
‘Kemudian aku melihat satu atau beberapa percikan air
padanya.’
Akan tetapi Al Bazzar berkata, ‘Sesungguhnya hadits Aisyah ini berporos pada Sulaiman bin Yasar dan ia tidak mendengar dari Aisyah ’,
pendapat ini telah terlebih dahulu disebutkan oleh Asy-Syafi'i dalam Al
Umm yang ia ceritakan dari yang lainnya.
Apa yang diketahui Al Bazzar dapat dijawab, bahwa pentashihan
Al Bukhari terhadap hadits itu dan persetujuan Muslim dalam menshahihkannya
menunjukkan bahwa Sulaiman mendengar dari Aisyah , sehingga kedudukan hadits
tersebut marfu.
Hadits ini dijadikan dalil bagi golongan yang mengatakan
bahwa mani itu najis. Mereka adalah Al Hadawiyah, Al Hanafiyah, Malik dan satu
riwayat dari Ahmad. Mereka berkata, ‘Karena yang dicuci hanyalah najis, dan
dapat diqiyaskan atas kotoran badan lainnya seperti air seni dan tinja dan
semuanya tumpah pada tempat pembuangan yang sama, dan semuanya adalah dari
larutan makanan. Juga karena hadits yang diwajibkan mensucikannya adalah najis,
dan di antaranya adalah mani, dan bahwa ia mengalir dari tempat mengalirnya air
seni, maka ia harus dicuci dengan air seperti najis-najis lainnya.’
Mereka menafsirkan hadits yang akan datang ini, yaitu
ucapannya ‘Dan menurut Muslim’ yaitu dari Aisyah ada satu riwayat yang
disebutkan oleh Muslim dan tidak disebutkan oleh Al Bukhari yaitu perkataan
Aisyah ,
«لَقَدْ كُنْت أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَرْكًا»
‘Sungguh aku mengeruknya dari kain Rasulullah .’
(مَصْدَرٌ
تَأْكِيدِيٌّ) bentuk
mashdar yang menunjukkan penegasan bahwa Aisyah menggosok dan mengeruknya,
(الْفَرْكُ) adalah (الدَّلْكُ),
dikatakan (فَرَكَ
الثَّوْبَ), jika ia
mengeruknya.
Pada lafazh Muslim dari Aisyah ‘Maka ia shalat dengannya.
Sungguh aku mengeruknya (yaitu mani ketika dalam kondisi) kering dengan kuku
saya dari kain beliau.’ Hanya Muslim yang meriwayatkannya dengan kata (الْفَرْكِ) dan tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari.
Al Baihaqi, Ad Daruquthni, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al Jauzi
juga meriwayatkan dengan lafazh (الْحَتَّ) dan
(الْفَرْكِ) dari hadits Aisyah .
Lafazh Al Baihaqi:
«رُبَّمَا حَتَّتْهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ يُصَلِّي»
“Terkadang aku menggosoknya dari kain Rasulullah SAW ketika
beliau sedang shalat.”
[Al Baihaqi 2/406]
Lafazh Ad Daruquthni dan Ibnu Khuzaimah:
«أَنَّهَا كَانَتْ تَحُتُّ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي»
“Bahwa sesungguhnya ia (Aisyah ) menggosok mani dari kain
Rasulullah ketika beliau sedang shalat.”
[shahih Ibnu Khuzaimah
1/147]
Lafazh Ibnu Hibban:
«لَقَدْ رَأَيْتنِي أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ
ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -»
“Sungguh aku menggosok mani dari kain Rasulullah ketika
beliau sedang shalat.” Para perawinya shahih.
[Shahih Ibnu Hibban
4/219]
Mirip dengan hadits ini adalah hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Baihaqi:
«سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ
الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَالْبُزَاقِ، وَقَالَ: إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ
بِخِرْقَةٍ أَوْ إذْخِرَةٍ»
Bahwa Nabi ditanya tentang mani yang mengenai pakaian,
maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya mani itu sama kedudukannya dengan ingus,
ludah dan dahak.’ Dan sabdanya, ‘cukup bagimu menggosoknya
dengan kain atau idzkhir.’
{Sunan Ad Daruquthni 1/124, dan ia
mendha'ifkannya]
Setelah meriwayatkan hadits ini Al Baihaqi berkata, “Dan
diriwayatkan oleh Waki’ dari Ibnu Abi Laila dengan mauquf atas Ibnu Abbas dan
hadits ini shahih.
Mereka yang berpendapat mengenai najisnya mani menafsirkan
hadits ini, bahwa maksudnya adalah menggosok dan mencucinya dengan air dan ini
sangat jauh.
Asy-Syafi'iyah berkata, “Mani itu suci.” Berdasarkan
hadits-hadits ini, mereka berkata, ‘Hadits-hadits perintah untuk mencucinya
hanyalah menunjukkan sunnah dan mencucinya bukanlah dalil bahwa hal itu najis,
boleh jadi hanyalah untuk kebersihan atau untuk menghilangkan kotoran dan
semacamnya.’ Mereka berkata, “Disamakannya dengan ludah dan ingus juga dalil
atas kesuciannya.” Perintah mengusapnya dengan kain atau tumbuhan adalah untuk
menghilangkan kotoran yang tidak disukai jika melekat pada kain orang yang
sedang shalat. Seandainya najis, niscaya tidak sah hanya dengan mengusapnya.
Adapun menyamakan mani dengan kotoran, seperti air seni dan
tinja sebagaimana dikatakan oleh orang yang berpendapat mengenai najisnya mani,
maka tidak boleh mengqiyaskannya jika ada nash.
Kelompok pertama mengatakan, “Hadits-hadits mengenai perintah
menggosok dan menghilangkannya hanya mani Nabi saja, karena kotoran-kotoran
beliau suci dan tidak bisa disamakan dengan yang lainnya.” Pendapat tersebut
dapat dijawab bahwa Aisyah telah memberitahu bahwa ia mengeruknya dari kain
Nabi , sehingga boleh jadi mani tersebut adalah keluar karena jima’ dan telah
bercampur dengan mani istrinya, maka tidak jelas bahwa hanya dari Nabi semata, karena mimpi (basah) bagi para nabi itu adalah satu hal yang tidak
mungkin, sebab itu adalah dar setan, sementara setan tidak dapat menundukkan
mereka. Jika dikatakan bahwa bisa saja hanya mani Nabi , dan hanya syahwat
yang melimpah setelah didahului oleh hal-hal yang menyebabkannya keluar, seperti
bercumbu dengan istri dan sebagainya, tidak dicampuri oleh yang lainnya, maka
hal tersebut adalah kemungkinan yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Al Hanafiyah berpendapat najisnya mani beliau seperti yang
lainnya, akan tetapi mereka berkata, “Dapat disucikan dengan mencuci, menggosok
atau menghilangkannya dengan kain dan idzkhir berdasarkan dua hadits di atas.”
antara dua kelompok tersebut, yaitu yang berpendapat mengenai najisnya mani dan
yang berpendapat sucinya mani terjadi perdebatan dan diskusi yang sangat panjang
dan telah kami paparkan pada catatan kaki Syarh Al Umdah.
=====================
=====================
KanduNgan hadits :
. Adalah sunnah rasulullah membersihkan mani kering dengan cara menggosok-gosok dan mencuci mani yang masih baru basah [ dengan air ]
. Kesucian air mani manusia. Rasulullah membersihkan air mani dengan cara menggosok-gosoknya, tanpa mencucinya merupakan bukti kesucian air maninya hingga kering. Padahal ajarannya adalah bersegera membersihkan najis, merupakan bukti kesucian air mani
. Adalah sunnah mencuci air mani baik dalam kondisi masih basah atau sudah kering dalam rangka mewujudkan kebersihkan yang sempurna, sebagaimana pencucian ingus atau kotoran-kotoran suci lainnya dengan menggunakan air.
. Tidak wajib menghindar dari segala sisa-sisa yang keluar dari tubuh manusia yang sifatnya suci, serta diperbolehkannya membiarkan keberadaannya ditubuh, pakaian atau lainnya. Hal ini didasarkan sujap4 rasulullah yang membiarkan air maniny mengering dibaju.
. Sikap rasulullah yang meminimalisir hal-hal yang bersifat duniawi, meningat baju tidur beliau adalah baju yang digunakannya untuk shalat dan keluar rumah. Hal ini merupakan petunjuk kepada umatnya agar tidak berlebihan dan hanya meningkatkan minat mereka pada pahala dan pemberian yang ada di sisi Allah.
. Seorang wanita sholehah yang mencintai suaminya tidak memandang rendah pekerjaan semacam membersihkan kotoran atau sisa tubuh di badan atau pakaian suaminya, mengingat tingginya hak suami terhadap istri.
. Az-Zarkasyi mengungkapkan : secara umum hal yang keluar dari tubuh manusia terdiri dari 3 kategori :
● suci, tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama contohnya adalah, air mata, air liur, ingus, air ludah dan keringat
● najis, tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama contohnya adalah kotoran [ tahi ], air seni, wadi, madzi dan darah
● yang kesucian dan kenajisannya diperselisihkan oleh para ulama contohnya adalah air mani. Perselisihan ini bersumber dari jalan keluar air mani yang juga merupakan jalan keluar air seni.
● suci, tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama contohnya adalah, air mata, air liur, ingus, air ludah dan keringat
● najis, tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama contohnya adalah kotoran [ tahi ], air seni, wadi, madzi dan darah
● yang kesucian dan kenajisannya diperselisihkan oleh para ulama contohnya adalah air mani. Perselisihan ini bersumber dari jalan keluar air mani yang juga merupakan jalan keluar air seni.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa air mani adalah suci
========
Fawaid hadits:
1. Sucinya air mani, karena Aisyah tidak mencucinya, tapi hanya mengeriknya.
2. Adapun hadits yg menyebutkan mencuci mani, tidak menunjukkan kenajisan mani, karena sama dengan ingus, bila kena ingus, kita cuci bukan karena najisnya, tapi karena menjijikan. Dan ini hanya menunjukkan sunnah saja.
3. Istri yang shalihaat adalah yang melayani suaminya dengan baik.
4. Ibnul Mulaqqin berkata: “hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa cairan lembab dari kemaluan wanita (keputihan) tidak najis.
0 comments:
Post a Comment