عَنْ أَبِـيْ  ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : «يَا عِبَادِيْ ! إِنِّـيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَـكُمْ مُحَرَّمًا ؛ فَلاَ تَظَالَـمُوْا. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ  هَدَيْتُهُ ؛ فَاسْتَهْدُوْنِـيْ أَهْدِكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ ؛ فَاسْتَطْعِمُوْنِـيْ أُطْعِمْكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ ؛ فَاسْتَكْسُوْنِـيْ أَكْسُكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّكُمْ تُـخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَـمِيْعًا ؛ فَاسْتَغْفِرُوْنِـيْ أَغْفِرْ لَكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِـيْ ، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِـيْ. يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَـى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ ؛ مَا زَادَ ذَلِكَ فِـيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَـى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ ؛ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا.  يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوْا فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِـيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَـتَهُ ؛ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِـمَّـا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَـا يَنْقُصُ الْـمِخْيَطُ إِذَا  أُدْخِلَ الْبَحْرَ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّـمَـا هِيَ أَعْمَـالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا ، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا ؛ فَلْيَحْمَدِ اللهَ ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ ؛ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
Dari Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan firman Allah Azza wa Jalla , “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka, janganlah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan. Maka, mintalah makanan kepada-Ku niscaya Aku beri kalian makan. Wahai hamba-Ku! Setiap kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian. Maka, mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan pakaian kepada kalian. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di waktu malam dan siang hari; sedang Aku mengampuni seluruh dosa. Maka, mohon ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian, hati mereka semuanya seperti salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka semuanya itu tidak akan menambah sedikit pun pada kerajaan-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian, semua seperti hati salah seorang dari kalian  yang paling jahat, maka semuanya itu tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku. Wahai  hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di satu tanah lapang kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu, maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian; kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian. Barangsiapa mendapatkan kebaikan,  hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla , dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali  kepada dirinya sendiri.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:

  1. Muslim (no. 2577).
  2. Ahmad (V/154, 160, 177).
  3. At-Tirmidzi (no. 2495).
  4. Ibnu Mâjah (no. 4257).
  5. Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 490/Shahîh al-Adabul Mufrad (no. 377)).
  6. ‘Abdurrazzâk dalam alMushannaf (no. 20272).
  7. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ (V/125-126).
  8. Al-Baihaqi dalam Sunannya (VI/93) dan dalam al-Asmâ‘ wash Shifât (hal. 65, 159, 213-214, 227, 285).
  9. Al-Hâkim dalam alMustadrak (IV/241).
  10. Ibnu Hibbân dengan ringkas (no. 618-at-Ta’lîqâtul Hisân).
SYARAH HADITS
1. Pengertian Zhalim
Firman Allah Azza wa Jalla , “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku.”

Maknanya ialah: Allah Azza wa Jalla melarang diri-Nya berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, seperti firman-Nya,
وَمَا أَنَا بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
 “…Dan Aku tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku.” [Qâf/50:29]
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ
 “…Padahal Allah tidak menghendaki kezhaliman terhadap  hamba-hamba-Nya.” (Qs Ghâfir/40:31)
Allah   Azza wa Jalla  berfirman,
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا
Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya. [Thâhâ/20:112]
Yang dimaksud dengan kata “اَلْـهَضْمُ” pada ayat di atas ialah pengurangan pahala kebaikan, dan yang dimaksud dengan kata “اَلظُّلْمُ” adalah penyiksaan karena dosa-dosa orang lain. Ayat-ayat seperti di atas banyak dalam al-Qur`ân.[1]
Zhalim ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Asal makna zhalim ialah bertindak lalim dan melampaui batas. Zhalim juga bermakna menyimpang dari tujuan.[2]
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan perbuatan hamba-Nya yang di dalamnya terdapat kezhaliman. ini tidak berarti Allah Azza wa Jalla  memiliki sifat zhalim. Begitu juga, Allah tidak bisa disifati dengan seluruh perbuatan buruk yang dikerjakan manusia yang merupakan hasil penciptaan dan takdir-Nya, karena Allah hanya disifati dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya dan tidak disifati dengan perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Perbuatan hamba-Nya adalah makhluk-Nya dan Dia tidak bisa disifati dengan salah satu darinya, namun Dia disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang ada pada-Nya. Wallâhu a’lam.
2. Haramnya berbuat zhalim
Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.”

Maksudnya, Allah Azza wa Jalla  mengharamkan perbuatan zhalim atas hamba-hamba-Nya serta melarang mereka saling menzhalimi, karena kezhaliman itu sendiri adalah haram secara mutlak.
Kezhaliman terbagi ke dalam dua bagian:
Pertama: kezhaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri, dan kezhaliman yang paling besar adalah syirik (mempersekutukan Allah Azza wa Jalla ), seperti firman-Nya,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqmân/31:13]
Sebabnya orang musyrik telah menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Khâliq (Pencipta), sehingga ia menyembah dan mempertuhankannya. Ini berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sebagian besar ancaman bagi orang-orang yang zhalim dalam al-Qur`ân dimaksudkan untuk orang-orang musyrik, seperti firmankan-Nya,
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“…Orang-orang kafir itulah orang yang zhalim.” [al-Baqarah/2:254]
Kemudian berikutnya diikuti dengan perbuatan maksiat dengan beragam jenisnya dari perbuatan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.
Kedua: kezhaliman seorang hamba terhadap orang lain. Itulah yang disebutkan dalam hadits di atas. Pada haji Wada’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ ، وَأَمْوَالَكُمْ ، وَأَعْرَاضَكُمْ  عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِـيْ شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِـيْ بَلَدِكُمْ هَذَا».
“….Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram terhadap kalian seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian ini.”[3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِِنَّ  الظُّلْمَ ظُلُمَـاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
Sesungguhnya kezhaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللهَ لَيُمْلِـي لِلظَّالِـمِ حَتَّى إِذَا  أَخَذَهُ لَـمْ يُفْلِتْهُ » ، ثُمَّ قَرَأَ ¼وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِـمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيْمٌ شَدِيْدٌ»
Sesungguhnya Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang zhalim. Namun jika Dia telah menyiksanya, Dia tidak meloloskannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, ‘Dan begitulah siksa Rabb-mu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih dan sangat berat.’ [Hûd/11:102]”[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
«مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ ِلأَخِيْهِ ؛ فَلْيَتَحَلَّلْ مِنْهَا ؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُأْخَذَ ِلأَخِيْهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَـمْ يَكُنْ لَهُ  حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ»
Barangsiapa pada dirinya terdapat mazhlamah (harta yang dirampas dengan zhalim) milik saudaranya, hendaklah ia memintanya menghalalkannya sekarang ini, karena di sana (hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham, sebelum amal shalihnya diambil darinya lalu diberikan kepada saudaranya itu. Jika ia tidak memiliki amal shalih, maka kesalahan-kesalahan saudaranya itu diambil kemudian dibebankan kepadanya.[6]
Seorang Muslim wajib menjauhi perbuatan zhalim, karena kezhaliman mengakibatkan:
  1. datangnya kemurkaan dan hukuman Allah Azza wa Jalla ,
  2. tersebarnya permusuhan dan kebencian di antara manusia,
  3. akan terjadi peperangan dan pemberontakan,
  4. dan akan membuat umat berpecah belah dan hancurnya peradaban mereka.[7]
  1. Seluruh manusia membutuhkan Allah Azza wa Jalla yang Maha kaya
Firman Allah Azza wa Jalla ,  Wahai hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan. Maka, mintalah makanan kepada-Ku niscaya Aku memberi makan kepada kalian. Wahai hamba-Ku! Setiap kalian adalah telanjang kecuai orang yang Aku beri pakaian. Maka, mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan pakaian kepada kalian. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di waktu malam dan siang hari sedang Aku mengampuni seluruh dosa. Maka, mohon ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian.”
Ini menunjukkan bahwa seluruh makhluk sangat butuh kepada Allah Azza wa Jalla untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak mudharat (bahaya) dalam agama dan dunia mereka. Ini juga menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki apa pun bagi diri mereka. Sehingga, barangsiapa tidak diberi rezeki dan petunjuk maka ia tidak akan memiliki keduanya di dunia. Barangsiapa tidak diberi pengampunan atas dosa-dosanya oleh Allah Azza wa Jalla , maka kesalahan-kesalahannya membinasakannya di akhirat.[8] Allah Azza wa Jalla  berfirman,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah  yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong  yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” [al-Kahfi/18:17]
Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak dalam al Qur`ân.
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dia-lah Yang Maha perkasa, Maha bijaksana. [Fâthir/35:2]
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya…” [Hûd/11:6]
Allah Azza wa Jalla  berfirman tentang Adam dan Hawa yang berkata,
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Wahai Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. [al-A’râf/7:23]
Allah Azza wa Jalla  berfirman tentang Nabi Nuh Alaihissallam yang berkata,
وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi. [Hûd/11:47]
Nabi Ibrâhim Alaihissallam berhujjah bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla ; dan bahwa apa saja yang disekutukan dengan-Nya adalah bathil. Nabi Ibrâhim Alaihissallam berkata kepada kaumnya,
قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ﴿٧٥﴾أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ﴿٧٦﴾فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ﴿٧٧﴾الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ﴿٧٨﴾وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ﴿٧٩﴾وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴿٨٠﴾وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ﴿٨١﴾وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
Dia (Ibrâhim) berkata, “Apakah kamu memperhatikan apa yang kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu? Sesungguhnya mereka (apa yang kamu sembah) itu musuhku, lain halnya rabb seluruh alam, (yaitu) yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari Kiamat.” [asy-Syu’arâ`/26:75-82]
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla yang Maha esa yang menciptakan hamba-Nya, memberi hidayah, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikannya, dan mengampuni dosa-dosa di akhirat itu, maka wajib bagi hamba untuk mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah kepada-Nya, meminta, merendahkan diri, dan tunduk kepada-Nya. [9]
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ۖ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَٰلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Maha suci Dia dan Maha tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” [ar-Rûm/30:40]
Di dalam hadits yang sedang kita bahas ini terdapat dalil bahwa Allah Azza wa Jalla sangat senang apabila hamba-Nya memohon dan meminta seluruh kemaslahatan agama dan dunia, baik berupa makanan, minuman dan pakaian, kepada-Nya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla sangat senang hamba-hamba-Nya itu memohon hidayah dan ampunan kepada-Nya.[10]
4. Setiap manusia diciptakan di atas fitrah menerima Islam
Firman Allah Azza wa Jalla , “Wahai hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk.”

Ada yang menduga bahwa firman Allah Azza wa Jalla di atas bertentangan dengan hadits ‘Iyâdh bin Himar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ (وَفِيْ رِوَايَةٍ : مُسْلِمِيْنَ) فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ
“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (dalam riwayat lain: dalam keadaan Muslim) kemudian mereka dipalingkan oleh setan.’”
Padahal firman Allah Azza wa Jalla tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan hadits tersebut, karena Allah Azza wa Jalla  menciptakan anak keturunan Adam, membentuk mereka untuk menerima Islam, cenderung kepadanya dan bukan cenderung kepada yang lain, siap kepadanya, dan mempersiapkan diri dengan kuat untuknya. Namun, manusia  harus dididik tentang Islam dengan amal nyata, karena sebelumnya mereka bodoh tidak mengetahui apa-apa, seperti firman-Nya
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun…” (an-Nahl/16:78). Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk.” [adh-Dhuhâ/93:7]
Maksudnya, Allah Azza wa Jalla mendapatimu tidak mengetahui kitab dan hikmah yang telah diajarkan kepadamu, sebagaimana firman-Nya ,
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (al Qur`ân) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidak mengetahui apakah Kitab (al Qur`ân) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al Qur`ân itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami…” [asy-Syûrâ/42:52]
Jadi, manusia dilahirkan dalam keadaan siap untuk menerima kebenaran. Jika Allah Azza wa Jalla memberinya petunjuk. Maka, ia diberi sarana dalam bentuk orang yang mengajarkan petunjuk kepadanya. Sehingga akhirnya, ia betul-betul menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dan perbuatan setelah sebelumnya ia mendapatkan petunjuk dengan kekuatan. Jika Allah membiarkannya, Dia membiarkannya dikuasai orang yang mengajarkannya sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya,[11] seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُـهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّـسَانِهِ
Tidaklah seorang bayi dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[12]
5. Memohon petunjuk kepada Allah Azza wa Jalla
Seorang Muslim wajib berdoa memohon petunjuk dan harus bersungguh-sungguh untuk mencari dan melaksanakan sebab-sebab yang menyampaikan kepada petunjuk tersebut.[13] Adapun permintaan petunjuk oleh orang Mukmin kepada Allah Azza wa Jalla  ada dua:

Pertama, petunjuk global, yaitu petunjuk kepada Islam dan iman.
Kedua, petunjuk yang rinci, yaitu petunjuk Allah untuk mengetahui rincian bagian-bagian iman dan Islam serta bantuan-Nya untuk mengerjakannya. Petunjuk seperti ini sangat diperlukan seorang Mukmin di setiap malam dan siang. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla  memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk membaca firman-Nya berikut ini di setiap raka’at shalat-shalat mereka,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. [al-Fâtihah/1:6]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam doa beliau di malam hari,
…اِهْدِنِـيْ لِـمَـا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْـحَقِّ بِإِذْنِكَ ، إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَـى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
Tunjukilah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan di dalamnya dengan izin-Mu, karena sesungguhnya Engkau menunjuki hamba-Mu ke jalan yang lurus.[14]
Oleh karena itu, jika seseorang bersin dikatakan kepadanya, “Yarhamukallâh (semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu),” kemudian orang yang bersin berkata kepada orang yang mendoakannya, “Yahdîkumullâh (semoga Allah Azza wa Jalla memberimu petunjuk)”; sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah. Kendati hal ini ditolak oleh fuqaha Irak karena menduga bahwa orang Muslim tidak lagi membutuhkan didoakan untuk mendapatkan petunjuk. Tetapi, pendapat mereka ditentang jumhur Ulama karena mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ‘Ali z untuk meminta ketetapan dan petunjuk, dengan do’a berikut:
اَللَّـهُمَّ إِنِّـيْ أَسْأَلُكَ الْـهُدَى وَالسَّدَادَ
Ya Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan ketetapan.[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk mengucapkan dalam qunut di shalat witir,
اَللَّـهُمَّ اهْدِنِـيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ…
Ya Allah Azza wa Jalla , berilah aku petunjuk ke dalam orang yang telah Engkau beri petunjuk…
Perkara-perkara hidayah
Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah, baik secara lahir maupun batin, dalam segala perkara yang dia lakukan maupun dia tinggalkan, perkara-perkara itu mencakup:

  • Perkara-perkara yang telah dilakukannya tanpa dilandasi oleh hidayah, baik dari segi cara, amal maupun niat. Maka dia membutuhkan taubat; dan taubat yang dilakukannya adalah hidayah.
  • Perkara-perkara yang ditujukan kepadanya namun belum terinci sehingga ia membutuhkan hidayah menuju
  • Perkara-perkara yang ditujukan kepadanya namun tidak secara sempurna. Untuk itu ia membutuhkan penyempurnaan sehingga hidayah yang ia peroleh sempurna dan bertambah.
  • Perkara-perkara yang dia membutuhkan hidayah di kemudian hari seperti halnya yang telah ia dapatkan di hari-hari yang telah lalu.
  • Perkara-perkara yang dia yakini tidak sebagaimana mestinya, sehingga ia membutuhkan hidayah yang menghapus keyakinan keliru tersebut dari hatinya dan menetapkan kebenaran menjadi lawannya.
  • Perkara-perkara hidayah yang mampu dia terapkan, namun belum tercipta keinginan untuk melakukannya sehingga ia membutuhkan terciptanya keinginan untuk melakukannya demi kesempurnaan hidayahnya.
  • Perkara-perkara yang tidak mampu dia terapkan namun dia ingin melakukannya, sehingga ia membutuhkan hidayah agar mampu melakukannya.
  • Perkara-perkara yang tidak mampu ia lakukan dan tidak ada kemampuan untuk melakukannya sehingga ia membutuhkan terciptanya kekuatan dan keinginan agar hidayahnya sempurna.
  • Perkara-perkara yang telah dia lakukan berpijak kepada hidayah berdasarkan keyakinan, keinginan, dan perbuatan. Maka dia membutuhkan kemantapan dan kesinambungan.
Maka kebutuhannya memohon hidayah adalah kebutuhan terbesar dan paling mendesak. Allah rabb yang Maha pengasih mewajibkan atasnya untuk melakukan permohonan ini siang dan malam dalam keadaan yang paling utama, yaitu dalam shalat yang lima waktu dengan berulang kali. Hal itu karena dia sangat membutuhkan kandungan permohonan tersebut.[16]
6. Memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla
Adapun istighfâr dari dosa-dosa merupakan permintaan ampunan; dan seorang hamba sangat membutuhkannya karena ia berbuat salah di malam dan siang hari. Al`Qur`ân sering kali menyebutkan taubat dan istighfâr; memerintahkan kaum Mukminin kepada keduanya, dan menganjurkan kepada keduanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِـيْ  آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Seluruh anak keturunan Adam adalah orang-orang yang berbuat salah dan sebaik-baik orang-orang yang berbuat salah ialah orang-orang yang bertaubat.[17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَاللهِ إِنِّـيْ َلأَسْتَغْفِرُ اللهَ  وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِـي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
Demi Allah Azza wa Jalla , aku beristighfar kepada Allah Azza wa Jalla dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.[18]
Setiap anak Adam wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dengan taubat  yang jujur. Setiap orang yang bertaubat dari perbuatan dosa dan maksiat hendaknya ia memenuhi syarat-syarat taubat, yaitu:
  • Al-Iqlâ (berhenti dari dosa), yaitu orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini pernah ia lakukan.
  • An-Nadam (menyesal), yaitu dia harus menyesali perbuatan dosanya tersebut.
  • Al-‘Azmu (tekad), maksudnya, ia harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, masih ditambah satu syarat lagi yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak orang  yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf. Dan jika berupa ghîbah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak perlu meminta maaf kepada orang yang diumpat.[19]
7. Allah Maha kaya terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak butuh kepada mereka
Firman Allah Azza wa Jalla : Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-Ku.”

Maksudnya, seluruh hamba Allah Azza wa Jalla tidak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada Allah Azza wa Jalla , karena Allah Azza wa Jalla  sendiri adalah Maha kaya dan Maha terpuji yang tidak butuh kepada ketaatan para hamba. Manfaat-manfaat ketaatan mereka tidak kembali kepada-Nya; namun mereka sendiri yang mengambil manfaat-manfaatnya. Dan (Allah Azza wa Jalla ) tidak merugi dengan kemaksiatan-kemaksiatan mereka namun justru mereka sendiri yang merugi karenanya.[20]
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ ۚ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
Dan janganlah engkau (Muhammad) dirisaukan oleh orang-orang yang dengan mudah kembali menjadi kafir, sesungguhnya sedikit pun mereka tidak merugikan Allah… [Ali ‘Imrân/3:176]
Allah Azza wa Jalla  berfirman,
وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
Tetapi jika kamu ingkar maka (ketahuilah), milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa  yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” [an-Nisâ’/4:131]
Maksudnya, Allah Azza wa Jalla  senang kalau hamba-hamba-Nya bertakwa dan taat kepada-Nya, sebagaimana Dia benci kalau mereka bermaksiat kepada-Nya.[21]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M.Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Lihat Jâmi’ul ‘Uûm wal Hikam (II/34-35). 
[2] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 212)
[3] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 67), Muslim (no. 1679), Ibnu Hibbân (no. 3837-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu.
[4] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2447) dan Muslim (no. 2579) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu .
[5] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 4686), Muslim (no. 2583), at-Tirmidzi (no. 3110), dan Ibnu Hibbân (no. 5153 at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Musa al-Asy’ari  Radhiyallahu anhu.
[6] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2449, 6534), Ahmad (II/435, 506), Ibnu Hibbân (no. 7361) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 214).
[8] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/37-38).
[9] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/38).
[10] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/38-39).
[11] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/39).
[12] HR. al-Bukhâri (no. 1358) dan Muslim (no. 2658), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13] Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 217).
[14] Shahîh: HR. Muslim (no. 770), Ahmad (VI/156), Abu Dâwud (no. 767), at-Tirmidzi (no. 3420), an-Nasâ-i (III/212-213), Ibnu Mâjah (no. 1357), dan Ibnu Hibbân (no. 2591 at-Ta’lîqâtul Hisân).
[15] Shahîh: HR. Muslim (no. 2725) dan Ahmad (I/88).
[16] Lihat Kasyful Ghithâ’ (hlm. 126-127) oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
[17] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Mâjah (no. 4251), Ahmad (III/198), al-Hâkim (IV/244) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[18] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6307), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 434, 437), Ibnu Mâjah (no. 3815), Ahmad (II/282), dan Ibnu Hibbân (no. 925).
[19] Lihat Riyâdhush Shâlihîn bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahîh al-Wâbilush Shayyib (hlm. 272-273).
[20] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/43).
[21] Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/43).

=========================

8. Kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak akan bertambah dengan ketaatan hamba-Nya dan tidak akan berkurang dengan perbuatan maksiat hamba-Nya.
Firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling jahat, maka itu semua sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Ku.”

Firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah isyarat bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak bertambah dengan ketaatan makhluk, kendati mereka semua orang baik-baik dan bertakwa dan hati mereka seperti hati orang  yang paling bertakwa di antara mereka. Firman Allah Azza wa Jalla di atas juga sebagai dalil bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak berkurang dengan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, kendati jin dan seluruh manusia bermaksiat dan menjadi orang-orang jahat, serta hati mereka seperti hati orang  yang paling jahat di antara mereka; karena Allah Azza wa Jalla Maha kaya (tidak membutuhkan) dengan dzat-Nya siapa saja selain diri-Nya dan mempunyai kesempurnaan mutlak pada Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Jadi, kerajaan Allah Azza wa Jalla adalah kerajaan yang sempurna dan tidak berkurang karena suatu apa pun.[1]
Hadits ini menyatakan bahwa seandainya seluruh makhluk-Nya berada dalam sifat kebaikan dan takwa hamba-Nya yang paling sempurna, maka itu sedikit pun tidak menambah kerajaan-Nya. Dan seandainya mereka berada dalam sifat kejahatan hamba-Nya yang paling jahat, maka itu sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Nya. Ini menunjukkan  bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla itu sempurna dan kondisi apa pun; tidak bertambah atau sempurna dengan ketaatan-ketaatan, tidak  berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa mempengaruhi  kekuasaan Allah Azza wa Jalla.
Di sini terdapat dalil bahwa pokok takwa dan kejahatan adalah hati. Jika  hati telah baik dan bertakwa, maka seluruh organ tubuh menjadi baik. Sebaliknya, jika hati jahat, maka seluruh organ tubuh menjadi jahat,[2] seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلتَّقْوَى هَاهُنَا
Takwa itu di sini
Dan beliau berisyarat ke dadanya.[3]
9. Perbendaharaan Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah habis
Firman Allah Azza wa Jalla: Wahai  hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di tempat yang sama kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu, maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya.”

Yang dimaksud dengan firman tersebut ialah ungkapan kesempurnaan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan kerajaan-Nya. Kerajaan dan perbendaharaan Allah tidak pernah habis dan tidak berkurang dengan pemberian, kendati Dia memberikan seluruh permintaan jin dan manusia generasi pertama hingga generasi terakhir di satu tempat. Di sini terdapat  himbauan bagi manusia agar mereka meminta dan mengajukan permohonan dan kebutuhannya kepada Allah Azza wa Jalla.[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«يَدُ اللهِ مَلأَ َى ، لاَ تَغِيْضُهَا نَفَقَةٌ سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ» قَالَ : «أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَاءَ وَاْلأَرْضَ ،  فَإِنَّهُ لَـمْ يَغِضْ مَا فِـيْ يَدِهِ…»
Tangan Allah Azza wa Jalla penuh dan tidak berkurang oleh infak dan banyak memberi pada malam dan siang hari. Tahukah kalian apa yang telah Dia infakkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya itu semua tidak mengurangi apa  yang ada di tangan-Nya.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ : اللَّـهُمَّ اغْفِرْ لِـيْ  إِنْ شِئْتَ ، وَلَكِنْ لِيَعْزِمِ الْـمَسْأَلَةَ  ، وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
Jika salah seorang dari kalian berdoa, janganlah ia berkata, ‘Ya Allah Azza wa Jalla, ampunilah aku jika Engkau berkehendak,’ namun hendaklah ia serius dalam meminta dan memperbesar keinginan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah dimintai dengan serius dan sungguh-sungguh melainkan Dia memberinya.”[6]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمْ فِـي الدُّعَاءِ. وَلاَ يَقُلِ : اللَّـهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِـيْ ، فَإِنَّ اللهَ لاَ مُسْتَـكْرِهَ لَهُ
 Apabila salah seorang dari kalian berdoa maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, janganlah ia mengatakan, ‘Ya Allah Azza wa Jalla, jika Engkau berkehendak, berikanlah kepadaku,’ Karena tidak ada  yang memaksa Allah [7]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata, “Jika kalian berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, tinggikan permintaan kalian,  karena apa yang ada di sisi-Nya tidak bisa dikurangi oleh sesuatu apa pun.”
Apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla tidak berkurang sedikit pun, seperti firman Allah Azza wa Jalla:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jallaadalah kekal…” [an-Nahl/16:96]
Jika satu jarum dimasukkan ke laut kemudian di angkat, maka sedikit pun air laut tidak berkurang. Begitu juga, jika burung pipit minum di laut, maka laut sedikit pun tidak berkurang. Oleh karena itu, Nabi Khidir  Alaihissallam membuat perumpamaan seperti itu untuk Nabi Musa Alaihissaallam tentang ilmu keduanya jika dibandingkan dengan ilmu Allah Azza wa Jalla.[8] Hal itu karena air laut selalu dipasok oleh seluruh air dunia dan sungai-sungainya  yang mengalir. Jadi, meskipun diambil, maka tidak ada yang berkurang padanya, karena pasokannya lebih banyak daripada air yang diambil. Begitu juga makanan surga dan apa saja yang ada di dalamnya, maka tidak habis, seperti firman Allah Azza wa Jalla:
وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ ﴿٣٢﴾ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ
Dan buah-buahan yang banyak. Yang tidak  berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya. [al-Wâqi’âh/56:32-33]
Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pada khutbah shalat Gerhana:
وَرَأَيْتُ الْـجَنَّةَ ، فَتَنَاوَلْتُ مِنْهَا عُنْقُوْدًا ، وَلَوْ أَخَذْتُهُ  َلأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتِ الدُّنْيَا
Dan aku melihat surga kemudian aku memegang setandan daripadanya. Jika aku mengambilnya, kalian bisa memakannya selama dunia masih ada.[9]
10. Amal-amal hamba semuanya tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla: Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian kemudian Aku menyempurnakannya.”

Maksudnya, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya kemudian menyempurnakan pahala-Nya. Maka barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka ia mendapatkan ganjaran yang baik dan barangsiapa yang kafir dan durhaka maka ia mendapatkan akibat yang buruk.[10] Firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi ini seperti firman Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur`ân:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ﴿٧﴾وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Maka barangsiapa mengerjakan kebajikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” [az-Zalzalah/99:7-8]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
…Dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menzalimi seorang pun.” [al-Kahfi/18:49]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا
(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa menadapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak  yang jauh antara dia dengan (hari) itu…” [Ali ‘Imrân/3:30]
Dan firman Allah Azza wa Jalla:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ 
Pada hari itu mereka semua dibangkitkan oleh Allah Azza wa Jalla, lalu diberitakannya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah Azza wa Jalla menghitungnya (amal perbuatan itu), meskipun mereka melupakannya…” [al-Mujâdilah/58:6]
Firman Allah Azza wa Jalla: Kemudian Aku menyempurnakannya.”
Secara zhahirnya, yang dimaksud firman tersebut ialah penyempurnaan pahala di akhirat, seperti firman Allah Azza wa Jalla:
وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
…Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu…” [Ali ‘Imrân/3:185]
Atau bisa jadi yang dimaksudkan adalah Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala amal-amal hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
…Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu…” [an-Nisâ’/4:123]
Karena diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menafsirkan yang demikian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa kaum Mukminin diberikan balasan atas kesalahan-kesalahan mereka di dunia dan kebaikan-kebaikan mereka disimpan di akhirat, kemudian pahala-pahala kebaikan tersebut disempurnakan. Sedang orang kafir, pahala kebaikan-kebaikannya disegerakan di dunia dan kesalahan-kesalahannya disimpan di akhirat; kemudian ia disiksa karenanya di akhirat. Penyempurnaan perbuatan ialah penyempurnaan balasan; baik atau buruk. Keburukan dibalas dengan keburukan yang sama tanpa ditambahi; kecuali jika Allah Azza wa Jalla memaafkannya. Sedang kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus lipat atau hingga beberapa kali lipat yang hanya diketahui Allah Azza wa Jallasaja.[11]
11. Memuji Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat dan karunia-Nya
Firman Allah Azza wa Jalla: Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla, dan barangsiapa mendapatkan selain itu maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”

Ini merupakan isyarat bahwa seluruh kebaikan itu dari Allah Azza wa Jalla sebagai karunia dari-Nya untuk hamba-Nya, sedang seluruh keburukan berasal dari manusia karena hawa nafsu mereka,[12] seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Kebaikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah Azza wa Jalla, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri…” [an-Nisâ’/4:79]
Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak memberikan bimbingan kepada hamba-Nya, Dia membantunya, membimbingnya untuk taat kepada-Nya, dan itu karunia dari-Nya. Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak menelantarkan hamba-Nya, Dia menyerahkannya kepada dirinya sendiri, dan meninggalkannya. Kemudian ia ditipu setan karena kelalaiannya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, lalu ia mengikuti hawa nafsunya, melewati batas; dan itu keadilan dari-Nya. Karena sesungguhnya hujjah tetap ada pada seorang hamba dengan diturunkannya al-Qur`ân dan diutusnya seorang rasul. Jadi, siapa pun dari manusia tidak mempunyai hujjah lagi pada Allah Azza wa Jalla setelah pengutusan para rasul.[13]
Jika  maksud hadits di atas ialah bahwa barangsiapa mendapatkan kebaikan di dunia, ia diperintahkan memuji Allah Azza wa Jalla atas apa yang ia dapatkan, yaitu pahala-pahala perbuatannya yang shalih yang disegerakan kepadanya di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [an-Nahl/16:97]
Ia juga diperintahkan menyalahkan dirinya atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya karena dosa-dosa tersebut dipercepat akibatnya di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَىٰ دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [as-Sajdah/32:21]
Jadi, jika seorang Mukmin mendapatkan musibah di dunia, ia kembali kepada dirinya dengan menyalahkannya dan mengajaknya kembali kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan bertaubat dan beristighfar kepada-Nya.
Namun, jika yang dimaksudkan firman Allah Azza wa Jalla di hadits tersebut ialah orang yang mendapati kebaikan dan keburukan di akhirat, maka itu penjelasan dari Allah Azza wa Jalla bahwa orang-orang yang mendapatkan kebaikan di akhirat itu memuji Allah Azza wa Jalla karena hal tersebut; dan orang-orang yang mendapatkan keburukan itu mengecam diri mereka sendiri pada saat kecaman tidak bermanfaat bagi mereka. Jadi, ungkapan tersebut adalah ungkapan perintah namun maknanya  pemberian informasi, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ؛ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka (Muttafaqun alihi)
Maksudnya, pendusta itu sedang menyiapkan tempat duduknya di neraka.
Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang penghuni surga bahwa mereka memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia-Nya yang diberikan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ ۖ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ 
Dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sunga-sungai. Mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah Azza wa Jalla tidak menunjukkan kami…” [al-A’râf/7:43]
Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa penghuni neraka mengecam diri mereka sendiri dan sangat membencinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ ۖ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي ۖ فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh karena itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri…” [Ibrâhîm/14:22]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنَادَوْنَ لَمَقْتُ اللَّهِ أَكْبَرُ مِنْ مَقْتِكُمْ أَنْفُسَكُمْ إِذْ تُدْعَوْنَ إِلَى الْإِيمَانِ فَتَكْفُرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada mereka (pada hari Kiamat) diserukan, ‘Sungguh, kebencian Allah (kepadamu) jauh lebih besar daripada kebencianmu terhadap dirimu sendiri, ketika kamu diseru untuk beriman lalu kamu mengingkarinya.’” [al-Mu’min/40:10]
Para Ulama Salaf sangat bersungguh-sungguh dalam beramal shalih karena khawatir mencerca dirinya sendiri pada saat amal perbuatan terputus karena ia dulu lalai.
‘Amir bin ‘Abdu Qais berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla, aku pasti bersungguh-sungguh. Demi Allah Azza wa Jalla, aku pasti bersungguh-sungguh. Jika aku selamat, itu karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Jika tidak, aku tidak menyalahkan diriku.”
Ziyad bin ‘Ayyasy berkata kepada Ibnul Munkadir dan Shafwan bin Sulaiman, “Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Jika segala sesuatu seperti yang kita harapkan, maka apa yang telah kalian berdua kerjakan adalah karunia. Jika tidak, kalian berdua tidak perlu menyalahkan diri kalian berdua.”[14]
FAWA-ID HADITS
  1. Periwayatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya Azza wa Jalla adalah tingkatan sanad yang paling tinggi, karena tingkatan akhir dari sanad ialah Allah Azza wa Jalla pada hadits Qudsi, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang marfu’.
  2. Pengertian hadits Qudsi yang paling bagus ialah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya Azza wa Jalla.
  3. Menetapkan bahwa Allah Azza wa Jalla itu berbicara dengan suara sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur`ân, As-Sunnah, dan ijmâ Salafush Shalih.
  4. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mampu berbuat zhalim akan tetapi Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas diri-Nya karena kesempurnaan keadilan-Nya.
  5. Di antara sifat yang dinafikan dari Allah Azza wa Jalla adalah zhalim, akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada satu sifat pun yang dinafikan dari Allah Azza wa Jalla melainkan lawan dari sifat itu yang ditetapkan. Maka menafikan sifat zhalim berarti menetapkan sifat adil yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun.
  6. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berhak mengharamkan apa saja untuk diri-Nya karena hukum itu sepenuhnya milik-Nya.
  7. Yang dimaksud dengan nafsi (diri-Ku) dalam hadits ini ialah adalah dzat Allah Azza wa Jalla.
  8. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan berbuat zhalim di antara manusia.
  9. Sesungguhnya semua manusia itu sesat kecuali orang yang diberikan hidayah oleh Allah Azza wa Jalla, dari kaidah ini dapat diambil pelajaran bahwa kita diperintahkan untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita tidak sesat dan tidak menyimpang.
  10. Anjuran untuk menuntut ilmu syar’i berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi, “Setiap kalian adalah sesat.” Tidak diragukan bahwa menuntut ilmu adalah wajib dan sebaik-baik amal; apalagi pada zaman kita sekarang ini di mana kebodohan dan prasangka telah menyebar, serta orang yang tidak berhak berfatwa sudah berani berfatwa; maka menuntut ilmu pada zaman ini sangat ditekankan sekali.
  11. Hadits ini menunjukkan wajibnya memohon dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla semua kebutuhan yang bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia karena semua kebaikan itu ada di sisi Allah Azza wa Jalla.
  12. Hidayah itu hanya boleh diminta dari Allah Azza wa Jalla saja berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, Hidayah yang dimaksud adalah hidayah taufîk dan hidayah bayân.
  13. Seorang Muslim wajib senantiasa memohon hidayah taufîk kepada Allah Azza wa Jalla karena banyak manusia sangat membutuhkan hidayah dalam seluruh kehidupannya.
  14. Sesungguhnya seluruh manusia pada asalnya adalah dalam keadaan lapar karena tidak mampu menciptakan sesuatu pun yang dapat menghidupkan jasad-jasad mereka; kemudian Allah Azza wa Jalla memberikan rezeki kepada mereka.
  15. Firman Allah, “Maka mintalah makanan kepadaku,” ini mencakup permintaan makanan kepada Allah Azza wa Jalla dan mencakup juga meminta usaha dalam mencari rizki dan karunia Allah Azza wa Jalla, karena sudah diketahui bahwa langit itu tidak menurunkan emas maupun perak, maka wajib ada usaha untuk memperoleh rizki.
  16. Manusia pada asalnya adalah telanjang hingga Allah Azza wa Jalla memberikannya pakaian dengan berbagai sebab yang ada.
  17. Tentang kedermawanan Allah Azza wa Jalla. Dia Azza wa Jalla menjelaskan kepada hamba-Nya keadaan mereka dan sangat butuhnya mereka kepada-Nya; kemudian Dia mengajak mereka untuk berdo’a kepada-Nya, sehingga hilanglah kefakiran dan kesulitan yang ada pada mereka.
  18. Bahwa seluruh anak Adam adalah banyak berbuat salah dan dosa.
  19. Wajib atas anak Adam untuk selalu bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan memenuhi syarat-syarat taubat.
  20. Bahwa sebanyak apa pun dosa dan kesalahan manusia, Allah Azza wa Jalla tetap akan mengampuninya; tetapi mereka wajib istighfâr (minta ampun kepada Allah Azza wa Jalla).
  21. Bahwa Allah Azza wa Jalla mengampuni seluruh dosa orang yang beristighfâr berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Maka minta ampunlah kepada-Ku.” Adapun orang yang tidak meminta ampun, maka dosa-dosa kecil dapat dihapuskan dengan amal shalih, sedang dosa-dosa besar harus dengan taubat secara khusus dan tidak bisa dihapus dengan amal-amal shalih. Sedangkan kekufuran maka ia harus dengan taubat berdasarkan ijma’
  22. Kesempurnaan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan tidak butuhnya Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-hamba-Nya berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-Ku.”
  23. Hadits ini menunjukkan pentingnya kedudukan hati karena pokok dari ketakwaan dan perbuatan fasik adalah hati. Apabila hati istiqâmah maka seluruh anggota badan ikut dan apabila hati berbuat fasik maka rusaklah seluruh anggota badan.
  24. Hadits ini mengisyaratkan bahwa semua kebaikan dan keutamaan itu berada di tangan Allah Azza wa Jalla; yang dengannya Dia memberikan keutamaan itu kepada hamba-hamba-Nya sedangkan kejelekan dan kejahatan itu berasal dari diri mereka sendiri.
  25. Kesempurnaan kekayaan dan keluasan kekayaan Allah Azza wa Jalla berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di tempat yang sama…” ini menunjukkan luasnya kekayaan Allah Azza wa Jalla dan luasnya karunia dan kedermawanan-Nya.
  26. Bahwa Allah Azza wa Jalla menghitung seluruh amalan hamba-Nya dan tidak ada sedikit pun yang terluput.
  27. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak pernah menzhalimi seorang hamba sedikit pun, bahkan siapa yang mengerjakan suatu amalan maka dia pasti akan mendapati balasannya berdasarkan firman-Nya, “Kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian.”
  28. Wajibnya memuji Allah Azza wa Jalla bagi orang yang mendapatkan kebaikan. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi : pertama, bahwa Allah Azza wa Jalla telah memudahkannya melakukan perbuatan baik tersebut dan yang kedua, bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan ganjaran pahala atas perbuatan baiknya tersebut.
  29. Barangsiapa yang malas dan lalai dalam mengerjakan amal-amal sehingga dengan sebab itu ia tidak mendapatkan kebaikan di akhirat; maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.
  30. Hadits ini juga mengisyaratkan diperintahkannya introspeksi diri dan menyesal dari perbuatan dosa dan maksiat.
MARAJI’
  1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
  2. Shahîhul-Bukhâ
  3. Shahîh Muslim
  4. Musnad Imam Ahmad
  5. Sunan Abu Dawud
  6. Sunan at-Tirmidzi
  7. Sunan an-Nasâ`i
  8. Sunan Ibnu Mâjah
  9. Al-Adabul Mufrad
  10. Musnad Abu Ya’la al-Mû
  11. Mustadrak al-Hâ
  12. Syarah Shahîh Muslim lin Nawâ
  13. Riyâdhush Shâlihîn, karya Imam an-Nawâ
  14. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
  15. Al-Asmâ’ wash Shifât, karya Imam al-Baihaqi
  16. Shahîh al-Wâbilish Shayyib, karya Imam Ibnul Qayyim.
  17. Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi Simâ’il Ghinâkarya Imam Ibnul Qayyim.
  18. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâ
  19. Shahîh al-Adabil Mufrad, karya Syaikh al-Albâ
  20. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthâ
  21. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  22. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimî
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009M. ]
_______
Footnote
[1] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/46-47).
[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/47).
[3] Shahîh: HR. Muslim (no. 2564), Ahmad (II/277), dan at-Tirmidzi (no. 1927) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[4] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/47-48).
[5] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 4684), Muslim (no. 993),at-Tirmidzi (no. 3045) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6] Shahîh: HR. Muslim (no. 2679) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 6338) dan Muslim (no. 2678) dari Anas bin Mâlik rahimahullah.
[8] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 122, 3401, 4725, 4727), Muslim (no. 2380), at-Tirmidzi (no. 3149), Ibnu Hibbân (no. 6187 at-Ta’lîqâtul Hisân).
[9] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 1052), Muslim (no. 907), Ahmad (I/298), Ibnu Hibbân (no. 2821 at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ibnu ‘Abbâs z .
[10] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/51) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 219).
[11] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52)
[12] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52)
[13] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52).
[14] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/53-55) dengan diringkas.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top